📽 behind the scenes

Hayooo, lagi pada ngabuburit, ya?? Ngomong-ngomong, selamat berbuka puasa bagi yang menjalankan 🙆

Awalnya Rara membuang wajah ketika pagi itu Tian akan pamit berangkat kerja, tapi setelah dia merasa sikapnya itu cukup menyebalkan akhirnya Rara menghampiri Tian, minta maaf, dan lalu mengizinkannya kerja walau diujung kalimatnya tetap terselip, “Coba pikirin lagi, Mas?” tetap dengan harapan sama yang justru bikin Tian merasa berat hati melangkah keluar rumah.

Rara yang kebetulan jam kerjanya cukup fleksibel langsung kembali tidur dan diam-diam perempuan itu meneteskan air mata tanpa sang suami ketahui. Biasanya pukul delapan pagi dia baru berangkat kerja karena jam masuk kantornya pukul sembilan pagi, kalau Tian sengaja berangkat pagi buat soalnya jarak rumah dari kantornya itu lumayan jauh. Sebetulnya Rara bukan orang yang suka menangis sembunyi-sembunyi dan bukan tipe orang yang gampang menangis di hadapan orang lain termasuk di depan Tian juga, tapi semenjak kehilangan Dannis—anaknya—dia gampang sekali membuang air matanya itu. Padahal Rara telah berusaha keras supaya menerima keadaan, tapi situasinya sulit seolah memaksa dirinya supaya tetap terjebak pada masa-masa itu.

Sehingga Rara selalu beranggapan bahwa Dannis meninggal karena kesalahannya sebagai seorang ibu yang tak becus menjaga putra dalam kandungannya sendiri. Dari pikiran-pikiran itulah yang menimbulkan pula anggapan bahwa dengan dia yang tak becus merawat Dannis, bagaimana dia bisa merawat keluarganya sendiri. Rara meragukan kemampuan dirinya, itu sebabnya dia merasa tak pernah yakin bisa mendapatkan lagi Dannis-nya yang kedua.

Jarang orang mengerti keadaannya. Mereka hanya memahami situasinya sesaat, prihatin, bela sungkawa, lalu pada akhirnya akan mengolok-oloknya dan hampir semua dari suara itu tertangkap indranya. Pertama mungkin Rara memaklumi namun lama-kelamaan suara mereka jadi terdengar menyebalkan yang justru menyebabkan dirinya tersudutkan sehingga dia memilih untuk meninggalkan rasa cemas palsu dari orang-orang sekitarnya.

Namun, hal yang paling dibenci darinya ialah ketika mereka menyuruhnya supaya terus berusaha. Orang tua, mertua, bahkan kerabat dekat selalu menyuruhnya tetap sabar dan memaksanya mengikuti beragam jenis progam bikin anak bersama Tian tanpa mereka pikirkan situasinya yang tak bisa lagi merasa bahagia setelah Dannis pergi.

Rara pengen Dannis, jika mereka menanyakan apa keinginannya sekarang maupun nanti. Dan Rara tidak bisa menciptakan Dannis lagi, buat sekarang maupun nanti. Mau seberapa rutin pun dia menjalin hubungan suami-istri bersama Tian, jika Rara merasa bahwa dirinya tidak siap dan selalu ragu pada kemampuannya selamanya pun dia tidak akan memiliki Dannis lagi.

“Kamu kan gak mandul, rahimmu baik-baik aja. Masih bisa bikin anak lagi kalau rutin begituan sama suami.”

Bukan tentang mandul atau rahimnya yang baik-baik saja, ini tentang rasa kepercayaan dirinya. Mereka tak akan mengerti bagaimana tersiksanya dia dengan perasaan ini selama dua tahun ini. Mereka hanya belum mengalami sendiri apa yang dirasakannya. Andaikan mereka mengerti sejak Dannis pergi, Rara tidak pernah lagi merasa puas dengan kehidupan ranjangnya bersama Tian.

