21. Judul?
Judul?
🐳🐳
"Belum berangkat?"
Gagah mengangkat pandangannya dari laptop di pangkuan dan melihat Sava keluar dari kamar mandi. "Belum. Sini dulu, Sav."
Sava nurut dan ia berjalan ke arah tempat tidur. Ia duduk di tepinya dan segera bersandar di dada Gagah saat lelaki itu membuka lengan untuknya. "Aku kira kerjaan."
"Bukan." Gagah mengulurkan tangan mengurung tubuh Sava dalam pelukannya sebelum menggeser kursor di laptop. "Destinasi wisatanya bagus-bagus banget. Mau ke mana?"
Sava ikut memperhatikan satu-satu foto yang Gagah tunjukkan. Mereka memang berencana berlibur sebentar beberapa hari saja karena waktu untuk bulan madu belum terealisasi. "Kamu beneran bisa cuti lagi?"
Gagah mengangguk. "Bulan ini udah mau abis, bisa ambil cuti bulan depan. Cuma tiga hari nggak apa-apa. Kita belum pernah jalan-jalan jauh kan?"
"Iya." Sava balas memeluk tubuh Gagah dari samping. "Aku bisa kosongin jadwal kalau cuti kamu udah di-acc ya."
Gagah tersenyum. Ia mengecup kepala Sava. Ia rasakan Sava makin mengeratkan pelukan dan menempelkan pipi di dadanya yang telanjang. "Kenapa suka banget kayak gini?" tanyanya.
Sava mendongak. "Suka aja." Tangannya bergerak menyentuh bagian dada sampai lengan Gagah. Ototnya terbentuk tapi tidak berlebihan. Ia suka kehangatan dari kulit Gagah saat ia menyandarkan pipi di dadanya. Belum lagi lengan kokoh lelaki itu yang kerap memeluknya selalu memberikan rasa aman. "Badan kamu bagus," bisiknya.
Gagah menunduk, lalu menyatukan kening dengan Sava. "Kamu apa nggak sadar body kamu juga bagus?" Tangannya merayap ke bagian pinggang dan menyusup ke balik kaus. Ia meremas pinggang Sava pelan. "Tiap lihat kamu bawaannya pengin terus."
"Horny-an banget kamu."
"Emang." Gagah tidak mengelak. "Kamu juga suka kan?"
"Iya, suka." Sava naik ke pangkuan Gagah dan memeluk lehernya.
Gagah menyingkirkan laptop di pangkuan sebelum menempatkan tangannya ke pinggang Sava untuk memeluknya lebih erat. "Makanya sering double squirt?"
Sava mengangguk lagi di leher Gagah. "Enak soalnya."
"Ya ampun, Sav." Gagah masih kaget sama ucapan-ucapan Sava yang tiba-tiba begitu. "Aku sehebat itu emang?"
Sava tidak pikir panjang langsung mengangguk lagi. "Belajar dari mana?"
"Nggak dari mana-mana. Sekali praktik sama yang cocok ya jadi gitu. Nggak protes lagi kan kalo Papa kamu panggil aku si galin alias gagah lincah."
Sava terkekeh pelan. Ia memberi kecupan ringan di bahu Gagah. Ia juga suka bagian itu. Lalu kecupannya makin naik dan sampai di leher. Ia menyesap kulit leher Gagah hingga yakin ciumannya mampu meninggalkan bekas sama seperti saat malam pertama. Bedanya saat itu ia tidak sengaja dan tidak tahu akan berbekas. Sekarang ia sengajakan.
"Biar apa kayak gitu, Sav?" Gagah tertawa pelan. Walau begitu ia memiringkan kepala dan membiarkan Sava menciumnya di bagian leher yang lain. Ia terpejam menikmati. Didominasi Sava seperti ini rasanya mengasyikkan karena Sava tidak pernah sekalipun menggodanya lebih dulu sebelumnya.
"Biar ada bekasnya."
"Terus kalo udah ada bekasnya, biar apa?" kejar Gagah. Ia sungguh ingin tahu.
"Ini hari pertama kamu masuk kantor."
