🤸♀️ please, don't ...
cuma mau share ini aja 🙆
“Beneran Mbak Aya nggak mau nebeng saya? Saya bawa mobil, lho.”
YA, TERUS KALAU BAWA MOBIL AKU HARUS KATROL DULU GITU? HAH!
Soraya menepis ajakannya pulang bareng naik kendaraan roda empatnya itu yang parkir tak jauh dari motor Pak Kosman, driver ojek online-nya, meskipun tawarannya menggiurkan. Emang sih, ada untungnya nebeng pulang bareng Tian: dia enggak akan kehujanan, enggak perlu cemas kedinginan terus besoknya masuk angin, dan enggak khawatir sama tas, sepatu, dan pakaiannya basah di situasi begini hujan deras yang sejak tadi belum ada tanda-tanda akan berhenti malahan turun makin kenceng. Seolah ingin menjebak Soraya supaya tetap berteduh di mini market.
“Tawaran masnya diterima aja, Mbak. Ketimbang nekat nerjang hujan naik motor bareng saya. Nanti masuk angin, lho.”
Ini lagi bapak ojol bukannya merayu dirinya supaya tetap jadi penumpangnya malah nyuruh dia nebeng orang. Tanda-tanda si bapak menolak dapat tips, nih!
Tian bergeming ke mana-mana, tetap di situ menunggu balasan Soraya mengiyakan tawarannya. Siang tadi dia emang bawa motor, tapi setelah melihat cuaca malam yang kurang bersahabat ini Tian pun memilih pulang ke rumah bawa mobil yang biasanya dipakai Rara, istrinya. Lalu waktu mampir mini market buat beli minum dan sebungkus rokok, malah tak sengaja bertemu Soraya, si penulis yang belakanganya ceritanya ia urus.
“Saya tuh, gak kenal sama dia. Masa pulang bareng,” ujarnya asal berharap si bapak ojol ini percaya sama dirinya. “Ada-ada si bapak ini.”
“Masa gak kenal? Tapi masnya tadi manggil terus mbaknya nyahut. Hayo, bohong itu dosa.”
“Saya tahu bohong itu dosa, Pak. Tapi saya nggak bohong, saya serius nggak kenal!”
“Well, not bohong but lying,” timpal Tian diakhiri desahannya yang mendadak resah karena tingkah gadis ini yang berdalih tidak mengenalnya.
Tian bukannya tidak tahu apa-apa. Dia mengerti perubahan perilaku Soraya yang terus-terusan menghindarinya ini semenjak gadis ini tahu bahwa dia telah menikah. Yang Tian bingungkan hanyalah mengapa Soraya harus mati-matian menjauhi dirinya sementara dia tidak pernah melakukan apa-apa atau berbuat kurang ajar padanya. Tian pun bersikeras bahwa sikapnya ini wajar pada umumnya sebagaimana Tian selalu bersikap terhadap orang-orang sekitarnya.
Mungkin bagian dari upayanya ini karena Tian yang selalu meminta naskahnya buat direvisi, selebihnya dia kurang mengerti.
Tian baru akan menimpali bertepatan saat Soraya merogoh saku celananya untuk mengambil ponselnya yang berdering. Gadis ini perlahan meninggalkan tempat mereka saling berdiri tadi, berpaling ke sudut gedung mini market tengah berbincang dengan siapa pun yang sedang menelponnya itu.
Dia kembali tak lama kemudian dengan cengiran lebar sampai ke mata menghiasi wajah ayunya itu. Tian memandangnya sepersekom sebelum membuang wajah dan mendesah gelisah. Hanya belakangan ini saja dia merasa tak nyaman acapkali melihat Soraya dengan ekspresi kebanggaannya itu.
“Pak, saya gak jadi hujan-hujanan sama bapak,” katanya sambil nyengir kesemsem bikin Pak Kostman pangling. “Nih, tip buat bapak udah mau kehujanan bareng tadi.”
“Ya ampun! Mbaknya repot-repot aja. Tapi makasih ya, Mbak, udah dikasih rejeki.”
