Bab 13 •Clarification•
"Kau baik-baik saja, Dre?"
Deyna terus mengamati Adrea yang kini menoleh. Mata yang biasanya menatap tajam itu terlihat sayu, bahkan helaan napas lelah terdengar berkali-kali, membuat Deyna begitu penasaran akan sepelik apa permasalahan yang sedang temannya hadapi. Namun, gadis berambut lurus tersebut memilih untuk memindai lorong lantai satu yang terlihat ramai, menyibukkan atensinya tatkala Adrea belum juga menjawab pertanyaan yang ia ajukan.
"Apa yang tadi Arsen katakan?"
Mulut Deyna sedikit terbuka, tangannya pun turut menyelipkan helaian rambut ke belakang telinga. "Tentang ... Kinnas. Apa benar dia ingin mengikuti ekskul lukis?"
"Tidak tahu." Adrea kembali menghela napas.
Kening Deyna mengerut bingung. "Lalu apa yang kalian bicarakan di ruangan lukis? Kalian dekat? Apa membicarakan hal penting?" Adrea mengerjap cepat mendengar sederet pertanyaan yang Deyna ucapkan.
"T-tidak ada hal penting yang kami bicarakan, Na," jawab Adrea sedikit gugup.
Rasa sejuk seketika menyambut mereka kala menapaki lapangan utama, angin yang berhembus lumayan kencang menggerakkan dedaunan pohon palem, termasuk daun-daun kering yang telah jatuh ke atas rumput--pinggiran lapangan. Deyna memainkan ponselnya, tetapi sesekali melirik Adrea dan mendongak sebentar untuk memperhatikan jalan. Keheningan menyelimuti mereka, menemani langkah kaki keduanya yang akan sampai di depan gerbang Snasa.
"Hey! Kami pikir kalian sudah pulang sejak tadi." Arsen datang dengan cengiran khasnya.
"Klub melukis akan mendapatkan anggota baru, Dre?" Louis membenarkan tas punggungnya, sebelum menatap Adrea yang terlihat membuang muka.
"Tolong jangan katakan apapun lagi tentang Kinnas," tukas Adrea. Rasa lelah semakin memuncak tatkala teman-temannya terus menanyakan Kinnas dengan sorot penuh curiga.
Arsen menggaruk tengkuknya yang tidak gatal, entah mengapa atmosfer di antara mereka berubah lebih menegangkan. Meskipun ia juga amat penasaran tentang apa yang akan terjadi selanjutnya. Mengingat rasa bingung belum hilang sepenuhnya ketika ia secara terang-terangan melihat Adrea bersama Kinnas tadi.
"Adrea, aku hanya bertanya--"
"Kalau begitu jangan lagi bertanya!" potong Adrea tajam. Jari telunjuknya teracung, menunjuk wajah Louis dengan napas memburu.
Deyna dan Arsen terkejut, keduanya langsung mendekati dua remaja itu, menghalau tatapan orang-orang yang mulai memperhatikan mereka. Deyna memegang pundak Adrea, mencoba menenangkannya sambil sesekali mengusap punggungnya pelan. Tidak jauh berbeda, Arsen juga melakukan hal sama.
"Kau menjadi berbeda sejak kenal dengan Kinnas, Dre. Sejak secara mendadak kau memintaku untuk mencari tahu nomor ponsel gadis itu dari formulir data murid." Louis mendekati Adrea, mencoba tetap tenang meskipun tatapan Adrea terlihat tidak bisa diajak bicara baik-baik.
Ia memang memintanya, meminta nomor ponsel Kinnas lewat bantuan Louis. Saat mereka bertabrakan di koridor dekat kamar mandi, tepat ketika Kinnas menyorot saku outer-nya yang kala itu menyimpan kalung Berliana Biru. Di sisi lain, Deyna dan Arsen membekap mulut mereka--terkejut atas perkataan frontal Louis.
"Terserah." Adrea membalikkan badan, hendak melangkah pergi. Menjauhi semua perkara yang bisa membuatnya lebih termakan emosi.
"Adrea--"
"Sudah kukatakan aku tidak menyembunyikan apapun dengan Kinnas!" Adrea berteriak, suaranya menggema di lapangan luas yang mulai sepi. Suasana hatinya begitu berantakan hari ini.
Deyna sedikit tersentak, tak ayal kembali melanjutkan langkah untuk menghampiri Adrea yang mulai mendekati gerbang. "Bukan itu, Dre. Aku hanya ingin kau tahu tentang hal ini."
