14
Pertarungan berjalan cukup lama. Hingga keduanya mencapai pelepasan yang begitu sempurna secara bersamaan. Yang diakui Moreno dalam hati adalah, Rena merupakan perempuan idaman setiap laki-laki. Dia sangat ahli dalam memuaskan. Termasuk dirinya yang tidak memiliki banyak pengalaman. Moreno masih berusaha mengatur nafas diatas tubuh indah sang gadis. Sementara Renata memejamkan mata, dan untuk pertama kali merasa malu. Bahkan ini bukan seperti ketika ia kehilangan keperawanan. Lebih dari itu, Moreno adalah pria asing baginya. Sebuah pertanyaan besar, apakah hubungan mereka akan sebatas ini kelak? Apakah pria yang masih berada di atas tubuhnya ini menganggapnya murahan?
Diluar dugaan, sebuah kecupan mampir dikeningnya. Sesuatu yang menembus batas rasa haru sang gadis. Lama dan terasa menghangatkan. Renata benar-benar merasa dicintai dan diinginkan sekaligus. Moreno kini melepaskan penyatuan mereka dan berbaring miring membuat model ternama itu tersenyum malu. Setelah sekian lama akhirnya bisa merasakan keintiman itu kembali. Tidak peduli kalau mereka baru bertemu beberapa kali. Tidak peduli juga kalau kali ini ia tidak dibayar. Berada dalam pelukan Moreno sudah membuatnya tenang.
"Saya tidak tahu harus mengatakan apa. Saya minta maaf " Ucapnya penuh rasa bersalah.
"Mas nggak salah, saya juga tidak seharusnya seperti ini."
"Saya tidak pakai pengaman, akal sehat saya hilang tadi."
"Implan saya masih berlaku Mas."
Moreno kemudian pergi ke kamar mandi untuk membersihkan miliknya. Saat masuk mendapati Renata masih berbaring dengan mata tertutup. Ada air mata mengalir di pipinya.
"Kamu kenapa?"
"Apa Mas menganggap saya pelacur?"
Pria itu memeluknya. "Tidak, seharusnya saya lebih menahan diri dan menghormati kamu. Tapi maaf, sejak kemarin siang saya merasakan sesuatu yang berbeda saat kamu mandi di air terjun. Kamu tahu sudah sangat lama saya tidak merasakan ini. Tidak pernah dekat dengan perempuan sejak kematian istri saya."
"Terima kasih, Mas Reno sangat menghargai saya."
"Kamu tidur saja kalau begitu. Besok apa kamu masih harus bekerja?"
"Sore saja."
"Istirahatlah, atau mau membersihkan tubuh dulu?"
Rena mengangguk lalu bangkit. Sementara Moreno mengembuskan nafas panjang. Berada diantara rasa lega dan bersalah sekaligus ternyata tidak menyenangkan. Renata kembali dengan hanya mengenakan kemeja yang dikenakan tadi. Kini ia berbaring dalam pelukan pria yang sebenarnya baru beberapa kali ditemui. Tapi entah kenapa dia merasa nyaman. Moreno berbeda dengan pria yang selama ini menidurinya.
"Mas?"
"Hmmm,"
"Apa mas menganggap saya perempuan murahan?"
Moreno menatap lekat. "Tidak sama sekali, saya menghargai kamu sebagai perempuan yang bekerja. Jangan berpikiran seperti itu lagi. Saya menghargai pemikiran kamu, kedekatan dengan Mikha dan kerendahan hati dalam mengakui sisi gelap dalam hidup kamu. Tidak banyak orang yang mampu melakukan itu."
"Tapi tetap saja saya tidak seperti perempuan lain. Mereka bisa menjadi pasangan baik untuk orang yang mereka cintai."
"Banyak orang yang mungkin terlihat baik di depan umum. Tetapi ternyata mereka mampu menyimpan aib dengan sangat rapat. Kemudian ketika ada celah, menghujat orang yang salah secara berlebihan tanpa sadar mereka lebih buruk dari orang tersebut. Kejujuran kamu sangat saya hargai. Tetaplah menjadi Renata yang seperti sekarang."
