62 | life goes on
Bigel pulang. Ales kembali ke kehidupan awal. Semuanya kini terasa seperti berada di titik nol. Tak tahu apa yang kini Bigel lakukan, tapi waktu sudah berjalan begitu lama. Tak ada kontak sama sekali antara Bigel dan Ales setelah pertemuan terakhir mereka di Pulau Tidung waktu lalu.
Fleur Teapot yang setiap hari Ales lewati dalam perjalanannya menuju Nyx Bar, kini sudah benar-benar tutup dan digantungkan sebuah banner bertuliskan 'DIJUAL/DISEWAKAN' lengkap dengan nama dan nomor kontak orang propertinya.
Kadang-kadang Ales sedih, kadang-kadang Ales tertawa. Ruko itu sudah lama kosong dan sampai hari ini ketika ia hendak berangkat kerja, masih saja belum ada yang membeli atau menyewanya.
"Kena kutukan Bigel kali, ya."
Ales itu percaya, keputusan untuk melepas ruko yang menjadi rumah bunga-bunga Bigel pasti bukan berasal dari ia yang mengurusnya sekian lama.
Tapi, biar bagaimana juga Ales di sisi lainnya merasa keputusan itu adalah hal paling tepat untuk dilakukan. Fleur Teapot hanya bisa membawa luka-luka Bigel kembali terbuka, sudah bukan lagi menjadi tempat yang Bigel suka.
Apapun itu, Ales hanya bisa mendoakan segalanya yang terbaik untuk Bigel. Maka sekarang, ia hanya bisa tersenyum kepada langit. Berbaik-baik kepada langit, supaya pemiliknya mau mengabulkan doanya. Ia tak akan meminta hal di luar batasnya lagi. Ia hanya meminta, Bigel mendapatkan yang terbaik di dunia.
Supaya Bigel di sana bisa berbahagia. Tak seperti Ales di sini yang berusaha setengah mati hanya untuk bahagia. Padahal rasanya dulu segala hal mudah-mudah saja. Hanya dengan beberapa lembar uang pun Ales bisa sumringah. Namun sekarang agaknya sudah sedikit berbeda. Uang tak semata-mata membuatnya bahagia lagi, meskipun tak munafik uang memang ia butuhkan. Butuh dan bahagia dua kata yang berbeda, 'kan?
Meski begitu, Ales selalu tersenyum ketika bekerja. Seolah dunia tak pernah membuatnya jatuh. Keramahan Ales memang kadang mampu membuat orang salah menilai dirinya.
"Cie, Kak Ales! Senyum terus, dapet berapa semalam dari cewek-cewek?"
"Elio, senyum itu ibadah. Ini gue lagi ibadah, biar doanya dikabulin."
Elio tertawa. Ales memang selalu mampu membuatnya tertawa. Omong-omong soal Elio, ia kini beralih menjadi seorang pekerja paruh waktu di Nyx. Waktu itu, setelah lepas dari Fleur Teapot yang runtuh bersamaan dengan keruntuhan hati pemiliknya, Elio ucuk-ucuk mendatangi Ales dan meminta pekerjaan.
Awalnya, Ales tolak karena ia ragu anak kecil seperti Elio kuat bekerja di bar. Tapi, Elio malah marah-marah tak terima dirinya dibilang anak kecil. Setiap kali Ales menyebutnya begitu, Elio selalu saja menyahut, 'Aku ini udah semester tiga, Kak!'
Tapi Ales adalah Ales, pria jahil yang tak bisa melihat Elio tenang. 'Iya, semester tiga berarti tuh … TK-B tahun pertama, ya?'
Keributan demi keributan pun terjadi antara Ales dan Elio setelahnya. Haga yang kala itu melihat keakraban Ales dan Elio, kiranya merasa Elio mampu meredakan luka terpendam Ales. Lantas, dialah yang akhirnya membuat Elio menjadi pekerja paruh waktu di Nyx. Jangan pikirkan bagaimana caranya, koneksi Haga itu di mana-mana. Sebatas Nyx yang pemiliknya adalah alumni Atlas yah … kecil. Satu almamater.
Tindak iseng Haga pun membuahkan hasil bagus, sepertinya. Ales dan Elio tampak akur dan bersahabat sepanjang malam berada di Nyx Bar. Kadang, ada saja candaan-candaan di antata mereka berdua yang sampai membuat keduanya terpingkal-pingkal. Padahal, bartender ataupun server lain tak ada yang tertawa.
"Ibadah kok di bar!"
"Yeh, El. Nggak boleh gitu. Kan gue bilang, senyum itu ibadah. Masa nggak boleh senyum di bar? Aneh lo, bocil."
"Bocil terus, bocil terus!"
"Ya terus apa? Masa Bos Bi? Nggak mungkin dong."
"Yah … yah … balik lagi deh. Lagu lama kaset kusut, ah!"
Ales tertawa saja. Sungguh, kalau orang asing mendapati Ales tertawa seperti itu, pasti mereka mengira Ales sedang bahagia-bahagia saja. Padahal nyatanya, tidak begitu. Tapi tawa dan senyum Ales yang begitu lebar memang mampu membuat salah paham.
"Hai, Les!"
"Eh, eh, order tuh, Kak!"
Seorang gadis cantik datang. Seketika membuat Ales melupakan candaannya dengan Elio sejenak, dan menghadap gadis itu dari belakang meja bar. Eh, tunggu? Rambutnya coklat bergelombang. Penampilannya manis, masih sama seperti saat dulu Ales pernah melayaninya.
"Hanna!"
