Ending
Enjoy
.
.
.
Netra emerald mengerjap sedikit kala dirasa sinar mentari memasuki mata. Kepalanya terasa begitu sakit. Ah, dia baru ingat kalau dirinya baru saja memakan buah dari pohon yang pernah ia kutuk.
'Inikah akhirnya?'
Tak begitu lama telinganya mendengar suara tapak kaki tergesa-gesa seolah berlari menuju ruangan yang ia tempati. Oh, benar juga. Ini kamarnya.
"Eva!"
"Aku sudah panggil tabib!"
"Ini air, mau minum?"
"Apa yang sebenarnya terjadi?"
Pertanyaan-pertanyaan keluar dari labium empat orang yang selalu menemani harinya selama enam tahun terakhir.
Netranya menatap pada lelaki bersurai emas yang terlihat begitu khawatir. Lantas Eva tersenyum.
"Mendekatlah."
Keempatnya kini mendekat. Lucy dan Susan duduk di bibir ranjang.
Sedangkan Peter berlutut sembari memegang tangannya. Dan Edmund hanya berdiri di ujung ranjang.
"Ev, mau minum dulu? Tabib sebentar lagi akan-" Perkataan Peter di potong oleh gelengan sang puan.
"Aku pikir waktuku tidak lama lagi."
Susan pun tak kuasa menahan air mata. Ia sudah sadar dari pakaian Eva yang berdarah saat dia tiba Cair Paravel tadi.
Ditambah dengan gadis itu yang langsung pingsan setelahnya. Tapi Susan tidak tahu kenapa.
Sebenarnya apa alasan Eva sampai bisa berdarah seperti itu? Apa dia diserang? Tadi dia bilang waktunya tidak lama lagi.
Kalau Eva diserang oleh orang biasa, maka harusnya lukanya bisa cepat sembuh mengingat gadis itu bilang kalau dia tidak akan mati sebelum Lucy meninggal.
"Aku pernah mengutuk sebuah pohon."
Netra emerald menatap langit-langit ruangan, menerawang pada ingatan yang kalau diingat sebenarnya terasa lucu.
"Tadi, tanpa sengaja aku memakannya. Haha... lucu juga karena aku mati oleh diriku sendiri."
Tawa hampa dilontarkan. Keempat Pevensie tidak ada yang sanggup tertawa. Peter menggeleng.
"Ev, tidak bisakah kau menunggu sampai tabib tiba? Biarkan dia memeriksamu lebih dulu."
Sang puan kembali menggeleng, menatap langsung pada netra biru.
"Aku akan segera bertemu ayah dan ibuku."
Dengan mata berkaca-kaca, Lucy berteriak. "JANGAN BICARA BEGITU! Kau.. kau tidak boleh mati. Aku masih hidup! Kau bilang kau hidup karena sumpahmu padaku, kan?"
Setetes air mengalir melalui pipi Eva. Tatapannya menyendu. "Cara kerjanya tidak seperti itu, Lucy. Kau pun tahu, kan?"
Netra emerald bersirobok pada netra biru Lucy. Membuat sang gadis memalingkan wajah karena dia sendiri pun telah tahu.
Sudah tidak ada harapan lagi untuk hidup Eva.
Lucy hanya.... Tidak bisa menerimanya.
"J-jangan pergi dulu. Hiks. Kau belum membawaku pergi ke pohon toffee. Kita juga belum pernah berlayar bersama ke Archenland. Huhuuu.."
Ah, di saat seperti ini, Lucy benar-benar terlihat seperti anak kecil. Lihat saja dia mencoba menghapus air mata yang rupanya malah semakin deras.
"Lucy, kamu anak yang pemberani juga ceria. Sebarkanlah kebahagiaan diantara kakak-kakakmu."
Ia bisa merasakan genggaman pada tangannya mengerat. Lantas netra mengarah pada Peter.
"Kau tidak boleh mati. Cilica bilang kalung yang dia berikan padamu akan membantumu."
Peter menatap Cilica yang berdiri di ujung pintu, meminta penjelasan atas Eva yang dilihat tak kunjung membaik.
Wanita itu menghapus air yang menggenang di pelupuk mata. "Aku bilang memperlambat proses. Bukan menyelamatkan nyawanya."