"Terima kasih, Mas mau saya rapikan penampilannya besok?"
"Untuk apa?"
"Biar kelihatan lebih baik aja. Mas ke Jakarta 'kan, mau ke kantor?"
"Saya malah merasa aneh kalau terlihat rapi."
"Dicoba sesekali."
"Besok lah, sekarang kamu tidur dulu." ucapnya sambil memeluk tubuh indah itu. Tak lama keduanya sudah terlelap.
***
Pagi hari keduanya dibangunkan oleh telepon dari Mikha. Renata yang tadinya berada dalam pelukan Moreno sedikit menyingkir. Namun masih bisa mendengar percakapan antara ayah dan anak tersebut.
"Ayah di mana? Kenapa belum pulang?"
"Ayah di Jakarta. Kalau urusannya sudah selesai pasti pulang. Kenapa?"
"Kapan-kapan Mikha ikut ya, rindu sama Tante cantik. Apa ayah bertemu dengannya?"
Renata tertawa tanpa suara.
"Sudah, jadi Mikha bukan rindu sama ayah?"
"Rindu sama ayah juga. Nanti kalau aku ikut, apa kami boleh ketemu?"
"Nanti akan ayah tanyakan."
"Jangan lupa bawa donat kesukaanku ya, Ayah. Yang gulanya warna-warni. Bawakan yang banyak, aku mau bagi ke teman di sekolah."
"Baik, jangan lupa sekolah dan belajar yang rajin."
"Aku akan ingat. Aku sayang ayah."
"Ayah juga sayang Mikha."
Pembicaraan selesai.
"Kalian harus ya, ngobrol setiap pagi? Mikha ngangenin banget." Bisik Renata yang telah kembali masuk dalam pelukan Reno.
"Iya, mungkin karena dia satu-satunya milik saya. Kalau di sana kami setiap hari bertemu."
"Nanti saya belikan donatnya, kabarin ya, mau pulang jam berapa. Mas ada apa sih, ke Jakarta?"
"Nggak ada apa-apa. Hanya mau membicarakan kembali batas hutan sajs. Siang ini saya harus ke pabrik. Setelah itu langsung pulang ke hutan." ucap Moreno menatap wajah cantik dan kulit sehat di depannya. Bibir sensual khas perempuan luar itu kembali menggoda. "Kamu blasteran?"
"Iya Mas, ayah saya Rusia."
"Kamu cantik sekali."
"Terima kasih, Mas mau berangkat jam berapa? Mau check out sekalian?"
"Sekitar jam sembilan pagi. Kantor tidak terlalu jauh dari sini."
Renata hanya tersenyum sambil memejamkan mata. Bibir indahnya sulit untuk diabaikan. Pria itu mengecup dengan lembut. Renata menerima lalu kembali membalas. Entah siapa yang memulai, tak lama kedua tubuh itu kembali menyatu. Desahan mereka terdengar memburu. Untuk kali ini Renata membiarkan Moreno memimpin. Jauh lebih hebat daripada pria-pria kaya yang selama ini menidurinya. Mungkin karena pria ini sehat, pikirnya.
Selesai bercinta, di kamar mandi hotel, Moreno diam menatap cermin. Sementara dengan lihai Renata membersihkan bulu pada area wajah hingga leher pria itu dengan teliti. Memintanya duduk di toilet lalu mulai menggunting rambut dengan hati-hati.
"Kamu biasa menggunting rambut?"
"Cuma suka lihat saja Mas. Dunia pekerjaan saya tidak jauh dari make up dan hair do."
"Rambut saya biasa digunting oleh anak-anak di base camp."
"Rambut mas tebal, sayang banyak terkena matahari dan nggak dirawat."
"Saya tidak punya banyak waktu untuk itu. Lagi pula pekerjaan tidak mengharuskan saya untuk terlihat berkilau." balas Moreno sambil tersenyum.
Tak lama kemudian semua sudah selesai. Moreno menatap ke arah cermin. Tak percaya melihat wajahnya di sana. "Rapi sekali, terima kasih banyak."
