Part 25

2020.10.25 [04.40]

GOODBYE
by Inas Sya

"Ini bukan lagi tentang dendam, tapi bagaimana seonggok perasaan merah jambu menyurutkan amarah masa lalu."

Now playing | Lay Me Down – Sam Smith

***

Karen tak bisa berhenti menggigit kuku. Ia berjalan ke kanan kiri dengan tangan mengarahkan ponsel pada telinga, menunggu seseorang di seberang sana mengangkat panggilannya. Namun, yang terdengar hanyalah suara operator, mengatakan bahwa panggilan sedang dialihkan.

Ia berdecak, beralih duduk lagi di sofa dengan kaki tak kunjung diam. Kebiasaan Karen apabila dirinya merasa gelisah dan merasa ada hal besar yang akan terjadi nantinya. Dia sudah menghubungi Genta dari tadi, tapi ponselnya mati. Untuk Devan, panggilannya tersampaikan, namun tidak diangkat. Entah karena pria itu tertidur pulas atau sedang sibuk hingga tak bisa menyisakan waktu untuk menjawabnya. Terakhir, panggilan Rendi dialihkan, sepertinya polisi itu tengah ada panggilan lain.

Tak berselang lama, terdengar getaran dari ponsel Karen. Terlihat di layar menunjukkan Rendi balik menghubunginya. Ia segera mengangkat panggilan itu.

"Halo? Kenapa, Karen? Maaf, tadi Paman sedang ada panggilan lain," ujar Rendi dari seberang sana.

Karen tak tahu harus mengatakan dari mana. Ia kebingungan memulainya. Terlebih lagi mengatakan bahwa ibunya bisa saja terlibat dalam kasus ini bukanlah perkara mudah. Mana mungkin seorang anak bilang wanita yang telah melahirkannya kemungkinan besar adalah pelaku di balik semua ini kepada polisi?

Karen sudah gila. Namun, ia tak memiliki pilihan selain mengatakan apa yang mengganggu pikirannya. Ia tak mau bila nanti salah dalam mengambil keputusan. Dalam hatinya ada harapan besar yang tertanam kuat, terus mencoba meyakinkan diri bahwa Emma bukan dalangnya.

"Karen?"

Gadis itu tersentak. Ia menggigit bibir bawahnya. "Paman, sepertinya saya tahu siapa yang mengirimkan surat anonim selama ini."

"Kau tahu?" ulang Rendi terkejut. "Siapa orangnya?"

"Saya harap ini salah, Paman. Tapi, bagaimanapun juga saya harus mengatakannya." Pandangan Karen beralih pada surat anonim di atas meja. "Saya baru saja mendapatkan surat yang sama. Bedanya, di sini tidak ada bunga daisy. Namun saya yakin pengirimnya adalah orang yang sama. Kali ini dia tidak lagi menggunakan tulisan cetak, tapi tulis tangan. Dan setelah saya membacanya berulang kali, saya sangat mengenal tulisan tangan ini. Dia—"

"Ibu kamu, kan?" potong Rendi. Sepertinya Karen memang berpikiran sama dengannya. Memang tulisan tangan siapa lagi yang dapat dikenali Karen selain ibunya sendiri?

"B—bagaimana Paman bisa tahu?"

Rendi menghela napas. "Ceritanya panjang. Saya memiliki dugaan kuat bahwa ibu kamu ada di balik semua ini."

Karen menundukkan kepala, hatinya terasa tercabik hingga membuat dirinya sesak. "Ada hal lain lagi yang mau saya bicarakan."

"Apa?"

"Isi dari surat anonim ini. Yang jelas, saya berhasil menyimpulkannya. Kemungkinan besar, akan terjadi hal yang buruk besok, tepat tanggal satu Agustus," ujar Karen. Rendi terdiam mendengarnya, ia teringat percakapan dengan Argo beberapa saat lalu. "Di sini dikatakan, bahwa besok adalah hari yang istimewa bagi saya. Memang benar, besok saya berulang tahun. Apa Paman memiliki rencana? Saya takut akan ada korban lagi."

Rendi mengusap wajah. Ia melihat jam di tangannya. Sisa waktu yang ada sangat singkat, tinggal menghitung menit untuk bisa berlalu ke hari berikutnya. "Tidak ada rencana selain melindungi orang yang ada di daftar target pelaku."

"Paman sudah tahu siapa targetnya?" tanya Karen tak percaya.

"Iya." Rendi menjeda ucapannya, lantas kembali melanjutkan, "Dia Devan."

Bola mata Karen membulat terkejut. "Devan?"

"Kamu sudah menghubungi Genta?" tanya Rendi mengalihkan pembicaraan. Sekarang bukan saatnya untuk khawatir, namun berpikir cepat untuk bisa mencegah hal buruk nantinya.

"Sudah, ponselnya mati." Karen benar-benar kesal, padahal sebelumnya Genta tak pernah mematikan ponsel. Bila ia menghubungi, pasti langsung diangkat.

"Jarak antara rumah kamu sama Devan paling dekat dibandingkan posisi Paman dan kantor polisi saat ini. Nanti Paman akan menghubungi rekan Paman yang ada di depan rumah kamu. Mereka akan mengantarmu ke rumah Genta, kamu tunggu saja di sana. Kalian pasti akan aman, Genta bisa diandalkan. Sedangkan dua polisi yang mengantarmu tadi akan langsung menuju ke rumah Devan untuk memeriksanya. Semoga yang Paman pikirkan selama ini salah," ujar Rendi panjang lebar.

