19 Renda dan Macaroni Schotel

🌟

HANGOVER #1 - THE HAZARDOUS NIGHT

Chapter 19 Renda dan Macaroni Schotel

🌟

"Kemarin panci kamu udah aku kembalikan belum, ya?"

Kuangkat bahu tanda tak tahu. "Lupa, Ca."

Circa segera berlari keluar kamarku-ah, sudah bukan kamarku lagi. Sepuluh bulan yang menyenangkan bisa berada di kamar ini. Semoga kamar ini segera terisi dengan penghuni baru yang lebih bersih daripada aku.

Satu-satunya benda yang belum kumasukkan ke kardus adalah kain putih itu. Kemeja putih formal milik pangeran asusila itu. Lenyap sudah aroma citrus kuat yang dulu tercium darinya dihapus waktu. Kumasukkan kembali kemeja itu di lemari pakaian, dia sendirian.

Selamat tinggal, pangeran cabul.

Melati Pusparana akan move on dari kamu.

"Mel, udah semua ini?" Mbak Anggun menyembul dari balik jendela. "Kesian dokter McFord dikeroyok cabe di bawah."

Sayang sekali, lelaki yang kucintai itu tidak suka pedas. Dia lebih suka Americano si kopi pahit.

Dan pastinya, dia suka aku.

Mbak Anggun membantu membawakan kardus terakhirku, sementara aku pamit dengan siapapun yang bisa kutemui di kos. Termasuk Ucok, kucing anggora jantan milik Bu Karlina. Suatu hari aku harus punya kucing sendiri.

Lenganku disikut Mbak Anggun di lorong. "Kamu udah jadian sama dokter McFord, Mel? Lucasionship se-FK bisa nangis formalin tuh. Eh berarti dia nggak homo?"

Aku tertawa malas. "Nggak lah, Mbak. Kenapa bisa terduga homo, sih?"

"Kan prinsipnya gitu Mel. Cowok ganteng itu kalo nggak berengsek, ya homo. Dokter McFord nggak berengsek. Berarti homo."

Aku menaikkan sebelah alis. Ada trauma apa Mbak Anggun dengan cowok ganteng sampai bisa menarik kesimpulan seperti itu?

"Eh maap maap, nggak homo deng," Mbak Anggun melirik penuh makna. "Kan udah sama kamu."

"Mel, pancinya nggak nemu," Circa menghampiri dengan bibir ditekuk. "Ntar aku anter aja ke rumah kamu, ya? Nih sementara aku ganti indomi."

"Generasi micin," cebikku malas, tapi kuambil juga. Nggak mau rugi. "Udah biar aja. Kenang-kenangan. Gampang panci bisa beli lagi."

Mbak Anggun terkekeh menutup mulut. "Tinggal sun dokter Luke, dapet tuh 1 set panci keramik dari Lejel Home Shopping tanpa perlu kredit."

Keduanya tertawa mengejek berbarengan. Sialan memang, wajahku terbakar lagi, menerka seperti apa sensasinya mencium dokter McFord.

"Booking-in dokter juga dong, Mel," lenganku dicubit gemas oleh Circa. "Nggak harus bule deh. Yang penting ganteng. Yang kearipan lokal juga boleh."

"Ada," sahutku cepat. "Yang sipit-sipit mau?"

"Dokter Yuan kan homo, Mel," Mbak Anggun menyela polos.

"Hish, jangan yang homo juga, Mbak!" desis Circa kesal.

"Emang kenapa? Homo juga manusia, berhak bahagia, Ca. Mana tau sama kamu homonya ilang. Hohoho."

Di luar kos sudah ada Elia, dokter McFord, dan Bu Karlina menungguku. Sebelum pergi dengan dokter McFord, aku menyalimi Bu Karlina. Beliau memelukku erat, lantas berbisik, "Maafin saya, Mel. Jangan lupa kalau mau lahiran, beritahu kami semua."

***

Elia sompret, mengapa dia malah naik Beat-nya, tidak ikut di mobil denganku?

