A

Cerita ini terinspirasi dari JON BON JOVI. Rocker favorit saya. Bintang yang hidupnya gak pernah aneh aneh. Setia, sayang keluarga dan juga tekun menjalani kariernya.

***

Nama asliku Gunung Pratikno. Meski nama belakangku jarang digunakan. Orang lebih mengenalku dengan nama Gunung. Atau Gun. Aku seorang rocker yang berkarir di Jakarta. Meski lebih sering menyanyikan slowrock. Namun ada juga beberapa singleku yang bergenre HardRock. Pernah juga aku menelurkan album heavy metal. Yang terakhir hanya untuk kepuasan batin saja.

Dari hasil menyanyi, aku memiliki beberapa properti dan juga kendaraan. Meski tak ada satupun yang berkategori mewah. Namun aku bahagia, minimal tidak lagi bergantung pada orangtua. Tak jarang aku pulang ke kampungku dengan mengendarai motor, malas terjebak macet adalah alasan utamaku. Meski ibu selalu marah, karena takut aku kecelakaan.

Meski begitu aku tidak seperti bayangan kalian. Kalau tatto ya, aku punya. Bahkan hampir diseluruh tubuh. Yang terbaru malah dileher. Rambutku ikal dan cukup panjang. Sering kuikat jadi satu. Soal penampilan  ya biasa sajalah. Aku sering pakai kaos hitam dan juga jaket. Sepatu  Vans atau merk lain yang nyaman dipakai. Aku tidak terlalu peduli dengan penampilan. Buatku yang penting bersih! Catat aku tidak suka kotor.

Jadwal manggungku cukup padat. Dari sanalah pundi pundiku berasal. Aku sudah langganan mengisi berbagai acara. Dipanggung maupun televisi. Aku juga memiliki clothing line sendiri. Untuk memuaskan para fansku akan segala properti panggung yang kugunakan.

Meski begitu, sampai sekarang keluargaku sangat menentang jalan yang kupilih. Bapakku  seorang juragan. Selain itu, beliau pernah menjabat sebagai camat. Sehingga keluarga kami sangat dihormati. Hampir semua merupakan pegawai negeri yang sukses. Di kampung kami memiliki tanah yang luas. Juga beberapa unit usaha lain.

Aku dua bersaudara. Masku bernama Benua Pratikno. Lebih dikenal sebagai dokter Ben
Putra kebanggaan keluarga besar. Sering melompat kelas dan akhirnya menjadi dokter ternama.  Bahkan baru saja dia dibangunkan sebuah rumah sakit oleh bapak. Tanda sukacita orangtuaku atas keberhasilannya.

Kami berdua sangat berbeda, bagai bumi dan langit. Aku dari dulu malas sekolah. Jiwaku tidak bisa dikekang. Aku tidak pernah percaya sesuatu sebelum aku benar benar membuktikannya. Aku juga tidak percaya bahwa orang yang pandai matematika berarti akan sukses dimasa depan.

Buatku waktu masih sekolah. Mbok mbok yang jualan dipasarpun pandai matematika. Mereka berhitung tidak pernah pakai kalkulator. Tapi tidak pernah salah menghitung uang. Lalu apa gunanya belajar sampai tengah malam seperti masku Benua kalau hanya untuk menghitung tambah, kurang, kali dan bagi? Aku memberontak, dan selalu menolak untuk sekolah.

Sampai akhirnya setamat SMU, bapak menyerah dan bertanya apa mauku. Kujawab aku akan ke Jakarta untuk meneruskan karir musikku. Sejak SMP aku sudah memiliki band di daerahku. Juga mulai menulis lagu sendiri. Akhirnya bapak mengijinkan. Dengan syarat kalau dalam tiga tahun aku gagal. Maka aku harus menurut kemauan bapak. Aku setuju, dan akhirnya bapak kalah!

Hari ini aku pulang ke kampung. Karena mas Benua katanya akan menikah dengan gadis dikampungku. Meski aku tak percaya. Kenapa? Karena paling tidak ia harus bernegosiasi cukup alot dengan ibu yang dari dulu ingin punya menantu yang selevel. Jelas perempuan yang diinginkan masku tidak masuk kategori calon menantu idaman ibu.

Aku mengenal Nandhita dari kecil. Meski sebenarnya lebih mengenal bapaknya. Karena pak Hadi adalah guru SDku. Seorang pria sabar yang sangat kuhormati. Dialah orang yang tidak pernah mengatakan kalau aku salah. Namun selalu menasehati jika aku memberontak terhadap orangtuaku. Menjadi pendengar setia saat aku pulang sekolah. Rumahnya sudah menjadi rumah kedua bagiku.

Mestinya aku tiba dua hari yang lalu. Tapi karena perutku sakit jadilah aku pulang hari ini. Kali ini aku pulang dengan membawa mobil pakai supir pula. Itu bukan kebiasaanku. Tapi harus kulakukan karena takut tambah sakit. Banyak pekerjaan yang menantiku.

