bab duapuluh tiga
"Semua yang ada di dalam daftar udah ke ceklist semua, Za? Jangan sampe ada yang kelupaan dibawa. Jauh soalnya kalo mesti balik Jakarta lagi." Bu Tami mengecek handphone untuk memastikan minibus yang akan mengantar kami sudah berada di lobby saat ini. "Oh ya, untuk barang-barang pribadi juga jangan sampe ketinggalan."
"Aman, Bu." Eza mengacungkan jempolnya ke arah Bu Tami kemudian merangkulku menuju lift.
"Chya, handphone lo bunyi mulu, ntar abis batrenya. Bilangin gitu sama ayang, nanti Abang Eza jagain Neng Chya."
"Ihh najis banget!" Aku mendorong Eza setelah lift terbuka di lantai satu. Berjalan cepat ke arah lobby timur, aku mendapati Runi dan Ami sudah berada di sana lengkap dengan Mas Agas juga Pak Rion.
"Yang lain sudah siap?" tanya Pak Rion. Hari ini dia terlihat berbeda, jika biasanya Pak Rion mengenakan kemeja over size yang digulung hingga ke siku, kali ini dia mengenakan kaos abu-abu lengan pendek yang di gulung, memperlihatkan pahatan otot tangan yang tercetak sempurna di mata Runi juga Ami.
"Pak Rion kalo begitu ganteng banget, ya. Coba dari dulu begitu." Ami berbisik padaku dan Runi yang langsung disambut persetujuan oleh Runi.
Mas Agas lebih santai lagi, ia hanya mengenakan celana pendek selutut dengan kaos putih dan dilengkapi dengan cardigan berwarna senada dengan celananya. Mereka ini sebetulnya mau liburan atau bekerja?
"Kalian enggak gerah pake kemeja? Tanjung Lesung panas loh."
"Kita enggak tahu kalau boleh pake baju bebas, Mas." Runi menyengir ke arah Mas Agas yang masih sibuk dengan handphone-nya sejak kedatanganku dengan Eza.
"Pak Kara enggak jadi ikut, ya, Mas?" tanya Ami setelah mengedarkan pandangan.
"Kara nyusul nanti." Singkat saja, Pak Rion langsung menjauh dari kami setelah menjawab pertanyaan Ami barusan. Pria itu langsung masuk ke dalam bus dan menempati kursi di belakang sopir.
"Santai aja, Rion cuma lagi khawatir banget soal kondisi Kara belakangan ini." Mas Agas mencoba mencairkan suasana.
"Memangnya kondisi Pak kara lagi nge-drop lagi, ya, Mas? Kita juga jarang lihat Pak Kara semingguan ini." Ami memperbaiki posisi kacamatanya dan menatap Mas Agas dengan penuh minat.
"Sedikit. Gue udah pernah bilang, 'kan, kalau Kara itu enggak boleh kecape'an? Ya kalau kecape'an, begitu hasilnya. Walhasil, Rion kena imbas dari semuanya."
Perjalanan dinas Sabtu ini tidak begitu membosankan. Bahkan, melebihi ekspektasiku dan mulai berpikir bahwa ini adalah sebuah wisata kantor semata. Meski lokasi tempat diadakannya event sangat terasa panas, seluruh karyawan yang berpartisipasi sangat antusias menyambut pelanggan.
Aku, Astrid dan Runi bertugas menjaga stand satu, memanggil beberapa wisatawan yang mendekat ke booth kami, sementara Eza bersama Mas Joni, Panca juga Ami. Mas Agas terkadang membantu mengambil condiment yang habis, sementara Bu Tami sibuk mengabadikan setiap kegiatan untuk laporan nanti.
"Mas, kita pulangnya senin pagi aja boleh enggak? Minggu, 'kan kita sibuk beres-beres, habis itu masa langsung pulang? Main dulu semalam di sini, Mas," ucap Runi saat kami selesai menutup stand pada malam hari.
