PROLOG
Janji vote dan komen yang banyak, yaaa...
Kalau banyak yang suka, aku update lagi 😘
Cerita ini didedikasikan untuk para gebetan masa SMA. Terima kasih udah bikin kami semangat bangun pagi tiap hari.
***
Kebencianku ke Pramana berawal dari rasa cintaku padanya.
Kuhabiskan seluruh masa remajaku buat ngagumin dia dari jauh. Seluruh waktu, perhatian, konsentrasi, dan uang saku hanya untuknya. Pokoknya, dia cinta pertamaku. Aku pernah berharap dia jodohku.
Di situ kata kuncinya: pernah.
Walaupun dia menolak Aqua dingin dari tanganku di maraton sekolah dan lebih memilih Aqua dingin yang sama dari cewek lain, rasa cintaku padanya sedikit pun nggak berkurang.
Meskipun suatu kali aku pernah nyaris telat, jarak ke gerbang sekolah masih 300 meter lagi, sementara dia dengan motornya melintas tanpa boncengan dan melewatiku begitu saja padahal aku yakin mata kami bertemu, aku tetap menguras seluruh tabunganku tahun itu untuk membelikannya kado ulang tahun.
Menurutku waktu dia ngebuang semua surat cinta dan cokelat pemberian hampir separuh dari jumlah siswi SMP Karunia yang membanjiri laci mejanya pada tahun terakhir kami di SMP, itu sangat keren. Cokelat dan surat cinta tanpa nama yang kutulis sepanjang minggu khusus untuknya juga ada di sana, terbuang percuma.
(Belakangan aku tahu, Pram nggak membuangnya. Wali kelas menyitanya. Tapi nggak apa-apa. Di mataku, dia sudah telanjur keren dan nggak ada yang bisa mengubahnya.)
Aku selalu hanya melihat padanya. I see you.
(Nilai pelajaran Bahasa Inggrisku nggak terlalu bagus waktu SMP. Kupikir menuliskan ICY dan bukannya ICU di setiap kado dan surat yang kutulis itu sudah sangat keren. Artinya aku selalu mengawasimu. Aku nggak nyadar apa yang kulakukan itu sebenarnya menyeramkan. Tapi, yah... hampir semua anak perempuan punya pengalaman menjadi stalker.)
Pramana berkulit sawo matang, hobinya main sepak bola dan sepatu roda. Dia senang mendengarkan musik alternatif rock yang agak usang untuk anak sebayanya semata-mata karena dia sangat mengagumi kakak sulungnya yang juga suka main musik. Dia punya band yang mainin musik-musik aneh. Band-nya selalu dilempari gelas aqua kosong di pentas sekolah gara-gara suaranya sumbang, tapi aku tetap menikmati suara sumbangnya dengan mata berbinar-binar.
Aku bisa saja memilih melanjutkan ke SMA Nusa Bangsa dan meneruskan tradisi turun temurun keluargaku, tapi aku bersikeras mau satu sekolah dengannya di SMA Satu Nusa.
Ayah nggak setuju sama gagasanku. Dia mau putra-putrinya bersekolah di lingkup yang sama buat memudahkannya mengantar jemput. Ayah takut aku celaka di jalan, padahal jarak antara SMA Satu Nusa dan Nusa Bangsa kurang lebih sama, hanya berlawanan arah. Seperti yang sudah-sudah, aku memenangkan perdebatan.
Sepanjang hampir enam tahun menjadi penggemar rahasia Pramana, masa-masa remajaku adalah masa-masa paling menyenangkan. Kalau kuingat lagi, itu memang terdengar menyedihkan, tapi semua anak perempuan seusiaku yang nggak cukup populer untuk didekati cowok-cowok pasti merasakan ribuan kupu-kupu terbang di perutnya setiap kali mereka mengenang masa-masa menjadi penggemar rahasia.
Magdalena menulis delapan belas lembar surat cinta yang nggak pernah dikirimkannya ke Lukas karena takut ketahuan dan dia tampak jauh lebih bersinar daripada Nana yang selalu punya pacar.