Gagah mengerang pelan. Pelukannya pada pinggang Sava mengerat saat merasakan Sava makin liar mencumbu lehernya. "Terus kenapa?"
"Biar pada tau kamu udah nikah."
Gagah tidak bisa menahan tawanya. "Sekantor juga tau aku udah nikah, Sava."
Sava mencebikkan bibirnya sebelum menggigit pelan telinga Gagah.
"Lagian teman se-floor isinya bapak-bapak, mereka nggak akan tanya status kalaupun belum tau. Tapi beneran, para bapak-bapak itu tau semua aku udah nikah."
"Tapi bisa ketemu Citra kalo di ruangan bos?"
"Wait." Gagah seperti tersadar. Ia merenggangkan pelukan dan menghadapkan wajah Sava padanya. Ia berkerut alis. "Kamu cemburu?"
Giliran Sava yang membeku. Dahinya berkerut samar sebelum ia menatap Gagah. "Gah?"
Gagah tersenyum mendengar itu. "Apa, Sayang?"
Sava seperti ingin mengucapkan sesuatu tapi urung. Bibirnya sudah terbuka lalu terkatup lagi. Beberapa saat ia baru mengeluarkan suara. "Berangkat. Nanti kamu telat."
Gagah tidak menahan saat Sava turun dari pangkuannya. Ia menyingkirkan selimut dan turun dari tempat tidur.
"Harus banget nggak pake apa-apa kayak gitu?" tanya Sava yang masih duduk di tepi ranjang.
Gagah berbalik dan nyengir. "Kamu malu liat aku telanjang gini? Sengaja kok, aku pengin lihat kamu kalau malu-malu gimana."
"Bukan malu." Sava menggeleng dengan santai. "Takut pengin."
Itu jawaban di luar perkiraan Gagah. Bininya memang ajaib banget. Ia akui itu. "Sini, mumpung masih gagah nih," tunjuk Gagah.
Sava menggeleng. "Nanti kamu telat."
"Aku lebih suka kamu yang telat, Sav. Biar dapet baby."
"Kayaknya maksudku bukan telat yang itu, Gah."
Gagah tertawa mendengarnya. Ia berjalan ke walk in closet sebelum mulai berpakaian rapi. Meski lapisan bajunya cukup banyak karena ia harus menutupi kemerahan di lehernya. Dari kaus turtle neck dilapisi kemeja lalu jas di paling luar. Sentuhan terakhir ia membuka laci dan memilih satu dari beberapa dasi di sana. Belum juga ia mengambil, sebuah tangan sudah terulur dan lebih dulu mengambilkan dasi untuknya.
"Mau dipasangin nih, Sav." Gagah tersenyum lebar melihat Sava sudah berdiri di hadapannya.
"Iya," jawab Sava pelan.
"Beneran berangkatnya nanti aja?"
"Siang aja, Gah. Kelasku siang."
Gagah mengangguk. Ia menunduk dan melihat tangan Sava sedikit kaku, mungkin belum terbiasa memasangkan dasi. Tapi sampai akhir, hasil tangan Sava memang rapi.
"Makasih." Gagah mengecup kening Sava. Ia memperhatikan penampilan Sava pagi ini. "Aku nggak pernah lihat kamu pake daster. Masak aja kadang pake kaus biasa. Kamu nggak suka pake daster?"
Sava mengedikkan bahu. "Aku nggak punya daster. Tapi kemarin dapat banyak dari kado. Nanti aku coba pake."
Gagah mengecup pipi Sava dengan gemas. "Pinter banget nyenengin suami. Tapi aku cuma tanya. Kalo kamu nyamannya kayak gini nggak apa-apa. Soalnya sama aja, aku lebih suka kamu nggak pake apa-apa sebenarnya."
Sava terseyum mendengar pujian itu.
"Nanti kalo udah ada baby." Tangan Gagah turun ke perut dan mengusapnya. Ia tatap kedua mata Sava dengan hangat. "Kamu mungkin nggak cukup punya waktu buat kerja."
Sava mengangguk. "Iya, Gah. Aku udah pikirin ini."
