Bab 35. Ibu Kandung

‍‍‍‍‍‍‍‍‍"Ily, apa Gravi selalu begini, pulang larut malam?"

Gadis itu menolehkan pada ibu mertua yang ada di samping kiri. Suara televisi menyamarkan keheningan sejenak. Keduanya saat ini sedang berada di ruang tamu. Bahkan sudah sejak pukul sembilan malam tadi, Nura mengajak Ily untuk duduk di sini. Meninggalkan Rajendra sendiri di ruang tamu.

"Selama Gravi bekerja, Ily emang gak pernah melihat dia pulang jam delapan."

Tatapan Ily kembali terfokus pada televisi di depannya. Melirik sekilas pada jam yang sudah menunjukkan pukul dua belas malam. Hari sudah berganti.

"Gravi kerja apa, Ly?"

Inilah satu dari sekian banyak hal yang tidak Ily ketahui. Perempuan itu rerdiam, ah, malu rasanya jika ia menjawab tidak tahu. Namun, mau bagaimana lagi. Ia tak bisa berbohong bukan.

Kepala berambut coklatnya menggeleng sekali. "Gravi gak pernah cerita soal kerjaannya, Ma. Dan lagi, setiap kali Ily nanya, dia gak pernah mau ngaku."

"Udah berapa lama dia kerja?"

"Sekitar dua bulan lebih, Ma. Hampir tiga bulan."

Satu tangan Nura menghampiri bahu kiri Ily. Perempuan itu tersenyum dengan sorot mata sendu. "Kamu pasti kesepian, kan? Mama tau, berat rasanya kalau menghadapi keluhan hamil sendirian."

Ily menatap lurus ke bawah pada kakinya yang sedikit membengkak.

"Maafin mama ya, Ly, karena mama gak punya kuasa untuk bisa datang ke sini. Rajendra, ayahmu itu melarang mama datang. Dia mau mama gak ikut campur urusan rumah tangga kalian."

Perempuan dengan setelan coklat itu juga ikut menundukkan kepala. "Maafin ayahmu juga. Ayahmu memang sangat kecewa dengan kelakuan Gravi yang menghamili kamu, Ly. Karenanya dia berhenti mengirimkan uang bulanan, ingin memberikan hukuman sekaligus ingin melihat reaksi Gravi. Apakah dia bisa bertanggung jawab menghidupi kamu."

"Dan ternyata, Gravi memang sanggup melakukan itu tanpa memohon belas kasihan dari ayahnya sendiri. Ayahmu itu bahkan sempat bangga padanya."

Ily terdiam, lalu apa tujuan ayah dan ibu mertuanya kemari. Apakah, mereka sudah memaafkan Gravi dan ingin memberikan sebuah penghargaan pada lelaki itu karena mampu hidup mandiri selama empat bulan ini. Atau ... kedatangan Rajendra ingin mengabulkan permintaan ibu Nura, mengajak Gravi dan Ily tinggal di rumah megahnya.

Ya Tuhan mulut Ily gatal sekali ingin bertanya, tapi tidak bisa. Ily tidak mempunyai keberanian sebesar itu.

"Apa dia udah tidur, Ly?"

Ily menunduk, melihat tangan ibu mertuanya di atas perut Ily. "Kayanya iya Ma, dari tadi diem aja."

"Sudah USG? Cek jenis kelamin?"

Wajah antusias ibu mertuanya, menularkan sebuah kebahagiaan tersendiri bagi Ily. Ternyata rasanya sesenang ini, melihat ada orang yang juga begitu senang atas kehamilan Ily.

"Perempuan, Ma."

"Aaa, ya ampun." Nura tersenyum sanhat lebar. "Nanti akan ada cewe kecil yang lari-lari pake rok mini, dikuncir dua." Ah, Ily jadi ikut tersenyum sendiri membayangkannya.

"Kamu ngantuk, Ly? tidur aja gapapa."

Ily menggeleng, "Enggak, Ma. Ily sesekali juga mau nunggu Gravi pulang."

"Calon cucu Mama mau dikasih nama apa?"

Ily, kali ini menatap penuh pada ibu mertuanya. "Kalo aku maunya dikasih nama Zahra, Ma. Tapi Gravi maunya Elsa."

Nura mengangguk pelan. "Gapapa dong."

"Tapi Ily bingung, Ma. Elsa sama Zahra itu susah dijadiin satu nama. Udah Ily coba rangkai-rangkai tapi tetep kurang pas."

Nura terdiam, memandang lurus pada televisi. Tak lama dia menyentuh bahu Ily. "Gak masalah, nanti dirundingin lagi. Masih panjangkan waktunya. Ini berapa minggu?"

