Chapter 26
Makasih yg masih setia ngikutin walau skrg update ceminggu cekali😭🙏
Mohon maaf yg kegocek tadi sore. Serius gak sengaja, mau save malah kepencet publish😅😭
Yang udah kangen bang saleh, met bacaaa~
——————
"Lihatin rumah Abel segitunya."
Sudah dituduh, maka sekalian. Indira menatap rumah Abel terang-terangan. Kondisinya tentu lebih terawat dan seperti sering disinggahi.
"Tante Rini cerita, dia pulang kalau ada tetangga hajatan. Hampir setiap bulan sekali katanya."
"Emang serajin itu. Makanya melayat waktu Eyang kakung meninggal, mungkin tetangga sini ada yang hajatan."
Indira manggut-manggut.
"Sejak aku pindah, Eyang nitipin rumah Mama ke papanya Laras. Kalau ada apa-apa, aku kontak beliau. Bahkan pohon yang kemarin ditebang dan kayunya diminta orang, aku dikasih tahu."
Meskipun ini sekadar informasi, tapi Indira sedikit cemberut. Arsad bisa mengecualikan informasi satu ini. Indira kan tidak tanya. Walaupun dia penasaran kenapa rumah Mama mertuanya tidak ditumbuhi rumput liar. Satu-satunya pohon besar pun sudah ditebang, hingga daun kering tidak begitu memenuhi halaman yang luas.
Setelah melihat wajah agak bete istrinya. "Aku cuma ngasih tahu sih. Nggak bermaksud nyebut nama Laras."
"Itu nyebut lagi."
"Laras. Laras. Laras. Lara—aduh!" Pinggangnya kena cubit Indira.
Indira bisa membayangkan, belasan tahun lalu, rumah ini pernah menyala dengan hangat. Entah oleh celotehan, rajukan manja, tangisan, pertengkaran adik laki-laki dengan kakak perempuannya, harum masakan yang wangi, tangan lembut yang menyambut anak-anaknya sepulang sekolah. Orangtua yang lengkap, serta kasih sayang yang menemani Arsad tumbuh sebelum umur sepuluh.
"Laras bilang ada yang mau beli tanah ini, aku belum kasih jawaban sampai sekarang."
Indira hanya bergumam. Menenangkan dirinya yang emosional saat membayangkan keluarga sempurna yang pernah Arsad miliki. Dia dengar dari Tante Rini, dan bukan Arsad. Semua tetangga bahkan syok mengetahui papa Arsad setega itu meninggalkan istri dan anak-anaknya. Orang-orang tahu dan melihat sehari-hari, seharmonis apa keluarga Arsad.
"Menurutmu, haruskah aku jual?"
"Jawaban Laras gimana?"
"Aku nggak tanya pertimbangan dia. Aku nggak tanya siapa-siapa. Aku cuma tanya kamu."
"Rumah papanya Laras deket? Kamu mau mampir ke rumahnya sekalian buat obrolin ini?"
Arsad menggeleng. Kalau dilihat dari raut istrinya yang masih bete, lebih baik tidak. Kalau pun berkunjung ke sana, lebih baik tanpa Indira. "Aku bisa telepon kalau udah punya keputusan. Jadi, menurut kamu gimana?"
"Kalau dengan lihat rumah ini bikin kamu sedih, sebaiknya jual, Ar. Lepasin kenangan buruk itu di sini. Kamu nggak bisa terus-terusan bawa."
"Apa aku kelihatan sedih sekarang?"
"Enggak. Tenang. Masih kelihatan nyebelin."
"Makamnya nggak jauh dari sini." Arsad balik kanan, mulai melangkah. Indira menyusul dengan santai sambil memandangi rumah di kanan-kiri. Pasti banyak yang berubah dari yang Arsad kecil kenang tentang lingkungan ini. Tapi rasanya dia seperti menapak tilas jejak Arsad. Apakah sarannya barusan salah, siapa tahu di hati terdalam Arsad, suaminya itu ingin pulang ke tempat ini suatu hari nanti?
"Ar."
Arsad tidak menoleh, tapi memelankan langkah.
"Apa pun keputusan kamu soal rumah Mama, aku akan dukung. Kamu nggak perlu jual kalau hatimu nggak ingin."
"Katamu aku bakal sedih terus."
"Tapi kalau kehilangan rumah itu, kamu bakal lebih sedih nggak?"
Arsad tersenyum sebentar. "Kamu nggak sedang nyuruh aku buat tetanggaan lagi sama Abel, 'kan?"