Dewi bergabung dengan klub baking untuk membuat cinnamon roll kesukaan Satya dan nggak pernah mengeluh meski cowok itu nggak pernah tahu kue buatan siapa yang sering ditemukannya di laci meja setiap Jumat sore.
Aku dimarahi setiap hari karena pulang telat dan harus mencuci semua piring bekas makan malam seluruh keluargaku supaya nggak satu kalipun jadwal latihan sepak bola Pramana terlewat. Dia bahkan nggak pernah menyadari kehadiranku, tapi aku bahagia.
Tiap pagi, Mama nggak perlu menggedor pintu kamarku. Aku semangat bangun sendiri dengan harapan kali ini bola yang ditendang Pramana mampir ke kakiku supaya aku bisa melemparkannya kembali, dan untuk pertama kalinya dia tahu ada orang ini yang selalu mengaguminya.
Kadang... untuk anak perempuan, itu saja sudah cukup.
Berbekal rasa cinta yang begitu besar tanpa adanya luka yang membekas saja sudah cukup melimpahi kami dengan optimisme menjalani kehidupan keras selepas lulus SMA. Mungkin kalau rasa cintaku pada Pramana nggak pernah naik kelas, saat ini aku sudah melupakannya. Aku berharap, keberuntunganku selanjutnya nggak pernah terjadi.
Secara mengejutkan, aku dapat kesempatan satu kelas dengannya di tahun terakhirku di SMA. Bahkan, Bu Sundari menempatkan bangkuku tepat di depan Pramana.
Pada bulan pertama, aku kena sakit leher karena sepanjang waktu nggak berani menggerakkan kepala.
Pada bulan kedua, dia meminjam penghapus. Karena terlalu gugup, aku menggeleng, lalu dia mengataiku cewek pelit.
Pada bulan ketiga, seorang anak baru dari provinsi lain pindah mendadak mengikuti dinas orang tuanya dan ditempatkan di sampingku menggantikan Tiara yang putus sekolah. (Gosipnya dia hamil duluan.) Namanya Diana. Dua minggu kemudian, anak baru ini diam-diam nyuri baca buku harianku.
"Aku bantuin kamu deketin Pram, ya?" rengeknya setelah berhasil memaksaku menumpahkan isi hati yang sebelumnya hanya aku, Tuhan, dan buku harianku yang tahu.
Pada bulan ke-enam, tiba-tiba teman sebangku Pramana pindah duduk di sampingku karena Diana dan Pram sudah jadian.
Bayangkan betapa sakitnya hatiku mendengar mereka berdua cekikikan mesra tepat di balik punggungku, padahal dia tahu benar perasaanku pada Pram. Yang lebih menyakitkan, dia sering nyuruh aku duduk di samping Pram setiap kali mereka berselisih paham. Pramana yang malas-malasan karena kesal otomatis melampiaskan kejengkelan padaku. Dia melamun dengan muka cemberut seolah itu salahku.
"Kamu tuh budaknya Diana, ya?" tanyanya suatu hari padaku dengan nada sengit.
Aku yang lagi sok sibuk nyalin catatan di papan tulis, cuma bisa menoleh sekilas padanya. Soalnya kalau kelamaan, mukaku pasti merah.
"Heh... aku nanya, kamu budaknya Diana? Dibayar berapa? Kenapa kamu nggak pernah nolak kalau disuruh-suruh? Nggak capek apa? Masuk kelas, disuruh pindah duduk, mindahin buku-buku simpananmu di laci cuman buat nurutin kemauannya?"
Karena minatku pada anak laki-laki sudah tinggi dari dulu, jadi aku tahu anak laki-laki memang rata-rata lebih lambat tumbuh secara emosional dibanding anak perempuan. Mereka kurang peka. Aku pun memutar bola mata. Anak perempuan kan paling jago kalau disuruh menyembunyikan perasaan.
Kalau buat mereka pindah tempat duduk aja sudah merepotkan dan menganggapnya sebagai perbudakan, mereka nggak akan pernah bisa bertahan sehari saja menjadi anak perempuan (apalagi kalau lagi datang bulan.)
