25. 🐙The Savior
Lorelie mengerjap saat bayang-bayang kematian Elijah dengan cara kehilangan jantung menari-nari di pelupuk matanya. Meski Elijah nyatanya belum mati, tetapi ia tahu jika waktu bahkan rasanya berjalan terlampau cepat di dalam lautan yang ganas. Jantungnya berdentum saat tubuhnya menerjang gelombang di permukaan Faeseafic. Bayangan sepasang tungkai Elijah dan sebuah sirip berwarna gelap yang melilit tubuh sang pangeran peri menarik seluruh atensinya. Setiap inci pergerakan bayangan tersebut dipantaunya lekat-lekat sembari menghitung sisa waktu yang dimiliki untuk mencapai Elijah.
Lorelie tak ingin menyaksikan kehilangan lagi. Baginya, sudah cukup mengalami satu momen paling menyedihkan yang menghancurkan hati dan keseluruhan hidup yang ia miliki saat kedua orang tua beserta seluruh kerajaannya dikutuk. Ia tak ingin terulang untuk yang kedua kalinya. Ia tak ingin kehilangan Elijah.
Dari sudut matanya, si gadis duyung bahkan dapat melihat bias cahaya senja yang telah jatuh mewarnai permukaan laut. Langit dan lautan telah meredup seirama. Itu artinya, ia juga harus berlomba dengan perubahan wujudnya sebagai sesosok peri yang akan segera terjadi saat bulan muncul. Namun, di luar dugaannya, sebuah cakaran brutal kembali menggerus siripnya pada satu sisi. Dagingnya terkoyak dan membuat beberapa sisik kuning pucatnya terlepas, kemudian larut bersama lautan. Lorelie sontak menjerit sembari berbalik menantang si penyerang. Siren bersurai hitam itu rupanya belum selesai berurusan dengannya.
Lorelie menjambak rambut sang siren sekuat tenaga hingga geraman kesakitan terdengar dari makhluk pemangsa itu. Cakaran demi cakaran brutal harus diterima dan ditahan oleh Lorelie sebagai pembalasan sang siren. Air berpusar cepat di sekitar mereka seiring pergerakan liar mereka. Dari berbagai penjuru, ikan-ikan kecil mulai berdatangan, memenuhi seisi lautan di sekitar mereka, seolah menjadi penyorak perkelahian kedua makhluk itu.
Kala serangan fisik tak mampu menjatuhkan salah satu dari mereka, sang siren lantas mulai menggunakan kekuatan sihirnya. Air berpusar di sekitar telapak tangan makhluk itu saat Lorelie berenang menjauh dengan luka-luka menganga di sekujur siripnya yang perlahan menutup. Lorelie mengira jika mereka telah selesai atau barangkali ia dapat menghindarinya, sementara pikirannya terus terpusat pada Elijah.
Akan tetapi, dugaan Lorelie salah. Pusaran air di tangan sang siren lantas memendarkan cahaya ungu berbentuk bola seukuran dua telapak tangan. Saat Lorelie menoleh sekilas karena berasumsi jika ia dapat menghindari serangan tersebut dengan hanya berenang menjauh menuju permukaan, lesatan cahaya itu lantas menggempurnya lebih dahulu. Sirip kuning pucatnya melepuh dan kembali terkoyak, sementara dorongan energi yang begitu besar menyebabkan gelombang mendorong tubuhnya hingga mencapai permukaan. Rasa sakit tak terperi harus ditanggung oleh si gadis duyung. Luka bakar yang mengenai siripnya menjalarkan rasa sakit dan perih ke sekujur tubuh. Tubuhnya mendadak terasa kaku.
Dari kejauhan, di antara deraan rasa sakit yang menggila, Lorelie menangkap sekilas pandangan kosong Elijah yang berada dalam rangkulan sesosok siren. Sesuatu di dalam dadanya terasa disengat. Jika Elijah dibiarkan dalam posisi itu sedikit lebih lama, maka jantung sang pangeran akan segera terenggut.