Adrea melihatnya, sebuah benda pipih dalam genggaman Deyna yang sedang memperlihatkan video di salah satu akun media sosial yang tidak ia ketahui siapa pemiliknya. Namun, bukan hal itu yang menjadi masalahnya. Melainkan video berdurasi dua menit yang menampilkan dirinya sedang bermain ice skating lalu terjatuh di skyrink Allison Mall kemarin sore.
Dengan kondisi teramat terkejut hingga nyaris linglung, Adrea berbalik kemudian melangkah. Meninggalkan teman-temannya yang mulai memandangnya pilu. Adrea berjalan sedikit terseok-seok, mencari sedan hitam yang biasanya terparkir di dekat halte bus. Sambil memilin ujung lengan almamater, Adrea mencoba mengatur napas. Yang ada di pikirannya kali ini hanyalah sampai ke rumah lalu masuk ke dalam kamarnya. Mengunci diri, menjauhi kehadiran Kelan yang mungkin saja telah mengetahui perihal video tadi.
Ketemu. Tanpa menunggu lebih lama lagi, Adrea segera memasuki kendaraan roda empat itu. Hingga hal pertama yang ia lihat adalah seorang gadis sedang menunduk lesu. Sisa-sisa air mata terlihat di pipinya, tetapi tidak menggerakkan rasa penasaran Adrea untuk sekedar bertanya. Masalahnya lebih rumit saat ini, itulah yang mengakibatkan Adrea terduduk gusar, tak menghiraukan Sheren yang juga terlihat memprihatinkan.
Selama perjalanan, Adrea tidak henti-hentinya memilin ujung rambut dan almamater secara bergantian, melampiaskan semua perasaan yang seolah bercampur menjadi satu. Belum selesai masalah ia dan Kinnas yang diketahui teman-temannya, masalah lain pun ikut hadir, menambah beban yang Adrea pikul. Ketahuan bermain ice skating, apalagi terjatuh dihadapan banyak orang merupakan hal yang akan membuat ayahnya marah besar.
Sampai di Houses Room, Adrea lekas putus asa. Tatkala melihat Kelan dan Belinda yang baru saja turun dari mobil yang lebih dulu sampai. Penampilan keduanya masih sama seperti tadi pagi ketika Adrea berangkat sekolah. Sheren telah keluar, menyisakan Adrea yang masih diam sampai menyebabkan sang sopir kebingungan. Setelah bertengkar dengan isi kepala yang memusingkan, lantas Adrea membuka pintu mobil.
"Adrea, ikuti Ayah. Ada yang ingin Ayah bicarakan."
Dan benar saja, Kelan sudah mengetahuinya.
Sempat mengernyit heran kala Belinda menahan langkah Kelan lalu menggeleng pelan, sebelum kembali berlanjut sebab ayahnya tetap mengambil langkah untuk memasuki Houses Room, dengan Adrea yang mengekor di belakangnya.
Ruang kerja. Tebak Adrea tepat sasaran ketika Kelan membawanya ke ruang kerja ayahnya. Letaknya masih di lantai satu, dekat dengan ruang keluarga. Tidak ada yang spesial di tempat ini, selain meja kerja yang berisi tumpukan map tebal dan lampu gantung hias berbentuk melingkar. Berusaha untuk tenang, Adrea menarik napas dalam-dalam kemudian duduk di salah satu sofa. Menghindari tatapan tajam Kelan di seberang sana.
"Sepertinya Ayah tidak perlu lagi menjelaskan, selain menunggu surat kabar besok pagi yang akan menuliskan namamu, Adrea." Kelan melipat tangan di depan dada.
"A-ayah--"
"Kaamilah Adreanna Valerie Kaeswary, sebenarnya apa yang kau mau?" tanyanya dengan nada rendah. Tidak berteriak seperti biasanya, sempat mengakibatkan Adrea mendongak sesaat.
Adrea memejamkan mata, mencoba membuat keberanian di saat menegangkan seperti ini. "Aku ingin mengikuti TFSC tahun ini."
Cukup lama Kelan terdiam, menimbulkan keheningan yang begitu mencekam. Dalam diam, Kelan memikirkan perkataan Belinda ketika di mobil tadi. "Dua tahun lalu. Kau terjatuh dan kakimu terkilir--"
"Tapi setelahnya aku sembuh, Ayah," potong Adrea cepat. Tangannya masih memilin ujung almamater sembari menunduk dalam.
