9#Hottra
"Liliput! Sedang apa kau?"
"Tii...dak!"
"Kau kedinginan, kenapa seolah memeluk dirimu sendiri?"
"Ti... tidak, nyonya!!"
Melepaskan pelukannya pada Jinily, Junali memandangnya sejenak lalu mengarahkan netranya pada Carmaleta yang berdiri dengan wajah keheranan. Sesungguhnya Junali takut dia curiga. Takut Jinily terlihat karna pikirannya.
"Ini teman sekamarmu!"
"Baru keluar, sudah datang lagi pelamar baru?" Junali keheranan.
"Kenapa heran? tiap hari disini menerima pelayan!"ketus ucap Carmaleta.
"Tii... tidak!" Geleng Junali. Rasanya ia menjadi gagu berkali-kali sedari tadi. Ia benar-benar serasa mimpi. Sudah ada di Castil yang tak tahu letak geografisnya. Apakah Castil ini ada didalam peta atau tidak, bahkan ia tak tahu apakah ia hanya berada dinegri dongeng saja?
Junali berharap, ini hanyalah sebuah mimpi dimana ketika ia bangun ia sudah berda dikamarnya kembali. Tanpa beban dan tanggung jawab terhadap keselamatan seorang gadis yang saat ini sedang patah hati. Ia bisa apa? Ia sendiri sedang patah hati. Ia sendiri nekat ikut ke Hutan Terlarang karna tak peduli ia keluar dari sana hidup atau mati.
"Ini seragammu, besok pagi kalian akan segera bertugas ditempat masing-masing, Lili akan merawat Raja Felix, tugasmu membersihkan tubuhnya setiap pagi dan sore hari, sementara nanti pelayan yang lain membantu mengenakan pakaiannya..."
"Ayahhh!"
Sembari Carmaleta menjelaskan tugas-tugas yang harus dilakukan Junali, Jinily melebarkan mata mendengar ucap Carmaleta mengenai ayahnya. Sepertinya sedang tidak berdaya, kenapa? Ia menutup mulutnya saat menyebut ayahnya. Sementara Junali fokus kepada Carmaleta karna ia tak mungkin menoleh mendengar bisik Jinily.
"Apa kau sudah mengerti dengan tugasmu?" Carmaleta bertanya setelah menjelaskan tugasnya.
"Kenapa dengan raja Felix, nyonya?"
Sebenarnya Junali hanya mewakilkan perasaan Jinily karna ia sempat mendengar bisik Jinily sebelum Jinily sadar dan menutup mulutnya sendiri.
"Ada urusan apa kau bertanya tentang kenapa ia terbaring?" Galak ucap Carmaleta meski tak membuat Junali merinding. Menurutnya Carmaleta tidak lebih seram dari waktu semalaman berada didalam hutan bergumul dengan serigala jadi-jadian.
"Saya harus tahu sebabnya agar saya bisa berhati-hati, saya bukan dokter atau perawat, salah pegang kalau beliau tambah parah bagaimana, nyonya?"
"Kalau sampai ada apa-apa, kepalamu taruhannya!"
"Sebelum dipenggal, akan kupenggal ter..."
Ucap Junali terpotong karna Jinily mengingatkan dengan menyikut Junali. Jiwa tak bisa diinjak-injak Junali mulai tersenggol rupanya.
"Apa maksudmu?"
"Ti... tidak Nyonya, saya akan laksanakan tugas sesuai dengan perintah, nyonya!"
"Bagus! Jaga kepalamu agar jangan sampai terpenggal!"
"Hmmm!" Kali ini Jinily yang mendengus. Tidak semudah itu Carmaleta, bisiknya dalam hati. Sengaja mencari-cari kesalahan agar dapat memenggal kepala lalu darahnya dijadikan masker awet muda bagi Madam Djelita? Jinily tiba-tiba merasa geram. Terlebih mendengar ayahnya terkesan sedang tak berdaya sampai harus dimandikan oranglain.
"Lanaya, tugasmu menjadi asisten Putri Syirin, hati-hati jangan menatap suaminya, kepalamu taruhannya!"
"Kepala lagi?"
"Liliput? Sedari tadi kau berisik sekali!"
Jinily menutup mulutnya lagi, karna yang berisik sebenarnya dia, yang dituduh Junali.
"Ma...af, nyonya!"
"Ini pakaian seragam kalian saat bekerja. Jam enam pagi, sudah harus siap dilokasi. Nanti asisten pelayan senior akan menemput kalian untuk mengisi absen, sebelum ketempat tugas masing-masing!"
"Baik, nyonya!"