"Sama-sama. Ayo, Mas Moreno mandi duluan. Nanti gatal badannya kena rambut."
"Oke, siap."
Moreno terpaku menatap cermin begitu selesai mandi. Untuk pertama kali ada seseorang yang memperhatikannya. Selama ini hanya hidup untuk dirinya sendiri. Renata benar-benar berbeda sebagai pasangan. Ada tulus dalam setiap perbuatannya. Moreno bisa berpikir seperti ini karena sudah menemui begitu banyak tipe orang. Sambil mandi pria itu berpikir, bagaimana membayar jasanya. Jika nanti dia menanyakan nomor rekening, jangan-jangan dikira membayar. Dan dia merasa tidak enak, apalagi dari beberapa kali bercerita, Renata mengatakan kerap menerima uang dari hasil melayani para pria hidung belang. Apakah sekarang ia tidak berbeda dengan mereka?
Setelah memutar otak akhirnya pria itu menemukan jalan. Setidaknya ia harus menghargai waktu Renata. Meski tidak tahu berapa tarif perempuan itu setiap kali menerima tawaran berkencan. Bukan—bukan menganggapnya sebagai perempuan bayaran. Tapi ia tahu bagaimana Renata bertahan hidup. Karenanya tidak ingin menambah beban gadis itu, meski nanti mungkin tidak membayar sesuai tarif.
"Mas kenapa diam?" Renata kembali ke kamar dengan rambut basah dan tubuh yang berbalut handuk.
"Aku mau titip sesuatu, tolong kirim nomor rekening kamu."
"Mau beli apa?"
"Titip beli donat untuk Mikha, aku tidak tahu tempatnya. Setelah ini harus langsung ke kantor. Nanti kukirim alamatnya."
"Kalau donat saja nggak usah mas."
"Saya tidak akan mengirimkan alamat kalau kamu tidak mengirimkan nomor rekening. Kamu sudah membelikan pakaian saya semalam. Ayolah, tidak baik seperti ini."
Renata mengalah, pria di depannya memang terlihat bukan tipe yang suka gratisan. Lantas mengirim nomor rekeningnya. Kembali gadis itu menatap kaca sambil memberikan pelembab dan tabir surya pada wajahnya. Sebuah pesan memasuki ponselnya. Setelah membaca ia menatap Moreno yang sedang menikmati sarapan khas hotel.
"Kenapa banyak sekali?"
Pria yang sudah mengenakan celana panajng berwarna hitam itu mendekat. Menatap mata Renata melalui kaca.
"Sebenarnya saya sungkan membicarakan ini. Tapi saya tahu kalau kamu butuh uang. Maaf bukan ingin membuat kamu merasa direndahkan, tapi ini tentang apa yang kita lakukan semalam."
"Mas membayar saya untuk itu?"
"Bukan membayar, anggap saja saya teman dekat yang tahu bahwa kamu sedang butuh uang. Saya tidak tahu berapa, maaf sekali lagi, tarif kamu."
"Saya memang pelacur kan, Mas?" Mata indah itu mulai berkaca.
Moreno menyentuh bahunya lalu memijat pelan. "Bukan begitu Rena, kamu harus menyadari posisi saya juga. Saya menghargai kamu dan juga pekerjaanmu. Saya sama sekali buka berniat membayar, tapi sadar bahwa kamu butuh uang untuk bertahan."
Gadis itu kini menangis, Moreno memeluk kemudian mengecup puncak kepalanya. "Saya minta maaf kalau sudah melukai kamu. Jujur, saya tidak berniat seperti itu."
"Mas nggak salah saya memang perempuan bayaran." Balas Renata sambil melepaskan pelukan Moreno. Kemudian buru-buru mengenakan pakaian.
"Hei, jangan begini. Saya jadi serba salah. Maafkan saya. Ayo, sarapan sekarang."