Gagah membalas dengan senyum lagi. Ia tahu Sava bukan perempuan yang perlu diajari banyak hal. Istrinya ini tidak gegabah dan selalu tahu harus melakukan apa. "Aku berangkat dulu," pamitnya.
"Iya, hati-hati."
***
"Hampir genap sebulan ini Pak Bima jarang ke kantor."
Gagah membuka lemari es dan mengambil jus buah dari sana sembari menunggu makanan yang Sava bawakan tadi untuk ia panaskan di microwave.
"Pak muda mau ikut jenguk nanti?"
Pertanyaan itu membuat Gagah menoleh ke meja makan. Ada beberapa bapak-bapak baru selesai makan. Ia yang baru sempat istirahat karena ternyata keadaan kantor cukup terbengkalai. Dokumen-dokumen partnership belum ada yang mengurus. Mau tidak mau di hari pertama bekerja membuat Gagah harus ekstra lembur.
"Jam berapa nanti, Pak?" tanya Gagah setelah membuka microwave dan membawa bekal makanan ke meja.
"Selesai dari kantor."
Gagah mengangguk dan mengiyakan akan ikut. Ia juga tahu kondisi terakhir saat berpamitan ke bosnya bahwa ia mengambil cuti cukup lama untuk menikah. Ia mengerti ada kekecewaan tapi Bima mendoakannya baik-baik saat itu.
"Kasihan sama Pak Bima. Jadi dirut tapi nggak punya penerus. Ditinggal korupsi sama wakil dirutnya."
Percakapan macam itu sudah biasa bagi Gagah. Ia memutuskan melanjutkan makannya.
"Sejak 5 tahun lalu Pak Bima urus apa-apanya sendirian. Untung nggak salah panggil Pak Muda buat orang kepercayaan. Anak-anaknya juga malah nggak ada yang mau lanjutin perusahaan. Pilihan Pak Bima pasti Pak muda ya?"
Gagah menggeleng. "Nggak, Pak. Saya nggak pernah mengiyakan. Anak-anak Pak Bima lebih berhak." Lagipula, sebagus apa pun kinerjanya untuk perusahaan, ia tetap bukan siapa-siapa Bima. Ia tidak mau ada cekcok nanti ke depannya kalau mengiyakan begitu saja.
Gagah hanya akan merasa bersalah mengiyakan pegang perusahaan tapi tidak mau menikahi anak bosnya. Lebih baik seperti ini saja, ia jadi karyawan biasa meski jabatannya memang tidak main-main di umurnya yang belum genap tiga puluh tahun.
"Ya sudah, kami balik ke ruangan dulu ya."
"Iya, Pak," jawab Gagah sembari tersenyum. Tinggal ia sendirian di sana karena jam istirahatnya memang baru beberapa menit yang lalu.
Gagah mengeluarkan ponsel dan menghubungi Sava. beberapa saat kemudian panggilan terjawab dan wajah Sava muncul di sana.
"Kangennya," sambut Gagah langsung.
"Belum ada sehari, Gah."
"Iya tapi kan dua minggu ini kita nempel terus, Sav." Gagah meneguk air setelah suapan terakhir lalu bersandar di kursi. "Baru selesai sesinya?"
Terlihat Sava mengangguk. "Udah makan, Gah?"
"Udah." Gagah menunjukkan tempat makan yang kosong. "Abis."
Sava tersenyum.
"Nanti aku baliknya agak telat. Mau jenguk yang lagi sakit."
"Iya, nggak apa-apa."
"Kamu selesai sore kan? Tunggu ya, aku pulangnya langsung ke situ."
Lagi-lagi Sava mengangguk. "Ya udah, tutup dulu, Gah."
"Cepet amat, Sav. Masih 5 menitan ini."
"Nanti tambah kangen."
"Kamu?"
"Kamu," tuduh Sava.
Gagah mendengus geli. "Iya, aku tutup dulu ya."
Setelah sambungan terputus, Gagah beranjak untuk mencuci tempat makan sebelum kembali ke ruangan. Ia baru sampai di lorong saat melihat pintu lift terbuka dan melihat dua orang keluar dari sana.
