20. If It Was You

XX. If It Was You.
//

hello?
/31 Aug 19./

How's life?”

Taeyong terkekeh kecil sembari mengusak rambutnya yang basah dengan handuk kecil. “Nothing special,” jawab Taeyong kemudian melempar handuk kecil itu pada teman sebayanya.

“Do you remember?” tanya sang sahabat.

Taeyong membungkukkan daksanya, ia memakai sebuah sapu tangan yang akan ia gunakan untuk mengeruk tanah. Tubuh yang dibaluti oleh kaus kutang berwarna putih pudar itu berhias peluh. Sorot matanya penuh kepasrahan. “Of course.” balasnya, jelas.

Johnny tertawa. “If someone makes you happy, make them happier,” ia merangkul tubuh Taeyong lalu tertawa kecil melihat kedua tangan Taeyong yang begitu kotor. “you're doing great, dude.” katanya seraya menoyor kepala Taeyong pelan.

Taeyong meringis kecil ketika Johnny menjulurkan lidah ke arahnya. Johnny meninggalkan Taeyong hanya sekadar pergi ke kandang, tatkala Johnny hendak melangkahkan kakinya masuk ke dalam kandang, ia terpleset. Kotoran sapi lumayan licin rupanya.

Taeyong terbahak kencang. Pria berbahu lebar itu merintih kesakitan, “OH MY GODDAMIT, MY FUCKING STOMACH!” ia memekik sembari menahan tangis—tangis bahagia melihat temannya menderita.

Johnny memutar bola matanya sebal. “I think youre, A Dora Bowl, Taeyong.” gelengnya kecil.

“Stop joking,” ia mehanan tawanya. “urus dulu pantat jelekmu itu. Penuh tai.” lanjutnya. Johnny membelalak, tatkala ia meraba bagian belakangnya, Taeyong justru tertawa kencang. Menjijikan.

“Demi Tuhan, i-ini menjijikan, AKU MAU MUNTAH!” teriak Johnny. Johnny menatap Taeyong penuh harap, ia berbalik badan, menunggingkan tubuhnya ke arah Taeyong. “Bersihin! Geli!”

“Lebih geli ngeliat kamu menggeliat seperti ini. Like a hoe.

“Rude, Taeyong.”

“Thanks, anyway.

Taeyong mengambil kotoran hewan dari bokong Johnny dengan sekali sentuhan. Beruntung ia memakai sapu tangan, hal yang ia lakukan hanya tinggal mencuci benda tersebut.

Johnny menghela napas lega. Ia tersenyum puas tatkala Taeyong malah menatapnya sengit. “Be carefull. Kalo jalan, liat pake mata makanya.” ceramah Taeyong.

Johnny terkekeh. “Hehe. A Dora Bowl.

“Apasih bacot.”

“Do you get it?” tanya Johnny yang tengah menutup hidungnya pada Taeyong. Temannya itu sibuk melepas kedua sapu tangannya yang penuh semerbak bau kotoran. Taeyong menggeleng. Ia pun melempar sapu tangan itu jauh-jauh.

“Oh my god, was it supposed to be a joke.” remeh Taeyong.

Johnny menggeleng kecil. “A-Dora-Bowl,” ia pun menyeringai. “say it fast, babe.

Taeyong terdiam sejenak, menelan ucapan Johnny perlahan-lahan hingga akhirnya sekujur tubuh Taeyong menegang, ia menggeliat geli sembari menendang tubuh Johnny lumayan kencang. “Go away from me.

“YA TUHAN, BERCANDA!”

“CUIIIIH!”

Ketika Taeyong mendorong tubuh Johnny kuat-kuat dengan maksud agar menjauhinya, Johnny justru menyela, “Sabar dulu, dong! Dengerin aku bentar!” sela Johnny.

Taeyong mendengus. “Kamu harusnya sujud syukur punya temen sebaik saya,” katanya dengan wajah datar. Johnny mencibir ucapan temannya itu.

“Mau ngomong apa kamu, John?” tanya Taeyong dengan raut wajah datarnya. Johnny sedikit menelan air liur kasar, serem banget sumpah Taeyong kalau lagi kayak gini.

“Gak. Apasih, aku cuma mau nanya tentang Jennie ...” Johnny mengembus napasnya kasar, “sorry kalau lancang. Namanya juga teman, kalo masih belum ketemu, ya, nanti ada aku yang bully  kamu.”

WHAT THE FUCK YOU S—”

“BITCH, I'M KIDDINGGG!”

Taeyong mengacungkan jari tengahnya tepat pada wajah Johnny. Ia mencibir, kemudian kembali fokus pada kerjanya. “Jennie masih belum ketemu. Udahlah, urus tugas kamu sendiri. Tugas aku masih banyak, John.”