"Dua puluh e-"

Ucapan Ily terhenti karena kemunculan Gravi dari ruang tamu. Bukan. Ily terkejut bukan karena lelaki itu, tetapi perempuan yang dipapahnya. Bianca.

Dari kejauhan Gravi berseru, "Ly kamu tolong berdiri, ini Bianca mau aku rebahin di sana."

Dengan dibantu ibu mertuanya, Ily berdiri dari duduk. Lagi-lagi dada Ily sesak, di depan matanya sendiri. Gravi bersikap begitu lemah lembut pada Binaca. Sementara perempuan itu meracau tidak jelas, Gravi merebahkan tubuh Bianca di sana dengan hati-hati.

Bianca mabuk dan Gravi ada bersamanya. Itu berarti mereka memang menghabiskan waktu bersama. Jemari Ily mengusap sudut matanya yang berair. Kalau sebatas teman tak akan begini bukan. Tidak ada orang yang akan mau mengorbankan waktu hanya untuk menemani temannya sepanjang hari, bahkan sampai larut malam begini.

"Siapa dia, Gra?" Ibu Nura bertanya dengan penuh selidik. Namun, Gravi bergeming melengos begitu saja dan malah beranjak ke kamar.

"Jawab pertanyaan ibumu itu!"

Seruan Rajendra menggema di seluruh ruangan ini. Rahang ayah mertuanya mengeras, di sisi tubuh kedua telapaknya mengepal rapat. Tubuh tegap itu, terengah. Napasnya cepat dan begitu kasar. Ayah mertua Ily, nampaknya sangat marah sekarang ini.

Gravi masih tak kunjung menjawab. Langkah lebar Rajendra mengakhiri segala keheningan. Dia mendekat pada sang putra, menarik kain hoodie di bagian leher Gravi, lalu menyeret tubuh anaknya ke ruang tamu. Sementara, ibu Nura ikut berlari tergopoh-gopoh mengejar suaminya.

"Jangan, Mas!"

Air mata menetes, Ily terdiam di posisinya. Memandang kosong pada lantai. Dia tiba-tiba ingat dengan kalimat Gravi hari itu.

"Aku akan selalu berakhir dihajar habis-habisan olehnya."

Cairan bening itu turun semakin deras, dengan tergesa Ily menyeret kakinya ke ruang tamu. Terbukti, apa yang menjadi dugaan Ily benar.

Di dekat pintu sana wajah Gravi dihantam berulang kali oleh kepalan tangan ayahnya sendiri. Dia diam tak membalas, seolah pasrah. Dari kejauhan sana, di tengah bogeman yang dia terima, Gravi memandang lurus ke arah Ily.

Rasanya seperti ada ribuan panah menghunus dada Ily. Hati Ily nyeri sekali. Dia hanya bisa menangis, berdiri membatu melihat Gravi dihajar tanpa henti. Apa yang Gravi terima empat bulan lalu di rumah ayahnya, tidak sebanding dengan yang kali ini.

"Udah cukup, Mas!!"

Meski berulang kali ibu mertuanya berteriak meminta berhenti. Ayah Rajendra tak mengindahkannya. Dia terus menghantamkan bogeman pada perut Gravi.

"Kamu sudah kurang ajar dengan perempuan, Gravi!"

Rajendra menghempaskan tubuh putranya ke tembok. Ily menutup bibir dengan satu tangan. Disana Gravi terkulai lemas di lantai dengan darah mengalir dari hidungnya.

Seminggu lalu, Ily yang membersihkan lebam di wajah Gravi. Luka di sudut bibir dan pelipis lelaki itu baru saja kering. Dan hari ini, dia mendapatkanya lagi.

"Karena ulahmu gadis itu hamil. Lalu dengan enaknya di luar sana kamu bersenang-senang."

Ruangan hening, hanya ada suara isak tangis Ibu Nura. Ily, dia menangis, tapi tak kuasa untuk bersuara.

"Apa yang dilaporkan Halim terbukti benar. Kamu sering menghabiskan waktu di luar bersama perempuan lain."

Ily membelalakkan mata, bibirnya bergetar dengan pandangan lurus pada suaminya. Gravi hanya diam tak menjawab apa pun. Sama seperti Ily, mata sipit suaminya juga hanya tertuju pada Ily.

Ily tak meyangka Halim mengatakan ini pada ayahnya. Jadi, selama seminggu Halim membuntuti kegiatan Gravi, tujuannya untuk hal ini. Kenapa Halim menginginkan ini semua terjadi.

"Lihat dia," Rajendra menunjuk ke arah Ily yang berdiri dengan satu tangan memegangi prutnya.

"Yang dia bawa di dalm tubuhnya itu anakmu bukan. Dia bisa saja kesusahan sendiri menghadapi kehamilannya. Sedangkan dirimu, selalu menghilang sepanjang hari dengan alasan pergi bekerja."

