Chapter 2
Happy reading....
• SELASA, 14 APRIL 2020
Hari ini adalah hari yang baru bagi Jefri dan Jessy yang telah putus. Di sisi lain, Caca terus berdiam diri, kejadian kemarin masih mengganggu pikirannya. Untuk kesekian kalinya dia merasa bersalah karena membuat Jefri bertengkar lagi.
“Lo kenapa sih, Ca?” tanya Jefri ketika jam istirahat.
“Jeje...,” desis Caca. “Ini udah ketiga kalinya lho, Je. Gue, em ... gue kayaknya selalu bikin hubungan lo berantakan, deh!”
“Apaan sih lo, nggak jelas banget,” sahut Jefri, diikuti sedikit tawa.
“Je, gue serius,” gumam Caca.
Mendengar hal itu, ekspresi wajah Jefri seketika berubah. “Ca, gue juga serius. Ini bukan salah lo.”
Caca menghela napas pelan. Jefri tiba-tiba memegang kedua pundak cewek bertubuh mungil itu. “Dengerin gue, ya. Lo tenang aja, santai, jangan pernah berpikir kalau ini salah lo, ngerti nggak?”
Caca masih diam, tetapi tatapan mata Jefri perlahan berhasil menenangkan hatinya. Dia pun mengangguk diikuti Jefri yang tersenyum. Mereka akhirnya mengobrol dan bercanda di dalam kelas. Jefri berusaha mengalihkan fokus Caca dan mencoba membahas hal-hal receh yang mampu membuat Caca tertawa. Tentunya hal itu berhasil. Jefri tak pernah gagal membuat mood Caca kembali ceria.
***
Bel pertanda waktu pulang sekolah telah berbunyi. Cuaca hari itu sedang terik, tetapi siliran angin tetap membelai di antara paparan sinar mentari. Deru motor terdengar riuh di parkiran sekolah, mulai dari motor matic sampai motor dengan suara knalpot yang memekakkan telinga.
“Je, gue tunggu di gerbang, ya?” ujar Caca ketika Jefri akan menuju parkiran.
“Okay.”
Caca pun segera menuju ke gerbang sekolah, sedangkan Jefri menuju parkiran. Ketika Jefri baru akan menaiki motor, seseorang menghampirinya. Jefri mengenalnya, itu adalah Ayu, anak XI MIA 1 yang merupakan teman dekat Jessy.
“Hai, Jef!” sapa Ayu.
“Hai,” balas Jefri. “Ada apa, Yu?”
“Jef, lo harus jenguk Jessy, kemarin dia masuk rumah sakit,” ujar Ayu to the point.
Jefri terdiam sejenak. Kemudian bertanya, “Kok bisa?”
“Kemarin kondisinya tiba-tiba menurun, Jef. Dia masuk ICU kemarin, tapi hari ini udah dipindahin ke ruang perawatan,” jelas Ayu. Dari wajahnya terlihat jelas bahwa dia sangat khawatir dengan kondisi sahabatnya itu.
Jefri menghela napas perlahan, berusaha mengatur jantungnya yang tiba-tiba berdebar. Pikirannya menjalar kemana-mana. Rasa bersalah datang tanpa izin. Jessy pasti shock karena gue bentak-bentak dia kemarin, malahan mutusin dia, batin Jefri.
“Gimana, Jef?” tanya Ayu memastikan.
“Iya, Yu. Gue akan ke rumah sakit sekarang,” jawab Jefri.
“Oke. Thanks, Jef.”
Jefri segera menemui Caca di gerbang sekolah. Wajah Caca terlihat memerah, bibirnya mengerucut sebal karena harus menunggu lama di tengah cuaca terik.
“Ayo, Ca. Cepetan!”
Caca mengernyit. Wajah kesalnya terganti wajah heran dan penasaran. “Kenapa, sih?”
“Udah, cepetan naik!”
Caca pun segera memasang helm dan naik ke atas motor dengan pertanyaan yang bergelayut di otaknya. Namun, akhirnya dia tahu setelah mendengar penjelasan Jefri saat berada dalam perjalanan ke rumah sakit.
