bab enam belas
Aku terjingkat ketika suara Pak Rion menginterupsi ruang marketing tim satu. Membawa beberapa berkas, ia mencari Bu Tami dengan wajah roman kemarahan. Pak Rion tidak mengatakan apa maksud kedatangannya mencari Bu Tami, tetapi aku menebak ini ada kaitannya dengan kejadian kemarin sore saat Fai membuat Kara babak belur.
"Bu Tami sudah datang tadi, Pak. Sekarang lagi ke tim dua untuk koordinasi siapa-siapa saja yang diperbantukan dalam acara event bulan depan," kata Eza saat menjawab pertanyaan Pak Rion soal presensi Bu Tami.
Aku memilih untuk berdiri meski Runi sudah mencegahku melakukannya. Bagaimanapun, aku harus bertanggung jawab atas apa yang terjadi pada Kara kemarin.
"Pak," panggilku.
Pak Rion yang baru saja menoleh ke arahku kembali memutar badannya saat Mas Agas masuk. Jantungku berdegup kencang mengingat pesan yang dilayangkan Mas Agas kemarin. Apa dia datang ke sini untuk membuat perhitungan denganku?
"Gas?" tanya Pak Rion.
"Kara mana?" tanya Mas Agas yang mendapat balasan berupa picingan mata dari Pak Rion. "Tadi kata Abel lo ke sini, gue pikir Kara ikut, soalnya enggak ada di ruangannya."
"Bukannya lo biasanya ke sini bareng Kara? Kenapa jadi nanyain ke gue?" Pak Rion balik bertanya.
"Kara kirim chat, dia udah jalan duluan karena ada urusan. Gue disuruh langsung ke kantor sama dia."
Butuh waktu untukku mengumpulkan keberanian saat kedua orang yang bisa mengeksekusiku ini sama-sama melayangkan kebingungannya. Aku menarik napas panjang, berjalan pelan sembari memilin jari mendekat pada Pak Rion dan Mas Agas.
"Pak, Mas, saya minta maaf, ya." Aku membungkuk sejenak di depan Pak Rion dan Mas Agas yang sekarang saling tatap.
"Lo kenapa minta maaf, Chya?" tanya Mas Agas.
"Anu ... itu ..., Mas."
"Jangan bilang ini soal kamu kemarin pergi sama Kara? Kamu tidak buat masalah, 'kan?" Wajah Pak Rion semula sudah penuh kemarahan tiba-tiba terasa berbeda. Tanpa ekspresi, tatapannya menajam seolah dapat menusukku saat ini juga.
"Pak Rion, Pak Agas?" Suara Bu Tami mengalihkan pandangan Mas Agas, tetapi tidak dengan Pak Rion yang masih mengunuskan tatapan membunuh padaku.
"Ada apa, Pak?" tanya Bu Tami berusaha mengalihkan Pak Rion dariku.
"Sepertinya untuk produk baru kita belum dapat launching bertepatan dengan event bulan depan, Bu. Karena ada masalah pada pihak supplier, Rion akan meminta keputusan Kara untuk mengganti salah satu supplier kita."
Mas Agas menjelaskan alasan Pak Rion datang ke sini yang membuatku sedikit menyesal karena sudah berniat menceritakan kejadian kemarin pada Pak Rion sebelum tahu kondisi Kara saat ini.
Lo jangan bikin masalah sama Pak Kara deh. Percaya, Pak Rion lebih milih dia kesiram air keras dibanding Pak Kara kesiram air es.
Ucapan Eza beberapa hari lalu bergaung di telinga, membuatku merasakan ketakutan yang lebih dalam lagi saat Pak Rion tidak juga menggubris pertanyaan Bu Tami dan jawaban Mas Agas. Aku kembali menarik napas untuk memasok oksigen sebanyak mungkin ke dalam paru-paru, sembari berharap oksigen itu masuk berlebihan dan aku pingsan saat ini juga.
"Ke-kemarin Pak Kara kebentur pilar di lobi pintu timur, Pak," ucapku dengan suara sepelan mungkin. "Pak Kara dipukul karena pacar saya salah paham sama Pak Kara."
"Serius?" Suara Mas Agas terdengar seperti teriakan, aku bahkan sampai mundur satu langkah akibat tersentak oleh suaranya. "Trus kemarin gimana keadaaannya? Kenapa lo enggak kabarin gue? Atau Rion?"
Pertanyaan terakhir Mas Agas kembali membuatku menyumpahi diri sendiri. Karena terlalu larut pada masalahku dengan Fairuz, aku tidak terpikirkan sama sekali untuk menghubungi Mas Agas dan memberitahu apa yang terjadi pada Kara.