"Seorang laki-laki dari keluarga Hartanta tidak ada yang sebrengsek dirimu!"

Plaak!

Rajendra menampar pipi Gravi sekali lagi. Kali ini Nura tak tinggal diam. Dia berlari, ikut bersimpuh di lantai, mendekap tubuh Gravi.

Dengan deras air, mata Nura turun. Wanita itu menggeleng, mendongak, menatap wajah Rajendra yang berdiri menjulang di sana. Bibir bergetarnya mulai bersuara.

"Jangan pukul dia lagi."

Sesaat setelahnya tiba-tiba saja Nura terdorong sampai terduduk ke sisi lain. Gravilah pelakunya.

"Saya tidak butuh pembelaan dari anda. Berhenti bersikap baik," Gravi meringis kecil. "Jujur saja, anda senang bukan melihat saya. Ini ulah Halim, sudah pasti dalangnya anda sendi-"

"JAGA BICARAMU!"

"Untuk apa?" Gravi berseru kencang seolah melupakan sudut bibirnya yang sobek.

Dia kembali berteriak pada Rajendra. "Tidak ada hormat untuk wanita ular seperti dia, yang menjadi penyebab mama saya meninggal. Karena kedatangannya, anda melupakan istri anda sendiri."

"TUTUP MULUTMU ITU!!"

Gravi tersenyum miring. "Kenapa? Bukankah memang benar. Dia wanita ular, bermuka dua, penghancur keluarga orang."

"LEPAS NUR!!"

Dalam sekali hentak Rajendra, berhasil menyingkirkan tangan Nura yang mencoba mencegahnya. Rajendra menarik kerah hoodie Gravi. Tangan kirinya teracung pada Nura.

"Wanita yang kamu sebut ular itu. Sebenarnya dia adalah ibu kandung kamu."

Rajendra melepaskan cengkraman tangan dari pakaian anaknya. Melangkah mundur, lalu merangkul bahu bergetar istrinya. Ily masih berdiri di sana, melihat Gravi yang tertunduk mematung.

Tidak hanya Gravi yang terkejut. Ily juga tak jauh berbeda. Ada apa dengan keluarga ini. Sejak awal Ily memang merasakan hubungan tidak harmonis di keluarga Gravi. Tetapi Ily tak pernah menyangka masalahnya akan serumit ini. Ily juga masih tidak mengerti, bagaimana ceritanya Gravi itu anak kandung dari ibu Nura. Ayah Rajendra, tidak mungkin membual mengucapkan kalimat seperti itu kan.

Sebuah kekehan yang keluar dari bibir Gravi, memutus lamunan Ily. "Lelucon apa ini? Apa lagi yang ingin direkayasa."

"Kenyataannya memang begini, Ibu Nura adalah ibu biologismu. Sedangkan papa adalah ayah angkat kamu."

Gravi menggelengkan kuat kepalanya. "Apa kalian ke sini malam-malam hanya untuk mengarang cerita. Saya tidak percaya. Satu-satunya ibu yang saya punya cuma ibu Mila."

"Saya punya semua dokumen resmi sebagai buktinya."

***

Semalaman suntuk Ily tidak bisa tidur. Entah bagaimana dengan Gravi. Dan semalaman juga, mertuanya tidur di apartment Gravi. Pagi ini, sekembalinya Rajendra dari rumah megahnya. Kelima orang duduk di sofa ruang tamu.

"Kamu siapanya Gravi? Kamu tau kan kalau Gravi sudah beristri."

Pertanyaan Rajendra sontak membuat tangan Bianca sedikit bergetar. "Sa. Saya ... teman Gravi om. Dari TK saya sudah berteman dengan dia. Saya tau, kalau teman saya ini sudah beristri."

Dia menunduk, "Tolong mafkan Gravi om, semalam itu bukan salah dia. Salah saya karena mabuk sebab terlalu banyak minum di bar tempat Gravi bekerja. Gravi murni hanya menolong saya sebagai temannya om, tidak lebih."

"Kamu bekerja di bar? jadi bartender?" Rajendra melayangkan pertanyaan pada Gravi.

"Bukan. Cleaning service," jawab Gravi singkat.

Suasana kembali hening, Bianca ambil bagian biacara lagi.

"Mohon maaf sekali om, tante, Ily, karena sayalah, kesalah pahaman sampai terjadi di sini. Sekali lagi saya minta maaf."

"Kamu bisa pulang sekarang," titah Rajendra.

Sepeninggalnya Bianca, Rajendra membuka map yang sejak tadi dibawanya. "Semua ada di sana, lihatlah."

Bersambung ....

29 Oktober 2020
10.51 WIB

Maaf untuk segala typo.

Thank you for reading, see you next part!
Jaga kesehatan, ya, ingat pesan ibu ;)

[Revised]

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top