16 Karaoke
🌟
HANGOVER #1 - THE HAZARDOUS NIGHT
Chapter 16 Karaoke
🌟
Rasa cemas sudah menyeruak di kepalaku ketika Circa bilang aku diminta menemui Bu Karlina. Rumah Bu Karlina tepat bersebelahan dengan kavling kos, dan beliau hampir selalu ada di rumahnya. Sebelum berangkat kuliah, kusempatkan untuk memenuhi panggilan beliau.
Setelah menyuguhiku dengan segelas teh hangat dan biskuit kaleng, beliau duduk di sampingku. Menepuk pelan pahaku, lantas tersenyum.
"Gimana, Mel, nggak capek hamil sambil kuliah?"
Pertanyaan retoris itu kutanggapi dengan senyum sopan. "Capeknya ya capek, Bu. Tapi sudah jalannya begini." Aku mengangkat bahu dan tertawa pasrah.
"Alhamdulillah, sehat terus ya. HPL kapan, Mel?"
"Insya Allah akhir Juni, Bu."
Sebenarnya, aku bisa meraba apa yang ingin disampaikan Bu Karlina. Beliau tidak bermaksud mengusirku, hanya saja, rumah kos yang beliau sewakan memang tidak diperuntukkan untuk bayi. Aku paham itu. Beliau masih mengizinkanku tinggal di sini selambat-lambatnya akhir Mei.
Sebelum akhir bulan ini, aku harus menemukan tempat tinggal baru. Yang bisa menerima bayi.
"Maaf ya, Mel. Saya cuma bisa bantu sampai sini," Sebelum aku pamit kuliah, Bu Karlina memelukku. "Kalau boleh saran, kamu cari rumah kontrakan. Kedepannya pasti lebih nyaman untuk kamu dan si kecil."
"Nggak papa, Bu, saya ngerti kok." Kubilang mengerti, namun tetap saja dadaku serasa dihimpit. "Makasih banyak, Bu. Saya pertimbangkan untuk cari rumah kontrakan."
Kami melepas pelukan dan tersenyum. "Kalau ada rumah kontrakan dekat sini, ntar saya kasih tahu kamu, Mel."
Pagar rumah Bu Karlina sudah kututup. Aku menengadah pada langit. Bu Karlina memintaku pergi baik-baik. Setidaknya, aku tidak dihempas ke depan kos dan dilempari barang-barangku seperti di FTV. Pelupuk mataku berusaha menopang air mata, yang pada akhirnya tetap saja merembes.
Tidak apa-apa, Melati. Pasti ada jalan.
***
Untuk traktiran ulang tahunku, aku memutuskan untuk mengajak geng Sora Aoi plus Elia ke karaoke, karena yang kutahu Sandra, Joko, Roman, dan Elia gemar sekali menyanyi. Pada dasarnya kami semua cukup senang menyanyi. Tapi senang bukan berarti bisa: contohnya aku.
"Dalam rangka apa nraktir karokean, Mel?" tanya Fathir yang duduk di bangku penumpang depan.
"Mau aja. Memang harus ada dalam rangkanya?"
"Nggak sih," Fathir meringis. "Tumben aja nraktirnya karokean. Biasa juga paling banter sempol."
"Asem." Memangnya aku sepelit itu?
Danny melirik sekilas dari bangku kemudi. "Kamu nggak ulang tahun kan, Mel?"
"Nggak," jawabku jujur. Setidaknya memang bukan hari ini, tapi dua hari lagi. Karaokeannya sengaja kupercepat karena kebetulan kuliah kami kosong dan Elia memang tidak ada jadwal hari Senin siang. "Ulang tahunku udah lewat," Nah yang ini baru bohong. "Orang cuma mau baik malah suudzon. Nggak ada yang pingin ditraktir kali ya? Puter balik ke kampus, Dan!" Kutepuk cepat bahu Danny.
"HAH JANGAN LAH!"
"Ampun Ndoro Putri panutanku!"
Aku tersenyum penuh kemenangan.