***
Aroma obat-obatan khas rumah sakit menyeruak saat Caca dan Jefri memasuki gedung putih itu. Caca sangat membenci bau rumah sakit. Meski begitu, dia mencoba menahan diri. Jefri berlari kecil menuju ruangan yang telah diberitahu Ayu. Caca pun hanya mengikuti. Mereka mendapati ibu Jessy sedang berada di depan ruang perawatan. Sendirian sambil terisak.
“Jefri...,” gumamnya saat menyadari kedatangan Jefri. Wanita paruh baya itu kemudian menghapus air matanya.
“Gimana keadaan Jessy, Tante?” tanya Jefri setelah menyalami ibu Jessy.
“Udah, sana masuk, Jessy udah nunggu,” jawab wanita itu lembut.
Jefri pun mengangguk dan melangkah masuk ke ruangan diikuti Caca. Namun, ibu Jessy dengan cepat menghentikan. “Hei, kamu siapa?” tanyanya. Caca mendelik ke arah Jefri sampai akhirnya Jefri memperkenalkan Caca.
“Oh, jadi ini yang namanya Caca.” Ibu Jessy manggut-manggut. “Jessy udah cerita semuanya. Kamu nggak usah masuk, biarin Jefri aja yang masuk.”
“Tapi, Tante—”
“Udah, sana kamu masuk!” Ibu Jessy menyela ucapan Jefri.
Cowok itu akhirnya menghela napas dan kemudian memandang Caca. Caca mengangguk dan memberi isyarat agar Jefri segera masuk.
“Tunggu di sini, ya?” pinta Jefri yang dibalas anggukan oleh Caca.
Jefri pun memasuki ruangan Jessy dan mendapati cewek itu sedang terbaring lemah dengan infus di tangan kanannya, tanpa wig di kepalanya. Rambut pirangnya selama ini hanyalah rambut palsu untuk menutupi kepalanya yang sudah kehilangan rambut sedikit demi sedikit karena kemoterapi. Sudah hampir dua tahun Jessy mengidap kanker otak.
“Jessy...,” desis Jefri.
“Jefri? Kamu datang, Jef?” gumam Jessy dengan senyum semringah di bibir pucatnya, dia menatap Jefri dengan tatapan nanar. Jefri mendekati Jessy dan duduk tepat di samping mantan kekasihnya itu. Dia membantu Jessy yang tengah mencoba untuk duduk. Dari dekat, dia bisa mendengar embusan napas Jessy yang tak beraturan.
“Jefri,” ucap Jessy lembut sambil menatap cowok jangkung itu, “aku pengen sembuh.”
“Kamu pasti sembuh, Jes.” Mata Jefri mulai berkaca-kaca, tapi dia mencoba membendung air matanya yang mungkin akan menetes sebentar lagi.
“Jefri,” gumam Jessy kesekian kalinya seraya menggenggam tangan Jefri. “Jangan tinggalin aku. Aku sayang banget sama kamu, maaf kalau aku udah jahat sama Caca, itu karena aku cemburu sama dia.”
Jefri hanya diam.
“Jef, aku nggak benci sama Caca, aku cuma cemburu, itu aja.” Isak tangis Jessy semakin menjadi.
Spontan saja Jefri memeluk Jessy. Pelukannya pun disambut hangat oleh gadis itu. Jefri bisa merasakan air mata Jessy yang terus saja mengalir membasahi seragam sekolahnya. “Maaf, Jes, maaf.”
“Kamu janji ya, temani aku sampai waktu terakhirku. Kata dokter, hidupku nggak lama lagi.”
Jefri melepaskan pelukannya. “Jessy, kamu jangan percaya itu, dokter bukan Tuhan!”
Jessy tersenyum tipis. “Iya, aku tahu, Jef.”
Jefri melengkungkan bibirnya dan mengusap lembut pipi Jessy hingga gadis itu merasa tenang.
“Jef, kamu ingat, kita pernah nonton film Surat Kecil untuk Tuhan?” tanya Jessy tiba-tiba. Jefri mengangguk. Dia memang pernah menonton film yang menguras air mata itu bersama Jessy.