Gulungan ombak besar itu lantas menarik kembali tubuh Lorelie ke dalam lautan. Mengempaskan tubuhnya kembali ke kedalaman Faeseafic, hingga tulang-belukangnya berderak seolah riak gelombang itu adalah balok-balok es yang tajam. Namun, kali itu Elijah dan para siren sama sekali tak terlihat. Meski ia mengedarkan pandangan ke sekitar, tak ada hal lain yang dapat dilihat Lorelie selain lautan yang bergolak.
Ke mana Elijah?
Saat tekanan gelombang mendorong tubuh rampingnya semakin dalam, Lorelie mulai dapat melihat sekitar dengan lebih jelas. Faeseafic yang berkecamuk terlihat beberapa depa di atasnya. Tak ada apa pun di sana selain pusaran air dan ikan-ikan kecil yang tak henti-hentinya berenang gusar. Bagi Lorelie, lautan selalu memberikan penanda kepada para penghuninya sebelum segala sesuatu terjadi di dalamnya. Kali itu, penanda yang dihadirkan agaknya luput dari pengamatan Lorelie.
Dalam kegusaran pikiran dan tubuh lemahnya yang terus terdorong menuju dasar laut, sebuah bayangan hitam berkelebat mendekatinya berasal dari pusaran air di dekat permukaan. Sosok gelap nan besar itu semakin lama semakin jelas, nyaris menutup seluruh pandangan Lorelie. Dengan jantung berdegup dan kepanikan yang mengaliri seluruh tubuhnya yang kaku, sesuatu mirip tentakel besar terulur dan melilit pinggang rampingnya. Ikan-ikan kecil berkumpul mengitari bayangan gelap yang semakin mendekat itu hingga si gadis duyung menjerit dan refleks menutup kelopak matanya.
Lorelie yang lagi-lagi belum menyadari pertanda yang mendatanginya itu lantas berontak dan meronta agar terbebas dari lilitan. Si gadis duyung terus menjerit dan mati-matian menggerakkan siripnya dengan liar saat makhluk besar itu kembali membawanya ke permukaan. Saat mata sang duyung akhirnya terbuka dan langit senja memberi penerangan temaram, barulah Lorelie menyadari bahwa yang datang kepadanya bukanlah sebuah bencana, melainkan sesosok kawan lama.
"Gloom?!"
Akan tetapi, lilitan pada pinggangnya mendadak lepas saat sang Kraken menjerit jeri karena sesuatu melukainya. Sementara, Lorelie kembali terhempas ke dalam lautan dengan cepat.
🌊🌊🌊
Saat dingin lautan menjelang senja menyentuh permukaan kulit Elijah untuk pertama kali, peri laki-laki itu menyadari bahwa yang ia lakukan adalah sebuah kebodohan. Entah mengapa saat melihat Lorelie yang sedang bergelut dengan para siren di dalam sana, Elijah tak bisa mengabaikannya begitu saja.
Kebodohan lain yang ia lakukan setelah melompat ke dalam Faeseafic yang mengganas dengan para siren pemangsa yang siap merenggut jantungnya kapan saja adalah berenang mendekati Lorelie. Alih-alih melindungi si gadis duyung dari siren berambut sewarna api yang sedang menyerangnya secara brutal, Elijah malah membuyarkan konsentrasi Lorelie. Belum lagi setelahnya, Elijah malah diseret oleh siren lain berambut ungu menyala yang sebelumnya menyerang Kapten Tribal.
Rasa perih yang menggores pinggang Elijah saat tubuhnya diseret ke permukaan laut berkedut akibat kuku-kuku siren yang menancap di sana. Pedih itu terasa semakin kentara terlebih karena dilumuri asin lautan. Elijah meringis tertahan. Peri laki-laki itu kembali menoleh ke belakang untuk melihat perjuangan Lorelie. Namun, dengan nahasnya, tatapan Elijah justru berserobok dengan tatapan maut sang siren.
