💜 4. Sesal 💜

Malem, temans. Siapa yang nungguin Seka?😁😁

Tidak pernah terbayang dalam angan-angan Ariani bahwa pernikahannya akan begitu mewah. Tamu yang hadir pun jumlahnya di luar bayangannya. Kebanyakan dari mereka adalah rekanan Bu Yati sementara sisanya adalah tetangga dan teman Ariani yang jumlahnya tidak seberapa. Ada teman-teman kuliah Giandra dan beberapa mantan rekan kerja juga. Ariani yang tidak mengenali para tamu memilih tersenyum ramah tanpa banyak bicara. Dia tidak ingin mempermalukan diri sendiri dengan turut terlibat dalam pembicaraan yang dia sendiri tidak mengerti arahnya.

Apa yang ada dalam benak Ariani sebenarnya adalah bahwa dia masih merasa semuanya hanya mimpi. Bagaimana mungkin dia sudah berdiri di pelaminan dalam usia delapan belas tahun dan dengan orang yang tidak pernah dibayangkannya. Sejak melihat dirinya dalam cermin tadi pagi, Ariani belum merasakan sesuatu yang membuatnya terharu. Ijab kabul yang biasanya merupakan saat paling mendebarkan, nyatanya tidak membuat Ariani terkesan. Bahkan acara sungkeman yang seharusnya sakral pun berlalu begitu saja tanpa ada rasa yang menyentuh hatinya.

Ariani pernah memimpikan dandanan Paes Ageng Jogja untuk pernikahannya. Dia pasti tampil anggun dalam balutan adat istiadat yang begitu kental. Sepanjang acara pernikahan Ariani akan tersenyum bahagia dan sesekali melirik pada Abiseka. Namun, itu semua tidak terjadi. Ariani memang tampil anggun dalam dandanan impiannya, tetapi dia tidak melirik suaminya sama sekali. Pria yang berdiri di sampingnya bukanlah Abiseka seperti keinginannya meski sebenarnya Giandra lebih tampan dari semua pria yang pernah dia kenal.

Tamu-tamu terus berdatangan dan Ariani menerima ucapan selamat dari mereka dengan senyum tipis. Dia tidak peduli saat seorang perempuan cantik berpakaian cukup terbuka memberikan ucapan selamat. Ariani sempat melirik pada Bu Yati yang mukanya langsung terlihat sebal. Namun, perempuan cantik itu tetap bersikap biasa saja. Dengan santainya dia berdiri cukup lama di depan pria yang sudah menjadi suaminya dan berbicara secara perlahan yang Ariani tidak mendengarnya dengan jelas. Si cantik itu tampak begitu akrab dengan Giandra dan hingga saat itu pun Ariani masih tidak memikirkan apa-apa.

Bu Yati mendekat dan langsung menegur kalau masih banyak tamu ingin memberi ucapan selamat dan perempuan itu pergi dengan perasaan enggan yang terlihat jelas. Sampai seperti itu Ariani masih tetap tidak peka. Dia sedang gundah sendiri begitu matanya menemukan Abiseka di antara banyaknya tamu. Pria itu datang sendirian. Memakai celana panjang hitam, kemeja batik dan sedang menatap ke arahnya. Mata yang biasanya terlihat teduh dan tenang itu sudah tidak ada lagi, berganti dengan sorot kepahitan yang teramat sangat.

Rasa bersalah kembali memasuki hati Ariani. Orang pasti menilai dia adalah perempuan tidak baik karena meninggalkan Abiseka begitu saja. Pria baik itu terlihat sedikit lebih kurus dan tidak bersemangat. Beberapa sapaan hanya dia angguki, sekadar membalas keramahan tetangga atau teman yang kebetulan berpapasan.

Ketika untuk kesekian kalinya Ariani menangkap pandangan Abiseka, lagi-lagi dia hanya bisa diam menahan gejolak hatinya yang terus menerus tidak terima. Jiwanya memberontak, tetapi raganya harus patuh pada keadaan. Hati Ariani menangisi nasibnya. Waktu tidak berpihak kepada cintanya dan baginya tidak ada yang lebih menyakitkan daripada itu.

Hanya dengan memandang Abiseka saja dia bisa merasakan sakitnya. Ariani terlalu mengenal Abiseka hingga dengan melihat geraknya pun dia sudah bisa membaca apa isi hatinya. Perih ... itu sudah pasti mengingat setelah kandasnya cinta mereka, pria itu harus datang ke pernikahan Ariani. Sakit ... tentu saja sakit mengingat hubungan manis mereka kini berbalik menjadi kenyataan yang menampar keras impiannya. Nyeri ... itu juga karena segala macam upaya tetap tidak bisa membuat cinta mereka bersanding.

"Kamu lelah, Ar?" Suara dalam Giandra menarik Ariani dari keterdiamannya.

Ariani menarik napas panjang dan menelan isakan yang hampir saja membobol pertahanan dirinya sebelum menoleh pada Giandra dan mendapati sang suami tengah menatap serius padanya. Apa yang Ariani bisa lakukan hanyalah menggeleng dan dia berharap itu adalah jawaban yang cukup memuaskan Giandra. Ariani tidak ingin bersuara sebab dia tahu, sekali dia bersuara maka dia akan menangis dan tidak bisa menahannya meski segenap upaya sudah dia lakukan.