"Pak." Gagah sontak mendekat. Ya Tuhan, keadaan Bima memang separah itu. Kulit wajah yang berkerut namun masih ada senyum di sana meski duduk di atas kursi roda.
"Kebetulan." Bima tersenyum ke arah Gagah. "Ikut ke ruang saya ya, Gah."
Gagah mengangguk patuh. Ia berjalan di belakang Bima dan Citra yang mendorong kursi roda sang papa. Dari matanya, ia bisa melihat dengan jelas bahwa Bima sudah tidak baik-baik saja. Kondisinya lebih buruk dari yang ia tahu.
"Selamat ya, Gah, sudah menikah," kata Bima memulai pembicaraan saat hanya ada mereka berdua di dalam ruangan.
Gagah tersenyum sopan setelah duduk di hadapan si bos. "Iya, Pak. Terima kasih."
"Maaf juga kemarin saya nggak bisa datang."
"Nggak apa-apa. Saya paham."
Giliran Bima yang tersenyum. "Tapi waktu itu saya minta anak saya datang. Dia datang kan?"
Gagah mengernyit. Maksudnya ... Citra? Kayaknya Gagah tidak lihat perempuan itu datang. Atau mungkin Citra memang datang tapi tidak naik ke pelaminan. Iya, mungkin begitu.
"Saya pernah cerita tentang anak saya yang laki-laki satu-satunya kan?"
Gagah ingat itu. Katanya punya usaha di luar negeri dan belum mau pulang untuk meneruskan perusahaan papanya. "Iya, Pak. Saya ingat."
"Akhirnya dia mau pulang, Gah. Saya senang karena dia akhirnya mau meneruskan perusahaan ini. Kamu tahu kondisi saya sudah separah ini. Jadi saya sangat lega karena anak saya akhirnya mau kembali ke keluarganya."
Gagah ikut senang karena itu artinya ia tidak lagi dimintakan tolong untuk menduduki posisi teratas di perusahaan itu. Ia cukup bekerja sebagaimana mestinya tanpa rasa bersalah telah menolak niat baik bosnya.
"Minggu depan dia mulai masuk. Tapi tolong diajari ya, Gah. Dia itu pintar di seni, tapi kadang malas mikir yang berhubungan sama manajemen perusahaan. Kalian pasti akan berteman baik."
Gagah dengan semangat pasti menyanggupi. Bima adalah sosok yang baik dan atasan yang cerdas. Mengajari anaknya tentang hal itu pasti akan mudah. Juga, ia yakin anak-anak Bima memiliki hati yang baik juga.
"Tapi ... boleh saya minta tolong, Gah?"
"Iya, Pak?"
"Lusa ada pertemuan bisnis di Bandung. Kamu tau perusahaan telepon seluler yang mau merintis produk baru itu kan?"
Gagah mengangguk. Ia tahu ke arah mana ini akan bermuara.
"Kamu juga sudah tahu kami bekerja sama buat pengembangan jaringan. Saya sudah membahas ini jauh-jauh hari, tapi untuk datang ke sana, sepertinya saya sudah tidak bisa, Gah. Kondisi saya begini."
Gagah hanya menunggu kalimat terusan dari Bima.
"Bisa tolong wakilkan saya buat menghadiri rapat tingkat akhirnya, Gah?"
Memang Gagah sadar bahwa ia yang dipercaya selama ini, tidak ada yang lain. Ia juga sering dimintakan tolong untuk perjalanan ke luar kota bahkan luar negeri. Tapi kenapa kali ini terasa berat?
"Tenang saja. Saya mengerti pengantin baru seperti kamu pasti susah jauh-jauh dari istri. Kalau bersedia, saya akomodasi semua biayanya termasuk sama istri kamu kalau mau kamu ajak. Sekalian liburan dan kado dari saya."
Gagah jadi tidak enak hati. Bima itu memang tidak pernah perhitungan sejak dulu. Jika ada satu keberhasilan yang Gagah ada di dalamnya, tidak tanggung-tanggung bonus yang diberikan. Itu yang membuat Gagah enggan untuk berpindah. Karena usahanya benar-benar dihargai oleh bosnya.