Detik itu juga, Elijah merasakan kesadarannya mulai diambil alih. Sepasang netra berbeda warna milik sang siren seolah memerangkapnya dalam sebuah dimensi yang tak ia ketahui dan Elijah sama sekali tak bisa keluar dari dimensi itu. Seberapa keras pun Elijah mencoba melawan, tubuhnya bergeming dan kesadarannya menjadi hilang datang.
Sang siren berambut ungu menyala yang berkibar indah di dalam lautan, berenang ke arah sang pangeran peri perlahan sembari memberi tatapan intimidatif pada debaran jantung Elijah yang kian terpacu. Pandangan Elijah lantas melebur bersama riak lautan yang melatari sang siren, menampilkan sesosok wajah yang familier di hadapan.
Sang siren membuka bibirnya, mulai menyanyikan lagu cinta yang mematikan itu. Alih-alih terdengar bagai nyanyian, di telinga Elijah, nyanyian itu terdengar bagai bisikan lirih penuh cinta yang berulang-ulang membisikkan namanya. "Elijah ... Elijah...."
Suara itu entah bagaimana caranya terdengar begitu indah di telinga Elijah, menenangkan sekaligus menghanyutkan. Wajah cantik nan kejam yang merengkuh pinggang peri laki-laki itu mendadak berubah menjadi samar. Kemudian ,saat Elijah mengerjapkan matanya raut wajah itu berubah menjadi wajah Ammara.
"Ammara?" Elijah terpana. Paras cantik dengan kelembutan dan keramahan yang pernah menghangatkan hatinya seketika muncul di hadapan dengan seringai yang sedikit berbeda. Elijah mengedip beberapa kali, tetapi raut wajah Ammara tak mau hilang dari pandangan.
"Elijah---"
Suara itu membius, indah dan lembut, bahkan membuat Elijah merasa sangat dicintai dan diinginkan. Namun, dalam kenangan Elijah, suara itu bukanlah suara Ammara atau mungkin ia telah lama melupakan bagaimana suara Ammara terdengar.
Elijah sangat ingin berpaling saat Ammara menariknya tubuhnya semakin dekat. Faeseafic bergolak, berkecamuk seolah badai akan segera tiba. Langit senja di atas mereka mendadak menggelap. Elijah sangat ingin mengedip, tetapi seberapa kuat pun ia berusaha, pandangannya tetap tak teralih sedikit pun.
Sementara, nyanyian sang siren yang membius itu terus dilantunkan, Elijah merasakan sesuatu di dalam dadanya bergolak. Teriakan-teriakan samar di sekitarnya seolah mencoba menyaingi nyanyian sang siren sekaligus menarik paksa kesadarannya. Sebuah kesedihan yang telah lama ia lupakan lantas seketika muncul ke permukaan; kesendirian, kehilangan dan perasaan tak memiliki apa pun. Cairan hangat di pelupuk mata sang pangeran peri perlahan-lahan menitik membasahi pipi pucatnya yang kedinginan.
Saat keseluruhan kesadarannya mulai hilang, Elijah merasa segala sesuatu di sekitarnya luluh lantak dalam sebuah bentuk abstrak yang hanya terdiri dari warna-warna. Lautan maha luas yang mengungkungnya bahkan menghilang, menyisakan sang siren berparas Ammara yang semakin mengikis jarak di antara mereka. Suara-suara teriakan dan peringatan mendadak senyap sepenuhnya berganti nyanyian sedih yang menghipnotis dan menyayat hati.
"Elijah!" Jeritan lain terdengar samar sekaligus familier, tetapi Elijah sama sekali tak mampu mengingatnya.
Tubuh Elijah kemudian di bawa turun menuju dasar lautan yang menggelap. Elijah terbatuk saat air menyeruak mencoba menyelinap ke dalam paru-parunya. Kesadarannya perlahan-lahan terkumpul bersamaan dengan rasa nyeri di dadanya yang semakin kentara. Ia bergerak liar dengan mata membelalak, tetapi segala sesuatunya terlihat sudah sangat terlambat. Lautan gelap dan wajah sang siren yang tak lagi menyerupai Ammara, dengan gigi-giginya yang panjang dan mengerikan menjadi satu-satunya pemandangan yang barangkali akan mengantarkannya menuju kematian.
