📽 behind the scenes (2)

Gimana puasa kelimanya? Lancar jaya abadi? Atau udah ada yang bolong? Hoho selamat berbuka puasa bagi yang menjalankan 🙆

Sebelum masuk kafe tadi, Rara telah melihat keakraban Soraya bersama bertender yang disebutnya bernama Andra itu pas masih di luar dan telponan sama Tian. Rara kurang mengerti kedekatan jenis apa yang dimiliki mereka itu, tapi dari omongan Soraya yang dengan lantang barusan mengaku ditolak Andra padanya, Rara sedikit menyimpulkan bahwa hubungan mereka ini cukup dekat untuk ukuran dua lawan jenis.

Rara tak bisa menahan senyum geli hanya karena sikap Soraya yang tiba-tiba mengadu setibanya dia menghampirinya. Sebagian alasan kenapa Rara begitu menyukai gadis muda ini, orangnya cukup polos, blak-blakan, dan agak nyentrik padahal usianya tak lama lagi akan keluar dari zona remaja akhir. Hampir mirip Noah Kael. Bedanya Noah tidak sebocah Soraya.

“Emang Mbak Rara gak kerja?” Soraya sempat penasaran karena Rara tumben sekali ngajakin ketemuan di waktu senggangnya siang hari, selesai dia pulang kuliah, sementara harusnya jam segini wanita karir seperti Rara itu sibuk kerja.

Rara menggeleng sambil melempar senyum tipis. Mata yang tampak lelah itu gara-gara semalam terjaga hingga fajar, terus menelik wajah Soraya. Mengamati seksama seraut itu dengan bibir yang mengatup rapat.

Soraya yang merasa tak nyaman dilihatin terus ujung bibirnya jadi berkedut. Tangannya segera mengambil gelas di meja, lalu mendekatkan ujung sedotan ke mulut dan pandangannya mulai berputar ke segala arah.

Rara menyadari tindak-tanduk lucunya itu kontan terkekeh dan berdecak geli. Soraya itu gemesin, menurutnya. Kendati Rara sempat tak percaya bahwa gadis muda yang ditemuinya tanpa sengaja di acara fanmeet buku Nana Yuliana beberapa waktu lalu ini merupakan penulis dari Hearts A Mess dan Alamusik, penulis online yang telah Rara ikuti sejak satu tahun lalu, ketika Rara mulai tertarik ingin menciptakan dunia fiksi versinya sendiri. Terus dia enggak sengaja menemukan tulisan Soraya di daftar rekomendasi di beranda aplikasinya, sampai dibuat jatuh cinta sama kisah buatannya itu.

Sekarang pun Rara sulit memahami bagaimana dulu mereka hanyalah dua orang asing, di mana satu pihak tmenyukai karya dan tahu siapa dia, sementara satu pihak lagi menganggap dirinya sebagai seorang pembaca karena tidak tahu siapa dan orang seperti apa dia ini, sampai kini mereka jadi saling kenal, dekat, dan sering bertemu. Takdir telah mempertemukan dua orang yang kini menjadi seorang teman dekat.

Apa mungkin takdir juga yang menciptakan seluruh skema ini sehingga Rara, Soraya, dan Tian bisa saling berhubungan?

Sejujurnya, Rara baru tahu kalau yang mengurus tulisan Soraya itu Tian, suaminya. Dia mengetahuimya setelah menemukan nama Tian di daftar proofreader di novel Hearts A Mess. Bahkan Soraya mencantumkan nama Tian pada daftar ucapan terima kasih yang menyatakan kurang lebih, “Makasih buat Mas Tian yang udah mau saya repotin bikin latar tempat buat cerita ini—yah, meskipun kadang komentarnya agak nyebelin, sih!” dan Tian tidak pernah cerita apa-apa soal dia menjadi proofreader buku Soraya, sementara suaminya itu tahu kalau Rara juga pembaca tulisannya Soraya.