“Sama-sama,” atensinya kemudian berpaling ke arah Tian yang masih membuang wajah darinya, “Mas Tian pulang aja. Saya gak bakalan nebeng.”
“Kamu yakin?” tanyanya seolah ragu sama keputusannya.
“Iyalah, buat apa enggak.” Tapi belum sempat dapat sahutan Soraya udah main kabur, lari menjauh dari teras mini market mendekati sebuah civic hitam yang barusan berhenti di depan mini market. Soraya lalu lenyap di dalamnya tanpa repot-repot pamit-lagi.
Tian sempat lihat seorang pria dengan kemeja tosca dan kaca mata bingkai putih duduk di belakang pengemudi. Kini ia bertanya-tanya, sebenarnya pasangan Mbak Aya itu yang naik motor atau mobil?
Sementara di dalam civic yang melaju di bawah guyuran air hujan pada malam itu, Soraya tetap menggerutu biarpun telah meninggalkan mini market. Bikin pria dewasa di balik kemudia mobil menoleh dengan dahi mengerut.
“Napa sih, Dek?”
“Gak papa cuma lagi heran aja sama orang.”
“Siapa?” tanyanya. “Bukan kakak ‘kan?”
“Ih, bukan Mas Aan! Pede banget.” Soraya mencibir saudaranya ini yang kadang tingkat percaya dirinya di atas rata-rata. Nama saudaranya Ansel versi panjang, versi pendeknya Aan alias Mas Aan.
Ansel nyengir kemudian fokus lagi sama setirannya. Pas banget Ansel mau pulang ke rumah terus ayahnya telpon ngasih kabar kalau Soraya-adiknya-kejebak hujan di mini market dan minta tolong supaya Ansel lewat jalur simpang biar bisa sekalian menjemput adiknya itu.
Ansel emang suka usil, tapi sebenarnya dia kakak baik yang mau direpotin Soraya dengan pertanyaan dan permintaannya yang kadang gak jelas. Pernah suatu waktu Soraya tiba-tiba nelpon cuma mau bilang, “Mas Aan sandalku copot.” Udah gitu doang, tanpa ngasih keterangan lanjut, sebatas satu kalimat, dan berakhir dengan keambiguan Ansel usai mendengar panggilan singkatnya itu.
Bukan cuma sekali, melainkan sering banget Soraya telpon begitu dan menyampaikan satu kalimat apa yang sedang dialaminya pada hari itu. Yang paling nyebelin sih waktu malam-malam adiknya nelpon cuma mau kasih tau kalau di kamarnya ada kecoak.
Ampun dah, kelakuannya emang tetap aja bocah di mata Ansel meski usianya sudah memasuki 22 tahun. Orang yang tidak tahu pasti akan mengira Ansel lebih usil dan bawel ketimbang adiknya, padahal aslinya Soraya anaknya random banget dan unik.
“Mas Aan mampir beli siomay dulu sebelum pulang.”
“Emang ada yang jualan?”
“Ada pasti dekat Gedung BI.”
“Iya tahu. Tapi hujan deras gini mereka pasti gak jualan.”
“Cari tempat lainlah. Mas Aan nih, sukanya repot kalau masih banyak opsi.”
Ansel menggeleng heran sama Soraya yang masih tetap gini-gini aja di usianya sekarang. Namun, ia tetap menuruti permintaan sang adik mencari siomay di sekitaran Gedung BI dan taman kota. Barangkali ada yang jualan meski hujan tengah mengguyur deras ibukota pada malam ini.
🌶 hotsy-totsy 🌶
Soraya mengigit tepi bantalnya geregetan. Ini gimana caranya nolak ajakan Mbak Rara, sih? Arghh ... Aya bingung. Sumpah!
Di satu sisi dia kepengan banget datang ke seminarnya Nana Yuliana mumpung Soraya dapat tiket gratis dari Mbak Rara yang kebetulan penyelenggara seminar itu teman sekolah Mbak Rara dulu. Terus Mbak Rara dapat satu tiket gratis, satunya beli sendiri yang dengan baik hati mau dikasihkan ke Soraya karena mereka sama-sama penggemar Nana Yuliana.