Ya aku tahu, harus ada yang membawa si Beat. Siapa lagi kalau bukan pemiliknya. Tapi tetap saja, aku berdua dokter McFord di mobil, setelah kejadian di arena lumba-lumba tempo hari, adalah kecanggungan yang paripurna!

Hening menguasai Prius, dokter McFord mengutik kotak radionya tanpa kehilangan fokus di roda kemudi.

Bila nanti saatnya telah tiba
Ku ingin kau menjadi istriku
Berjalan bersamamu dalam terik dan hujan
Berlarian kesana kemari dan tertawa

Darahku berdesir. Dokter McFord mengganti frekuensi dengan alis berkerut.

Well I found a woman
Stronger than anyone I know
She shares my dreams
I hope that someday I'll share her home
I found a love, to carry more than just my secrets
To carry love, to carry children of our own

Dia mengganti lagi dengan sedikit tidak sabar. Ganti cepat! Aku benci lagu cinta.

Kucoba coba melempar manggis
Manggis kulempar mangga kudapat
Kucoba coba melamar gadis
Gadis kulamar janda kudapat

Dka berjengit, tapi tidak mengganti frekuensi lagi. Dia sudah menggenggam perseneling, fokus menyetir lagi. Alunan Cucak Rawa milik Didi Kempot menemani kami, jauh lebih baik daripada lagu Akad dan Perfect tadi. Boleh juga selera musik dosenku.

Aku ingin menghapus keheningan.

"Dok, nggak perlu lagi repot-repot untuk saya. Saya sama Elia bisa pindahan sendiri."

Dia melirik sekilas saja. "I know. Ini disuruh Mom. Dia yang nggak mau calon mantu kesayangannya pindahan sendirian."

Calon mantu kesayangan merujuk kepada Elia, bukan aku.

"Kalo gitu..." Aku menahan napas. "Saya janji, setelah lahiran saya akan pindah. Dokter jangan khawatir."

Manuke manuke cucak rowo
Cucak rowo dowo buntute
Buntute sing akeh wulune
Yen digoyang ser-ser aduh enake

Tanpa pikir panjang kumatikan radionya. Dokter McFord menyalakan lagi. Mungkin untuk menegaskan: ini mobilku bukan mobilmu.

"Why? Kamu nggak enak hati setelah nolak aku?"

Hish! Aku menggeram kesal. Itu tahu, kenapa harus diperjelas?!

"Gimana enaknya kamu, deh. Mau berubah pikiran dari nolak jadi nerima juga boleh."

"Hell no," dan tolong jangan bicara sesantai ngopi di pinggir pantai, seolah penolakanku cuma tai. Aku menangis sepanjang malam setelah menolak Dokter, tau!

Dia mencucu. "Katamu kemarin suka banget sama mataku."

Berengsek! "Matanya doang. Ma-ta-nya."

"Katamu kita harus jalan berdampingan, supaya bisa saling menjaga."

"Jalan. Bukan jadian."

"Siapa yang ngajak jadian?" cibirnya. Lah terus ngajak main dakon? "Be mine, means I want to marry you. Nikah. Bukan jadian. Kalau hanya sebatas jadian you're not completely mine."

Aish, terserah.

Kulempar pandang ke luar, enggan melanjutkan pembicaraan. Aku ingin menikah, tapi tidak sekarang. Aku ingin punya anak, tapi tidak sekarang. Hanya saja jika semesta memaksaku punya anak tanpa ayah, maka laki-laki yang berkata seolah ingin bertanggung jawab terhadapku ini apakah bisa kupercaya?

Sampai di pelataran parkir rumah Ezra, puncak kepalaku diusap dokter McFord. Dia tersenyum kaku.

"I'm sorry. I did not mean to enforce you. You have all the rights to say no. But please, feel free to stay here demi anak itu. Kamu nggak perlu pindah. Aku akan atur perasaanku supaya nggak mengganggu untukmu."