"Nanti saya tanyakan istri saya, Pak," jawab Gagah sembari tersenyum.
"Terima kasih ya, Gagah. Saya nggak salah pilih orang buat saya percaya."
Gagah makin canggung rasanya. Tapi untuk sekarang tidak apa-apa. Minggu depan saat anak bosnya mulai memimpin perusahaan, ia akan jadi karyawan biasa dan melakukan tugas sebagaimana mestinya. Bukan lagi orang kepercayaan yang dipuji-puji setiap saat seperti ini.
***
Sava duduk di meja rias setelah selesai bebersih diri. Tadi Gagah bilang tidak jadi pulang larut dan sekarang pasti dalam perjalanan ke tempatnya.
Tatap Sava terarah ke sebuah laci. Ia buka perlahan dan melihat itu lagi. Sebuah album foto yang ia simpan baik-baik selama sepuluh tahun. Jika sudah mulai pudar, ia ganti yang baru dengan tulisan yang makin dirapikan.
Jemari Sava mengusap di foto pertama. Napasnya mulai tercekat jika bayangan kenangan muncul begitu saja. Ia mencintai lelaki itu, sangat. Lelaki yang melindunginya saat ia hampir diganggu teman cowok di sekolahnya.
Mulai saat itu ia tertarik pada seorang bad boy di sekolahnya sendiri. Hal yang membuatnya tidak habis pikir karena dulu paling anti dekat-dekat dengan biang onar. Tapi lihatlah, hanya lelaki itu yang bisa membuatnya mengatakan iya saat ditawarkan sebuah hubungan.
Sava kembali terfokus ke foto setelahnya. Matanya terpejam sesaat. Ia akui hatinya selalu nyeri tiap mengingat, bahkan sedikit saja nama itu terdengar selalu sanggup membuatnya terlempar ke masa-masa indah sekaligus menyakitkan.
Sava tidak bohong kalau lelaki itu sudah mengambil hampir seluruh hatinya. Dulu ia terlalu naif dan berpikir bahwa mereka pasti berjodoh. Ia selalu memaafkan apa yang salah dari pasangannya. Namun ternyata memang ia yang bodoh. Sebesar apa pun maaf yang ia terima, tetap saja kelakuan lelaki itu sama saja.
Bukan hanya satu dua kali Sava menunggu untuk sikap yang lebih baik. Sejak hubungan mereka menginjak dua tahun pun hatinya sudah tidak baik-baik saja. Tapi sebesar apa pun usahanya melepas, ujungnya tetap saja lelaki itu datang dengan banyak ancaman.
"Kamu akan mati kalo nggak sama aku."
Saat itu Sava menganggap bercanda. Ia pernah meminta putus satu kali dan ternyata benar, ia hampir mati, bukan hanya tentang fisik, hatinya juga disakiti berkali-kali.
Sava tidak tahu sekarang bagaimana bentuk hatinya. Ia hampir mati rasa tentang sesuatu yang berhubungan dengan perasaan. Yang bisa dirasakan sekarang hanya sisa-sisa sakit hati dan ia tidak tahu bagaimana cara menyembuhkan.
Sava pikir dengan melihat-lihat foto kenangannya dengan masa lalu cukup membuatnya lebih baik. Karena saat melihat sosok itu di pernikahannya saja hatinya masih sanggup bereaksi. Ia tahu sangat salah merasa bahagia karena lelaki lain di depan suami sendiri. Tapi Sava pun tidak tahu. Tiap melihatnya ada banyak rasa bahagia bercampur sakit.
Ternyata benar, mungkin jika ada perubahan ke arah lebih baik, Sava lebih memilih masa lalunya sebagai penyembuh meski tersangkanya juga sama. Tapi ia pernah mencobanya berkali-kali dan gagal. Lukanya tidak juga sembuh justru bertambah parah.
Jadi apa salah kalau Sava memilih cara lain untuk menyembuhkannya.