Soraya tertarik datang, tapi tidak tertarik nebeng sama suaminya Mbak Rara. Dia enggak mau ya, perasaannya jadi goyah selama terus berinteraksi sama pria yang hampir bikin dirinya suka atas perhatiannya pada malam sebelum ia tahu status pernikahannya. Lagian salahnya kemarin segala tukeran nomer sama istri Mas Tian. Ck, tahu gini mendingan enggak usah.
Soraya repot sendiri karena dengan begini dia harus menjaga perasaannya supaya tidak salah menyukai orang. Persetan kalimat, "tidak ada yang bisa mengatur perasaan kita terhadap orang lain" well, Soraya sendiri yang akan mengatur perasaannya in, dengan siapa ia akan jatuh cinta nanti.
Dia hanya perlu hati-hati supaya tidak terlalu memperhatikan atau jatuh terlena dengan segala perhatian yang diberikan suami orang. Rasa suka yang tidak tertolong justru dapat merugikan dirinya dan pihak lain. Itu yang dialami Vera, tokoh dalam ceritanya.
Soraya menciptakan karakternya begitu menyebalkan jatuh cinta pada suami orang, semata-mata demi menarik pembacanya. Bukan karena ia berpengalaman menjalin hubungan terlarang ataupun tertarik ingin memiliki pengalaman seperti Vera. Soraya Saraswati masih gadis normal yang tidak akan segila Vera, tokoh wanitanya itu.
“Mas Aan!” pekiknya sambil berlarian dari kamar menuju ruang tengah di mana saudaranya itu lagi duduk santai sambil menikmati pisang goreng bikinin ibu sebelum ditinggal pergi arisan bareng ibu-ibu kompleks. “Mas Aan anterin Aya ke seminar Mbak Nana Yuliana, dong.”
“Di mana?” tanyanya tanpa memalingkan wajah dari pisang gorengnya di meja. Ansel emang penggemar pisang goreng ibu nomer satu. Pokoknya enggak ada yang bisa mengalahkan enaknya pisang goreng buatan ibunya ini. Makanya kalau Ansel di rumah, ibu pasti bikini pisang goreng sepiring khusu buat anak laki-lakinya itu.
Soraya menyodorkan ponselnya di depan wajah Ansel. Menunjuk lokasi yang seminar yang tertulis di brosur kiriman Mbak Rara pagi ini kepadanya.
“Jauh amat, Dek.”
“Makanya anterin.”
“Jam dua belas lagi mulainya.”
“Iya. Ayo, anterin!”
Ansel mendongak dengan mulut sedikit belepotan karena minyak dari pisang goreng. “Mas belum mandi.”
“Baru jam sepuluh. Masih ada kesempatan buat mandi. Ayo, buruan!” katanya sambil menarik tangan Ansel supaya beranjak dari sofa di ruang tengah. Soraya butuh bantuannya dan dia tahu Ansel pasti tidak akan menolak.
“Iya, iya.” Tuh kan, Ansel selalu menuruti permintaan Soraya. “Asal pisangnya jangan dimakan.”
“Gak bakalan. Sumpah!”
Ansel menyelidiki raut bersumpahnya itu penuh waspada sebelum ia berpaling masuk ke dalam kamar mandi. Soraya lalu buru-buru membalas chat Mbak Rara agar membatalkan tawaran jemputan itu karena dia punya sopir sendiri yang bisa mengantarkannya ke sana.
Soraya jadi gusar saat mengecek ponselnya dan belum ada balasan apa-apa dari Mbak Rara. Hm, kelihatannya sih, chat-nya belum dibaca. Dia hanya cemas kalau Mbak Rara telanjur bilang ke suaminya sementara itu telat membaca chat balasannya. Soraya mengigit ujung kukunya sebelum menyuruh jari-jarinya untuk mengetikjan sebuah pesan singkat baru yang dikirim ke room chat-nya bersama Mas Tian.