"Bersandarlah padaku kalau lelah dan jangan merasa sungkan. Aku tahu acara ini sangat panjang."

Bahkan kebaikan dan pengertian Giandra tetap tidak membuat Ariani tersentuh. Dalam kepalanya hanya ada tatapan penuh luka dari mata Abiseka. Pasti tidak mudah bagi Abiseka datang di pesta pernikahan Ariani sementara hubungan cinta mereka baru saja berakhir. Ariani merasa begitu jahat dan menjadi orang tidak berperasaan. Dia yang sudah memberikan harapan untuk Abiseka, dia juga yang sudah memangkasnya dengan begitu tega.

Ariani pura-pura menguap supaya ada alasan untuk menghapus matanya yang berkaca-kaca. Hanya menempelkan tisu di sudut mata dan penampilannya tidak akan terganggu. Dia memang diam, tetapi mata dan hatinya terus mengamati Abiseka. Jika tidak memikirkan kehormatan orang tuanya, Ariani ingin turun dari pelaminan dan berlari sejauh mungkin. Ke sebuah tempat di mana tak seorang pun mengenalnya dan memulai hidupnya tanpa perasaan rikuh serta tidak enak karena hutang budi.

Saat Abiseka berjalan menuju pelaminan, Ariani tahu kalau itulah saatnya cinta mereka benar-benar harus dipisahkan. Langkah Abiseka memang terlihat mantap dan penuh percaya diri, tetapi Ariani tahu apa yang sesungguhnya terjadi. Begitu pula ketika Abiseka menyalami Giandra, suaranya baritonnya masih terdengar merdu di telinga Ariani. Selesai dengan Giandra, Abiseka bergeser ke hadapan Ariani. Pria itu sedikit menunduk dan menatap paras cantik Ariani.

Ariani merasa jantungnya diremas dengan kuat. Aliran darahnya seperti tersumbat, tangannya mendadak terasa kebas dan dingin. Gemetar dia sambut uluran tangan Abiseka. Tangan yang berjabat ... serta pandangan saling bertaut itulah yang akhirnya mengiris seluruh rasa di hati Ariani. Bulir air mata menuruni pipi Ariani dan dia segera menempelkan tisu untuk menghapus jejaknya begitu Abiseka berlalu setelah ucapan selamat berbahagia.

Tidak ada kekecewaan yang begitu dalam pernah dirasakan Ariani sebelum saat itu. Napas panjangnya pun tidak banyak menolong untuk mengurangi rasa sesak di dadanya. Ariani menangkap isyarat dari mata Abiseka yang mengirimkan jutaan cinta tak terkatakan lengkap dengan seluruh pendar luka yang pasti akan menghantui hari-hari Ariani dalam rasa bersalah karena keadaannya.

Tidak ada janji dalam hati Ariani untuk meringankan beban Abiseka. Dia harus membiarkan mantan kekasihnya memendam cinta seperti yang sudah lebih dulu dia lakukan. Tidak akan ada lagi pembicaraan di antara mereka walau hanya untuk saling menguatkan. Seberapa pun Ariani ingin, semuanya sudah berbeda.

"Istriku," panggil Giandra lembut, "Ibu manggil kamu dari tadi . Nggak dengar atau ngelamun?"

Ariani menoleh dan melihat wajah Giandra yang satu alisnya terangkat. Senyum jenaka yang terbit di sana membuat Ariani merasa sedikit santai. Lalu pandangan Ariani teralih pada Bu Yati yang terlihat menunggu responsnya.

"Maaf, Bu, Ariani nggak dengar."

Bu Yati tersenyum maklum, "Kalau lelah duduklah. Jangan memaksakan diri sampai kamu capek, Nduk. Atau kamu turunlah dan makan. Ajak istrimu makan, Ndra!"

"Nanti saja, Bu." Ariani menolak halus dan bersyukur Bu Yati tidak memaksakan keinginannya.

Ariani kembali melihat ke depan dan mencari sosok yang keberadaannya masih terus mengganggu hati dan pikiran. Dia melihatnya, Abiseka sedang berbicara dengan salah satu tamu di pintu keluar. Ariani mengerutkan alis, mengingat kalau Abiseka belum makan apa-apa sejak kedatangannya dan sekarang pria itu sudah mau pergi.

Tak lama kemudian, Abiseka benar-benar meninggalkan gedung resepsi tanpa menoleh pada Ariani meski hanya untuk sekadar berpamitan. Bukan berpamitan dengan kata-kata, hanya sekilas tatapan saja Ariani pasti mengerti, tetapi hal itu tidak terjadi. Semua ini memang keputusan Ariani, tetapi melihat keterdiaman Abiseka ternyata begitu menyakitkan. Sangat menyakitkan, lebih dari yang bisa ditanggung hati Ariani sendirian.

"Aku melihat kamu seperti kehilangan senyummu, Ar. Ada apa?" Suara Giandra kembali mengusik keterdiaman Ariani.