***
Sampai di tempat karaoke yang kabarnya milik seorang diva itu, sudah ada Elia yang lebih dahulu ke TKP dan memesan room untuk 5-8 orang sesuai yang kuminta. Sebenarnya aku mentraktir sepuasnya, semau mereka, tapi Sandra bilang sebaiknya dua jam saja dulu. Kalau kurang baru nambah. Lagipula Sandra punya freepass 1 jam; jadi kami mempunyai 3 jam.
"Ngapain si Jamur Tempe ikut?"
Yang dimaksud Joko tentu saja Elia, telunjuknya menuding gadis itu saat kami menuju room. Elia mendelik lebar.
"Mau pamer suara," Elia mendengus, lantas mengeluarkan sesuatu dari tas selempangnya. Sebuah mikrofon. "Pake ini. Semua boleh pinjem kecuali si sipit!"
"Hilih. Di room-nya udah ada dua mic. Nggak pernah karokean ya, Neng? Udah keliatan dari cemprengnya."
"Ini mic ajaib tau." Elia mengangkat bangga benda hitam yang tidak ada istimewa-istimewanya itu. Tampak seperti microphone nirkabel biasa. "Pokoknya semua boleh kecuali si sipit. Cium jempol kaki aku dulu baru boleh pinjem."
Aku menepuk dahi. Sepertinya perang belum berakhir.
Danny tidak tahan untuk bertanya. "Emang mic apaan itu?"
"We'll see." Elia mengedip sebelah. "Eh salah, we'll hear, ding."
Pasti itu microphone dari teman SD-nya yang waktu itu Elia ceritakan di bioskop. Microphone yang membuat suara sehancur Giant-pun akan merdu kalau menyanyi dengan itu. Aku jadi penasaran dengan teman yang satu ini; tersusun dari apa sel otaknya bisa membuat barang seabsurd ini?
Elia butuh memasang bluetooth ke salah satu port di speaker yang terpasang di atas room. Cukup sulit, namun Fathir, Roman, dan Danny berhasil memasangnya. Joko tentu saja tidak sudi membantu dan sibuk memilih lagu yang ingin dia nyanyikan. Dia memulai dengan Shape of You milik Ed Sheeran, dengan sedikit improvisasi mengubah lirik.
Club isn't the best place to find a lover
So karaoke is where I go
Me and my friends at the table sing a song
Duet fast and then we talk slow
Dengan senyum menantang, Joko bergoyang dan menunjuk meliuk pada Elia, memberi gestur pada gadis itu untuk ikut menyanyi. Selesai menyetel microphone-nya, Elia menyambung di part yang sesuai. Dengan pengubahan lirik pula. Gayanya selangit.
Boy you know you want my love
My love was handmade for somebody like you
Come on now follow my lead
I may be crazy don't mind me, say
Boy let's not talk too much
Grab on my waist and put that body on me
Come on now follow my lead
Come come on now follow my lead
"Hmm hmm hmm."
Alih-alih suara cempreng, suara Elia drastis menjadi suara pria bernada jazz yang sekilas mengingatkanku pada suara Tompi. Fathir, Roman, Danny, Sandra dan aku bertepuk norak tersihir magis sang microphone. Sandra dan Danny berebut untuk menggunakan microphone itu di lagu selanjutnya.
Joko ternganga dan kehilangan beberapa part lagu, yang pada akhirnya dilahap Elia dan microphone-nya.
You're in love with the shape of me
We push and pull like a magnet do
Although your heart is falling too
You're in love with my body
Last night you were in my room
Now my bedsheet smells like you
Everyday discovering something brand new
You're in love with my body
Tak mau bersenang-senang sendirian, Elia menjelaskan sedikit manual penggunaan microphone itu. Ada beberapa tombol di microphone yang harus ditekan, diantaranya memilih suara perempuan atau laki-laki. Lalu, memilih nada tinggi, menengah, atau rendah. Terakhir memilih genre: pop, klasik, rock, jazz, funk, blues, country, dan metal. Urusan suara asli kami yang seperti kucing terjepit ekornya, serahkan pada kecerdasan buatan di dalam microphone. Sepertinya cukup mudah untuk orang awam musik sepertiku.