"Ibumu akan marah bila kau kembali terluka, Adrea. Ia akan sangat kecewa pada, Ayah, karena tidak bisa merawatmu dengan benar." Kelan memijit pangkal hidungnya kemudian beranjak berdiri, melangkah mendekati jendela yang masih tertutup tirai.
Di sisi lain, Adrea menggigit bibir. Rasa sesak memenuhi relung hatinya, tetapi ia tak bisa untuk berhenti merasa kecewa. Kejadian di taman rumah sakit kembali menyergap pikirannya. Berputar begitu saja, tanpa diminta.
"Aku tidak akan terluka. Tolong berikan kesempatan sekali lagi, Ayah."
"Sulit, Adrea. Kau melemah sejak Ibumu tia--"
"Kenapa selalu hal itu yang Ayah bicarakan?!"
"Karena memang itulah kenyataannya, Adrea!" Kelan membalikkan tubuhnya, menatap putrinya yang tidak lagi menunduk. "Menurutmu, apa yang membuatmu gagal tiapkali melakukan lompatan axel?"
Adrea termenung, lidahnya terasa kelu untuk sekedar menjawab. Memori dua tahun lalu selalu menjadi penyebabnya. Namun, Adrea yakin ia tidak lemah seperti apa yang ayahnya katakan. Adrea bisa, Adrea akan menang, karena ia dan Kinnas telah membuat suatu 'permohonan'. Dan Adrea meyakininya.
"Aku akan tetap mengikuti TFSC tahun ini. Begitu aku menang, tawaran Ayah mengenai melanjutkan PERINGGI di Edinburgh kembali berlaku," kata Adrea lalu beranjak pergi. Meninggalkan Kelan dengan raut wajah tak terbaca.
•••
Di dalam lift apartemen, Kinnas sendirian, mematri pantulan kabur dirinya yang terlihat berantakan. Kejadian tadi masih memenuhi pikirannya, perihal Cahya dan pemuda bernama Arsen yang memergoki ia bersama Adrea di depan ruangan klub lukis. Jujur saja Kinnas gelagapan, ia sampai bingung harus memberi alasan seperti apa ketika Cahya memborbardirnya dengan sederet pertanyaan.
"Kau dekat dengan Adrea, Kin? Kau berteman dengannya? Mengapa masuk ke ruangan ekskul melukis?!" Cahya mengguncang tubuh gadis di depannya.
"B-berhenti, Cahya!" Kinnas berusaha terlepas dari pegangan Cahya di kedua pundaknya.
"Kenapa?! Ish, sekarang kau menjadi tidak jujur terhadap sahabatmu sendiri." Cahya membalikkan tubuhnya, meninggalkan Kinnas dari taman belakang.
Cukup memusingkan, saat Kinnas mencoba meyakini Cahya kalau ia sempat tertarik untuk memasuki ekskul melukis--alibinya mengapa ia menemui Adrea tadi. Namun, Cahya tidak semudah itu percaya. Penjelasan Kinnas yang teramat tiba-tiba membuat Cahya sedikit ragu. Karena tidak mau memperpanjang, Cahya memilih memercayai ketimbang harus bertengkar dengan Kinnas.
Pintu lift terbuka, lekas Kinnas berjalan untuk memasuki apartemen. Sosok Juan menjadi satu-satunya penghuni yang Kinnas lihat. Duduk tanpa alas sambil mengetikkan sesuatu di atas keyboard laptopnya, lengkap dengan segelas capuccino dingin di atas meja. Menelan ludah, sontak Kinnas menghampiri kakaknya tersebut.
"Terlihat menyegarkan, bolehkah aku meminta--"
"Tidak boleh!"
Kinnas berdecak kesal, melihat Juan yang kini tengah meminum kopi dingin seraya melirik jahil ke arahnya. Tangan Juan bergerak untuk mengusap leher, kemudian mengeluarkan suara sendawa lumayan keras. Melirik sinis, Kinnas pun mencebikan bibir.
"Ish! Dimana Ayah?" tanya Kinnas seraya mendaratkan bokongnya di atas sofa.