Gadis yang disebut Lanaya itu mengangguk dan menunduk hormat pada Carmaleta. Sementara tanpa permisi Carmaleta keluar dari ruangan itu dan Lanaya terlihat cepat-cepat menutup pintunya.
Dengan wajah cemas Lanaya memandang pada Junali.
"Kenapa kau?"
"Tidak, aku... akuu..."
"Kenapa?"
Junali memandangnya tanpa kedip dan keheranan.
"Aku harus kuat, aku harus kuat!"
"Memangnya kenapa?" Junali makin terheran menatap Lanaya.
"Aku kesini terpaksa, kayu berukir namaku lolos dari lobang pohon, dan aku harus mau dikirim kesini untuk menjadi pelayan sekaligus menyelidiki tanpa ada perlindungan padaku!"
Oh. Rupanya orang-orang sudah mulai mencurigai kenapa gadis-gadis desa yang datang ke Castil untuk melamar pekerjaan tidak kembali bahkan sebagian besar dinyatakan bersalah dan dihukum gantung akibat perbuatan kriminal. Membunuh sesama pelayan karna saling iri dengan pekerjaan, digantung karna mencuri, dihukum cambuk sampai mati karna berusaha kabur dari Castil. Semua itu hanya fitnah saja. Mereka diadu domba agar terkesan bersalah.
"Tenanglah, Lana, kan ada aku, kitakan berd... duaaaaaa!"
Seiring dengan ucapannya yang menggantung, Junali merasakan punggungnya dipukul.
"Pria cabul, anda sekarang perempuan, jangan sok peduli, kesannya suka sama sesama jenis!"
Jinily menggeram didalam tenggorokan dengan gemas melihat ulah Junali yang mendekat pada Lanaya dan memegang bahunya seolah menenangkan.
"Ya, untung aku tidak sendirian, mari kita saling menenangkan dan menguatkan karna kepala kita taruhannya, Lili!" Lana memeluk Junali, membuat JUnali terkejut setengah mati.
Tetapi setelah itu dia tersadar kalau Lanaya menganggapnya perempuan karna ia saat ini berpenampilan seperti perempuan.
"Baiklah, aku sudah tenang, terima kasih Lili, setidaknya semoga saja kita tidur nyenyak malam ini!"
"Se... semoga saja, uhhh shhh!" Junali meringis karna begitu berbalik, ia mendapatkan ibu jari dan telunjuk Jinily mencubit perutnya.
"Cabul!"
"Bukan salahku!"
"Iya Lili bukan salahmu, tidak ada yang menyalahkanmu, ini karna nasibku sendiri!" Lanaya menyahut karna ia tak tahu Junali sedang membela diri pada Jinily.
"I... iyaaaaakk!" Junali terkejut begitu berbalik melihat Lanaya membuka pakaiannya lalu membongkar isi tasnya mencari sesuatu, sepertinya baju ganti untuk tidur.
"Ya Tuhann, bukan salahku Jinnn!!"
"Tapi sukakan hah, gratisan nonton perempuan telanjang!!" Jinily menjewer kuping Junali. Junali meringis tanpa suara.
Meski sebenarnya Lanaya masih menggunakan pakaian dalamnya, Jinily tetap menyebutnya telanjang. Pakaian dalamkan minim, apalagi warnanya warna kulit. Memang Junali tak salah. Lanayapun tak salah karna dia tak tahu kalau yang sedang ia hadapi itu seorang pria. Hanya saja entah kenapa Jinily kesal melihat mereka. Mungkin dia egois. Ia saat ini yang butuh ditenangkan. Kenapa Lanaya hadir dengan keluhan?
"Aku mandi lebih dulu ya Lili!"
"Ya, silahkan Lana!"
"Apa kau sudah kegerahan? Kalau mau kita mandi bersama saja!"
Jinily melebarkan matanya. Terlebih Junali, matanya hampir copot saja. Apalagi yang akan dilakukan Jinily padanya setelah memukul dan mencubit? Dan itu sakit.
"Eee...ee ti..dak, silakan mandi duluan!"
"Ayolah, kelihatannya, kau sudah berkeringat sedari tadi, kau pasti kegerahan!"
"Tii.. tidak Lana!" Junali mengangkat kedua tangannya tanda menolak, apalagi tangan Lanaya seolah ingin menyentuh dahinya yang berkeringat. Jinily mengcungkan genggaman tangannya pada Junali.
Begitu Lanaya menutup pintu kamar mandi, Junali menghindari Jinily dengan menjauh darinya membuat Jinily geram. Entah apa yang membuatnya merasa marah sampai dadanya sesak. Lalu kakinya begitu saja terseret keluar ruangan.