Karen mengerti, ia mengangguk meski Rendi tak dapat melihatnya. Sambungan terputus, Karen bergegas masuk ke dalam kamar untuk berganti baju sebelum akhirnya pergi bersama dua polisi suruhan Rendi menuju rumah Genta.

***

"Kenapa harus lo, Ren?" Ditatapnya foto gadis itu dengan pandangan tak biasa, menyiratkan sebuah keraguan penuh bimbang yang tak tahu harus ia apakan.

Genta sudah sejauh ini, tak mungkin ia mesti berhenti, kan?

Dia memang tak bisa menyangkalnya, Karen seolah membuat satu pilihan di samping satu-satunya pilihan Genta selama ini. Melihat bagaimana gadis berambut pendek yang menurutnya berwajah datar seperti zombie itu tersenyum, membuat jiwa di dalam raga Genta dipenuhi debaran aneh nan menggelikan.

Tatapannya beralih kepada papan tulis kecil di samping, melihat dengan mata penuh kebencian pada sebuah foto wanita cantik berambut panjang. Foto tersebut dipenuhi lingkaran merah di sekelilingnya, hingga tersambung pada garis mendatar yang menghubungkannya dengan foto Karen.

"Kenapa harus lo, Ren?" Genta meremas foto yang ia pegang. Bibirnya bergetar menahan amarah, pun rahangnya yang mengeras. Tangannya membuang sembarang foto tadi, lantas membanting gelas di meja belajarnya pada papan tulis itu. Genta berteriak melampiaskan semua hal yang ia pendam selama ini. "Kenapa lo harus jadi anak wanita psikopat itu, hah?!"

Napasnya memburu. Wajahnya memerah diselimuti amarah. Kehidupan Genta sepuluh tahun lalu dia jalani dengan susah payah. Hidup di bawah bayang-bayang kematian ibunya tidaklah mudah. Meski Genta mengingat betul siapa yang menjadi pelaku di balik pembunuhan Mentari, ia tak bisa bersaksi pada polisi. Genta tak bisa mengatakan, bahkan bila mengatakan kebenarannya, kecil kemungkinan mereka akan percaya dengan apa yang dikatakan anak berusia tujuh tahun.

Bahkan bila mereka percaya, Genta  memang tak berniat akan mengatakannya. Bukan karena ia mau pelaku berkeliaran di luar sana tanpa hukuman setelah membunuh sang ibu. Genta hanya ingin membalaskan kematian Mentari secara adil. Nyawa dibalas dengan nyawa. Bila Mentari mati, maka pelakunya juga harus mati. Itu yang ada di pikiran Genta sejak dulu. Ia berusaha keras mencari informasi tentang Emma, susah sekali bahkan Genta pernah berpikir untuk menyerah. Namun ia memiliki tekad yang kuat, hingga akhirnya menemukan fakta bahwa anak dari pembunuh ibunya bersekolah di SMA Andromeda.

Dan hal itu yang menjadi alasan Genta pindah sekolah, merelakan salah satu SMA populer yang diidamkan banyak pelajar.

Lalu, Genta kembali mendapatkan fakta bahwa Emma menghilang dua tahun lalu. Ia tak percaya, terus mengorek informasi dari Karen. Namun sayangnya, Genta justru terjebak di dalam lingkaran yang ia buat sendiri. Bila Genta membuat lingkaran itu untuk menjadikan Karen tak bisa keluar dari kungkungannya, kini justru Genta yang tak bisa kembali dan akhirnya terjebak bersama Karen di sana.

Lalu, apa ini?

Genta dihadapkan pada dua pilihan yang membuatnya bimbang. Antara hidup tanpa terjadi apa-apa, atau hidup dengan dendam yang telah ia simpan sejak dulu. Antara membalaskan dengan kejahatan yang sama atau memaafkan begitu saja. Antara melanjutkan apa yang telah ia rencanakan sejauh ini atau berhenti dan memulai hidup baru tanpa bayang-bayang dari masa lalu.

Mana yang akan ia pilih?

Tok! Tok! Tok!

Genta melihat jam dinding di kamarnya, menunjukkan pukul dua belas malam. Ia membuka pintu kamar, tak percaya ada yang bertamu ke rumahnya di tengah malam begini. Tidak mungkin pamannya datang, karena beliau ada di luar negeri. Ayahnya? Jangan ditanya, pasti lembur lagi di kantor. Lagi pula, selama ini Genta hidup seorang diri di rumah besar dalam perumahan kecil. Saat ayahnya datang dan mengatakan untuk pindah, Genta tak menurut. Dia bilang tak perlu pindah karena pada akhirnya hanya Genta seorang yang akan menjadi penghuni rumah.

Lantas, siapa?

Dinyalakannya lampu ruang tamu. Ia mengintip ke luar, namun hanya terlihat bayangannya saja. Setidaknya itu bukan hantu, sebab hantu mana yang punya bayangan?

Ia merapikan penampilannya, tak bisa membiarkan ada orang lain tahu bahwa Genta baru saja ngamuk di kamar tadi. Tak berselang lama, pria itu memutar kunci, membuka pintu rumahnya lebar.

Seorang wanita berdiri di sana, dengan tubuh dibalut jaket hitam kebesaran. Tangannya bergerak membuka tudung jaket yang menutupi wajah, tersenyum miring menatap Genta yang terbelalak.

Genta mengepalkan tangannya kuat melihat Emma.

***

To be continued....

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top