“NAH, KAN!” pekiknya refleks bangkit dari sofa, lalu berlari mendekati jendela rumah dan celingukan keluar mencari eksistensi Tian yang ngakunya udah ada di depan rumahnya.
“Ngapain celingukan gitu?” tegur Ansel baru selesai mandi. Ansel kalau mandi dalam keadaan mepet pasti cepet, beda lagi keadaan biasa mandinya suka lama.
“Ada tamu,” ujarnya seolah-olah tidak kenal tamu yang baru keluar mobil sedannya itu.
“Siapa?”
“Gak tahu,” jawabnya hendak kabur ke dalam kamar, tapi membiarkan Ansel menemui Mas Tian di luar sana pasti akhirnya enggak bakalan enakin.
Ansel suka curigaan kalau ada tamu cowok ke rumah terus nyariin adiknya. Dia bakalan nanya macem-macem dari A sampai Z bak sensus penduduk. Sehingga Soraya pun terpaksa mengikuti Ansel yang telah keluar rumah menemui tamu.
Tian yang melihat pasangan itu keluar dari arah sama sempat tertegun, sebelum ia melemparkan senyum hangat.
“Cari siapa?” tanya Ansel tanpa basa-basi dengan mata terus mengawasinya curiga.
“Aya,” balas Tian tanpa embel-embel “mbak” seperti biasanya ia memanggil dirinya.
Ansel melirik adiknya yang berdiri menempelinya ini, lalu melempar lagi tatapan curiganya ke Tian. “Siapa? Orang mana? Udah berapa lama kenal Aya?” Atensi Ansel berpaling ke kendaraan yang parkir di depan rumah mereka melewati bahu lebar pria di depannya itu. “Udah punya SIM? Atau SIM-nya itu hasil nembak? Berapa kecepatan di jalan, hm? 40? 50? 70? 80? Kamu pasti suka marah kalau kena macet di jalan. Iya, kan?”
Ansel enggan memberi kesempatan Tian untuk menjawab pertanyaannya, dia bahkan masih terus mengeluarkan pertanyaannya yang kini beralih tentang Tian dan tato-tato di tubuhnya. Soraya menepuk jidatnya turut pusing apalagi Tian yang mungkin lebih pusing ketimbang dirinya yang telah biasa mendengar rentetan pertanyaan random saudaranya.
Mas Aan dan kecerewetannya emang di luar ekspektasi tamu.
🌶 hotsy-totsy🌶
Pada akhirnya, Soraya pun berangkat bareng Tian setelah dia ditahan lama Ansel di rumahnya supaya tetap menjawab semua pertanyaannya itu. Kalau ada yang kelewatan atau lupa dijawab pasti ditanyain lagi sama Ansel. Begitu puas dapat jawaban, Ansel langsung memberi izin Tian tanpa peduli rengekan adiknya yang lebih kepengin Ansel mengantarkannya bukan Tian.
“Ntar pulangnya mas yang jemput.” Bilangnya sih begitu, tapi Soraya ragu kakaknya ini ingat sama janjinya menjemput nanti sore.
Acaranya pasti selesai siang, terus Soraya pulang rumah palingan sore, jaga-jaga siapa tahu setelah seminar Mbak Rara kepengen ngajakin dia main. Kalau sore tandanya Ansel bakalan susah mewujudkan janjinya karena biasanya Ansel balik ke rumah dinasnya menjelang sore tiba. Jadwal libur kakaknya tidak tentu, tapi jadwal pulangnya ke rumah dinas selalu tentu. Sore hari.
“Mbak Aya suka banget Nana Yuliana, ya?” tanya Tian demi mengisi sunyi di dalam mobil.
Soraya mengangguk saja tanpa melirik sebelah. Diam-diam ia meremas jari-jarinya lantaran cemas tak dapat mengontrol diri. Merasa bahwa dia sedang melakukan uji nyali bukan sama setan, tapi sesama manusia yang telah berstatus sebagai suami orang.