***

Bu Dewi, ibunya Elia, adalah salah satu single mother terhebat yang pernah kutahu. Ayah Elia sudah bersemayam di perut bumi sejak Elia masih berusia 9 tahun; artinya 10 tahun yang lalu. Tiba-tiba aku rindu di-checkmate Papa. Papa tidak pernah mengalah dalam catur, meskipun pada anak perempuannya.

Bu Dewi membuka usaha warung bakso di depan rumah, serta menerima pesanan catering jumlah kecil. Ah, belakangan sudah bisa menerima dalam jumlah besar. Sudah bisa membeli sebuah Grandmax untuk keperluan angkut catering, serta Beat merah untuk kuliah Elia. Juga bisa memasukkan Restu, adik Elia, di sebuah SMU swasta terkenal. Hasil tidak mengkhianati keringat, bukan?

Bu Helena McFord adalah salah satu pelanggan rutin catering Bu Dewi. Kehadiran sosok dua ibu tangguh di rumahku—rumah Ezra, gebleg—untuk bantu berbenah, adalah kejutan bagiku. Apalagi beliau membawa bingkisan yang tidak sedikit, berupa keperluan untukku dan calon bayi.

"Nanti abis lahiran kan pas sama libur semester dan lebaran. Melati ikut Eli pulang ke rumah, ya?" tawar Bu Dewi sambil mengangkut sebuah kardus ke kamar Elia.

Aduh. "Makasih, Bu. Saya di sini aja, nanti ngerepotin."

"Pasti ngerepotin," celetuk Bu Helena. Makjleb. "Namanya juga habis lahiran, Mel. But we can't leave you alone here, you're gonna need some help. You have to choose, ikut El ke rumahnya, atau Luke saya suruh geret kamu and the baby ke rumah saya."

Kedua ibu tertawa bersama, sebelum akhirnya menghilang ke kamar Elia. Aku mendengar bisikan setan Elia dari belakang.

"Pilih Mom aja. Jamin makan Big Mac, nyemil McFlurry, tiga kali sehari. Kalo pilih Ibu, cuma makan bakso. Be aja."

Aku menggeram menuju kamarku. Elia tidak kuberitahu kalau aku sudah menolak dokter McFord. Kalau Bu Helena, entahlah, kurasa putranya belum cerita pada beliau. Sebab kalau sudah, agak mustahil aku diterima di rumah Ezra seperti sekarang.

Fasilitas yang sudah tersedia di kamarku adalah ranjang single, lemari pakaian, meja standar dan kursi, serta AC. Ya amplang, ada AC. Tidak heran, sebab rumah dokter McFord memang full AC. Tapi perjanjiannya adalah aku dan Elia membayar listrik, air, serta iuran sekuriti perumahan. Di kamar mandi, ada pemanas air listrik.

Anjay. Bisa khilaf listrik aku di sini.

"Butuh bantuan?"

Dokter McFord bersandar di kusen pintu dengan kedua tangan terselip di saku jins. Pose yang menggelitik imanku. Iya ngerti situ karismatik, sengaja nampang ngomporin supaya aku nyesel udah nolak kan?

"Nggak." Aku mengibas tegas.

Kumulai dengan membuka kardus bertuliskan 'BAJU', mengambil setumpuk piyama atasan dari kardus, kumasukkan di lemari kedua dari atas.

Terdengar suara carik, lalu kulihat dokter McFord sudah berlutut di dekatku, menarik lakban yang menyegel sebuah kardus bertuliskan 'BUKU'. Kalau saja tidak ada ibundanya di sini, dia sudah kusemprot omelan.

Tak kuacuhkan dia yang mengatur buku-bukuku. Aku kembali mengatur pakaian di lemari. Tanganku berhenti karena sesuatu terlintas di otak.

Kemeja putih itu, apa dia masih di lemari kosku? Kalau kutemukan pemiliknya, apa yang akan kulakukan? Bisa saja aku memaki, menampar, atau menendang selangkangannya supaya dia tidak bisa berkembang biak lagi. Tapi apa melakukan itu akan melegakan dadaku? Bukankah itu malah menyiram bensin ke bara hatiku?