Namun, kala Elijah mengira kehidupannya akan segera berakhir dan jantungnya akan terenggut, gelombang maha besar mendadak menghantam mereka hingga cengkeraman sang siren terlepas dari dadanya. Tubuhnya terlempar menjauh ke permukaan. Kesempatan itu tak disia-siakan oleh sang pangeran peri untuk kembali meraih hidupnya.
Elijah berenang sekuat tenaga guna mencapai permukaan laut dengan napasnya yang tinggal satu-satu. Lautan di sekitarnya sedikit memerah karena darah yang keluar dari luka di dadanya. Gelombang dan sesuatu yang tak ia ketahui membantunya mencapai permukaan laut lebih cepat. Elijah terbatuk hebat saat tubuhnya berhasil keluar dari Faeseafic. Setelahnya, sang pangeran peri mendongak dengan mata membelalak untuk mendapati sesuatu yang lebih besar dari sekadar para siren.
🌊🌊🌊
"Elijah ulurkan tanganmu!" Tribal berteriak dari sekoci yang berguncang, terombang-ambing oleh ombak besar. Tubuh sang kapten sesekali terhuyung ke bibir sekoci hingga ia harus berpegangan kuat ke sisi sekoci dengan satu tangan, sementara tangan lainnya terulur pada Elijah yang baru saja muncul ke permukaan laut.
Di sebelah sang kapten, Bagherra terlihat mengalami hal yang sama. Peri laki-laki itu malah nyaris terlempar ke laut andai saja salah satu penumpang sekoci tak menarik pergelangan tangannya.
Elijah mendongak kepada kedua peri itu dengan wajah terkejutnya yang pucat. Sedetik kemudian wajah pucat itu menyiratkan sedikit kelegaan. Sang pangeran peri belum dapat berpikiran jernih, terlebih setelah apa yang menimpanya, tetapi ia segera saja menyambut uluran lengan Tribal dan Bagherra.
Saat sebagian tubuhnya mulai terangkat ke sekoci, sebuah gelombang yang sangat besar menghantam mereka semua. Sekoci terbalik, menumpahkan seluruh penghuninya ke dalam lautan ganas yang gelap. Tubuh Elijah pun terlempar beberapa depa, hingga membuatnya harus tenggelam beberapa saat ke bawah laut.
Begitu Elijah kembali muncul ke permukaan, sepasang netranya membelalak. Raut wajahnya diliputi kengerian sekaligus keterkejutan. Sesosok makhluk besar, bahkan setinggi salah satu bukit di Fairyhill, muncul dari dalam lautan, makhluk yang membuat sekoci mereka terbalik serta membawa gelombang dan riak besar di Faeseafic. Terlebih saat salah satu tentakel itu menggenggam Lorelie. Ikan-ikan kecil turut terlempar dalam jumlah yang tak terhitung di sekitar makhluk besar itu. Beberapa ekor ikan malah terlempar hingga menampar pandangan sang pangeran peri.
"Lorelie bertahanlah! Aku akan menyelamatkanmu!"
Elijah mengerling sekitar sembari mempertimbangkan cara yang dapat ia lakukan untuk menyelamatkan Lorelie. Namun, nihil, ia belum menemukan apa pun.
Tatapan Elijah lantas berhenti saat melihat Bourbounaisse dihempas gelombang besar yang diciptakan makhluk itu. Para awak kapal di atasnya terlihat panik. Mereka telah melepaskan diri dari ikatan di tiang layar dan melupakan para siren yang mungkin saja masih menanti di tengah laut. Saat itu mempertahankan kapal mereka di tengah badai menjadi hal yang lebih penting. Di sisi lain, sekoci yang ditumpangi Elijah dan beberapa awak kapal Borbounaisse tak lagi terlihat. Para penumpangnya tumpah ruah di atas lautan, berenang mengambang dan mencoba untuk tak tergoyahkan oleh gelombang. Mereka semua sedang berjuang mempertahankan diri di tengah gelombang.
