bab empat puluh lima
"Lo bener sudah yakin, Chya?" tanya Eza saat kami bertemu di cabang CoffeTalks dekat kantor.
"Iya, Chya. Semua yang terjadi bukan sepenuhnya salah lo kok." Runi ikut memberikan pendapat.
Aku menggeleng pelan sembari tersenyum ke arah mereka sebelum menyeruput green tea frappe. Sebenarnya aku juga berat, bertemu rekan kerja yang solid seperti mereka mungkin tidak akan terulang dalam hidupku, tetapi aku terlalu malu untuk kembali bertemu dengan semua yang pernah menyaksikan drama antara aku dan Eliana. Oleh karens itu, setelah satu minggu berpikir, hari ini aku datang untuk memberikan surat pengunduran diri pada Bu Tami.
"Kalian lagi sibuk apa sekarang? Chick'nTime kapan rilis? Kok iklannya belum gue lihat di sosial media, sih?" Aku mengalihkan obrolan.
Namun, bukannya terlihat antusias. Runi, Eza, dan Ami justru menghela napas kelewat berat.
"Chick'nTime batal rilis, Chya. Sejak posisi Pak Rion kosong, dan Pak Kara nggak datang-datang ke kantor semuanya jadi kacau. Pak Paulus juga bilang, kalau akan ada kemungkinan CoffeTalks akan pindah tangan ke perusahaan lain, Chya." Eza menjelaskan.
"Ternyata galak-galak begitu adanya Pak Rion di CoffeTalks memang benar-benar dibutuhin. Gue lebih rela diomelin setiap hari sama Pak Rion dari pada CoffeTalks jadi begini." Ami menumpu kepalanya pada tangan.
Mendengar nama Kara kembali disebut setelah satu minggu tidak mendengar kabarnya, hatiku kembali disusupi oleh rindu. Bagaimanapun, Kara adalah orang yang pernah berhasil membuatku merasa begitu dicintai.
Begitu pula dengan Mas Agas juga Pak Rion, aku sempat kaget saat mengetahui Pak Rion benar-benar memutuskan untuk keluar dari CoffeTalks karena ucapan Mas Amar tempo hari.
"Kalau Mas Agas. Dia ke mana? Nggak juga bantu urus CoffeTalks?" Aku mencoba menyuarakan rasa penasaran.
Sebetulnya Mas Agas pernah mengatakan bahwa aku tidak perlu segan untuk menghubunginya jika butuh bantuan, tetapi berulang kali aku mencoba menghubungi Mas Agas, berulang kali pula aku ragu dan berakhir gagal menghubunginya.
"Mas Agas juga nggak pernah datang ke kantor kok. Kayaknya jaga Pak Kara di rumah sakit deh."
Kara sakit? Sejak kapan? Kenapa Mas Agas tidak memberiku kabar sama sekali? Aku mati-matian menahan diri untuk tidak berekspresi berlebihan mendengar kabar Kara.
Rasanya aku ingin sekali mengutuk rasa penasaran yang tidak juga hilang dari sekitarku saat mendengar keadaan Kara. Bahkan hingga aku pamit pada Eza, Runi, dan Ami setelah memberikan surat pengunduran diri, rasa khawatir dan penasaran masih saja melingkupiku.
Aku memberanikan diri menelpon Mas Agas, mencari tahu keadaan Kara, meski hanya untuk mendengar bahwa ia baik-baik saja.
"Hallo, Mas."
[ "Iya? Ada apa, Chysara?" ]
Aku menelan ludah susah payah mendengar panggilan Mas Agas padaku berubah. Apa ini karena aku sudah tidak lagi punya hubungan dengan Kara sehingga Mas Agas bersikap seolah tidak peduli padaku? Kenapa aku sedih menerima perlakuan Mas Agas yang dingin?
"Aku dengar Kara sakit, Mas? Kara sakit apa? Bagaimana keadaannya?"
Aku tidak peduli akan seperti apa Mas Agas menganggapku, tetapi untuk saat ini aku hanya ingin mendengar bahwa Kara baik-baik saja. Namun, beberapa saat Mas Agas memilih untuk diam.
"Mas?"