Rara sempat kecewa pada Tian, bukan ke Soraya. Awalnya dia kira barangkali Tian lupa sama dia yang kadang-kadang suka baca cerita online itu, tapi Rara juga kepikiran soal kemungkinan Tian ingat dan sengaja tidak memberitahunya lantaran menolak memberi spoiler buku Soraya versi buku. Mana pun itu jawabannya Rara sudah tak peduli lagi.

Dia masih saja menatap Soraya yang makin dibuat tak nyaman. Rasanya Soraya ingin kabur dari bangku itu ketimbang hanya duduk dan jadi tontonan Rara. Seolah eksistensinya ini bagaikan sebuah patung yang dipamerkan dalam pameran seni di sebuah studio tertentu, sehingga orang-orang yang berkunjung dapat terus menelanjangi keberadaannya dari ujung sampai ujung.

Soraya gampang risih kalau diperhatikan demikian intensnya sama seseorang. Dia akan salah tingkah dan resah.

“Aya.”

“Ya, Mbak Rara?” sahutnya kelewat cepat. Padahal diam-diam barusan Soraya menghela napas lega dan dia semakin dibuat lega saat matanya menangkap siluet Tian di luar kafe lewat dinding kaca tembus pandang itu. “Mas Tian udah sampai tuh, Mbak!” serunya lalu menoleh cepat belakang sambil mengelus dada ketika Rara berpaling ke arah pintu kafe.

Sementara Tian yang baru mendorong pintu kafe, Soraya langsung berdiri dari kursi. “Uhm, pamit bentar ya, Mbak. Mau ke sana dulu,” ujarnya sambil menunjuk arah bar atau tepatnya ke arah Andra.

Soraya melangkah kelewat girang saat ingin menemui Andra, pasalnya beberapa detik lalu sang bertender itu mengiriminya pesan singkat kalau dia punya kabar baik buatnya dan kabar itu berhubungan sama lembaran kertas isi kisah Theo.

“Mana?” Dia berseru setibanya di hadapan Andra sambil menyodorkan tangan kepadanya.

Sementara itu, Tian duduk di kursi samping kanan Rara, lalu mengernyit. “Kenapa senyam-senyum?” tanyanya penasaran sama apa yang membuat bibir Rara terus mengembang indah di wajahnya itu.

Rara menunjuk ke arah Soraya yang lagi ngobrol bareng Andra dengan dagu sekali gerak ke depan. Tian mengikuti sesaat arah perhatian Rara sebelum kepalanya itu mengangguk samar. Tian telah melihat apa yang sedang dilakukan gadis muda tersebut dan dengan siapa dia berbicara.

Pemandangan itu tidak membuatnya merasa cemburu sama sekali setelah lihat. Justru sebaliknya, dia baik-baik saja dan tak merasa akan punya dorongan untuk patan, selain mungkin dia tetap tertegun acapkali melihat ekspresi bahagia tersemat di wajah Soraya.

“Aya barusan ditolak sama dia.” Rara melirik tertarik suaminya, ingin lihat seperti apa reaksi sang suami jika mendengari gadis muda yang disukainya dekat pemuda lain. Rara tidak bermaksud ingin membuat Tian cemburu atau sengaja ingin mencari tahu sejauh mana pengkhianatan perasaan sang suami darinya terhadap perempuan lain.

Tian mungkin dulu sangat mencintai dirinya, mungkin perasaan itu masih tetap ada walaupun kini perasaannya telah terbagi dua.

Rara tak bisa menyalahkan siapa-siapa di saat dia sendiri sebagai seorang istri masih belum becus mengurus keluarganya itu. Bahkan Rara kerap mengabaikan keberadaan Tian semenjak Dannis pergi, padahal pada masa-masa itu maupun kini Tian selalu mengutamakan kepentingannya. Selalu menerima kekurangan dirinya setelah dia sendiri merasa hidupnya tak pernah lagi sama sejak putranya mati.