“Aku suka sama almarhumah Keke. Padahal dokter sudah vonis hidupnya nggak akan lama lagi, tapi dia tetap kuat dan mampu bertahan sampai sembuh. Walaupun pada akhirnya ... penyakitnya kembali lagi, dia tetap mencoba bertahan sampai dia—”
“Cukup, Jes!” putus Jefri. “Sekarang kamu tidur, ya. Jangan ngomong lagi.” Jefri membantu Jessy untuk berbaring lagi. Jessy pun menurut.
“Aku pulang dulu, ya. Mandi dan ganti baju aja. Aku akan langsung balik ke sini.”
Jessy mengangguk dan tersenyum simpul dengan bibir pucatnya. Jefri pun keluar dari ruangan itu setelah sebelumnya dia sempat mencium kening Jessy.
***
Ketika Jefri keluar dari kamar Jessy, dia hanya mendapati Caca di sana. Kata Caca, ibu Jessy sedang pergi membeli makanan.
Caca melihat wajah Jefri yang redup. “Gimana, Je?”
“Jessy makin parah, Ca. Gue nggak bisa ninggalin dia,” jawab Jefri pelan. Caca diam sejenak, sampai akhirnya gadis itu manggut-manggut.
“Maaf ya, nanti gue nggak bisa banyak main sama lo.”
Caca tersenyum tipis. “Iya, Je. Lo harus jagain dia. Lagian kita ini udah gede, nggak perlu banyak main.”
“Apaan sih, Ca. Ini hanya sementara. Sampai kapan pun, lo tetap anak kecil di mata gue.” Jefri mencolek pipi tembam Caca.
“Enak aja!” protes Caca yang dibalas tawa oleh Jefri.
"Eh, bentar." Jefri mendekatkan wajahnya tepat di depan wajah Caca. "Lo habis nangis?" tanyanya setelah menyadari ada yang aneh dengan mata Caca.
Caca mendadak kikuk. "Eng-enggak, kok. Tadi kelilipan. Ngapain juga gue nangis?"
"Ya kali aja lo nangis karena sedih bakalan ditinggal sama gue." Jefri tersenyum jail, membuat Caca bereaksi seperti ingin muntah.
Jefri tertawa riang melihat tingkah Caca, kemudian merangkul bahu gadis itu. “Balik, yuk! Gue ke sini lagi nanti sore.”
“Oke.”
Caca berusaha tersenyum dan menyembunyikan apa yang dia rasakan. Pembicaraannya dengan ibu Jessy tadi cukup membuatnya merasa sedih.
***
"Nak...," ibu Jessy membuka mulut setelah hening beberapa saat. "Tante boleh minta tolong?"
Caca menoleh ke arah wanita paruh baya itu. "Iya, Tante?"
Ibu Jessy pun menatap Caca dengan tatapan penuh permohonan. "Tolong kasih waktu ke Jefri. Bisa nggak untuk sementara kamu nggak usah dekat-dekat dulu sama Jefri? Biarkan dia bersama Jessy."
Caca terdiam. Terpaku dalam kebisuan. Tak menyangka ibu Jessy akan berkata demikian.
Wanita itu kemudian melanjutkan, "Umur memang nggak ada yang tahu. Tapi ... orang sehat setidaknya memiliki harapan." Air mata ibu Jessy akhirnya tumpah.
"Tante, Jessy pasti sembuh." Hanya itu yang bisa keluar dari mulut Caca. Dia tak tahu harus berkata apa lagi.
"Kamu bisa janji? Jauhin Jefri untuk sementara."
Mata Caca berkaca-kaca. Tentu saja dia tak mau menjauh dari Jefri. Namun, dia juga tak boleh egois. Dia harus membantu Jefri kali ini. Caca akhirnya memegang tangan ibu Jessy, lantas berkata, "Saya janji, Tante."
Seusai mengucapkan kata itu, air mata tak bisa lagi dibendung di antara mereka.
❣❣❣
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top