Juan tidak menjawab, pria itu sudah lebih dulu fokus menatap layar laptop sambil sesekali menggerakkan kursor ke bawah. Kinnas langsung mendengkus, tidak terima sebab Juan tampak menghiraukannya. Diam sejenak, ide jahil tercetus begitu saja. Dengan segera Kinnas berdiri menjauh sambil melirik gelas capuccino di samping Juan.
Tumpah, katanya dalam hati, lalu menjentikan jari.
Kinnas mengerjap pelan, memandangi tangannya sendiri kemudian menganga bingung. Kenapa tidak bisa? Menggaruk kepala yang tidak gatal, lekas Kinnas kembali terduduk di atas sofa. Terus menggaruk kepala sebelum Kinnas mengingat sesuatu, terkecuali untuk hal buruk dan kematian. Kinnas berniat buruk pada Juan, karena itulah kekuatannya tidak berlaku.
"Kak, Kak Juan." Kinnas menggoyangkan tangan kakaknya.
"Apa?! Mengganggu saja kau ini!"
"Ayah di mana? Aku bertanya sejak tadi tapi kau malah diam saja.
"Di kamar, sedang tidur."
Kinnas memandang heran pintu kamar orangtuanya yang tertutup rapat. "Tidak biasanya Ayah tidur siang."
"Ayah kelelahan, Kin," jawab Juan spontan.
Kedua alis Kinnas bertaut. "Kelelahan, Ayah bekerja?"
Juan menghela napas, lekas menatap adiknya yang masih mengernyit bingung. "Tidak, Kin. Ayah tadi mencoba membuat ramuan dari daun mint, untuk mengusir tikus. Dan kau tahu, Ayah hampir memanjat sofa untuk menyemprotkan ramuan buatannya di atas plafon. Untung saja tadi aku pulang lebih awal."
"Ya ampun! Bagaimana bisa?!" respon Kinnas histeris, tidak habis fikir tentang tingkah ayahnya yang teramat aktif. Kondisi memakai kursi roda dan berusaha memanjat sofa dengan keadaan seperti itu membuat Kinnas meringis pilu. Ayahnya tetap menjadi sosok pekerja keras seperti tiga bulan yang lalu.
Kembali terdiam, Kinnas ikut duduk tanpa alas seperti kakaknya. Memandangi langit-langit apartemen sambil memejamkan mata sesekali. Kinnas berpikir tentang banyak hal, perihal kenyataan Adrea yang melewati dimensi waktu, kalimat yang berbeda, dan hubungannya dengan Adrea yang telah diketahui oleh teman terdekat mereka. Jujur saja, poin terakhir yang paling memusingkan.
Kinnas menoleh, melihat Juan yang kini sedang berusaha membuka resleting tasnya yang sudah kusut. Tampilannya terlihat memprihatinkan, membuat Kinnas meneguk ludah kasar. Terbuka, katanya dalam hati, lalu menjentikan jari. Berhasil, Juan sedikit terkejut tatkala tangannya seolah bergerak sendiri. Sementara Kinnas tersenyum, merasa bangga sebab ia bisa membantu.
"Kau memakai gelang perak, Kak--oh, ada tulisannya, apa ini--"
"Lepaskan!"
Kinnas mendengkus kesal, irisnya kembali melirik gelang perak berliontin bulan sabit di tangan kiri kakaknya. Menyipitkan mata, Kinnas berusaha melihat ukiran huruf yang tercetak di atas bulan. "SE! Siapa SE? Kakak mempunyai kekasih?!"
"Tidak!" sanggah Juan sambil menyembunyikan tangan kirinya dari Kinnas.
"Ayolah, jangan malu. Ayo tunjukkan lagi gelangnya!" Kinnas menarik paksa tangan kiri Juan.
"Tidak, Kinnas! Lepaskan!"
"Ayolah, Kak, perlihatkan gelang couple-mu!"
"Itu bukan galeng couple, Kinnas. Menyingkir!"
"Lalu, 'SE' siapa? Senina? Seandra?"
"Lepaskan!" Juan berdiri menjauh, menghindari tatapan menggoda Kinnas yang membuatnya jengah.
Sedangkan Kinnas melipat tangan di depan dada, bersandar pada pinggiran meja seraya memikirkan sesuatu. Perihal inisial nama yang entah benar kekasih Juan atau bukan. Meskipun Kinnas sedikit tidak yakin, karena kakaknya itu merupakan pemuda kaku yang lebih banyak diam ketika di kampus. Namun, tak menutup kemungkinan kalau Juan menyukai seorang gadis, bukan?
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top