"Gloom?!"
Suara raungan lirih sang monster terdengar bersamaan dengan jeritan familier itu, membuat Elijah sontak menegakkan telinganya. Suara itu secara ajaib memberi tubuhnya yang diamuk gelombang sebuah kekuatan tak kasat mata, sebuah pengharapan. Namun, sepasang netranya membelalak saat mendapati Lorelie jatuh terhempas ke dalam lautam.
"Lorelie!"
Pada satu titik di atas gelombang yang meninggi, tubuh Lorelie jatuh terhempas. Agaknya, lautan selalu dapat menyembuhkan si gadis duyung. Lorelie bergerak liar dan cekatan di antara gulungan ombak besar, tanpa peduli jika yang dilakukannya sangatlah berbahaya. Lorelie berada pada jarak yang terlalu dekat dengan Kraken besar yang baru saja melilitnya.
Dengan susah payah, Elijah lantas berenang mendekati Lorelie. Lautan seolah mendukung upayanya. Dalam sekali gulungan ombak besar, tubuh Elijah terdorong lebih dekat pada si gadis duyung. Tambahan lagi, ia pun tak perlu melawan arus untuk berenang.
"Elijah, kau selamat?" Sepasang netra biru Lorelie berbinar ketika menyadari keberadaan sang pangeran peri di dekatnya.
Ombak besar masih mengombang-ambingkan keduanya dengan ganas. "Kau juga," sahut Elijah susah payah. Rasa asin yang pekat menjejak pada pengecapnya saat air laut tertelan oleh tenggorokannya tanpa sengaja.
Lorelie menarik sudut-sudut bibirnya, menyeringai. Bahkan, di saat-saat genting seperti ini si gadis duyung masih bisa bertingkah sejenaka itu di mata Elijah. Sang pangeran peri nyaris membuka matanya saat lolongan sang monster kembali terdengar disertai empasan gelombang besar dari Kraken yang kini berbalik ke arah Lorelie.
Elijah dan Lorelie saat itu sedang berada di puncak tinggi gelombang saat sepasang mata besar melotot ke arah mereka. Namun, sedetik kemudian gelombang kembali membawa mereka turun seolah tersedot saat salah satu tentakel makhluk itu kembali terangkat dan terulur ke arah Lorelie.
"Lorelie!" Elijah menjerit seraya menggapai-gapaikan lengannya ke udara, tetapi luput menggapai Lorelie.
Seolah dapat mendengarkan panggilan Elijah di antara suara lautan yang brutal, Lorelie menoleh pada sang pangeran peri. Namun, tak sedikit pun raut ketakutan membayang pada wajah si gadis duyung. Sorot matanya penuh tekad sekaligus kelegaan. Dengan berani, Lorelie terlihat menghadap wajah besar Kraken di dekatnya.
"Gloom, Aku di sini. Tenanglah. Mereka teman-temanku!"
Sayup-sayup Elijah dapat mendengar teriakan lantang Lorelie kepada sang monster. Setelahnya, keajaiban pun terjadi. Lautan perlahan berhenti bergolak. Kemarahan dan amukan sang monster mereda. Gelombang perlahan menyurut. Sebagai sahutan, sang Kraken lantas melolong, kemudian hendak membawa tubuh mungil itu bersamanya.
Namun, suara menggeram tiga sosok siren di sekitarnya menghentikan gerakan sang Kraken. Disusul oleh bunyi ledakan yang menghantam salah satu tentakelnya, sang Kraken lantas menjerit jeri sebelum kembali melemparkan tubuh Lorelie ke udara.
Pontianak, 22 November 2020 pukul 22.27 WIB. Publish 23:35
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top