"Apa salahnya?"
Menggeleng-geleng. "Aku salah menilai kamu."
"Nggak, denger, jangan dibayangin nyebelinnya dulu." Indira terkekeh mencoba memegang lengan suaminya. Minta perhatian sepenuhnya tapi Arsad tidak mau berhenti. "Tante Rini cerita sama aku, kemungkinan tanah yang di sini bakal diwarisin ke Abel. Kamu—"
"Tante Rini cukup cerewet ya."
"Husss, kualat."
"Aku udah denger 'Tante Rini cerita' dua kali. Belum kehitung yang kemarin-kemarin."
Indira melanjutkan kalimatnya yang dipotong. "Kamu nggak bakal kesepian punya tetangga kayak Abel. Kamu mau ngajak ke mana pun, dia bakal ayo-ayo. Kamu sinis, dia tetep cengengesan dan santai. Ketimbang aku, dia lebih luwes menghadapi kamu, Ar."
"Omongan kamu ambigu. Aku normal, punya istri perempuan, cerewet lagi. Aku nggak butuh Abel di deketku. Polusi suara."
Indira tertawa.
"Kalau tahu bakal tetanggaan sama Abel, mending aku jual."
"Tapi belum tentu Abel mau di sini. Gimana kalau malah Lila."
"Lebih buruk."
"Penggemar nomor satu kamu. Eh, nggak, nggak. Aku yang nomor satu." Tetap tidak mau kalah, tapi rela suaminya ditempeli bocah Cocomelon itu.
"Kalian manusia-manusia aneh."
Arsad kira perjalanan ke pusara Mama akan dihantui perasaan sesak. Tahunya penuh celotehan Indira yang ngotot mendekatkan dirinya dengan Abel. Langkahnya yang dia kira akan berat, terasa ringan. Hanya karena ditemani Indira? Mungkin. Biasanya dia sendirian saat berkunjung ke kota ini, tidak menginap, langsung pulang di hari yang sama.
Pun saat tiba di TPU. Indira langsung berubah kalem. Arsad menggandeng tangan istrinya melewati jalan setapak di antara nisan-nisan.
"Eyang putri dan Eyang kakung istirahat di sini juga. Di sebelah Mama, sesuai wasiat mereka."
Indira melihat tiga nisan yang berjajar, sudah dibangun permanen serta dilapisi keramik. Arsad memimpin doa, lalu menaburkan bunga. Indira memandangi nisan satu per satu. Mengingat nama dan membayangkan sosoknya ketika hidup dari foto yang dia lihat di rumah Eyang. Kemudian menatap lama Arsad yang mengusap nisan mamanya. Mungkin ada sesuatu yang disampaikan tanpa suara. Sepertinya banyak.
Indira seperti menyaksikan cinta tulus anak lelaki ke ibunya yang tidak lekang waktu atau jarak.
Dia tidak menginterupsi, bahkan dengan usapan tenang di punggung atau suara tangis sekalipun. Tidak terhitung berapa kali dia mendongak, mengerjap-ngerjap, menarik napas dalam-dalam dan mengembuskannya. Tapi siapa pula yang kuat menahan untuk tidak menangis. Persis ketika Arsad menyeka mata dengan lengan, air mata Indira ikut berjatuhan.
***
"Kamu dapat motor dari mana?" Indira mengeringkan rambut dengan handuk sambil membuka pintu. Arsad pamit beberapa menit lalu dan kembali bersama motor bebek warna biru. Penuh dengan tempelan stiker doraemon di mana-mana.
"Ada penyewaan di desa sebelah, aku iseng ke sana. Ternyata masih nyewain."
"Lila harus lihat ini."
Anak itu lagi. "Ndi, please!"
Terlambat. Indira secepat kilat merogoh ponsel di saku celana pendeknya, mengambil foto, dan Arsad tidak sempat mengelak.
"Nggak sekalian kamu ajak bocah itu ke sini, huh?"
Nyengir. "Kamu pilih sendiri motornya?"
"Tinggal ini, daripada nggak sama sekali. Tapi sebenernya aku malu bawanya. Kamu bisa bawa motor?"
"Bisa. Tapi habis itu kita pindah alam."
Arsad memberinya tatapan sebal. "Cepet sisiran sama ganti celana."
Indira tidak tanya ke mana. Tapi membonceng tak sampai lima menit, mereka sampai di area persawahan yang luas. Tanaman padi sudah menguning sejauh mata memandang, siap panen. Angin yang kencang membuat banyak anak kecil bermain layangan di ladang yang sudah dipanen.