Runi mulai berani menyuarakan harapannya di depan Mas Agas. Tim marketing sibuk membantu meng-input penjualan manual stand ke dalam mesin POS. Beberapa personil outlet CoffeTalks Bahkan harus meregangkan otot karena daftarnya terlalu banyak.
Mas Agas hanya bisa tertawa menanggapi permintaan Runi. Sementara tangannya sibuk mengecek dokumentasi yang dilakukan Bu Tami dan Pak Rion. "Kamu ngomong sendiri sama Rion, ya? Kalau kita pulang senin pagi, otomatis senin kita bolos kerja, gaji dipotong atau pilih enggak dapat lembur hari ini?"
"Dih curang! Ampun, Mas. Bisa-bisa dikenain SP pertama sama Pak Rion kalau gitu ceritanya."
Yang lain kompak tertawa mendengar gerutuan Runi pada Mas Agas. Meski Mas Agas punya andil penuh dalam beberapa keputusan untuk CoffeTalks, nyatanya ia tidak bisa menyetujui begitu saja permintaan Runi.
"Guys, kita makan malam dulu, yuk!" Suara Bu Tami menginterupsi kami semua. Mas Agas meminta semua karyawan untuk membereskan uang ke dalam kotak masing-masing lebih dulu sebelum meninggalkan ruangan untuk makan malam.
Hari itu, menjadi hari yang baik, kami makan malam bersama dengan penuh canda dan obrolan. Karyawan office dan operasional saat itu tidak memiliki batas, Pak Rion Bahkan menyendok nasi bersama kami, menyuap ikan bakar dan tomat mentah tanpa rasa canggung sebelum Ami menyuarakan rasa penasaran.
"Mas Agas. Mau nanya dong, Ami masih penasaran deh. Katanya dulu Mas Agas pernah nyelametin Pak Kara dari kecelakaan, ya? Kok bisa, sih, Mas? Kan Mas Agas enggak kenal tuh sama Pak Kara dulu. Gimana ceritanya Mas Agas nyelametin Pak Kara?"
Pertanyaan Ami barusan membuat Pak Rion tersedak, ia Bahkan mengeluarkan air mata karena makanan yang ditelannya menghalangi udara untuk bernapas. Mas Agas memilih membantu Pak Rion yang langsung ditepis Pak Rion sebelum berjalan keluar dari ruang makan, meninggalkan piring yang masih hampir utuh.
"Lo sih." Runi menyenggol Ami.
"Enggak apa-apa. Sebetulnya kalau kalian mau nanya, gue enggak masalah. Asal tolong jangan sampai Rion dengar." Mas Agas menenggak teh panas di depannya dan mendorong piring nasi miliknya.
"Kejadiannya empat tahun lalu. Waktu itu gue baru balik kerja dan jalanan rame banget. Katanya ada yang kecelakaan, itu Kara yang udah ...." Mas Agas menjeda ucapannya. Ekspresi wajahnya menyiratkan bahwa kondisi Kara benar-benar buruk saat itu.
"Parah banget, Mas?" tanya Eza.
Mas Agas mengangguk. Entah kenapa mendengar kata empat tahun lalu yang dilayangkan Mas Agas membuatku takut. Sepertinya, aku tidak akan sanggup mendengar cerita Mas Agas lebih jauh lagi.
"Kara ditabrak mobil, bukan hanya itu. Setelah tubuhnya terlempar cukup jauh, ada motor melintas dan ngehantam kepalanya, seolah kejadian itu seperti disengaja. Itu kesaksian dari orang-orang di sana. Gue dan kedua temen gue yang bawa Kara ke rumah sakit. Sialnya, anak itu enggak bawa apa-apa sama sekali selain dompet, dan di dalam dompetnya gue nemu KTP yang ternyata domisilinya di Jakarta."