Ia membuka pintu dan menutupnya dengan setengah emosi. Junali terkejut lalu berbalik dan hanya menemukan pintu tertutup tanpa adalagi sosok Jinily dihadapannya.
"Jinily!"
Seketika Junali panik lalu beranjak kepintu dan membukanya. Ia merasa tak enak karna membuat Jinily marah. Ia sudah berjanji untuk menyelesaikan misi mereka sampai tuntas. Melepaskan kutukan Tungkara dan menumpas kejahatan madam Djelita. Terlebih dari Carmaleta tadi mereka mengetahui kalau raja Felix tidak dalam keadaan baik-baik saja. Sementara kekasih Jinily saat ini sudah menjadi suami kakaknya. Sekarang, ia mengacaukannya karna kehadiran Lanaya yang tidak tahu apa-apa tentang dirinya. Junali menepuk keningnya.
"Jinily!"
Setengah mengendap dan sedikit berlari Junali memanggil nama Jinily.
"Jin..."
Teriakan Junali terpotong saat dilihatnya sosok Jinily sedang duduk menyender disebuah batu dengan memeluk lutut dan menundukkan kepalanya. Tubuhnya terlihat terguncang karna menangis. Ia tahu ia begitu bodoh sekarang. Baru saja kehilangan kekasih yang sudah menjadi suami saudaranya sendiri, satu-satunya orang yang ia miliki sekarang sebagai pelindung justru menemukan teman baru yang saling menguatkan.
Cemburunya tak beralasan yang jelas. Ia tahu ia hanya sedang terbawa perasaan karna tertimpa masalah bertubi-tubi. Ia baru saja menggantungkan tangisnya didada Junali dan bahkan sempat terucap harusnya ia tak kembali ke Castil kalau hanya kesakitan yang ia dapatkan. Tetapi pikirannya pun tergeser seketika kala mendengar ayahnya tak berdaya. Jinily merasa sendirian.
"Jin, maafkan aku!"
Jinily menggeleng mendengar ucap maaf dari Junali. Junali salah apa? Tidak ada salah apa-apa. Dirinya yang terlalu sensitif. Tidak mau membagi perhatian Junali kepada oranglain. Padahal oranglain melihatnya sebagai perempuan. Ia kesal karna tak terlihat oleh Lanaya. Harusnya ia bisa menjadi penguat bagi Lanaya bukan Junali. Junali itu seorang pria.
"Kau cemburu ya?"
"Apa?"
"Ma... af!"
"Aku kesal! Aku sedang banyak masalah, aku sedang dikutuk, kekasihku menikah dengan kakakku, ayahku ternyata sedang tak berdaya, aku sendirian!"
"Siapa bilang kau sendirian, aku bersamamu!"
"Kau tidak bersamaku tapi bersama Lanaya!"
"Tuhkan cemburu!"
PAK!
"Percaya diri sekali!"
"Yakan kita sahabat, memangnya salah jika kau cemburu karna sahabatmu mendapatkan sahabat baru?"
Ah ya, sahabat. Mereka sahabat. Mungkin maksud Junali tak salah.
"Lanaya kan bisa kita ajak kerjasama Jin, dia juga akan jadi korban kalau kita tak saling membantu, bukankah dia seolah dijadikan tumbal oleh warga desanya?"
"Bukan itu masalahnya, biar bagaimanapun juga kau itu seorang pria bukan perempuan tulen, jangan kau tak jaga jarak mentang-mentang dia mengira kau perempuan!"
"Oke, oke, baiklahhh, aku akan jaga jarak, kau sahabatku yang nomor satu!"
Jinily terdiam. Apakah ini yang ia inginkan?
"sudahlah, berhenti merajuk, lebih baik kita masuk, nanti ada yang melihat aku bicara sendirian disini!"
Untung saja Jinily patuh. Ia menyadari kalau bisa saja tiba-tiba ada orang yang datang dan akan terheran-heran melihat Junali yang sedang seolah bicara sendirian.
"Ingat ya Jun, jaga jarak!!" Tunjuk JInily didepan wajah Junali.
"Iyaaa!" Junali mengiyakan sambil menggenggam telunjuk Jinily yang menunjuknya. "Jadi sahabat aja cemburuan apalagi jadi kekasih," gumam Junali sambil tersenyum samar.
"Apa katamu? Siapa yang mau jadi kekasihmu?"
"Kan kalau!"
"Enggak akan!"
"Jangan sesumbar, nanti kau jatuh cinta padaku!"
Berkata seperti itu, Junali terbahak dan lari menghindar dari kejaran Jinily. Ia tak sadar sepasang mata benar-benar memperhatikannya dari atas balkon sebuah ruangan.
"Ily?"
#########
Banjarmasin, 16 September 2020
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top