Sandra ingin mencoba genre rock dan menyanyikan single lawas Somewhere I Belong milik Linkin Park. Roman dan Danny menemaninya berteriak seperti kesetanan. Sesekali aku dan Elia mengelu-elukan kebolehan mereka dari sofa.
"Woy kalem! GAK LAMA AMBRUK NIH ATEP!"
Fathir berseru nampak khawatir karena ketiga temannya terlalu terbakar euforia, tak sadar kalau mereka sedang melompat dan mengentak sekuat tenaga. Joko, Elia, dan aku tergelak geli bersama.
Aku menyikut Elia yang langsung merapat padaku. "Temen kamu bisa buat apalagi selain mic itu?"
"Macem-macem." Sepasang manik Elia mengilat diterpa lampu sorot room. "Yang aku tau dia pernah buat setrika foldable untuk ibunya. Sarung tangan mouse untuk abangnya. Trus program manajemen analisis apalah itu untuk bapaknya. Motor dia sama mobil abangnya modif sendiri pake solar cell dan air, jadi nggak pernah beli bensin. Itu yang aku tau berhasil. Yang gatot, gethuk, dan cenil kayaknya udah ribuan, Mel."
"Keren bener!" decakku jujur. "Jadi penasaran. Temen kamu itu kayaknya cocok kalo ketemu seseorang. Tau Ezra McFord, Li? Salah satu yang bikin Wifi over World. Aku langganan itu di hapeku, soalnya murah. Masih seumuran kita, dan dia..." Aku menahan napas, "dia adiknya Dokter itu."
Sial. Cuma bilang 'dokter itu' aku sudah senam jantung.
"Dokter mata biru itu?" Elia meringis lebar. Firasatku jelek. Sepertinya aku salah bicara. "Ooh, jadi dia kakaknya si Ezra yang viral itu. Aku kenalin sama Ezra dong, Mel. Gak dapet abangnya bolehlah dapet adeknya."
"Gak bisa." Bibirku mengerucut. "Kata Dokter si Ezra tergila-gila sama satu cewek hampir 10 tahun tapi bertepuk sebelah tangan. Iya. Mungkin matanya di dengkul sampe bisa nolak spesies sekelas Ezra... aduh!"
Lengan atasku dicubit keras oleh Elia. "Memangnya kalo si Ezra itu mau sama kamu, kamu mau sama dia?"
Kutampakkan ringisan malu. "Hehe, nggak sih." Aku maunya si kakak.
"Jadi bukan salah cewek itu juga kalo dia nolak. Sesuai kata si dokter itu: cinta sama dengan makan. Kalau dipaksa nggak enak."
Mengutip quote dokter McFord, penjelasan Elia terdengar masuk akal. Aku mengangguk perlahan. Baiklah, cinta memang tidak bisa dipaksa. Seperti tidak bisanya aku berlari dari jeratan dokter McFord; semakin kucoba menjauh, justru kami semakin mendekat.
Kupandang telapak kiriku yang hari itu dia genggam. Telapak bidangnya mengunci erat milikku. Hangat sekali. Sementara iris samuderanya berputar begitu sejuk, dengan aku sebagai pusat arusnya. Saat itu aku berdoa kami naik ke lantai sepuluh, bukan cuma lantai tiga, demi dapat menggenggamnya lebih lama.
Matamu melemahkanku
Saat pertama kali ku lihatmu
Dan jujur ku tak pernah merasa
Ku tak pernah merasa begini
Aku menangadah. Elia, Joko, dan Fathir sudah berdiri di depan layar plasma, berkonspirasi licik menyanyikan lagu itu. Elia berengsek. Pasti dia yang memilih!
Oh mungkin inikah cinta pandangan yang pertama
Karena apa yang kurasa ini tak biasa
Jika benar ini cinta, mulai dari mana?
Oh dari mana?
Asu.
"Dari matamu, matamu, ku mulai… KESURUPAAN!"
Yang berteriak bukan cuma ketiga tokecang di depan, tapi juga Sandra, Roman, dan Danny berperan sebagai pemandu sorak. Aku membenamkan wajah di pangkuan.
Aarrgghhh!!!