"Kucirin kayak kamu ngikat rambut Lila." Setelah Arsad memastikan motor diparkir di tempat yang rata.
"Ck. Iri ternyata. Kirain dewasa." Tapi baguslah. Indira versi serius tidak ingin Arsad temui sering-sering. Bikin pusing.
"Iya dong." Menyodorkan ikat rambut. "Tolong ikat yang bener, Bang—"
"Jangan diterusin."
Selagi rambutnya yang sudah kering diikat, Indira memperhatikan layang-layang yang terbang tinggi. Tangannya terangkat, menghitung layangan yang terbang berpencar. Satu, dua, tiga ... dan Arsad mendumal karena susah mengikat rambut. Indira dengan jail memang selalu menggerakkan kepalanya. Mendapat jeweran lembut akibat ulahnya. Lalu dia benar-benar berhenti, membiarkan suaminya merampungkan kuciran yang dia yakini tidak lebih baik dari punya Lila. Tanpa memegangnya, dia tahu ikatan rambutnya miring. Pasti sengaja. Tapi dia membiarkan, tidak coba mengubahnya.
Arsad membawa istrinya duduk di kursi bambu yang disusun menempel di pohon besar. Menikmati suasana sore yang dulu pernah akrab, dan apa pun yang sedang istrinya pandangi saat ini. Entah itu anak-anak atau layangan yang mereka tarik dengan heboh. Sudah menjadi kebiasaan, dia ingin melihat apa yang Indira lihat. Lalu menerka apa yang istrinya pikirkan. Walau dia yakin isi kepala Indira pasti random sekali.
Dia juga melakukan apa yang Indira lakukan untuknya. Memahami dan mengerti. Ternyata tidak melelahkan seperti yang dia pikir. Indira cukup sederhana untuk dimengerti di saat-saat tertentu. Bawelnya Indira juga lebih banyak karena ingin menghiburnya.
Bibirnya sejak tadi membuka, beberapa kali ragu mengatakan sesuatu. Tapi saat Indira menoleh padanya, kalimat itu terucap lancar. "Kamu seneng di sini?"
Mengangguk. "Gimana? Kangenmu udah terobati belum?"
"Kayaknya belum."
"Kita masih punya satu hari besok, Ar." Indira menambahkan antusias. "Atau kapan pun. Kapan pun kamu pengin ke sini, mau tiap bulan, ayo kita ke sini."
Kapan pun. Berarti Indira harus selamanya berada di sampingnya. Apakah mungkin? Hati Arsad gagal membuncah. Ekspresinya tetap datar mendengar janji manis Indira. Kali ini sisi realistisnya menang.
"Kamu kok kayak nggak percaya gitu."
"Bukan nggak percaya." Tapi memang nggak mungkin.
"Apa sih yang kamu pikirin barusan? Aku orangnya tepat janji lho, Ar."
"Tepat janji nggak bakal nemuin Laras diem-diem sih."
Indira lompat turun dari kursi bambu cukup tinggi, Arsad refleks memegang lengan istrinya. Tapi Indira lebih dulu mendaratkan kaki dengan aman. Lantas bersiap menyeberang ke sawah di seberang.
"Ke mana? Duduk aja. Mau ngapain." Sarat dengan nada keluhan. Maksud dia membawa Indira ke tempat ini, hanya ingin duduk berdua, melihat lalu-lalang orang lewat. Menikmati sore yang tenang, tidak seberisik ibu kota.
"Aku dari dulu pengin jalan di pematang sawah."
"Nggak ada istimewanya." Menepuk ruang di sebelahnya. "Duduk lagi."
"Cuma jalan sampai kaleng merah itu, terus balik lagi."
"Terserah." Menghela napas. "Sandalnya dipakai."
Indira yang sudah melepas satu sandal, dengan patuh memakainya kembali. Mulai memijak pematang sawah, langkah pertama masih ragu, mencoba menyesuaikan. Saat langkah berikutnya, kedua lengannya otomatis membentang untuk menyeimbangkan diri. Dia bahkan berani berlarian kecil, hingga tiba di kaleng merah yang tadi dia tunjuk. Iseng menggoyangkan talinya dan seketika takjub melihat burung-burung kecil terbang berhamburan dari sela tanaman padi.
Arsad melihat bagaimana Indira tertawa seperti anak kecil yang baru melihat kawanan burung terbang bergerombol. Tanpa perlu mendekat, mendengarnya dari dekat, dari sini sudah terlihat gumam 'wah' berkali-kali.