Kini netra Susan melebar. Netra birunya bergetar menatap takut pada Eva. Tangannya terulur mengelus rambut merah sang puan.
"E-Eva, kita sudah membuat banyak agenda untuk tahun-tahun kedepannya. Kau tidak mau mengingkari janjimu, kan? K-kita akan pergi lagi ke Archenland. Aku harus bilang apa pada ratu kalau kau tidak datang? Katamu mau mencoba masakan asli disana?"
"Maaf, Su. Kupikir lebih baik kau kesana bersama Lucy dan yang lain. Aku tidak bisa ikut untuk tahun depan dan seterusnya."
Senyumnya melebar, menampilkan gigi kelinci juga lesung pipi yang selalu menghiasi.
"Dan, tumbuhlah dengan baik. Rawat dua adikmu yang lucu itu. Sayangi mereka. Lalu selalu ingatkan Peter untuk makan. Jangan terlalu sibuk dengan dokumen-dokumen negara itu."
Lantas netra emerald beralih pada lelaki di ujung ranjang. Walau tak menatapnya, Eva tahu lelaki itu memasang telinga dengan sangat baik.
"Edmund, dirimu yang sekarang sudah dewasa. Jangan kekanak-kanakan lagi, yah. Jangan merepotkan para pelayan lagi."
Lelaki itu mendengus. "Seolah kau tidak begitu saja." Suaranya serak. Jelas sekali dia menahan tangis.
"Jaga dirimu. Jangan terlalu sering keluyuran saat malam."
Kini Eva menatap Peter sendu. Dengan senyum yang masih menghiasi, ia mengusap genggaman tangan.
"Peter. Kau harus banyak makan. Seringlah beristirahat. Jangan terlalu pusing dengan dua adikmu itu. Mereka sudah dewasa. Kau harus jaga diri yang baik."
Ia memaksakan agar tangannya menggenggam tangan Peter erat.
"Kue buatanmu enak. Aku menyukainya, terima kasih. Mungkin... Mungkin berkat itu, aku jadi menyukaimu. Ah tidak, aku mencintaimu, Pete. Hehe, kau tahu, aku mudah luluh dengan makanan."
Tumpah sudah air mata yang dari tadi menggenang di pelupuk. Ia membawa tangan yang mulai dingin pada labium dan mengecupnya pelan.
"Musim panas Narnia memang hangat."
Kini netra emerald menatap langit-langit.
Semuanya merasakan sesak di dada masing-masing. Peter menempelkan tangan sang puan pada dahi. Bisa ia rasakan genggaman tangan itu melemah.
"Terima kasih semuanya. Aku menyayangi kalian."
Lantas pelupuk menutup, menyembunyikan netra emerald yang seindah permata untuk selama-lamanya.
Dengan Lucy yang menggeleng. "Aku tidak mau! Tidak boleh! Kau tidak boleh mati! EVAAAA!"
Ia menggoyang-goyangkan tubuh dingin itu kasar. Berharap sang puan akan membuka mata dan mendelik seperti biasa.
Edmund meraih adiknya, membawanya pada pelukan erat. Walau ia tak banyak bicara sedari tadi, nyatanya hatinya telah koyak mendengar kata demi kata yang dikeluarkan Eva.
Sang adik memberontak di pelukan pun tak diacuhkan.
"APA-APAAN EDMUND! LEPAS! Ev.. Eva.."
***
Langit biru tertutupi awan mengepul kelabu. Ditemani air hujan yang menetes deras, mengguyur tanah Narnia.
Segerombolan manusia, hewan berbicara, raksasa, dwarf, bahkan elf yang tidak pernah menampakkan diri kini memenuhi tanah pemakaman para mendiang raja dan ratu Narnia.
Makam Eva diletakkan tepat disebelah makam ratu Amber yang beberapa waktu lalu baru dibuat.
Semuanya menunduk, merenungkan kebaikan sang penyihir agung yang senantiasa mendampingi Narnia sejak awal pembuatannya.
Para raja dan ratu mengenakan pakaian serba hitam sebagai bentuk bahwa mereka tengah berkabung.
Beberapa pelayat mulai pulang hingga menyisakan raja dan ratu juga segerombolan Elf.
Gerombolan suku Elf itu menepi sebentar, menunggu pada raja dan ratu yang masih setia berdiri tepat di depan makam itu.