"Ku melihat, melihat... ada bayangnya. Dari mata dokter buatku jatuh, jatuh terus... jatuh ke hati~"
***
Lima kali aku membasuh muka di wastafel tetapi noda merah yang memenuhi wajahku tidak juga hilang. Terang saja, sebab ini bukan noda dari luar. Semburat ini berasal dari pembuluh yang terpompa begitu cepat, hingga tekanannya menyesakkan wajah.
Sial, panas sekali di dalam sana.
Awas saja geng Sora Aoi tidak akan lagi kupinjami pensil warna pink. Dan Elia, tidak akan kubiarkan menyentuh toples kacangku lagi. Aku yang mentraktir, aku yang dibuli. Mereka memang sahabat sejati.
Pantulanku di cermin benar-benar kacau. Beberapa bagian rambut basah terlepas dari kuncir buntut kuda dan menempel di pelipis. Aku mengeringkan wajah dengan tisu yang tersedia dan melepas kuncir, menyisir rambut dengan jari, dan segera menguncir lagi.
Masih tidak rapi, namun setidaknya tidak seamburadul tadi. Aku mengembus panjang. Apa terlukis segamblang itu di wajahku, bahwa aku menyukai dokter McFord?
Ah, tidak. Ini gara-gara Elia saja yang menghasut geng Sora Aoi untuk mengejekku dengan lagu itu. Dasar provokator cebol.
Aku mencoba menenangkan diri dengan mengecek smartphone. Ada pesan di group chat Sora Aoi berisi foto-foto kami di room karaoke, yang langsung ku-back tanpa membaca. Bisa hipertensi aku.
Ada pesan dari Elia satu jam lalu, ketika dia masih menunggu sendiri di lobby karaoke. Tidak perlu dibalas. Di jam yang sama, ada pesan dari dokter McFord.
dr. McFord
hari rabu selesai kuliah ada acara?
Kupandang diriku lagi di cermin. Merah lagi? Astaga, Mel!
Mel
ada
kenapa dok?
Kuhapus bagian 'kenapa dok?' supaya terkesan cuek, sisanya kukirim. Kalau cuma lewat pesan, mudah saja aku bersikap judes. Kalau bertemu langsung, imanku mengalami kemodaran yang haqiqi.
Status dokter McFord sedang tidak online, jadi tanpa menunggu kususupkan smartphone kembali di saku rok. Aku keluar toilet menuju lobby, berniat membeli camilan untukku dan bocah-bocah di room, namun langkahku berhenti di depan sebuah room lain.
Samar, namun aku yakin suara laki-laki di dalam bergetar hebat. Parau, setengah meraung. Mungkin menangis, entahlah.
I've been a liar, been a thief
Been a lover, been a cheat
All my sins need holy water feel it washing over me
Well, little one
I don't want to admit to something
If all it's gonna cause is pain
Truth and my lies now are falling like the rain
So let the river run
Sebab kepo mendengar suara menyayat, aku mengintip dari balik kaca kecil di pintu room itu. Aku memelotot.
Pria berhoodie merah itu memiliki mata tunggal yang mengilat karena air matanya tersorot lampu. Rambut hitam keunguan itu nampak semrawut, dan di kesempatan ini, ada yang berbeda dari Incognito.
Selain menangis, dia tidak menutup mata kirinya dengan lapisan apapun. Napasku tertahan. Lenganku bergerak lebih cepat dari otak, menolak pelan pintu baja yang menyekat kami.
Belingsatan, Ito menyeka mata dan wajah dengan lengan hoodie-nya. Microphone yang digenggamnya terhempas ke sofa.
"Lo ngapain?!"
Bentakan itu menyadarkan bahwa aku telah melihat sesuatu yang tidak seharusnya. Yang bisa kukatakan hanya, "Maaf."
"Bentar."
Baru aku ingin berbalik, Ito beranjak mencekal lenganku. Aku menoleh kembali. Kali ini dia tidak ragu menunjukkan padaku pasangan mata kanannya, yang sebenarnya tidak ada. Mata kiri itu menutup sempurna, dengan bekas jahit menyegel melintang di pelupuknya. Manik pasangannya menatapku lurus tanpa air mata lagi, namun merah skeleranya membuatku cemas kalau dia kena infeksi.