Tapi aku juga tidak semulia itu untuk memaafkannya.

Terdengar suara carik lagi. Dokter McFord sudah membuka kardus 'BUKU' keduanya. Isi kardus pertama sudah berjejer manis sesuai tinggi di meja. Sekarang dia mulai mengatur isi kardus kedua. Dibandingkan denganku yang menyusun satu kardus baju saja tidak segera kelar, dia memang... wait.

"DOKTER!!!"

Belingsatan kusambar kain putih yang dokter McFord pelototi khusyuk di tangannya, kulempar ke dalam lemari pakaian, lantas membanting pintunya. Napasku tersengal, dadaku naik-turun, kemudian kutikam dosenku dengan mata membunuh.

Si goblok itu mundur dari kardus seraya mengangkat kedua tangan di dada.

"Maaf, kupikir kain pel..."

"YAKALI KAIN PEL BENTUKNYA SEGITIGA TERUS ADA RENDANYA, DOKTER!"

"Mana aku tahu punya cewek ada rendanya. Punyaku nggak ada!"

ARGH! Sempak!

Itu celana dalam sudah terlalu lawas; warnanya butek, katunnya melar, karetnya lepas! Seharusnya kumusnahkan dengan menggunting kecil-kecil lalu dibakar, tapi belum sempat kulakukan, dan hari ini ternoda dengan sidik jari dosenku sendiri!

"KELUAR! SAYA BENCI DOKTER!"

***

Berbenah kamarku sudah selesai, dibantu Bu Helena yang sedari tadi bibirnya mengeriting geli.

"Maaf ya, Mel. Luke kadang sedikit pekok. Cubit aja kalau dia kumat. Kamu biasanya pakai apa, Victoria's Secret? Pierre Cardin? Ntar beli sama-sama saya, kuy."

Kami malah jadi saling curhat tentang pakaian dalam selama berbenah. Pembicaraan merembet dari pakaian dalam wanita jadi pakaian dalam pria, terkhusus ukuran putra sulungnya.

"Luke itu paling males buang celana dalam sendiri. Biar sampai bolong-bolong masih juga disimpen di lemari. Untungnya nggak dia pake sih, tapi tetep jadinya tiap bulan saya harus rutin inspeksi kolor."

Bibirku spontan menuturkan apa yang terlintas di benak. "Kok bisa bolong-bolong, memangnya punya Dokter setajam itu?"

"Lupa juga saya, Mel. Terakhir lihat 20 tahun yang lalu sebelum khitan, lumayan tajam sih."

Topik apa ini? Mana mungkin aku jadi menantu beliau kalau begini caranya.

Aku dan Bu Helena ke dapur karena mengendus aroma segar saus tomat. Kami pikir Bu Dewi yang memasak, rupanya dokter McFord. Cih, pria yang tangannya semulus pantat bayi itu bisa masak apa? Popmi?

"What's that?" tanya Bu Helena di samping putranya yang sok iyes mengaduk teflon dengan spatula kayu di atas kompor kitchen set. Dia melirikku sekilas, tapi aku enggan mendekat, diam saja di pintu dapur.

"Macaroni schotel."

Eleh.

"Delicioso," komentar Bu Helena setelah mencicipi sausnya dengan sendok teh bersih. Iyalah, beliau kan ibunya.

Dokter McFord mengambil sendok teh bersih lain, lantas menyendok saus. Dia menatapku dengan kening berkerut, berpikir, sambil mengulum sendok. Memainkan stainless steel itu dengan bibir dan lidah.

"Mel, cicipin dong."

Sialan. Dia lucu. Dan seksi. Bersamaan.

Demi menghormati Bu Helena, kucicipi sekilas saus dokter McFord, berkata enak, kemudian berinisiatif mencuci peralatan masak yang sudah selesai dipakai. Tangan dosenku benar-benar terampil, mengaduk jadi satu makaroni rebus, telur, irisan daging, kacang polong, dan potongan dadu wortel ke dalam saus. Setelah ditata ke dalam 6 mangkuk aluminium, adonan itu dipanggang dalam oven, direndam separuh dalam loyang berisi air.