Memasuki desa, janur tanda ada pesta menyambutku. Tapi sedikit heran, kenapa banyak yang malah terlihat keluar desa? Sebagian wajah tampak sedih. Kusuruh supirku lebih cepat lagi. Aku penasaran. Didepan rumah pak Hadi, aku berhenti. Tidak ada suara musik atau apapun. Aku turun dengan wajah bingung. Tak ada satupun keluargaku yang tampak.

Seseorang yang kukenal sebagai warga desa menyambutku.

"Mas Gunung baru datang? Sudah ke rumah juragan Pratikno?"

Aku menggeleng heran. "Kenapa?" Tanyaku.

"Walah, nikahannya batal mas." Jawab pria itu.

Kutatap panggung pelaminan dan sekelilingku. Kumasuki rumah pak Hadi. Hanya ada wajah wajah tertunduk. Laki laki yang sangat kuhormati itu tertunduk sambil sesekali mengusap airmatanya. Entah malu atau sedih. Aku menyalaminya dan mencium punggung tangannya. Tapi dia tidak berkata apapun hanya mengusap kepalaku.
Tiba tiba aku mendengar teriakan.

"Keluar kamu! Ngapain kamu kemari kalau hanya mau melihat bagaimana malunya keluarga kami."

Jelas perintah itu untukku. Karena ia menatapku dengan marah. Kalau tak salah namanya, Nania, kakak Nandhita. Aku sedikit lupa, sudah lama tidak bertemu.

"Ada apa?" Tanyaku heran.

"Tanya sama keluarga kamu." Teriaknya lagi sambil mendorong tubuhku untuk keluar.

Kali ini, pak Hadi yang biasanya menjadi pembelaku hanya diam. Aku  menggeleng kepala tak mengerti. Namun tak urung tetap melangkah keluar. Apalagi tak lama kemudian wajah wajah kecewa  yang menatapku semakin banyak kulihat.

***

Memasuki rumah besar milik keluargaku, tampak suasana cukup ramai. Terutama kehadiran beberapa kerabat dekat juga orang kampung. Saat menapakkan kaki di pintu masuk aku mendengar kata Saaahhh. Diucapkan serentak oleh semua orang. Siapa yang menikah? Pikirku.

"Gunung, baru datang?" Ibu menyambutku dengan sangat ramah. Sesuatu yang terlihat sangat dibuat buat karena itu bukan gaya ibuku. Bagaimana bisa ibu bahagia sementara anaknya batal menikah?

Sementara bapak hanya diam dikursinya. Aku mencium tangan kedua orangtuaku sebagai tanda hormatku. Sementara masku Benua tertunduk disebuah meja yang kelihatannya baru saja digunakan untuk mengucapkan akad nikah. Disebelahnya tampak seorang perempuan yang sangat cantik tersenyum lebar. Aku langsung tak suka pada senyumnya. Mengingatkanku pada wajah ibu saat berhasil mengintimidasi bapak.

Kuletakkan tas punggungku dilantai. Semua terdiam.

"Ada apa ini? Kenapa di rumah pak Hadi nggak ada keluarga kita?"

"Pernikahannya batal. Masmu harus menikahi dokter. Beruntung ibu nggak jadi berbesanan sama pak Hadi." Bisik ibu sambil menggerakkan kipasnya. Sebuah kebiasaan saat ibu merasa senang.

"Alasannya apa? Terus bagaimana dengan Nandhita?" Tanyaku.

"Ternyata dokter Alena sedang mengandung cucu ibu. Dan Nandhita tidak bersedia dimadu. Itu bukan urusan kita. Dia saja yang mimpi terlalu tinggi mau jadi menantu keluarga kita." Jawab ibu dengan nada tak suka, saat aku menyebut nama mantan calon kakak iparku dimuka umum seperti ini.

"Tapi bu, apa ibu nggak kasihan sama keluarga pak Hadi? Bagaimana kalau itu terjadi pada keluarga kita?" Balasku. Aku tak suka pada jawaban ibu.

"Ibu sudah memberikan ganti rugi berupa uang untuk keluarga mereka tadi. Mereka cuma butuh itu. Mereka tidak punya rasa malu." Ibu semakin terlihat tak suka dengan pertanyaanku.

"Maaf bu, acaranya sudah selesai. Apa kami sudah  boleh pulang?"  Seseorang yang tadi duduk dimeja tempat mas Benua menyela pembicaraan kami.

"Oh, sudah.... sudah pak. Terima kasih banyak atas bantuannya." Jawab ibu super ramah.

Kutatap lagi mas Benua yang masih tertunduk serta senyum lebar perempuan yang sudah menjadi istrinya. Aku muak melihat pemandangan dirumahku sendiri. Aku berlari keluar rumah tanpa menghiraukan teriakan ibu yang memanggilku.

Kusuruh supir kembali kerumah pak Hadi. Sebelumnya kususul petugas KUA yang menikahkan masku tadi.

"Bapak bisa menikahkan saya?" Tanyaku.

