Pengharapan Hampa [II]

Waktu terus berputar, hari terus berganti. Akhirnya aku menginjak kelas dua belas semester genap. Dan, itulah masa yang cukup menyulitkan bagiku.

Aku harus berusaha mendaftar ke PTN, belum lagi menyiapkan berbagai ujian di sekolah. Belum lagi mempersiapkan mental untuk menghadapi kemungkinan terburuk; tidak diterima di PTN.

Tapi, aku pasrahkan semuanya pada Allah. Yang penting aku sudah berusaha sebaik mungkin. Tak mungkin Allah mengecewakan hamba-Nya. Setiap hasil yang Allah berikan adalah yang terbaik, sesuai dengan perjuangan yang dikerahkan.

Benar saja. Akhirnya, alhamdulillah, aku diterima di PTN yang telah aku cita-citakan sejak lama. Kuliah di UNPAD, jurusan Sastra Indonesia. Aku menjalani hidup baru di kampusku sebagai mahasiswa Sastra Indonesia UNPAD. Aku sangat bersyukur. Meskipun aku harus berpisah dengan Novi, aku senang karena ini adalah keinginanku sejak lama.

Sekarang, aku harus bersungguh-sungguh dalam mengejar cita-citaku. Jangan terus memikirkan Novi. Agar aku bisa lebih cepat lulus, dan cepat melamar Novi. Aku yakin, dia juga pasti sudah diterima di kedokteran UGM. Meski kami tak pernah bertemu lagi.

Beberapa semester menuntut ilmu di FIB UNPAD telah kulewati. Sudah banyak temanku yang lost contact. Termasuk Novi. Semua kontaknya sudah tidak aktif. Aku baru menyadarinya ketika hendak chatan dengannya setelah sekian lama kami tidak berkomunikasi. Setelah kuperiksa semua akun sosial medianya, semuanya sudah tak aktif.

Tiga tahun telah kulewati untuk menempuh pendidikan sarjana. Terbilang cepat. Setelah itu, tak sampai satu tahun, aku mendapat beasiswa untuk melanjutkan pendidikan Pascasarjana di Newcastle University program linguistik. Tentu saja aku ambil. Aku tidak ingin menyia-nyiakan kesempatan itu. Meski aku khawatir akan ditikung. Karena telah lama aku hilang kontak dengan Novi. Tapi, cita-citaku untuk menjadi sastrawan dan ahli bahasa lebih penting. Akhirnya, aku terbang ke Inggris untuk melanjutkan studi ke Newcastle University. Aku belajar di sana selama kurang lebih dua tahun.

Selesai belajar di Inggris, aku kembali ke tanah air. Syukurlah aku tidak sulit mencari pekerjaan di Indonesia. Tak lama setelah lulus magister, aku mendapat pekerjaan sebagai editor di sebuah penerbit ternama. Juga, selain menjadi editor aku mengisi waktu luangku menjadi dosen sastra di sebuah universitas swasta.

Dengan gaji yang cukup besar, aku bisa memberangkatkan haji orangtuaku setelah bekerja setengah tahun, dan membeli rumah setelah satu setengah tahun bekerja.

Dua tahun menabung hasil dari pekerjaanku kurasa sudah cukup. Aku memantapkan niatku untuk datang ke rumah Novi. Setelah selama ini aku terus mencari tahu di mana rumahnya. Akhirnya aku menemukan alamat lamanya dari temanku. Entah dia masih tinggal di alamat itu, entah sudah pindah. Yang pasti, aku tak boleh menyerah. Tetap harus kucoba.

Rabu, 6 Maret waktu itu. Aku pergi ke Cikalong, kota tempat Novi tinggal menurut alamat yang kudapat. Setelah lelah mencari, akhirnya aku tahu rumahnya dan sampai di depan rumahnya. Rumah yang cukup besar. Ada halaman yang cukup luas, dengan ditanami tanaman yang beragam. Aku tebak orangtuanya adalah orang kaya.

"Assalamualaikum. Permisi."

Aku melihat seorang wanita yang wajahnya sudah familiar keluar dari pintu rumah. Dia berlari ke pintu gerbang besi berwarna hitam itu. Dia bertanya tanpa membuka gerbangnya, "Waalaikumussalam. Ada perlu apa?"