Entahlah, Soraya hanya merasa berduaan sama Tian suasana di sekitarnya terasa aneh dan itu selalu mengusik kenyamannya.
“Nama Ansel terinspirasi dari kakaknya, ya?”
“Hm, gitulah,” jawabnya setengah hati. Tetap mempertahankan diri supaya tidak berpaling arah darinya.
Beda lagi sama Tian yang terus berusaha mencairkan suasana antara mereka. Idenya untuk bertanya-tanya lumayan, tapi balasan Soraya yang setengah hati justru bikin keadaan makin kurang enak. Tian sama tidak nyamannya. Hal semacam ini belum pernah terjadi pada dirinya saat berdua dengan perempuan lain, selain bersama Rara.
Entah bagian mana yang salah pada dirinya, tapi Tian merasa dirinya sedikit aneh semenjak mengenal Soraya. Dan keanehan itu selalu membuatnya bertanya-tanya, gadis seperti apa Soraya itu? Kenapa dia membuatnya berubah jadi tak biasanya? Sebenarnya apa sih, yang dipikirkan Soraya tentang dirinya? Kenapa dia membuatnya gelisah hanya dengan tahu dia sedang menghindarinya?
Tian yang tidak tahan lagi dengan situasi ini memaksakan mobil belok kanan, berhenti di depan sebuah gedung dengan halaman depannya yang luas dekat tepi jalan raya ini, kemudian asal parkir. Soraya yang bingung langsung menoleh dan menatapnya butuh penjelasan.
“Mas Tian kenapa berhenti tiba-tiba, sih?”
Tian membuang napas sebelum berbalik menghadap Soraya. “Karena ada yang ingin saya bicarakan sama Mbak Aya.”
“Ya udah, di jalan kan bisa sambil ngomong.”
“Enggak bisa.”
Soraya bingung. Namun, jantungnya kenapa tiba-tiba berdetak kencang dan perlahan mulai membuatnya gila kala menyadari seperti apa Tian menatapnya sekarang. Soraya menelan salivanya sambil mencengkram tas di pangkuannya.
“Mas Tian?” Suaranya terdengar cemas karena Tian yang tiba-tiba hanya diam memandanginya terus. Butuh keberanian besar ketika Soraya mengangkat pandangannya hingga tatapan mereka saling bertemu. Pada momen ini tak ada yang bicara, hanya mata yang saling mengungkapkan emosi masing-masing.
Soraya bahkan bergeming ketika jari-jarinya itu perlahan menyentuhnya. Perhatiannya hanya tetap tertuju pada Tian seorang dan tampaknya pria ini pun sedang menahan diri kala ibu jarinya menyusuri pipi Soraya yang terasa begitu mendambakan dan memberinya kejutan berupa aliran sengatan listrik ribuan volt. Sekujur tubuh Tian kaku tak berdaya, seketika ia hanya mampu merasa dan menganalisa sesosok yang entah bagaimana caranya telah mengubah dirinya.
“Mas Ti-Tian.” Suaranya bergetar cemas luar biasa saat ia sendiri tak mampu mengendalikan diri. Soraya mencengkram tangan Tian yang menempel pada wajahnya. Meremasnya sesaat sekadar ingin merasakan lagi tangan ini dalam dekapan tangannya sendiri.
Dengan setengah hati, Soraya melepas dan menjauhkan dari dirinya seiring tatapannya yang berubah jadi tajam. “Mas Tian kalau gak ada yang mau dibicarain mending jalan aja, deh. Atau emang gak jadi ke sana? Ya udah, mendingan saya pulang.”
Barulah kemudian Tian sadar dan spontan mengumpat cukup jelas hingga membuat Soraya tertegun karena baru kali ini mendengarnya berkata hal-hal kotor di luar kendalinya.
Let me introduce Mas Aan
Cerita ini tuh gak bakalan panjang kok, tenang aja. Paling gak sampai 20. Paling juga sebelum puasa udah ending 😌 paling lhooo, situasi rl juga memengaruhi jadwal nulis dan update hohoho 🙆
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top