“Minhyung?”

“He's died, Johnny.”

“O-okay, sorry if i distrubing you.” cicit Johnny lalu pergi meninggalkan Taeyong dan mulai fokus dengan pekerjaannya masing-masing.

Taeyong menghela napas panjang, ia memejamkan matanya sekilas seraya memanggul sebuah karung besar berisi pakan kuda. Ia jadi teringat ucapan Johnny 2 Tahun yang lalu, bertepatan dengan Jennie yang hilang tanpa jejak itu.

Nothing impossible, Taeyong. Minhyung isnt die, he's lost. Lost, Taeyong.

.

“Dih, kita dijauhin, Min, sama ni bedugul satu.”

Seungmin mengangguki ucapan Lucas yang terdengar seperti sindiran untukku. Sebenarnya aku berniat untuk pulang duluan sebab Jisung menyuruhku agar menjemputnya di sebuah kedai makanan. Jisung dan teman-teman satu bandnya tengah merayakan keberhasilan mereka pada lomba kemarin.

Dan—gak ada hubungannya dengan aku yang memusuhi kedua mahluk astral itu.

“Lo ngapa sih? Marah?” Seungmin menyamakan langkah kakinya dengan langkah kaki milikku. Begitu pula Lucas,

Lucas mendengus. “Iye. Tadi aja lo gak ke kantin,” ia merangkulku. “kalo gua sama Seungmin punya salah, ya, maapin aa' atuh, geulis.” katanya, sok manis.

Aku menghela napas kasar seraya menghempaskan tangan Lucas dari pundakku. Aku menatapnya jengah, tertawa pahit diakhiri dengan gelengan kecil. “Gue gak marah,” lalu terkekeh. “alay.”

“Tai, Cas. Dia lebih ngeselin daripada Lena.” adu Seungmin pada Lucas sambil mengacungkan telunjuknya, ke arahku.

Lucas menggeleng, “Masih ngeselin Lena, najis.”

Seungmin membelalak sekilas, “Demen?” godanya seraya bergelayut manja pada lengan Lucas. Lucas hanya mengembus napas pelan, pasrah.

Lucas menoyor kepala Seungmin kasar. “Lo tau kan, gua udah nembak Yuqi 59 kali, tetap aja di tolak?” lalu menatap Seungmin sohor, “Tandanya hati gue itu only for my loply gurl, Yuqita sahur!” pekiknya, bangga.

“Najis.” bola mataku berputar malas, “Oh, iya. Jangan lupa, lo juga ditolak sama Yuqi sebanyak ... Berapa kali, Min??”

Aku justru melemparkan pertanyaan itu pada Seungmin. Seungmin terkekeh geli, ia menepuk punggung sahabat karibnya itu, Lucas, berkali-kali. “Berapa, ya, Cas? Kalo gak salah di tolak 45 kali. 10 kali di campakkan, 2 kali di blokir, 2 kali juga Lucas ganti nomor gegara nomor WhatsAppnya di laporkan sama Yuqi—sebagai konten seksual. WAKAKAKAKAKAKAKAKAK!”

Aku terbahak kencang, “NGUAKAKAKAKAKKAKA!”

Aku, Seungmin, dan Lucas berniat untuk pulang bersama. Bedanya, nanti aku yang akan memisah di sebuah perempatan. Arah rumah Lucas dan Seungmin kebetulan sama. Jadi, Seungmin dan Lucas akan berbelok ke kiri, kalau aku, belok ke kanan—menjemput Jisung.

Lucas terlihat lebih pendiam dari biasanya. Tak jarang aku melihatnya membawa sebuah buku fiksi—yang faktanya, Lucas tak suka membaca. Heran.

“Btw, lo tumben kagak pulbar sama Mark?” tanya Seungmin.

Aku menggeleng, “Dah duluan dia.” balasku.

Lucas menoleh ke arahku, “Duluan kemana?” tanya Lucas terheran-heran. Aku memutar bola mataku malas, kemudian menepuk pundak Seungmin. Menyuruhnya membalas ucapan Lucas.

Seungmin menggerutu. “Gua lagi, gua lagi,” ia pun mengembuskan napasnya. “Mark dah duluan ke tempat Jisung. Puas lo?”

Lucas mengangguk paham. “Gue ngantuk, maaf gak fokus.”

“Bodo.”

“Tapi...” Lucas menggumam rendah, “Bukan karena lo masih marah sama dia?” Lucas bertanya lagi padaku. Aku hanya sekadar menatapnya kemudian memalingkan wajah.

Seungmin mendecak kecil. “Ck, lo marahnya ke siapa, kita juga yang kena.”