"Hahahaha, Ales! Apa kabar?"
"Super duper mega baik!" Bohong. "Lo gimana?"
"Euh, emang ya dasarnya playboy mah kenalan cewek cantiknya banyak!" sela Elio.
"Eh? Kamu part-timer baru itu, ya? Haga cerita ke aku soal kamu! Salam kenal, ya. Aku Hanna. Kamu gemes banget sih kayak anak kecil."
Ales puas sekali mendengarnya. Iya, siapa lagi yang kini memberikan tatapan seolah ia bersuara, 'nah 'kan.'
Elio cemberut di perkenalan pertamanya dengan Hanna. Namun, begitu Haga muncul dari arah belakang gadis itu, ia sumringah seketika.
"Kak Haga!"
"Apa, Elio?"
"See?! Cuma Kak Haga yang mulutnya bisa nyebut nama aku dengan betul! Anak kecil, anak kecil, anak kecil apanya!"
"Eh?" Hanna jadi tak enak hati. "Maaf ya, Elio. Aku nggak tau kamu nggak suka dibilang anak kecil."
Daripada meladeni Elio, dan Hanna yang kini sedang memohon-mohon maaf kepada anak itu, Haga memilih untuk langsung saja menghadap Ales dan memesan minumannya.
"Biasa, Les."
"Siap, Bos."
"Break jam berapa? Rooftop buka lah."
"Ini udah masuk jam gue break." Ales memberikan minuman Haga, lengkap dengan es batunya. Ditambah, sebuah kunci. "Nih, naik duluan. Nanti gue nyusul."
Haga mengangguk. "Ayo, By," ajaknya kepada Hanna yang masih merayu-rayu Elio. Lantas, Haga pun akhirnya mengambil tindakan. "Elio … udah ya, maafin Hanna, oke? Pesen aja minuman, atau makanan apapun, nanti gue yang bayar. Join aja di atas, kita sama-sama."
Masalah selesai begitu saja. Elio dengan girangnya memesan apapun yang bisa ia pesan dari Nyx, dan membawanya ke atas untuk makan bersama Haga dan Hanna. Ales setelah beres dengan segala urusannya di meja bar pun menyusul dengan membawa satu bucket es dan dua botol bir di dalamnya.
Rasanya seperti deja vu, Ales pernah seperti ini sebelumnya. Namun, dengan suasana hati yang total berbeda. Kalau kala itu ia berbahagia atas hari jadi Haga dan Hanna, kini ia pura-pura bahagia meski dengan orang yang sama.
"Nah! Amunisi." Ales meletakkan birnya di atas meja. Haga dan Hanna sudah lebih dulu minum milik mereka, dan Elio asik menyantap pasta.
Sebelum memulai segala perbincangan, Ales dan Haga sama-sama membakar rokok mereka.
"Jadi, Bigel apa kabar?"
"Baik."
"Buktinya?"
Seperti hari-hari sebelumnya ketika Ales mengajukan pertanyaan yang sama, Haga mengeluarkan ponsel dan menunjukkan obrolan terakhirnya dengan Bigel lewat pesan-pesan singkat. Pun seperti biasa, Ales membacanya.
Abigail Ananta
[ send a picture ]
Haga Sanders
what? a kangaroo?
Abigail Ananta
Yup.
Haga Sanders
hahaha looks cute
are you happy there?
Abigail Ananta
Pretty much.
Haga Sanders
hmmm, you okay?
i mean, you know you can call me
if you need anything
Abigail Ananta
I'm okay. Thanks, by the way
Haga Sanders
anytime, gel
Selesai. Pesan itu berakhir di Haga. Dari tanggalnya, mereka baru bertukar pesan kemarin. Ales lega mengetahui Bigel baik-baik saja. Sungguh. Ia bahkan tersenyum melihat foto yang dikirim Bigel kepada Haga. Ia tak tahu, mantan pacar palsunya itu bisa berswafoto dengan kanguru.
"Baik-baik aja, 'kan."
Ales mengangguk, lalu mengembalikan ponsel Haga dan meneguk bir langsung dari botolnya.
"Nggak sia-sia gue senyum terus ke langit."
"Maksudnya?"
Elio dengan pasta penuh di mulutnya pun ikut-ikutan menjawab. "Itu lho, Kak! Katanya senyum itu ibadah. Terus, dia ibadah—dengan tersenyum—supaya doanya dikabulin!"
"Heh, anak kecil makan dulu yang bener." Ales meledeknya lagi. Siapa suruh Elio terlihat lucu dengan pipi menggembung karena penuh dengan pasta dan bibir yang belepotan saus.
"Ish! Aku bukan—"
"Aaaaamm!" Ales menyuapinya satu gulungan pasta lagi. "Habiskan ya anak kicil."
Jadilah Elio cemberut secemberut-cemberutnya. Hanna terkekeh geli melihat Elio, Haga pun jadi ikut tertawa. Sekilas Haga melihat Ales yang sudah kembali jahil dan mudah untuk tertawa lagi membuat hatinya sungguh merasa lega.
Meski masih berada di dalam bayang-bayang Bigel, setidaknya Ales sudah bisa berdamai dengan kenyataan. Ia tak lagi merenung dan merenung, menghabiskan malam hanya dengan renungan kegalauan. Kehadiran Elio sungguh membantu, benar-benar seperti penyembuh bagi Ales yang kritis kehilangan Bigel.
Pelan-pelan Ales pasti bisa.
Haga percaya akan hal itu.
Ales pasti bisa melupakan Bigel.
Sepenuhnya.
.
to be continue...
♡ Xadara Goe
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top