"Sebelumnya, apa benar ini rumahnya Novianti Ekaputri?" tanyaku pada wanita itu. Padahal aku tahu dia adalah ibunya Novi.

"Iya benar. Siapa ya?" tanya beliau sedikit khawatir karena diriku adalah orang asing yang langsung menanyakan putrinya satu-satunya.

Perkenalkan, saya Sebastian. Saya teman SMA-nya Novi. Saya ke sini karena ada perlu dengan Novi.

Seketika wajahnya menunjukkan suatu rasa keterkejutan. Tapi, dia cepat menyembunyikannya. Lalu menjawab, "Maaf, Novi tidak ada di rumah sejak lima tahun yang lalu." Sejenak aku terkejut. Entah apa yang terjadi pada Novi. "setelah lulus SMA, dia dilamar oleh teman sekelasnya. Akhirnya dia memutuskan untuk menikah. Dia pindah bersama suaminya. Kalau memang kamu ada perlu, ini alamat rumahnya," lanjut ibunya Novi sambil memberiku kartu nama suaminya. Seseorang yang kukenal. Juga semua orang kenal karena dia adalah seorang penceramah kondang.

Aku pamit kepada ibunya Novi. Berbalik kembali menuju mobil Mercy milikku. Sekuat apapun aku menahan, nyatanya aku tak kuat. Air mata tetap saja menetes. Seseorang yang sudah sejak lama kuharapkan akhirnya lepas. Aku yang sudah sangat optimis ternyata harus gagal. Nyatanya impian tak selalu terwujud. Impiannya menjadi seorang dokter tak terwujud. Impianku ingin menjadi pendamping hidupnya juga tak terwujud.

Dari kejadian ini aku sadar; berharap pada seseorang hanya akan menimbulkan rasa kecewa, kemungkinan besarnya. Tapi berharap pada Yang Maha Kuasa, Yang Maha memberi harapan, maka kapan kita kecewa? Aku belajar bahwa jodoh itu rahasia Allah. Kita tak tahu siapa jodoh kita. Kita memang harus berjuang. Tapi pada waktunya, dan jangan terlalu berharap.

Kini, aku harus melupakan dirinya. Dirinya bukan untukku. Sudah ada orang lain yang memilikinya. Sesakit apapun itu, tetap harus kujalani. Aku harus yakin; ada masanya kita patah hati. Tapi, setelah itu akan datang masa kita bangkit dan tumbuh kembali bersama orang yang tepat.

****

"Aku ke sini untuk mengembalikan ini. Tadi di Citylink kamu menjatuhkannya. Jadi, aku memutuskan untuk datang ke alamat rumahmu yang pernah diberikan ibumu tiga tahun lalu. Karena aku tak dapat mengejar kalian tadi," ucapku sambil memberikan sebuah pakaian balita. Pakaian milik anaknya.

"Oh, terimakasih. Padahal kamu tak perlu sebegitunya, Bas. Kamu pasti lelah harus ke sini."

Aku hanya tersenyum. Melihat ponselku yang menerima pesan.

Dari: Istriku

"Yah, kapan ayah pulang? Apa urusan ayah sudah selesai?"

Aku tersenyum. Mengetik kata demi kata untuk membalas pesan dari istriku.

"Ini juga sudah mau pulang. Tunggu sebentar lagi, ya, Tiara cantik. Suamimu akan segera pulang. Maaf telah membuatmu khawatir."

Aku berpamitan pada mereka. Tanpa banyak basa-basi aku membalikkan badanku menuju mobilku kembali.

"Tunggu!" Ujang menghampiriku keluar dari rumahnya. Dia menjulurkan tangannya. Aku tersenyum dan membalas ajakan bersalaman darinya.

"Hati-hati di jalan. Kapan-kapan, main lagi ke sini."

Aku hanya membalas dengan senyum dan anggukan. Lalu berbalik dan meninggalkan mereka. Aku masuk ke dalam mobilku dan membawanya pergi. Semakin menjauh dari rumah itu sampai akhirnya tak terlihat lagi.

Sebagai temanku, tolong jaga Novi baik-baik, Ujang. Karena dia milikmu dan sudah tak berhak diriku memikirkan dirinya.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top