Keduanya kemudian duduk berhadapan. Renata menyadari bahwa Moreno memang berbeda dengan laki-laki kebanyakan. Apakah setelah ini pria itu masih mencarinya? Setelah semua yang mereka lakukan, masihkah ada jalan untuk bertemu? Atau seperti laki-laki lain, ia akan dicari saat dibutuhkan? Rasa sesak itu kembali menghampiri Renata.
***
Renata sudah berada di sebuah studio sore itu. Hari ini ada pemotretan untuk sebuah majalah. Bukan sebagai model sampul, tapi untuk artikel. Baginya ini saja sudah bersyukur. Sejak bertemu dengan Moreno, ada yang berbeda. Dia lebih realistis, bahwa untuk hidup harus bekerja keras. Mengingat nama pria itu, ia tersenyum sendirian. Pada malam panjang yang masih dilanjutkan hingga pagi tadi. Jujur ia suka dengan gaya Moreno di atas ranjang. Tidak ada kesan mendominasi atau ingin mengalahkan. Melainkan tentang bagaimana agar mereka sama-sama puas dan mencapai tujuan. Pria itu jelas sehat, dan tidak membutuhkan obat atau rangsangan berlebih untuk bisa membuatnya on. Sesuatu yang sulit dicapai oleh pria lain.
"Ayo, ngapain senyum sendiri?" tiba-tiba Mbak Dhiara, Manajernya datang menghampiri.
"Enggak Mbak, senang aja ada beberapa pekerjaan sekaligus."
"Kamu dapat pekerjaan baru untuk bulan depan. Ada acara di beberapa negara Asia dan Eropa. Pihak Bagas Stanilaus menginginkan kamu sebagai model mereka. Ini sebuah pencapaian yang tinggi. Mengingat kamu akan tampil di Dubai dan beberapa negara Eropa. Tahu sendiri biasanya dia tidak suka menggunakan model lokal. Kamu akan berada di atas panggung bersama beberapa model internasional."
Renata tersenyum lebar dengan mata berbinar. Sebuah kesempatan langka, apalagi menyangkut nama besar Bagas. Pria yang begitu prefeksionis. Awalnya ia merasa bahwa kejadian di hutan membuat pihak mereka kapok mempekerjakannya. Namun ternyata tidak.
"Wajah kamu berbeda dengan biasanya." Bisik Dhiara.
"Senang lah Mbak, bisa kerja sama dengan Bagas."
"Bukan itu, mata kamu seperti orang yang sedang jatuh cinta. Sudah dapat pengganti Bramasta?"
Renata hanya menggeleng namun kali ini disertai senyum malu. Mbak Dhiara kemudian menepuk bahunya. Kembali gadis itu menatap wajahnya dikaca. Ya, matanya terlihat berbeda. Apakah efek bercinta tadi malam dan saat pagi? Ia suka berada dalam pelukan Moreno. Namun, ke mana pria itu sekarang? Ia sudah mengirimkan donat untuk Mikha, sampai sekarang belum ada konfirmasi apakah sudah diterima atau belum. Haruskah menghubungi lebih dulu? Belum selesai berpikir sebuah panggilan dan Moreno datang. Buru-buru gadis itu meraih ponselnya.
"Iya, Mas?"
"Terima kasih atas kiriman donatnya tadi. Maaf, ada banyak pekerjaan yang harus saya selesaikan. Baru santai sekarang. Dan ini saya mau siap-siap ke pabrik."
"Hati-hati di jalan Mas."
"Ya, kamu juga. Kalau nanti saya ke Jakarta apakah kita masih bisa bertemu?"
"Dua minggu lagi, selama sebulan penuh saya akan bekerja di luar negeri. Nanti kalau sudah pulang saya akan kabari Mas Reno."
"Baiklah, selamat bekerja."
"Salam untuk Mikha ya, Mas."
"Akan saya sampaikan. Saya pamit ya,"
"Iya."
Renata memejamkan mata. Ada ribuan kupu-kupu yang terbang di dalam tubuhnya. Moreno bukan pria romantis tapi sangat realistis dan apa tadi? Dia bertanya apakah mereka masih boleh bertemu? Jelas Renata akan menjawab, ya!
***
Happy reading
Maaf untuk typo
11522
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top