Dia sungguh tak bisa merasakan euforia itu, kupu-kupu dalam perutnya seakan gugur di hari sama dengan putranya. Euforia itu tak bisa dia rasakan seperti pada awal pernikahannya dan mungkin Tian merasakan hal yang serupa.

Rara mengusap air matanya saat getar ponsel mengingatkan pada dirinya supaya bersiap-siap untuk berangkat kerja. Butuh sekiranya satu jam kurang sediki baginya bersiap-siap dari mandi, ganti baju, make up, dan sarapan yang biasanya sering dia lupakan. Rara menarik pintu kamar bertepatan sama Noah yang melintas di depan kamarnya.

“Kael.”

Si bungsu terlonjak nyaris menjatuhkan roti di mulutnya itu. Noah mengelus-elus dada sabar menghadapi panggilan tiba-tiba sang kakak.

Rara melangkah panjang, berdiri di samping adiknya itu, lalu menahan Noah supaya tidak menghindar darinya.

“Maksud kamu semalam apa?” tanyanya langsung tanpa basa-basi lagi.

Noah yang gagap berupaya membuang pandangan ke arah lain, takut jika menatap mata sang kakak omongannya jadi ngawur sementara dia sendiri kurang yakin sama dugaannya itu. Sesama laki-laki Noah tahu bagaimana tatapan seorang laki-laki kepada perempuan yang disukainya. Apalagi Noah pernah melihat dengan mata kepalanya sendiri bagaimana dulu tatapan cinta sang kakak ipar terhadap Rara, kakaknya, yang kini muncul kembali namun dengan perempuan berbeda. Noah berpikir mungkin dia salah mengartikan tatapan Mas Tian ke Soraya, mungkin dia salah lihat, atau mungkin itu cuma dugaannya yang berlebihan.

“Kenapa mbak mesti tanya Mas Tian soal Aya?”

Noah memalingkan wajah sedikit panik. Rara yang tak sabar langsung menodong adiknya dengan bermacam-macam spekulasi yang malah semakin bikin Noah keringat dingin. Hingga kemudian dia pun berkata, “Sumpah, Mbak, aku gak tahu!” Nadanya putus asa sekali, tapi Rara masa bodoh.

“Ngomongnya jangan setengah-setengah!”

“Beneran, Mbak. Aku gak tahu apa-apa. Cuma pernah ngerasa aja kalau Mas Tian ada feeling sama Ay—eh, bukan gitu maksudnya! Maksudku, mungkin ... mungkin ... mungkin hahaha, mungkin Aya suka Mas Tian? Haha.”

Rara mendesah sambil mendorong pundak Noah supaya pergi dari hadapannya. Noah yang bingung melihat seraut bungkam kakaknya itu memilih segera kabur alih-alih menanyakan situasinya.

Rara bukan orang bodoh. Bertahun-tahun dia sudah menjalin hubungan sama Tian sehingga Rara mq mengenal pria itu lebih baik dibandingkan orang lain. Rara juga tahu bagaimana persisnya tatapan Tian ketika sedang jatuh cinta, persis apa yang dipikirkan Noah. Tapi dia entah bagaimana merasa kurang setuju jika perempuan itu adalah Soraya.

Rara memang tengah mendesak Tian untuk mencari ibu pengganti, tapi bukan seseorang seperti Soraya dalam pikirannya. Tak peduli mau bagaimanapun Rara menyukai pribadi Soraya, dia tetap tidak cocok dengan gambaran itu. Soraya terlalu muda bagi mereka, masa muda gadis itu terlalu indah, panjang, dan menarik sehingga Rara tak ingin merusaknya jika dipaksa terlibat dalam skenario sintingnya. Dan Rara bukannya tidak peka atau tidak dapat merasakan kejanggalan dalam kedekatan mereka, dia hanya pura-pura tidak ingin mengetahui apa-apa.