"Please, Mel. Aku butuh teman."
***
Kenapa juga aku rela duduk di sofa ini, menemani Ito di sini, daripada kembali pada teman-temanku di room sebelah?
Mungkin karena iba dengan puppy eyes-nya, atau mata tunggalnya terlalu mengguncangku, atau karena air matanya. Ah entahlah. Untuk apa kupikirkan ini?
Sekali lagi, untuk kesepuluh kalinya aku melirik mata kiri Ito, ketika saat ini dia sedang bersamaku menyanyikan Supermassive Black Hole milik Muse. Janggal sekali kalau itu kusebut mata padahal tidak ada bola mata di situ.
You set my soul alight
Glaciers melting in the dead of night
And the superstars sucked into the supermassive
Kalau black hole adalah warna iris mata Ito, maka supermassive black hole adalah rongga kiri yang kosong itu. Fokusku tersedot ke satu titik gelap itu.
"Gampar aku lagi dong, Mpus. Kayak di parkiran kemaren."
Aku berjengit. Setelah waktu itu seenak jidat dia mencium pipiku di parkiran, reflek kutampar keras wajah Ito. Kurang ajar memang dia, beraninya menciumku. Terlebih ada dokter McFord melihatnya, aku semakin khawatir akan disemprot amarah lelaki terbakar cemburu. Syukurlah dokter McFord tidak begitu; alih-alih marah, dia justru menggenggamku seolah tidak mau lepas.
"Tanganku terlalu suci untuk menyentuh seekor Tokek." Aku mengibas tak acuh.
"Perlu dicium lagi biar digampar?" Cepat-cepat kugeser badan menjauh setengah meter. Ito menatapku lurus. "Aku seneng tau digampar cewek, apalagi cakep."
Aku mendengus kasar. "Tahu gini kemarin kugorok."
"After all this mess, I do deserve it from you."
Masih tak kupahami apakah Ito sedang serius atau berkelakar seperti biasa. Tatapnya begitu vakum hingga tak teraba apapun olehku. Namun ada hal lain yang lebih membuatku penasaran.
"Itu," aku meraba mata kiriku sendiri. "Dokter McFord yang buat?"
"Ya, salah satunya si bubble wrap."
"Apa penyebabnya?"
"Lo deket sama dia. Tanya sendiri."
Tak mengacuhkan aku yang berdecih, Ito memilih alunan Mirrors milik Justin Timberlake.
Aren't you something to admire
'Cause your shine is something like a mirror
And I can't help but notice
You reflect in this heart of mine
Ito menyanyikannya sambil menatapku nanar.
"What's wrong with you, Ringgarda?"
Cause with your hand in my hand
And a pocket full of soul
I can tell you there's no place we couldn't go
Dia mengatakan ini dengan jelas sebelum reff. "Kamu boleh panggil aku Garda kalo kita cuma berdua seperti ini."
Cause I don't wanna lose you now
I'm looking right at the other half of me
The vacancy that sat in my heart
Is a space that now you hold
Show me how to fight for now
And I'll tell you, baby, it was easy
Coming back into you once I figured it out
You were right here all along
"Aku prefer manggil kamu Tokek."
Dia tidak melanjutkan nadanya, malah tertawa tanpa suara. "Serah, deh. Dipanggil 'Yang' juga ikhlas."
"Peyang?"
"Bukan. Kuyang!"
Ah, sial. Dia lucu sekali dengan bibir mengerucut dan pipi gembung itu. Aku tidak bisa menahan senyum.
"Ya udah kalo nggak mau cerita." Ibu jariku menunjuk pintu. "Tapi kamu udah baikan kan? Aku harus balik ke room sebelah. Ditunggu anak-anak."
"Jangan!" Lenganku dicekal lagi. "Aku nggak jadi baikan. Aku mau nangis lagi habis ini. Kamu harus khawatir."
Dahiku mengerut. Dia mirip seseorang.
"Ikut ke room-ku, mau? Daripada di sini durjana sendiri, ntar malah bundir."
Dia mengentak ceria seperti Hachiko. "Mau! Garda mau ke manapun asal sama Mpus."
-BERSAMBUNG-
Malang, Maret 2018
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top