Dering ponsel mengagetkan Sava tiba-tiba. Refleks ia menerima panggilan itu dan menempelkan ke telinga. Satu tangannya yang bebas berniat memasukkan album kembali ke laci saat terbuka di bagian tengah. Kosong.
Iya, Sava sudah mulai membuang satu demi satu foto kebersamaan mereka. Tiap kali Gagah memberinya bahagia yang baru, ia selalu membuang satu foto, begitu seterusnya. Ia berharap saat semua barang kenangan lenyap, Sava dengan senyum yakin akan bilang ke Gagah bahwa ia sudah selesai.
"Sava ...."
Sontak Sava membeku. Tangannya yang memegang ponsel bahkan bergetar. Ada detakan nyeri di dadanya mendengar suara itu. Lagi-lagi ia tidak bisa menerka apa artinya bahagia atau sakit. Suara yang pernah mengisi harinya selama 10 tahun. Suara menenangkan yang kadang mengantarnya tidur.
"Kamu baik-baik aja kan?"
Sava menelan ludahnya susah payah. Ia tekan satu tangan di dadanya untuk merasakan detakan kuat. Inginnya menutup telepon tapi ... suara itu mengingatkan bagaimana ia dulu diperlakukan amat baik, walau beberapa kali diperlakukan kasar, lalu perlakuannya lebih baik lagi, dan berakhir dengan ancaman sehingga Sava tidak ingin kembali memberi kesempatan.
"Aku bisa jadi lebih baik, Sav."
Sava menggeleng pelan. "Aku ... udah nikah ... Jev." Suaranya sedikit tersendat karena mengucap nama itu membuatnya sakit.
"God, akhirnya bisa denger suara kamu lagi." Suara Jev melembut persis seperti bagaimana cara Jev mengungkapkan perasaan padanya dulu. Terdengar tulus. "Iya, aku tau kamu udah nikah. Selamat ya. Tapi kalau dia sakitin kamu, tolong balik ke aku. Aku yang paling tau gimana cara memperlakukan kamu lebih baik daripada siapa pun."
Sava menahan sesak di dadanya. Jev tidak bohong bahwa sampai saat ini hanya lelaki itu yang tahu semua inginnya, dimulai dari hal-hal yang amat kecil. Walau kadang Jev amat kasar padanya.
"Aku tau kamu tersiksa sama dia. Kamu cuma paksain diri jadi lebih baik buat dia karena dia laki-laki yang perfect. Sava, kamu nggak perlu maksain diri, itu bikin kamu tertekan. Dia nggak akan tau apa yang kamu mau."
Isakan Sava keluar. Kenyataan bahwa selama ini ia berusaha membuat Gagah menerimanya memang menyakitkan. Karena ia takut Gagah memandangnya tidak sempurna. Ia takut Gagah kecewa kalau ia melakukan kesalahan sedikit saja. Benar, sedikit banyak ia merasa tertekan, tapi bukan Gagah yang membuatnya begitu. Justru dirinya sendiri.
Dan Gagah tidak pernah tahu kesakitan serta ketakutan Sava untuk hal ini.
"Kita bisa berproses bareng-bareng. Kita saling bantu buat perbaiki yang nggak baik sebelumnya. Kamu perlu aku buat kita jalan sama-sama. Kamu nggak cocok sama laki-laki perfect yang hidupnya udah jadi. Dia nggak akan ngerti kamu, Sav."
Sava menggeleng. Meski ada benarnya bahwa ia terlalu memaksakan diri menjadi sempurna untuk Gagah, tapi ia tidak mau sekalipun kembali ke Jev. Tidak lagi. Karena meski hidupnya sekarang belum sempurna, setidaknya ia punya lelaki yang sudah berhasil. Dan ia yakin bersama Gagah pasti akan berhasil juga. Ia tidak mau berjuang bersama Jev yang belum pasti keberhasilannya, karena untuk berubah sendirian saja Jev tidak ada niat.
"Aku udah punya suami," tegas Sava. Ia mengusap air matanya sampai tidak tersisa. Napasnya ia keluarkan dengan pelan. "Kalo nggak ada yang penting, aku tutup."