“Hah? Maksud lo?” tanyaku pada Seungmin.

Seungmin menggeleng, “Engga. Maksud gua tuh, lo marah kan sebenernya sama Mark? Nah, marahnya lo tuh ke satu orang, tapi imbasnya sampe ke gua sama Lucas. Ga tau diri emang.” jelasnya seraya menatapku sengit.

“Emang gua ada bilang, kalo gua marah sama Mark?”

Seungmin menyenggol Lucas yang ada di sampingnya. “Lucas yang ngomong, bukan lo.”

“Tai ah, gua lagi yang salah.”

Seungmin mendengus. “Kodrat cowok.”

Lucas menarik kerah baju Seungmin seketika, “TERUS LO BUKAN COWOK GITU, BANGSAT?!” pekiknya berapi-api. Seungmin itu tak tahu diri, sudah tahu Lucas marah, ia masih saja tertawa karena wajah konyolnya Lucas yang tidak terkontrol.

Seungmin terkekeh kecil, “Y-yaudah lepas dulu, anjhing! Sa-sakit!”

“Magadir, sia.” decihku, sengit.

-


"Yaudah, gua duluan, ya."

Lucas mengangguk seraya merangkul pundak Seungmin tiba-tiba. "Lo kalo jalan sendiri, ti ati loh, Kei." kata Lucas sembari mengacungkan jari telunjuknya tepat pada wajah Keisha. Keisha hanya bisa mendengus kasar, menepis tangan Lucas yang menganggu pemandangannya.

"Tau gua. Masih ada otak, ga kayak lo."

"Capek Ya Allah dinistain mulu, pen resign aja dari NKRI." gerutu Seungmin hambar, "Nanti salam ke Jisung, jangan lupa ajak Bang Seungmin sama Teh Lucas traktiran kitu."

"Lo kata gua kelamin ganda apa?" decih Lucas. Mendelik jijik ke arah Seungmin yang malah menatapnya dengan tatapan mengejek.

Keisha mendorong kasar bahu kedua temannya, "Bacot! Udah sana buru balik, shoo shoo!" Usir sang taruni dengan rupa sinisnya. Matanya menyorot bak klangkyang, otomatis, sorot teduh bak brahmastana tadi pun hirap.

Lucas mendesah percuma, "Yaudah, maaf. Lagi bulanan ya lo?"

"Seungmin kali, bukan gua." Balas Keisha, jenaka.

Seungmin yang merasa terpanggil hanya membelalakan bola matanya sesempurna mungkin. "GUA JOTOS LU ANYENG. MAO?!" ancamnya, sembari mengacungkan jari tengah.

"Pukimek."

Tatkala Keisha bergumam, justru Lucas dan Seungmin telah berpaling, berniat untuk mencari angkutan umum. Ralat, Lucas sih naik gojek, dia cuma nungguin Seungmin yang mungkin bakal telat dapat angkotnya.

"Mbak?"

Merasa Keisha yang terpanggil, jadi, apa salahnya dia balik badan?

"NAH INI YANG GUA CARI," pekiknya. Keisha lantas menarik tangan Jisung kemudian membawanya ke suatu tempat yang mungkin sedikit sepi orang yang lewat disana.

Jisung berceloteh ramai bak beo yang dikurung dalam sangkarnya. "Mau kemana sih? Tas Jisung masih di atas meja sana, ya Allah!" rewelnya pada seorang gadis yang lebih tua 3 tahun darinya.

Sang gadis yang kerap disapa kei sebagai panggilan pendeknya hanya bisa melengos. Diabaikan rengekkan sang adik yang mungkin hanya sebatas angin lalu pada telinganya.

"Mark mana?"

"Nah, justru itu. Kira aku, tadi Mbak kesini bareng Kak Mark."

Keisha mengrenyit bingung, "Lah? Justru Mark bilang ke mbak katanya dia dah duluan kesini, cintaku."

"Rese bat. Dibilang geh ngeyel. Kak Mark gak ada disini." Jisung menyangkalnya dengan mimik sebal tingkat dewa.

Lantas? Gumam Keisha dalam hati.

"Intinya," gumam si gadis. "Mark dimana?"

"I dunno. It will be answer, kalo kita cepet balik ke rumah, Mbak."

Keisha terkekeh kecil sembari merangkul bahu sang adik dengan kecepatan kilat. Kurva manis itu terpatri indah pada wajahnya yang anggun bak permaisuri nurani.

"Gosah cepet-cepet elah. Lo nraktir gua aja belom, ga berkah sia party-partynya tanpa ada gua."

"Silitmu. Justru paling ga berkah itu. Ngundang setan, masuk ke dalam sebuah kenduri."

"Anjing." Umpat si hawa dengan kasarnya.