"Lho, mau menikah sama siapa  lagi mas?"

"Saya tanya, bisa atau tidak." Tegasku.

"Yo ndak bisa mas. Wong suratnya ndak ada. Belum dilapor juga ke kantor. Nanti berat disaya."

"Lalu kenapa tadi bisa menikahkan mas Benua? Saya bisa melaporkan bapak ke polisi dengan tuduhan penyalahgunaan jabatan!" Balasku tegas.

Tampaknya bapak tersebut terdiam. Ia cukup takut dengan ancamanku.

"Saya juga mampu membayar bapak." Bisikku kemudian.

Kembali pria setengah tua itu terlihat bingung. Aku segera mengambil kesempatan ini. Aku tahu dia sudah berada dalam perangkapku. Kukeluarkan uang dua  juta rupiah dari dompetku.

"Ambil ini sebagai uang muka. Nikahkan saya dengan Nandhita. Sisanya akan saya bayar setelah buku nikah keluar. Surat surat  akan saya urus belakangan."
.
.
.
Disinilah aku berada sekarang. Baru saja menikahi seorang gadis yang seharusnya menjadi kakak iparku. Dengan mengenakan kemeja batik hasil pinjaman kakak ipar Nandhita. Gadis itu masih tertunduk sambil menangis. Namun tak urung ia mencium tanganku dengan hormat saat aku sudah mengucapkan ikrarku. Kukecup keningnya sebagaimana dibisikkan Nania kaka iparku. Kami menikah tanpa cincin kawin, tanpa lamaran, tanpa seserahan.

Aku hanya memberikan mas kawin sebesar dua ratus ribu rupiah. Sisa uang tunai didompetku. Pak Hadi serta istrinya bu Ratna menangis keras saat kami minta restu. Kegiatan terhenti saat seorang pesuruh keluargaku tiba didepan pintu. Dengan nafas terengah ia berkata.

"Mas, disuruh bapak pulang. Ibu pingsan!"

***

Aku meninggalkan Nandhita di rumah pak Hadi. Kembali kerumah orangtuaku. Rumah terlihat lebih ramai. Hampir semua mata memandangku penuh tanya.

"Apa yang kamu lakukan!" Bapak menatapku geram.

Aku diam terpaku. Tiba tiba mas Benua mendekat dan memukul wajahku dengan keras.

"Ini maumu?" Teriaknya sambil memukuliku bertubi tubi. Semua orang berteriak dan  menahannya. Aku yang tidak siap tersungkur jatuh.

Seketika darahku mendidih melihat matanya yang marah. Aku bangkit tanpa ragu aku menendang dadanya dengan kakiku. Jelas pukulanku lebih keras. Karena aku pemegang sabuk hitam karate. Masku dan beberapa orang yang memegangnya ganti terjatuh.

"Mas yang membuat kekacauan ini! Kalau sudah menghamili anak orang, kenapa masih memberi harapan pada gadis lain" Teriakku.

"Kamu nggak tahu apa apa. Asal kamu tahu, aku tidak menghamili siapapun."

"Lalu kenapa perempuan itu bisa mengaku hamil?"

"Aku tidak tahu, tapi aku tidak pernah menyentuh siapapun. Aku mencintai Nandhita." Teriak mas Benua sambil berusaha melepaskan diri.

"Kamu yang membuat kacau. Kenapa kamu menikahinya."

Kutatap mata marahnya, entah kenapa tiba tiba aku merasa berada diatas angin. Aku suka melihat kecemburuan dalam tatapannya. Kapan lagi aku bisa menang kalau tidak sekarang? Tapi aku berusaha untuk tidak tersenyum. Kujawab pertanyaannya.

"Karena aku tidak mau membuat orang yang kuhormati malu. Aku masih punya hati untuk membuat mereka tidak semakin terpuruk." Jawabku.

Tubuh mas Benua, jatuh kelantai. Ia sudah berubah menjadi sosok lain. Tidak ada lagi kesombongan yang selama ini terlihat saat menatapku. Entah kenapa sebagian hatiku puas melihatnya. Aku yang selama ini kalah darinya, hari ini justru bisa menang.

Tak lama ibu keluar dari kamar dengan tubuh lemas. Ia dibantu oleh dua orang pembantu setianya.

"Kamu.... kamu..." ibu menunjukku dengan mata marah.

"Keluar kamu dari sini. Jangan pernah kembali selama perempuan itu masih menjadi istrimu. Dari dulu kamu hanya mempermalukan keluarga."

"Bukan aku yang membuat ibu malu. Tapi mas Benua." Jawabku sambil menatap anak kesayangan ibu yang masih tertunduk.

"Kamu memang tidak tahu diuntung. Pergi kamu sekarang juga!"

Tanpa menjawab aku pergi. Kutatap wajah bapak sebelum melangkah. Pria tua itu memalingkan wajahnya. Aku tahu aku takkan pernah punya tempat di rumah ini.



***



Gimana?????

Happy reading..

Maaf untuk typo

120119

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top