"Posisinya rame, Mas? Bukan di Jakarta, memang Pak Kara kecelakaannya di mana, Mas?" tanya Runi yang juga ikut penasaran.
Aku memejamkan mata, berusaha menulikan telinga sambil berharap Mas Agas tidak menyebut Kota Yogyakarta.
"Rame banget. Ada apaan, Lun?" Aku menoleh ke arah beberapa orang yang berlarian di depan kedai kopi.
"Enggak tahu ada apa. Tapi ada banyak polisi, sih." Luna mengedikkan bahu, tampak tidak acuh dengan apa yang terjadi.
Ingatan empat tahun lalu saat itu memutar di kepalaku. Atmosfer di ruang makan menjadi terasa lebih sedikit karena ketakutan yang menghampiriku saat ini.
"Rame banget. Minggu malam, enggak jauh dari Museum Sonobudoyo, dekat Alun-Alun Jogja." Mas Agas menghela napasnya. "Gue enggak tahu apa yang dia pikirin saat itu, meski udah enggak berdaya, mulanya dia nolak untuk masuk ke dalam ambulans, sempat jatoh juga dari brankar tapi akhirnya berhasil kita naikin ke ambulans. Dua teman gue ke kantor polisi terdekat, sementara gue ikut ambulans, di dalam ambulans dia sempat sadar dan dia cuma nyebut satu kalimat."
"Apa, Mas?" Yang lain ikut mendesak Mas Agas melanjutkan cerita.
"'Maaf, El.' Cuma itu yang diucapin sebelum benar-benar hilang kesadarannya."
Air mata dan sendok di genggaman tanganku jatuh bersamaan setelah Mas Agas selesai bercerita. Kara datang malam itu, Kara menepati janjinya malam itu. Jika saja aku bersikap lebih peduli pada sekitar, mungkinkah aku akan tahu semua yang terjadi padanya? Bahkan, disaat aku sibuk menganggapnya sudah mati, jauh di sana ia benar-benar berjuang untuk hidup dan matinya.
"Kara saat itu lagi liburan sama Rion, makanya dia ngerasa bersalah banget waktu tahu Kara kecelakaan."
"Trus, gimana ceritanya Pak Kara bisa ketemu Pak Rion lagi?" tanya Ami. Wajahnya sudah basah karena menangisi cerita Mas Agas. "Kasian banget, Pak Kara."
"Chya, lo nangis juga?" Aku mengelap air mata yang membasahi pipi saat suara Eza masuk ke telinga.
"Gu-guee ...."
"Lo juga pasti sedih, 'kan, Chya? Ya ampun, kok ada, ya, orang yang setega itu sama orang sebaik Pak Kara? Gue yakin dulu juga Pak Kara orangnya baik banget." Ami mengelap ingus yang keluar dari hidungnya.
Perkataan Ami bisa langsung aku setujui dengan cepat jika mengingat apa yang dilakukannya saat aku terjebak di toilet pria empat tahun lalu. Aku berusaha tersenyum, meski noktah air mata tidak mau berhenti keluar dari mataku.
"Perasaan ceritanya enggak sesedih itu deh. Malah ngeri, sih, ngebayangin Pak Kara dulu ditabrak mobil sekaligus dihantam motor." Runi menoleh ke arahku dan Ami secara bergantian.
"Trus gimana lagi, Mas?"
"Ya enggak gimana-gimana lagi." Aku menunduk saat merasa Mas Agas memperhatikanku. Sejujurnya aku penasaran dengan kondisi Kara setelah itu, tetapi tatapan Mas Agas membuatku tidak berani menyuarakan tanya.
"Ish, Mas!" Ami mendesak.
"Yakin sanggup dengar?" Entah kenapa pertanyaan Mas Agas terasa seperti tuduhan buatku.