.  .  .

"Can. You. Shut. Up?" Ucap Mark penuh dengan penekanan pada setiap katanya.

Si lawan bicara justru tertawa laknat. "I can't."

Mark mengembuskan napasnya kasar. "Kamu tuh siapa? Dari dua minggu yang lalu, aku inget banget. Kamu yang nelpon aku tengah malem pas mati lampu. Kuker banget."

"Kenal Jaehyun?"

"Of course, yes. He is my boss."

Lawan bicara Mark di telepon hanya bisa terbahak kencang. Disebalik layar, orang tersebut membuka tudung jaket beserta masker yang menutupi daerah mulutnya. Itulah yang membuat, suara sang lelaki menjadi sedikit samar dan tidak jelas.

"So, do you know who i really am?"

Mark terdiam. Batinnya menerka-nerka suara yang mulai awam ditelinganya. Sepersekon setelahnya, hati Mark mencelos. Bagai jatuh pada kubangan yang sama, Mark hanya bisa gigit jari, diam seribu bahasa.

"Hei, kok diem aja?"

"Jaehyun--- i mean, Hello Mr. Jae?"

"Nice shoot!"

Tut.

Dua puluh lima menit setelah peristiwa tersebut, Keisha dan Jisung pun pulang. Ketika daun pintu mulai di dorong, terpampanglah sebuah ruang televisi yang gelap, sepi, dan tak ada tanda-tanda Mark disana.

"MAAAAAARK?"

"GAUSAH TERIAK NAPA, MBAK! JIGONG MU ITU BAU BAWANG, BANGSAT!"

Keisha mengerucutkan bibirnya kecewa. "Atuh gosah ngegas geh, dek." Jisung hanya bisa memutar bola matanya sebal pada kelakuan si kakak.

Satu lembar nominal uang berwarna merah diraup habis-habisan oleh sang kakak. Gimana Jisung tak kesal. Satu ragunan ia selipkan pada setiap kalimat yang ia utarakan.

"Kak Mark~!" Jisung turut memanggil Mark sembari memutari setiap ruangan yang ada pada rumahnya.

Keisha pun turut mengerjakan hal yang sama, naik ke lantai atas, memeriksa pada semua bilik kamar dan gudang, kamar mandi, namun nihil. Mark tak ada disana.

"Jisung! Kamu yakin gak ninggalin Mark di cafè tadi?!" Pekik Keisha.

Dari lantai bawah, Jisung pun ikut berteriak. "DEMI ALLAH, MBAK! NGAPAIN JUGA JISUNG NYUMPUTIN KAK MARK. GAGUNA ELAH," sungutnya.

Tok. Tok. Tok.

Jisung menoleh ke arah pintu yang terketuk. "Mbak Kei! Ada orang di luar!"

"Siapa?!"

"Nteu nyaho lah tolol! Liat dewek!"

Mau tak mau, Keisha hanya bisa mencebikkan bibirnya sebal seraya turun dari lantai atas untuk mengecek siapakah orang yang mengetuk pintu rumahnya?

Keisha menepuk pundak Jisung pelan. "Heh,"

Jisung pun bergegas untuk tersadar dari lamunannya. "Ngagetin!" Teriaknya tak terima.

Keisha mengabaikan ucapan Jisung yang terdengar nyolot pada telinganya. "Udah liat, siapa orang yamg diluar?"

"Udah, kok."

"Siapa?" Tanya Keisha.

"Tuh," Jisung mengacungkan telunjuknya---mengarahkan pada sosok figur tinggi semampai, berkulit putih pucat, tengah mengeluarkan beberapa pakaian dari dalam koper miliknya. "Kak Mark."

Sesosok figur yang merasa terpanggil itu pun membalikkan badan. Keisah hanya bisa terdiam, melihat sosoknya dari atas ke bawah. Terasa aneh, namun apa?

"Mark, lo ngapain bawa koper?"

"H-huh?"

Keisha memutar bola mata malas. "Lo udah tinggal di Indonesia gak sehari dua hari, Mark. Masa lo ga ngerti apa yang gua ucapin?"

Mark hanya menyunggingkan senyum tipis. "Maaf. Tadinya gue mau p-pindah, tapi gajadi."

Hah? Ke Kanada maksudnya?

"Ke Kanada?"

"Hng?" Pemuda yang diduga Mark itu mengangguk cepat, "O-oooh ... I-iya. Maaf, ya?"

I'M BAAAACK.
sekarang perpulangan bulanan dari asrama!
SENANGNYA DALAM SILIIID!
sorry kalo gajel! udah lama ga nulis jadi gini :(
t-tapi ... ini emang konflik inti dari work ini loh, seriously.

;;2k words.






Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top