Jelas sekali guratan sedih pada wajah masing-masing. Yang paling terlihat adalah Lucy.
Padahal sudah sehari lebih ia menangis, tapi nampaknya itu masih belum cukup karena dirinya kembali menangis kala melihat peti kayu berisi tubuh Eva dibawa masuk kedalam tanah.
Susan hanya sesekali masih terisak. Namun air matanya tidak lagi menetes. Mungkin telah habis.
Edmund sendiri telah menangis semalaman penuh. Cukup jelas dimatanya yang bengkak walau ia tak menangis lagi.
Sedangkan Peter, dia tidak menangis sama sekali. Dia.... Entahlah, dia mendadak lupa cara menangis.
Hampir sejam mereka berdiri disana. Sedangkan para anggota suku Elf sedang mendesak ketua mereka.
"Kepala suku, jika menunda lebih lama lagi, kita akan terlambat pulang."
Mendengar wakil kepala suku berbicara seperti itu, lantas dia mengangguk. Melangkahkan kaki menuju sang raja pertama.
Dia menepuk pelan bahu Peter. "Baginda. Maafkan diriku yang tidak sopan."
Ia membungkuk kala sang raja meliriknya. Tapi Peter tak tertarik. Ia kembali menatap makam bertuliskan Eva Marthille Loan De Charnie. Lantas tertawa dalam hati. Dirinya tidak pernah tahu nama lengkap Eva.
"Baginda, Yang Mulia Cilica sempat memberikan pesan. Beliau bilang, Eva yang ini bukanlah untuk anda. Eva sedari awal hanyalah milik Eiden sang penguasa Bramandin."
Keningnya bertaut, nampak guratan marah pada pelipis. Ia melirik melalui ekor mata seolah menyuruh sang kepala suku diam.
Namun bukannya takut, kepala suku Elf memasang senyum lembut.
"Nampaknya anda salah paham, Baginda. Anda memang untuk Eva. Tapi bukan Eva Marthille Loan De Charnie. Ada Eva lain yang memang telah disiapkan untuk anda. Untuk itu, Yang Mulia Cilica memesan untuk anda mencarinya."
Kini kepala emas menoleh seutuhnya. Hilang sudah raut marah. Kepalanya menganalisis apa yang baru saja ia dengar. Apakah maksudnya dia bisa bertemu dengan Eva lagi?
"Tapi dia tidak ada disini, Baginda."
Kini guratan kecewa jelas dipasang di wajah. Dengan senyum lembut yang tak pernah hilang, sang kepala suku kembali berkata.
"Tunggulah hingga kalian bertemu. Saat itu, kejarlah dia."
Lantas sang kepala suku pamit diikuti para rombongannya, meninggalkan empat orang didepan makam.
***
Lima belas tahun dihabiskan para Pevensie di Narnia. Mengubah mereka menjadi pribadi yang begitu berbeda dari saat mereka pertama kali menginjakkan kaki disini.
Peter telah tumbuh jauh lebih tinggi dari terakhir ia bertemu Eva. Dadanya bidang, ia telah menjadi kesatria sekaligus raja yang hebat.
Susan pun telah tumbuh menjadi wanita lembut dan penyayang. Tubuhnya langsing dengan rambut hitam yang hampir mencapai kaki.
Edmund sendiri tumbuh jauh lebih pendiam semenjak Eva meninggal. Disaat yang bersamaan ia telah tumbuh menjadi kesatria juga raja yang begitu adil.
Dan Lucy telah menjadi wanita periang dan baik hati.
Sepeninggal Eva, ingatan-ingatan tentang London terasa mengabur dari kepala masing-masing. Seolah semua itu hanyalah mimpi dan mereka memanglah manusia yang lahir dan besar di Narnia.
Kini, berdasarkan informasi dari Mr. Tumnus, bahwa rusa putih yang muncul beberapa ratus tahun sekali akhirnya muncul lagi di hutan bagian barat. Konon katanya rusa itu bisa mengabulkan permohonan
Mereka pergi berburu tanpa tahu bahwa hari itu adalah hari terakhir mereka di Narnia.
.
.
.
TBC~
Tersisa satu chapter lagi!
Huwaaa nggak tau cara bikin sad ending! Jadi maaf kalau sedihnya nggak berasa。・゚゚・(>д<)・゚゚・。
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top