Tian jarang mengeluh terhapadnya. Dia jarang marah atau membentaknya saat marah padanya, ketika Rara sendiri malah sering membentak pria itu dengan segala macam permintaan sintingnya sampai menuduhnya yang tak pernah pengertian. Suaminya itu rela bolak-balik dari rumah ke rumah mertua demi dirinya yang memutuskan tinggal di rumah orang tua ketimbang rumah sendiri yang susah payah Tian beli dengan uang tabungannya dulu. Dia bahkan tak pernah mempertanyakan mengapa Rara selalu menolak berhubungan suami-istri tanpa pengaman.

Tian suami yang baik bagi Rara. Mungkin dia sudah lelah jarang diperhatikan sang istri sehingga hatinya pun berpaling ke perempuan lain.

Rara memang butuh seorang ibu pengganti buat Dannis dan menyuruh Tian mencarikan itu buatnya. Namun, dia tidak pernah menyuruh Tian untuk jatuh cinta lagi.

“Mas Tian setuju gak, kalau Aya itu cantik?”

Tian sekadar mengangguk tanpa melihatnya yang tiba-tiba ingin menatap suaminya itu dengan serius.

“Dia unik ya, Mas?”

“Hm,” sahutnya tetap diikuti anggukan kepalanya itu.

Rara tersenyum miris. “Mungkin kalau usia Aya dua puluh lima tahun, dia pasti cocok jadi ibu Da—”

“Maksud kamu, Ra?” Tian melontarkan tatapan bingungnya itu kepada Rara yang langsung menggulum senyum padanya.

“Aya jadi ibu pengganti Dannis.”

Seketika wajah Tian berubah dingin. Tak ada senyuman, kerutan, atau kebingungannya. Rara terhenyak sesaat tak mengira reaksi Tian akan sampai begitu.

Walaupun perubahan itu singkat karena berikutnya Tian meraih tangan Rara dan meremasnya perlahan. “Kita gak butuh ibu pengganti, Ra. Kamu masih bisa kalau—”

“Aku gak bisa, Mas.” Rara menggeleng terus sampai Soraya kembali ke bangkunya dengan kerutan di dahi. Soraya mendekati bangkunya pelan sekali, sampai-sampai tak ada bunyi pertemuan antara alas sepatu lantai kafe, bahkan gadis itu hendak menyelinap diam-diam kembali di bar terus cari aman sama Andra.

Atmosfer antara pasangan suami-istri itu terasa begitu menakutkan sehingga Soraya ingin segera kabur lantaran tak mau ikut campur dengan masalah keluarganya. Tapi aksi hendak kaburnya itu justru terpergoki Tian yang menyuruhnya duduk setelah dia minta maaf jika membuat Soraya merasa tak nyaman sama keadaan.

Soraya melirik bingung ke arah Rara yang tampak sedih dengan mata setengah berkaca-kaca itu, apalagi Rara langsung membuang wajah darinya seakan tidak ingin berbicara lagi padanya. Tanda tanya di atas kepala Soraya pun makin timbul membesar sampai rasanya pertanyaan itu akan meletus tepat di atas kepalanya. Ragu-ragu dia duduk di kursi, memandangi pasangan di depannya bergantian dan entah mengapa Soraya merasa canggung.

Sebelumnya juga enggak kayak gini, terus kenapa jadi begini? pikirnya mendadak dilema sama perubahan perilaku Rara. Walaupun Tian berusaha mencairkan suasana dengan menanyakan perkembangan buku kedua Soraya, tapi Soraya tetap merasa canggung melirik bingung Rara yang tetap bungkam dan berpaling darinya sehingga dia pun memilih untuk pamit pulang dengan alasan Bunga lagi mencarinya di rumah daripada terjebak dalam urusan rumah tangga mereka.

🌶 hotsy-totsy 🌶

“Lho?” Soraya buru-buru lari ke rumah begitu turun dari ojol dan menyerahkan helm ke driver ketika melihat HRV putih terparkir di depan halaman rumah. Selesai menutup pintu gerbang, sudut matanya menangkap siluet tubuh sang kakak keluar dari mobil.