"Maaf, Mas. Saya bingung mau kabarin Mas Agas bagaimana." Aku menundukkan kepala, berusaha menutupi air mata yang sudah merembes karena melihat reaksi Mas Agas.
"Itu hanya alasan untuk menutupi ketidakbecusan kamu dalam memegang apa yang sudah kamu janjikan." Pak Rion baru bicara setelah beberapa saat. Aku masih terisak sembari berusaha meredam suara di depan Pak Rion.
"P-Pak ...." Bu Tami mencoba mengeluarkan suara.
Pak Rion menatap Bu Tami. "Hubungi semua pihak supplier yang terkait dengan produk baru. Bilang bahwa kita batal menjalin kerja sama. Produk baru itu, batal kita pasarkan."
Aku mendongak menatap Pak Rion yang masih setia dengan ekspresi datarnya. Ia beralih menatap Mas Agas. "Lihat seluruh CCTV dan buat bukti untuk menuntut orang yang mukul Kara. Laporkan dia ke polisi."
"Pa-Pak ...." Aku mencoba membuka suara dengan sisa-sisa keberanian yang aku punya.
"Bereskan barang-barang kamu saat ini juga. Dalam waktu tiga puluh menit, saya tidak ingin kamu masih berada di wilayah ini."
Aku tidak dapat mendefinisikan apa yang aku rasakan saat ini. Kegembiraan kedua orang tuaku saat tahu aku diterima bekerja kembali melintas di benakku. Apa jadinya jika mereka tahu aku kembali kehilangan segalanya bahkan saat belum mendapatkan kesempatan untuk membuktikan bahwa aku pantas berada di sini.
Aku tidak menyalahkan Kara. Jelas, ini bukan salahnya. Pun aku juga tidak bisa menyalahkan Fai tentang apa yang terjadi. Semua ini, murni kesalahanku. Aku mengusap wajah secara kasar, menyeka air mata yang membanjiri wajah dan mengangguk pelan.
"Baik, Pak," ucapku lirih dan kembali ke kubikelku untuk membereskan barang. Karyawan yang berada di tim satu menatapku dengan rasa iba, aku harus menyunggingkan senyum demi mengatakan aku baik-baik saja, meski itu terasa sangat sulit.
"Rion, Agas."
Aku ikut menoleh ke arah sumber suara. Pak Rion dan Mas Agas langsung merapat pada Kara yang baru saja masuk dan mengembuskan napas pelan.
"Gue tahu kalian pasti di sini." Gerakanku terhenti saat melihat Kara yang tersenyum ke arah Pak Rion juga Mas Agas. "Masalah itu jangan dibesar-besarin, ya."
"Gue enggak ngebesarin masalah. Itu memang sudah besar sejak lo dipukul sama orang yang bahkan gue enggak kenal siapa orangnya." Nada suara Pak Rion mengencang. Aku lihat Kara menghela napas kemudian menggaruk pelipis yang masih berwarna keunguan.
"I'm fine, Ri. Don't make it seems like i'm powerless at all."
Meski terdengar tidak tahu diri, mendengar ucapan Kara memunculkan sedikit harapan yang timbul di hatiku agar ia bisa membelaku di depan Pak Rion dan Mas Agas.
"Enggak, Kar. Kali ini gue setuju sama Rion. Gue enggak mau ngambil risiko lo kenapa-kenapa." Mas Agas menggeleng pelan.
"Tapi gue bukan anak kecil, Gas. Bahkan anak kecil yang berkelahi sama temannya aja enggak akan mendapat perlakuan seberlebihan gue. Lo tahu? Kalau sikap kalian begini, gue lebih pilih mati empat tahun lalu, tahu enggak?"
"Kar!" Pak Rion berteriak.
"Apa? Buat apa gue ada kalau keberadaan gue aja cuma bisa bikin sesak orang lain? Lo, Agas, Bokap, Nyokap, kalian semua." Kara mengerang di akhir kalimatnya. "Bisa enggak, sih, kalian buat gue ambil keputusan sendiri?"
Suasana di ruang tim satu menjadi lebih panas dibanding berita pemutusan hubungan kerjaku yang baru saja terjadi. Pak Rion dan Mas Agas hanya diam mendengar kara bicara.
"Kalian mau pecat Chysa? Iya? Oke! Tapi habis ini gue mundur dari perusahaan. Percuma, gue juga enggak punya andil apa-apa, 'kan, di sini?"
"Enggak gitu, Kar. Gue sama Agas cuma khawatir sama lo."
"Rasa khawatir lo berlebihan, Ri."