Fasilitas di dapur ini sungguh lebih dari cukup; ada kulkas 2 pintu, kitchen set, magic jar, dispenser panas-dingin, oven microwave. Di tanganku yang buta kuliner jelas nirfaedah, namun pasti berguna untuk Elia yang piawai memasak seperti ibunya. Aku harus berguru dari Elia demi anakku.

Ketika oven berdenting tanda selesai, dokter McFord tidak di dapur. Kubuka oven dengan hati-hati, hawa panas menyerbu wajahku, bersama aroma umami yang segera memenuhi rongga dadaku. Setelah memakai sepasang sarung tangan handuk, kukeluarkan loyang dari oven perlahan. Liurku hampir menodai salah satu macaroni berwarna keemasan itu.

"Udah mateng?"

Sontak aku mundur karena tegur tiba-tiba itu. Air panas dari loyang terjun sebagian ke kakiku, ajaib aku berhasil meletakkan loyang di meja sebelum kejer menjerit,

"Panas! PANAS!"

Dokter McFord berkali-kali meminta maaf ketika membimbingku duduk ke sofa depan tv. Aku mendesah panjang, mengamatinya berlutut di depanku, mengompres kakiku dengan kain dingin.

Rambut keemasan itu memanggil manja pada tanganku, yang sudah terulur ingin meremas. Kelabakan kutarik lagi sebab dia tiba-tiba menengadah. Poniku disentil ringan, tawanya berderai renyah.

"You're such a klutz."

Bisakah sedetik saja, jangan buat aku baper, Dok?

Kami berenam, termasuk supir Bu Dewi, makan malam lesehan di depan tv, ditemani tayangan Diary of Wimpy Kid. Ini bukan macaroni schotel pertamaku, tapi jujur saja, ini yang paling enak. Porsi saus dan cream cheese-nya sangat pas; tidak kurang, dan tidak too creamy. Bawang bombaynya matang sempurna dan masih kriuk saat dikunyah. Kacang polong yang kugigit meletus, memberi sensasi ceria di mulut. Sementara makaroninya, kata Bu Dewi,

"Al dente," sambil membentuk O dengan ibu jari dan telunjuk, kemudian mengecup ringan ujungnya. Macam juri kompetisi memasak di tv.

Schotelku sudah ludes tak bersisa. Bahkan kukorek-korek saus yang melekat di wadah aluminiumnya. Mau menjilati wadahnya tapi malu. Sayang sekali dokter McFord membuat dalam jumlah pas, tidak ada lebihnya. Padahal aku mau lagi.

Schotel lain yang masih utuh disodorkan dr. McFord di depan hidungku.

"Lagi?"

Aku mendelik. Sejak tadi dokter McFord memang belum memakan bagiannya; dia sibuk mengutik smartphone dengan wajah serius.

"Dokter nggak makan?"

Dia menggeleng. "Nanti saja. OP cito, bocah main petasan kena mata. Aku harus pergi."

Elia membekap satu mata sambil meringis.

Setelah berpamitan singkat dengan kami, dokter McFord meraih jaketnya di gantungan dekat pintu, dan menghilang ke luar. Aku tercenung, dengan macaroni schotel jatah dokter McFord di tanganku.

Aku yang ceroboh dan kekanak-kanakan ini, telah menolak untuk dijadikan kekasih seorang ophthalmologist berusia 26 tahun; berdedikasi tinggi; belum pernah jatuh cinta; dia sopan dan perhatian; berpenghasilan 50 juta perbulan; bertampang sekelas diCaprio pada masanya; terampil pula bertempur di dapur. Besar kemungkinan juga jago bermain catur.

Aku tidak menyesal. Dari sudut manapun kami memang tidak sekufu.

-BERSAMBUNG-

Malang, Maret 2018

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top