"I miss you. That's all."
Ingin rasanya Sava juga membalas bahwa ia rindu suara Jev saat mengucapkan itu secara langsung di hadapannya. Lalu pelukan mereka yang sering kali dibumbui dengan tawa karena Jev ataupun dirinya kerap mendekap terlalu erat saking rindunya selepas LDR.
"I wish you miss me as I miss you this time. No, all the time."
Sava masih menggigit bibir bawahnya, menahan diri untuk tidak bersuara apalagi membalas perasaan rindu itu.
"Ya udah, aku nggak hubungi kamu lagi. Baik-baik ya di situ."
Panggilan terputus dan Sava mengatur napasnya dengan pelan. Ia tahan sekuat tenaga agar tidak lagi menangis. Ia letakkan ponsel kembali di meja dan menghadap cermin. Dalam beberapa detik ia sudah berhasil menyembunyikan bekas tangis di wajahnya.
"Sava ...."
Saat itu juga pintu terbuka. Sava berdiri dan membalas senyum Gagah yang begitu cerah.
"Kangen," kata Gagah sembari mengeratkan pelukan.
Sava memejamkan mata. Pelukan Gagah selalu terasa hangat dan menenangkan. Walau kerap kali mereka berpelukan dalam diam namun ia suka. Karena hal itu membuatnya bisa merasakan detakan di dada Gagah.
"Aku harus keluar kota lusa."
Sava mendongak mendengar itu. "Terus?"
"Kamu ikut ya? Hampir seminggu soalnya."
Sava mengernyit, berpikir sebentar. "Baru aja aku atur kelas minggu ini full, Gah. Biar bulan depan bisa dikosongin."
Gagah menatapnya sendu. "Jadi nggak bisa ya?"
"Kalau nggak ada kelas, aku nyusul. Gimana?" usul Sava.
"Ide bagus." Gagah nyengir. "Kenapa tadi aku nggak kepikiran ya?"
Tawa itu membuat hati Sava terasa lega. Jujur, bersama Gagah tidak pernah ia rasakan sakit. Lelaki itu amat menghargainya dan pintar menciptakan kenyamanan.
Sava baru saja sakit, dan penawarnya ada di hadapannya sekarang. Tidak cukup dengan itu, Sava lalu berjinjit dan memberi kecupan di bibir Gagah.
"Sukanya mancing-mancing. Kalo aku pengin, yang dibilang horny-an aku juga," sebal Gagah.
Sava terkekeh dan mengalungkan lengan di leher Gagah untuk menariknya makin turun. Bibir mereka sudah menyatu dan ia merasakan gelenyar memabukkan itu lagi. Hal yang hanya bisa dirasakannya saat sedang bersama Gagah.
Bersentuhan dengan Gagah selalu terasa menyenangkan. Sava seperti bisa hidup. Ia merasakan sendiri bagaimana rasa menakjubkan itu bisa membuatnya melupakan banyak hal. Terdengar seperti kecanduan tapi ia rasakan juga begitu.
"Iya iya," ujar Gagah sambil terkekeh saat Sava tidak sabar melepas jasnya.
"Lama," ejek Sava.
"Iya sayangku, cintaku, kasihku."
"Alay," ejek Sava yang membuat Gagah makin tergelak.
Begini yang membuat Sava merasa lebih baik. Hanya ini. Karena keintiman sejauh itu tidak ia dapatkan dari siapa pun kecuali suaminya. Hal yang membuatnya sadar bahwa sekarang ia sudah bersama lelaki lain dan bukan Jev.
Hanya hal ini yang membuat Gagah lebih unggul dibanding sebelumnya. Itulah yang membuat Sava kerap meminta atau tidak pernah menolak, karena itu bentuk penyadaran dirinya sendiri bahwa ia telah memiliki seseorang yang lebih berharga daripada sekadar masa lalu.
Dan hanya dengan cara ini, Sava bisa lupa sejenak. Iya, hanya sejenak.
🐳🐳
Jadi setelah baca sampai akhir, judul part ini yang tepat apa?
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top