[ "Di sini sudah ada Eliana, kamu tidak perlu khawatir tentang Dhiwangkara lagi." ]
Jadi Kara benar-benar kembali pada Eliana? Bukankah itu yang aku minta padanya saat terakhir kali kita bertemu? Tapi kenapa air mata ini kembali lolos mendengar permintaan itu Kara kabulkan? Apa sebetulnya yang aku inginkan?
"Boleh aku ketemu sama Kara, Mas? Satu kali saja."
[ "Untuk apa? Kamu sendiri yang bilang bahwa nanti Dhiwangkara juga akan melakukan hal yang sama dengan kamu, 'kan?" ]
"Aku ngelakuin itu supaya Kara mau kembali sama Eliana, Mas! Aku nggak benar-benar menganggap Kara sejahat itu!"
[ "Dan sekarang kamu dapat apa yang kamu mau, 'kan?" ]
"Mas!"
[ "Sebenarnya apa sih mau kamu, Chysara? Kamu yang mempersilahkan Dhiwangkara masuk, tapi kamu juga yang mengusirnya dari hidup kamu. Egois kamu." ]
Kara! Walau mungkin terdengar bodoh, tapi untuk saat ini aku hanya ingin dapat bertemu dengan Kara.
[ "Jawab atau saya tutup sambungannya." ]
"Kara! Aku cuma mau Kara! Terserah Mas Agas mau bilang apa tentang aku, tapi aku mau ketemu sama Kara."
Aku sudah tidak peduli dengan apa yang akan Mas Agas pikirkan tentangku, hatiku terlalu sakit membayangkan bahwa aku akan hidup tanpa melihat Kara lagi.
"Akhirnya lo mau ngaku juga, Chya."
Aku berbalik saat mendengar suara Mas Agas di belakang. Ia tersenyum, mematikan sambungan telepon dan memasukan benda pipih tersebut ke dalam saku celananya.
"Mas Agas?" Aku mengusap wajah dengan kasar saat Mas Agas mendekat ke arahku.
"Lo pikir gue bakal lupain lo yang udah gue anggap adek gue sendiri apa?" Mas Agas mencubit gemas pipiku.
"Sakit, Mas!" Aku mencoba melepaskan cubitan Mas Agas. "Mas, Kara gimana?"
Mas Agas merapatkan bibirnya kemudian menggeleng pelan. "Dia drop sejak seminggu yang lalu. Waktu balik dari rumah lo, Rion nemuin Kara di apartemen udah kacau banget. Sekarang dirawat di rumah sakit."
Rasa bersalah semakin melingkupiku saat mendengar cerita Mas Agas. Apakah setelah ini Kara akan membenciku?
"Kara pasti benci banget sama aku, ya, Mas."
"Kalau lo mau tahu, mending lo liat keadaannya deh. Tapi ingat, apa pun yang terjadi, jangan sampai lo nyalahin diri lo sendiri, ya?"
Aku mengangguk kaku, peringatan Mas Agas membuatku kembali ragu akan pilihan yang aku ambil, tetapi kali ini aku harus berani menghadapi segala respons yang Kara berikan.
Mas Agas mengantarku ke rumah sakit tempat Kara di rawat, lima belas menit perjalanan hatiku dipenuhi rasa takut akan penolakan Kara. Aku sudah berbuat jahat padanya, aku sudah mengatakan hal buruk padanya. Dan, benar saja, ketika kami berbelok ke arah lorong tempat di mana Kara dirawat, langkahku otomatis terhenti saat melihat Eliana duduk dengan Pak Rion yang berjongkok di hadapannya.
"Gue mohon, Eliana. Tolong jujur apa benar yang dibilang Arditto sama gue? Anak yang empat tahun lalu itu anaknya? Dia bukan anak Kara? Kenapa, Eliana?"
"Lo bakal ninggalin gue, 'kan, Ri? Gue udah jahat sama lo sama Kara."
Sebetulnya aku tidak mengerti apa yang dimaksud Pak Rion anak empat tahun lalu, tetapi aku langsung menangkap bahwa itu adalah anak yang pernah Eliana katakan sebagai anak Kara? Apa berarti selama ini Kara berkata jujur padaku?
'Sebanyak apapun bukti yang orang lain sodorkan pada kamu, tolong percaya sama aku, Chysara.'