“Mas Aan pulang?” tanyanya begitu Ansel menjajakkan kaki ke tanah dan melempar senyum melihat kepulangan sang adik. “Kok tumben weekday?

Iya, tumben Ansel pulang ke rumah weekday alias pas banget Rabu dia udah ada di rumah aja. Padahal, kemarin bilang satu minggu ini enggak bakalan pulang setelah kemarin ambil cuti kerja.

“Kebetulan mas besok ada rapat dan lokasinya gak jauh dari rumah. Nah, daripada nginep di hotel mendingan bobok ganteng aja di rumah.”

Soraya mengangguk paham. Saudaranya itu sering pula melakukan perjalanan ke luar kota mewakili perusahaan untuk mengikuti rapat atau kegiataan yang berhubungan sama produksi. Terus selama akhir tahun, Ansel kerap berpergian ke luar negeri menerima rewards berupa liburan gratis dari perusahaannya. Dan biasanya, Ansel akan mengajak salah satu dari anggota keluarganya karena selalu dapat satu tiket free tambahan buat keluarga ataupun pasangan jika ada.

Mulai dari ayah, ibu, sampai Soraya semua pernah ikut dalam kegiatan liburan ke luar negeri Ansel bersama perusahaannya itu. Cuma pasangan doang yang belum pernah diajak Ansel liburan. Orangnya siapa? Soraya aja kurang tahu saudaranya itu punya pasangan lagi atau belum.

Ansel tipe orang yang akan mengenalkan pasangannya ke keluarganya dahulu, entah nanti mau langgeng atau enggak dia tetap akan membawanya pulang untuk dikenalkan sebagai pacarnya. Menurut Ansel jika perempuan itu menyukai dirinya, maka perempuan itu harus menyukai keluarganya juga. Sejauh ini, Ansel telah membawa setidaknya tujuh perempuan berbeda ke rumah yang dikenalkan ke keluarganya sebagai pacarnya.

Dari tujuh orang itu belum ada yang langgeng sampai ke jenjang pernikahan, semua hanyalah mantan Ansel. Lalu sampai sekarang belum ada lagi perempuan yang dibawa ke rumah. Ansel seolah betah menjomblo di umurnya yang akan memasuki kepala tiga itu, usia matang bagi pria buat menikah.

“Oiya, mas bawain sesuatu!” Setengah badan Ansel masuk ke dalam mobil, mengambil sebuah box kado, lalu diberikan pada sang adik yang mulai terlihat antusias menerima hadiahnya itu.

“Apa nih, Mas?”

“Buka aja.” Ansel berdehem singkat menahan senyum seraya melirik Soraya yang kegirangan dapat hadiah lagi. Kedua tangan yang terlipat di depan dada itu tak bisa menyembunyikan gesture tubuhnya, yang siap meledak oleh tawa kapanpun dia mau.

“Ihh, apa sih?” kata Soraya terus membongkar isi box besar di gendongannya. Terlebih berat di box ini terasa enteng yang membuatnya semakin ingin tahu ada apa isi di dalamnya.

“Sini mas bantu pegang.” Ansel mengambil alih box, sementara Soraya bagian bongkar pasang penutupnya. Soraya makin dibuat penasaran ketika tutup box dilepas tidak ada apa-apa yang nampak keluar dari dalam sehingga kepalanya lalu melongok hendak mengintip isinya sebelum sebuah tinju dari dalam box melesat mengenai mata Soraya hingga menyebabkannya tersentak dan menjerit kaget. Seiring sebuah tawa meledak kencang berasal dari orang yang berdiri di hadapannya ini.

“HAHAHAHA.”

“MAS AAAAAAN...!” teriaknya kelewat marah dan jengkel telah dipermainkan saudaranya ini.

“HAHAHAHA.”

Ayo, twbak endingnya gimana nanti 🤤

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top