"Kedua temen gue pergi ke alamat yang ada di KTP Kara, sesuai prediksi, dia anak orang kaya. Bahkan bisa dibilang kaya banget. Dari kabar itu, Rion tahu keberadaan Kara yang ternyata Rion juga lagi nyari Kara ke mana-mana. Gue sama kedua teman gue diberi imbalan uang sama Pak Dwi Aji. Gue beda sendiri jumlahnya, karena saat kondisi Kara kritis, gue sempat donorin darah gue buat dia." Mas Agas berhenti sejenak, menghabiskan teh panasnya kemudian melanjutkan cerita.
"Satu minggu setelah gue dikasih imbalan, gue nyoba cari tahu lagi keadaannya. Tapi lo tahu apa? Dia udah dipindahin ke rumah sakit yang ada di Jakarta. Gue juga enggak ngerti gue kenapa saat itu, ada yang bilang mungkin karena ada darah gue di dalam tubuhnya, sampe-sampe gue penasaran sama apa yang terjadi sama dia sekarang. Tapi gue tahan, gue tahan sebulan, dua bulan sampe bulan ketiga gue nekat cari dia ke Jakarta. Gila, 'kan?"
"Terus, Mas?" Eza semakin menuntut. Entah kenapa semua orang yang ada di sana jadi penasaran dengan cerita Mas Agas. Hanya aku yang takut mendengar kelanjutan ceritanya.
"Gue berharap Kara bisa ngucapin terima kasih aja, sih, saat itu. Berharap dia sebaik bokapnya dan kita bisa berteman. Lumayan, 'kan, punya temen anak orang kaya. Tapi gilanya pas gue datang ke Jakarta, ternyata dia belum sadar. Dan, terakhir dia sadar itu memang pas dia di ambulans aja, bareng gue."
"Gila. Tiga bulan Pak Kara koma? Kita kok enggak pernah dengar, ya, Mas?" Eza menggeleng pelan, tidak sanggup membayangkan beratnya menjadi seorang Kara.
Mas Agas hanya bisa tertawa. "Saat gue datang keadaan lagi chaos. Ada beberapa pengacara, polisi, dokter dan semuanya yang gue sendiri enggak tahu mereka ada urusan apa. Sampe Pak Dwi Aji bilang sama gue kalau nanti Kara sudah sadar, dia bakal hubungin gue dan minta Kara berterima kasih langsung sama gue. Dan lo tahu kapan orang suruhannya Pak Dwi Aji hubungin gue? Setelah tiga bulan kemudian. Ya, Kara koma selama enam bulan."
Mataku memejam erat. Sepertinya sudah tidak sanggup untuk mendengar cerita Mas Agas.
"Di situ Pak Dwi Aji minta gue untuk kerja sama dia. Tawaran gaji gede, dengan jaminan hidup enak selama kerja, siapa yang nolak, sih? Tapi ternyata gue harus bantuin Kara mengenal semuanya."
"Maksudnya, Mas?"
"Akhirnya lo bersuara juga, Chya." Ekspresi jenaka Mas Agas seperti meledekku. "Bantuin Kara dalam segala hal, karena Kara kehilangan semua ingatannya."
Jika ini kenyataan yang akan aku terima saat mendengar cerita Kara selama empat tahun belakangan. Aku lebih memilih untuk tidak kembali mengenal dia dalam bentuk apa pun, tidak sebagai Kara empat tahun lalu, maupun Kara yang menjadi CEO perusahaan CoffeTalks. Rasa bersalah karena selalu mengumpatinya terlalu menghimpit hingga aku kelimpungan untuk bernapas.
Karena pada kenyataannya, mungkin saja aku punya andil yang cukup pada kecelakaan yang dialami Kara.
Dari sini aku sadar kalau Agas ini enggak bisa simpen rahasia :(
Tapi, tapi apa bener Chysara jadi punya andil kesalahan dalam kecelakaan yang dialami Kara? Katanya sih kalau mereka enggak janjian, Kara enggak bakal kenapa-kenapa
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top