Seperti anak kecil yang bandel, Indira tetap melepas sandal, menentengnya di satu tangan. Bertelanjang kaki, merasakan geli rumput di telapak kaki, kembali ke jalan aspal.
"Kita pulang."
"Tunggu, aku mau bunyiin kalengnya sekali lagi."
Arsad berkacak pinggang. Melihat istrinya lompat ke pematang sawah.
***
Hari berikutnya lebih seru untuk Indira. Dia bergabung dengan anak-anak yang menangkap ikan kecil di sungai yang dangkal. Arsad mengajaknya ke tempat yang dulu sering didatangi bersama Eyang. Indira tidak tahu kalau tempat-tempat itu justru menjadi arena bermain untuknya. Ketimbang liburan yang direncanakan, kunjungan ini terasa menyenangkan.
Arsad menunggu di tepi sungai, enggan bergabung walau Indira beberapa kali melambaikan tangan. Dia sempat mengenang sebelum benar-benar mengawasi istrinya yang asyik menangkapi ikan dengan tangan kosong. Saat dapat, Indira akan melangkah ke tepian, menunjukkan padanya sebelum dilepaskan lagi.
"Ar, titip HP-ku." Mengeluarkan ponsel dari saku terusan selutut yang dia gunakan.
"Masih mau main air?"
"Habis ini ke mana?"
"Makanlah. Kamu pikir aku kenyang lihatin kamu mainan air?"
"Ish, galaknya kumat."
Arsad mengambil ponsel dari tangan Indira. "Sana lanjut main."
Dia jadi punya kesempatan untuk membuka chat dari Abel. Hanya ada dua foto yang Indira kirim dan tanggapan yang sepertinya diketik Lila sendiri. Tidak perlu dibaca dua kali atau malah terbayang muka clingy Lila. Dia keluar dari roomchat, melihat chat lain, banyak yang belum terbaca. Rata-rata dari nomor tanpa nama. Foto profilnya lelaki semua lagi.
Dengan ekspresi datar, Arsad membuka satu per satu, lalu memblokirnya tanpa seizin pemilik ponsel. Tidak perlu izin segala. Untuk urusan begini, dia merasa punya hak.
Indira akhirnya keluar dari sungai. Duduk di rerumputan sebelah suaminya. Usahanya untuk mengalihkan pikiran sia-sia. Dia tetap ingat, tetap ingin bertanya dan lekas mendapat jawaban.
"Ar, 'orang itu' siapa?"
"Siapa?" Arsad bingung mendengar pertanyaan Indira.
"Aku nggak sengaja lihat pesan Bi Nur ke kamu pagi ini, waktu kamu beli sarapan keluar."
"......"
"Yang aneh kenapa Bi Nur ngabarin kamu, tapi nggak ngabarin aku. Misal orang ini kehadirannya ganggu Ibu."
Arsad tercekat. Percakapannya dengan Indira tadi malam di tower air melintas begitu saja.
"Apa yang paling kamu benci di dunia ini, Ar?"
"Tiba-tiba tanya itu?"
"Aku biasa lihat kamu sinisin orang, tapi itu bukan berarti kamu beneran benci mereka. Kamu hanya nggak mau mereka jadi akrab sama kamu. Terus apa yang kamu benci?"
"Ditinggalin."
"Kalau alasan orang itu ninggalin kamu ternyata masuk akal?"
"Ya udah, gimana lagi. Tapi apa aku seburuk itu, sampai semua orang pergi dariku?"
"Dengar, kamu anak baik. Tuhan pasti sayang kamu. Aku juga sayang kamu."
"Kamu sendiri, disakiti orang-orang yang kamu anggap keluarga tapi kamu tetep sayang mereka. Lalu siapa yang kamu benci?"
"Lucu bilang ini ketika kemarin aku ingkar janji nemuin Laras di belakang kamu. Tapi aku nggak suka dibohongi."
"Ini yang bikin kamu sayang ke Ibu?"
"Hm?"
"Karena Ibu jujur menunjukkan kebenciannya ke kamu."
"Mungkin."
"Orang yang datang ke rumah Ibu, siapa?"
Arsad menarik napas tertahan. "Mama kamu."
***
Konflik tipis-tipis duluu🙁😫
Extended chapter ini udah ada di Karyakarsa yaa~ harga 2k. See u there, makasih banyak🤍💜
Selasa/31.10.2023
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top