Ariani menoleh pada suaminya dan kembali berpaling. Perhatian Giandra tidak memberikan pengaruh yang berarti. Meskipun Giandra berkata dengan suara yang sangat lembut, telinga Ariani hanya mendengar kalimat terakhir dari Abiseka.

"Selamat menempuh hidup baru, Ar. Berbahagialah dengan pilihanmu meskipun itu bukan aku."

Janji cinta mereka nyatanya tidak bisa menyatukan keduanya dalam ikatan perkawinan. Semuanya tidak berguna, terbuang begitu saja tanpa bisa diperbaiki. Sia-sia menyesali hal yang sudah dia putuskan sendiri, Ariani tahu itu. Namun, untuk terakhir kalinya dia ingin mematri nama Abiseka. Mengukirnya di dalam hati supaya kenangan indah cinta mereka tetap abadi.

Pesta pernikahan Ariani berakhir pada pukul sembilan. Setelah para tamu pulang, seluruh keluarga berkumpul. Sepupu Giandra yang rata-rata laki-laki menggoda Ariani dan lagi-lagi dibalas anggukan serta senyum kecil. Suasana menjadi semakin ramai saat Giandra mengambil sepiring nasi beserta lauknya untuk Ariani.

"Belum apa-apa saja Gian sudah bucin, ya." Salah satu sepupunya berkelakar.

"Sebulan lagi pasti tak terpisahkan," timpal yang lain.

"Kalian pasti akan bucin pada waktunya," sahut Giandra," yang jomblo cepetan menikah."

Ariani tidak bereaksi atas gurauan yang terjadi di sekitarnya. Sejujurnya dia malah senang karena hal itu memberinya waktu untuk terus memutar kembali kenangannya. Seluruh cerita manisnya bersama Abiseka dan selalu berhasil membuatnya tertawa dengan begitu mudah. Lagipula Ariani tidak hafal siapa nama para sepupu Giandra satu per satu. Mertuanya juga tidak pernah memperkenalkan mereka. Ariani hanya ingat Bu Yati pernah mengatakan akan mengenalkan Ariani setelah menikah saja karena sepupu Giandra rata-rata belum menikah.

Satu jam kemudian, Ariani sudah duduk di depan meja rias dalam kamar Giandra. Wajahnya sudah bersih dari segala macam make up dan terlihat sudah segar. Rambutnya pun sudah di cuci dan tidak ada aroma hair spray. Abiseka menyukai Ariani yang apa adanya. Tidak perlu bau harum dari parfum mahal karena memang Ariani tidak menggunakannya. Ibu Ariani tidak membiasakan Ariani memakai parfum, tetapi dia ingat Abiseka yang selalu beraroma citrus.

Pikiran Ariani menerawang, kembali merasa betapa teganya dia meninggalkan Abiseka. Pria itu pasti kecewa, sakit hati, dan merasa tidak berguna. Ariani tahu kalau dia adalah perempuan jahat. Meninggalkan Abiseka tanpa memberikan kesempatan untuk berbicara. Meskipun rasa sakit yang ditanggungnya tak kalah hebat, tetapi semua ini tetap tidak adil untuk Abiseka. Mereka berpisah dan Ariani menikah terlebih dulu. Bagaimana dengan mantan kekasihnya?

Ariani merasa trenyuh. Dia harus berperan sebagai istri, apalagi di malam pernikahannya. Seandainya Abiseka yang menjadi suaminya, Ariani pasti tidak akan berpikir sekeras itu. Tidak akan merasa bersalah karena memang itu adalah keinginannya sejak kecil. Tidak ada hal yang bisa dia pikirkan kecuali segala sesuatu yang menyangkut sang mantan kekasih. Satu-satunya pria yang selalu dia cintai.

"Ar, tolong piyamaku." Suara dalam Giandra mengusik keterdiaman Ariani.

Ariani menoleh ke arah suaminya dan mendapati pria itu terlihat segar setelah mandi. Dia segera berpaling dan menemukan lemari di pojok kanan kamar. Ariani melangkah ke sana dan mencarikan pakaian Giandra.

"Apa yang membuatmu berpikir sampai dahimu berkerut begitu, Ar?"

"Nggak ada, Mas."

"Gugup?"

"Sedikit." Ariani menjawab dengan kata yang terlintas dalam benaknya. Hanya supaya Giandra tidak terus bertanya.

Ariani mematung tak jauh dari Giandra yang sudah duduk dan meneguk kopi yang masih hangat. Saat suaminya sudah berbaring, Ariani juga tetap berdiri di tempatnya. Bingung karena sejujurnya dia masih belum merelakan perasaannya.

"Ar? Nggak tidur?"

"Ti ... dur." Ariani terbata.

Giandra tergelak. "Ke sini!" titahnya. "Jangan memikirkan sesuatu yang akan membuatmu resah."

Siapa bisa bayangin nikahan model Ariani? Cemana gak tersentuh😢😢

Kasih saia vote banyak. Biar besok tak kasih update lagi🤭🤭

Love, Rain❤

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top