Mau bagaimanapun Rara masih tetaplah istri Tian dan ikatan batin hubungan mereka masih kuat sehingga dia bisa merasakan perubahan perasaan sang suami mau sekecil apa pun itu ukurannya.

🌶 hotsy-tosty🌶

“Kayaknya dosbingku sensitif banget kalau ngurus skripsiku. Bawaannya tuh, marah-marah mulut tiap selesai baca isinya.”

Andra yang mendengar coletahan Soraya yang telah duduk di kursi bar tinggi sejak 15 menit lalu itu meliriknya heran. Cerita gadis itu terus berubah sejak sebelumnya dia mengeluhkan tentang kisah Theò yang masih belum ada kabar, terus topiknya ganti jadi temannya bernama Bunga yang menurutnya terlalu lugu buat pedekate sama seseorang tanpa dia sadar betapa lugu dirinya itu meskipun telah berumur 22 tahun, tak lama topiknya berubah lagi tentang ayahnya yang menjual kaset Avril Lavigne koleksiannya dari kecil ke tukang rosok hanya karena dia jarang mendengarkan lagi, hingga kemudian beralih ke topik dosen pembimbingnya. Andra terpukau dengan mulut Soraya yang ternyata lumayan cakap bicara atau memang dia anak yang suka bicara.

“Mungkin skripsimu belum sesuai harapannya,” timpal Andra sambil menata gelas-gelas di meja.

Soraya mendesah. “Tapi dia ngomelnya hampir tiap hari, Mas.”

“Tiap hari bukan terhitung selama tujuh hari ‘kan?”

“Ya ... iya sih, gak salah.” Lagi, dia mendesah. “Tetap aja aku bete! Bikin semangat down tau gak, kalau dikit-dikit dapat omelan.”

“Adakalanya mahasiswa juga butuh omelan dosbing.”

“Huft!” Kedua pipinya mengembung menggemaskan. “Mas Andra, kan aku pernah bilang sekali-kali tuh, punya pikiran negatif jangan positif mulu,” ujarnya menatap heran pria jangkung tersebut.

Sementara Andra mendengarnya hanya menggeleng sesekali.

“Mas Andra gak bosen apa, punya pikiran positif mulu?”

Andra bergeming memikirkan jawabannya sebelum dia menggeleng. Membuat mata coklat itu terbelalak hingga ekspresinya berubah seperti meme anak kecil yang lagi kaget.

Soraya menggeleng terheran-heran sampai tak sanggup untuk mengomentari cara berpikir sang bertender Our Times Cafes yang terlalu positif thinking.

“Mas Andra.” Tapi mulutnya tetap saja ingin mengajaknya bicara selama menunggu kedatangan seseorang.

Andra menoleh sekali lagi ke arahnya.

“Boleh nanya gak?”

“Soal apa?”

“Mas Andra udah punya pacar?”

“Belum,” balas Andra sedikit terburu-buru karena harus melayani pembeli baru menggantikan sang admin yang sedang pergi ke ruang staff untuk mengambil jatah istirahatnya.

Soraya yang mengamati kesibukkan pemuda itu jadi merenung sambil menyangga dagu. Bergeming dalam kebisuaannya yang cukup kontras akan sikapnya itu sedikit membuatnya terlihat aneh. Melihat si pelanggan yang hampir selesai dengan urusan pemesanan dan akan pergi itu, Soraya lalu berceletuk dengan enteng, “Mas Andra ngedate sama aku mau?”

Andra refleks tersedak, tangannya hampir menyenggol gelas di meja, dan sekujur tubuhnya tiba-tiba meremang karena ditatap gadis di sebrang yang memandangnya penuh rasa tertarik begitu tinggi. Seolah di matanya Andra adalah segelas milshake, minuman kesukaannnya.

“Gimana, Mas Andra mau gak?”

Apa-apaan barusan? Dia lagi bercanda, ya?