Dadaku kembali dipenuhi sesak mengingat permintaan Kara saat di pantai waktu itu. Saat itu, aku berjanji bahwa akan selalu mempercayai apa pun tindakannya.
Aku terhenyak saat melihat Pak Rion menumpu kepalanya pada lutut Eliana. Seperti seorang yang tengah mengiba akan sesuatu, Mas Agas dan aku memutuskan untuk tidak menghampiri mereka dulu.
"Lo tahu gue nggak akan pernah ninggalin lo, Eliana. Cuma gue butuh penjelasan, kenapa lo lakuin hal itu ke Kara, Eliana?"
"Gue nggak mau ada orang lain milikin Kara, Ri! Lo tahu kan sesayang apa gue sama Kara? Gue nggak mau dia ketemu sama perempuan yang janjian ketemu sama di ...."
Ucapan Eliana terhenti begitu saja. Pak Rion berdiri, menegapkan tubuhnya dan menatap Eliana yang kini mendongak menatapnya.
"Ri, gue ...."
"Dari mana lo tahu Kara pergi janjian sama perempuan malam itu? Kita semua nggak ada yang tahu sebelum Chysara jujur sama gue minggu lalu? Gue nggak cerita sama siapa-siapa dan nggak mungkin Agas atau Amar yang cerita sama lo."
"Ri, gue nggak sengaja, Ri. Gue ...."
Aku terduduk bersamaan dengan Pak Rion yang menjatuhkan bokongnya ke lantai. Tanganku bergetar hebat, sama sekali tidak menyangka bahwa kenyataan itu yang akan aku dapatkan hari ini. Meski tidak keluar secara langsung dari mulutnya, percakapan ini membuat segalanya jelas. Ternyata semua kecurigaan Mas Amar tentang kecelakaan yang dialami Kara benar adanya.
Dengan sisa tenaga yang aku miliki, aku mencoba berdiri, mendekat pada Eliana dan memberanikan diri menampar wajahnya. Sangat keras, hingga rasa panas di wajahnya terasa berpindah ke tanganku.
"Apa sih yang ada di kepala kamu sampai berbuat sejahat itu sama Kara? Salah apa Kara sama kamu, Eliana?!"
Aku tidak lagi mempedulikan siapa yang ada di hadapanku, rasa marah mendengar apa yang telah dilakukannya pada Kara membuatku kehilangan kendali. Kara menderita selama empat tahu, Kara kehilangan seluruh hidupnya selama empat tahun, dan aku menyakiti Kara hanya karena wanita jahat ini. Tidak! Aku tidak rela jika semua penderitaan Kara hanya dibayar dengan kata maaf.
Aku menulikan telinga saat Eliana berteriak ketika aku memukul tubuhnya secara membabi buta. Percuma ia punya tubuh yang cantik jika hanya kejahatan yang bisa ia lakukan. Mas Agas bergerak menjauhkanku dari Eliana, sementara Pak Rion berusaha melerai kami berdua sampai security datang.
"Akh!" Aku memegangi perut bawah saat merasakan keram di bawah sana. Sepertinya reaksi berlebihanku membuat si kecil tidak nyaman.
"Chya, lo nggak apa-apa?"
"Aku nggak apa-apa, Mas. Tolong, Mas. Aku mau ketemu sama Kara." Tubuhku tumbang seketika di hadapan Mas Agas.
Kakiku seperti begitu lemas meski hanya untuk menopang tubuh saat menerima kenyataan yang baru saja aku terima. Mengingat bagaimana menderitanya Kara saat merasa bimbang acap kali ragu dengan masa lalunya, hatiku kembali merasakan sakit.
Apa Eliana tidak sadar, jika perbuatannya sudah membuat Kara menderita selama ini? Apa aku harus merelakan Kara untuk orang seperti dia? Tidak. Aku tidak akan merelakan Kara untuk perempuan seperti Eliana.
Jadi bukan Rion yang jahat ya, dia juga korban di sini, karena dia terlalu sayang sama Eliana, dia jadi terlalu percaya kalau nggak mungkin Eliana berbuat jahat ke Kara :(
Kalau Kara ikan kecil dan Rion itu aquarium kaca, julukan apa yang pas buat Eliana, Agas sama Chysara?
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top