Pak Rion terlihat menarik napas panjang sebelum kemudian menoleh ke arahku. "Chysara."
"I-Iya, Pak." Aku ragu melangkah mendekatinya.
"Kamu boleh tetap bekerja di sini, tapi dengan satu syarat. Jauhkan laki-laki yang kamu bilang pacar kamu itu dari wilayah kantor. Atau kalau sampai kejadian ini terulang, bukan hanya dia yang saya jebloskan ke penjara, tapi juga kamu. Mengerti?"
"Mengerti, Pak. Terima kasih. Terima kasih." Aku berjingkat kegirangan ketika Pak Rion memberiku satu kesempatan untuk kembali bekerja di CoffeTalks. Karena terlalu gembira, aku tidak sadar bahwa sudah menarik lengan Kara dan menggoyangkannya. "Makasih, Kara. Makasih."
Hingga suara deham dari Mas Agas menyadarkanku.
"Ehh? Maaf, Pak." Aku buru-buru melepas tangan Kara dan bergerak mundur.
"Ya sudah. Tadi Abell bilang kalau kita ada masalah sama salah satu supplier? Kalau mau ganti, ganti aja. Gue enggak masalah. Semoga aja Deli FoodNesia mau kerja sama bareng kita." Kara mencoba meneruskan niat Pak Rion yang tertunda.
"Itu gampanglah. Kita bisa lakuin nanti-nanti. Sekarang kita ke rumah sakit dulu. Gue mau tahu langsung kondisi kepala lo." Pak Rion terlihat sudah tidak lagi mempedulikan pekerjaan. Baginya, kondisi Kara yang terpenting saat ini.
"Tapi lo bilang mau ada janji temu sama pihak Deli FoodNesia untuk kerja sama. Mereka itu supplier yang kita incar dari tahun lalu loh! Lo pikir gampang buat janji sama Deli FoodNesia? Udaaah gue baik-baik aja. Kita kerja aja dulu, ya?"
"Enggak." Pak Rion dengan keputusan finalnya.
"Lo batu banget, Ri. Sumpah," cetus Kara. Tangannya bahkan terangkat menggaruk kepala yang mungkin saja tidak gatal.
"Bagaimana Pak Rion dan Mas Agas datang aja untuk janji temu sama supplier, biar saya yang dampingi Pak Kara ke rumah sakit. Hitung-hitung ini bentuk pertanggung jawaban dari saya?"
"Enggak perlu, Chysa. Saya baik-baik aja, lagi pula saya sudah muak sama dokter," tolak Kara. Entah karena apa, tetapi pria itu sulit sekali dibujuk untuk datang ke rumah sakit.
"Ya sudah. gue juga muak sama lo." Mas Agas memberikan selembar amplop pada Kara. "Surat pengunduran diri gue. Males gue ngurusin lo, susah dibilangin."
Mataku membulat melihat Mas Agas dengan mantap memberikan surat pengunduran diri, tetapi lain halnya dengan Kara, ia hanya memutar bola matanya kemudian langsung merobek amplop tersebut.
"Okeee ... Kalian urus kantor, gue balik istirahat. Puas?"
"Ke rumah sakit, trus balik istirahat seharian full." Pak Rion memberikan pilihan.
"Chysara, kamu antar dia ke rumah sakit. Bisa bawa mobil, 'kan?" Mas Agas melemparkan kunci mobil padaku. "Habis dari rumah sakit, antar Kara ke rumah terus kunciin di kamar, pastiin dia enggak keluar rumah sama sekali. Sampai saya sama Rion ke sana."
"Eh? Maksudnya saya nungguin Pak Kara di rumah gitu, Pak?" Aku mengkonfirmasi ucapan Mas Agas.
"Tadi katanya mau tanggung jawab. Gue bakal telpon lo satu jam sekali. Pastiin dia benar-benar di rumah. Oke?"
"Tapi kerjaan saya bagaimana?"
"Biar di-handle Eza sama Runi." Bu Tami ikut menyela. Mungkin, ia sudah tidak nyaman melihat Pak Rion dan Mas Agas marah-marah.
Aku mengangguk susah payah karena otot-ototku mengencang. Sepertinya ide yang kulontarkan tanpa berpikir justru membuatku dalam masalah. Bagaimana mungkin aku harus menghabiskan waktu satu hari penuh hanya bersama Kara?
Ada yang ingat Deli FoodNesia?
Aku kangen sama Deli FoodNesia dan segala jajarannya :(
Kalau Kara punya Rion dan Agas. Trias di Deli FoodNesia punya Ditra. Gimana yaa kalau mereka ribut berlima. Trias sama Kara sih jadi korbannya ehehehee ...
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top