Andra yang menoleh justru makin dibuat merinding sama tatapan matanya itu sehingga dia membuang muka dan mengangkat bahu tak acuh.

Soraya mencibir reaksinya yang menurutnya agak berlebihan. Padahal sebenarnya dia yang keterlaluan. Bisa-bisanya ngajakin orang kencan kayak mau ngajak teman main aja. “Siapa tau cocok,” katanya tetap mengawasi gerak-gerik Andra di sana. “Mas Andra orangnya positif thinking, aku orangnya negatif thinking—eh, tapi aku bisa kok, positif thinking. Nah! Barangkali karena ini kita cocok terus—”

“Kamu usianya berapa?” tanya Andra akhirnya melempar pertanyaan setelah insiden ajakan kencan dadakan dari Soraya.

“Dua puluh tahun dikit lagi, hehe.” Dikit lagi, alias satu bulan ke depan usianya baru genap 22 tahun sekarang masih ganjil.

Andra menarik beberapa laci di meja. Sibuk cari sesuatu sampai lupa buat balas jawaban Soraya yang tengah menunggunya itu. Andra menemukan apa yang lagi dicari itu, sebuah gambar print-printan milik seorang teman kafe, sengaja disimpan di situ biar meja terlihat rapi. Ada 6 gambar, Andra memilih di antara ke-6 gambar tersebut sebelum memberikannya pada Soraya.

Kids?” Soraya bingung membaca tulisan di kertas dan gambar seorang anak-anak berwajah konyol. “Maksudnya?”

Kids. Anak-anak.”

“Lalu?” Matanya terperanjat. “MAKSUDNYA AKU KAYAK ANAK-ANAK GITU?”

Andra mendesah, tapi tetap mengiyakan.

“Umurku dua puluh dua tahun—”

“Ganjil,” koreksinya membenarkan.

“Tetap aja usiaku udah legal! Tujuh belas tahunku sudah lewat beberapa tahun lalu dan aku sudah punya KTP!”

“Mending kamu fokus skripsi dulu.”

Soraya cemberut. Kedua tangannya bersidekap di depan dada, lalu mata coklatnya itu menatap sebal Andra yang benar-benar tidak menunjukkan apa-apa selain datar dan biasa saja, dia sama sekali tak tertarik atas tawaran Soraya buat kencan tadi.

“Ya udahlah, batalin aja.”

Andra cengo. Apanya yang perlu dibatalin? Mereka kan emang enggak bakalan kencan.

“Awas Mas Andra nyesel,” ujarnya seolah mengancam Andra yang tetap kelihatan cengo di posisinya berdiri itu sebelum menggeleng sama kelakuan super ajaib pelanggan setia kafe, tempat dia bekerja.

Seriusan deh, baru kali ini Andra nemu pelanggan modelan kayak Soraya. Yang enggak ada angin sama hujan, tiba-tiba ngajakin dia kencan. Mana lagi cewek itu ngomongnya enteng banget kayak orang mau ngajak main ke rumah temannya.

Andra tetap berdecak meski Soraya kini telah meninggalkan bangkunya dengan perasaan dongkol, menghampiri satu pelanggan baru yang baru-baru dia lihat. Dia seorang perempuan dewasa yang kelihatan cantik nan elegan dengan blazer hijau tuanya itu. Andra yang baru akan bertukar tempat sama rekannya itu kembali dibuat tersedak ketika mendengar suara lantang Soraya dari tempatnya itu.

“Aku habis ditolak sama dia, Mbak Rara!” katanya sambil menunjuk tepat ke arahnya.

Andra melotot ngeri. Merasakan punggungnya meremang lagi sehingga dia pun memilih kabur ke ruangan staff daripada jadi omongan yang enggak-enggak sama Soraya dan teman barunya itu.

Mimpi apa coba si Andra ketemu cewek modelan Soraya.

Hayoo, tebak siapa Andra 🤸‍♂️

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top