"Kan kamu yang harusnya nolak," semburku. Anak perempuan kalau gampang marah sama kamu, artinya dia naksir kamu. Aku pernah baca itu di sebuah majalah remaja. Kurasa itu benar. "Dia kan pacarmu."
"Aku udah nolak, kok," katanya, sambil memutar-mutar pulpen di meja. "Kamu yang selalu mau."
Nggak lama setelah itu, menjelang Hari Valentine, Pram dan Diana putus.
Kabar putusnya Diana dan Pram tersebar ke seantero sekolah dan menceriakan kembali barisan cewek-cewek yang mengidolakan Malik Syarifudien Pramana. Para siswi yang rutin menggelar lapak cokelat bersukaria. Omzet penjualan mereka yang terancam turun gara-gara Pram sudah punya pacar meningkat pesat.
Pram bertukar tempat duduk dengan Lita yang terpisah gang dari deretan bangkuku. Jaraknya dua bangku di depanku sebelah kiri. Aku lebih suka dia duduk di sana karena lebih mudah kuperhatikan.
"Cowokmu itu nggak ada menarik-menariknya sama sekali," sungut Diana beberapa hari menjelang hari kasih sayang belasan tahun lalu. Aku ingat itu pertama kalinya Diana berani membicarakan Pram lagi setelah mereka jadian. "Udah pasif, dingin, nggak seru. Nggak kayak yang diomongin cewek-cewek tentang cowok itu. Nyesel aku jadian sama dia. Buang waktu."
"Kan nggak ada yang nyuruh kamu jadian sama dia," ucapku pahit.
Diana mendesah, lalu menopang dagu sementara aku sibuk nulis rangkuman. Aku memang senang menulis dan menyalin. Apa saja yang kupelajari akan kucatat. Itu membuatku lebih mudah mempelajari sesuatu.
Sekonyong-konyong, Diana melontarkan ide gila. "Tahu nggak? Kalau aku teliti tanda-tandanya... kok kayaknya Pram itu gay, ya, Nggrid...?"
"Hah?"
"Habis... Pramana ini aneh banget. Dia nggak pernah mau megang-megang aku...."
"oh, ya?"
"Iya... kalau aku ke rumahnya, semakin sepi... semakin aku dianggurin."
"Oooh...."
"Aku tuh udah pacaran tujuh kali sejak SMP, Nggrid," flexing Diana. "Cowok-cowokku juga pada suka main PS dan baca tabloid olah raga, tapi nggak ada yang lebih tertarik sama tabloid kalau ada aku di sana. Cowok-cowok remaja itu ngeri, lho, Nggrid. Tangannya pada cepet banget, kok Pramana enggak, ya? Pramana cuma mesra di area sekolah, terutama di kelas. Makanya aku agak curiga...."
"Curiga kenapa?"
"Curiga aku cuma dimanfaatin aja ama dia...."
"Dimanfaatin gimana?"
"Dijadiin kedok."
"Kedok?"
"Iya. Denger, ya... minggu lalu, semalam sebelum aku sama Pram putus, tanteku nelepon dari Amsterdam. Dia minta mama bantuin ngurus surat-suratnya buat balik ke Indonesia. Suaminya tahu-tahu minta cerai karena dia baru sadar dirinya gay."
"Apa hubungannya sama Pramana?"
"Aku ceritain itu ke Pram!"
"Ya teruuus?"
"Yah... bisa aja, kan? Pramana jadi takut aku tahu identitasnya...? Tahu-tahu aku diputusin. Alasannya aku ambekan dan suka maksa. Dia kan paling nggak suka aku main ke rumahnya, tapi aku nekat aja ke sana. Tanda-tanda lainnya... dia nggak suka ciuman bibir sama aku, loh... iya! Aneh, kan? Waktu aku bilang... kamu boleh pegang dada aku, dia malah ketakutan. Apa coba namanya kalau bukan gay?"
"Ya mungkin... dia mau megang dada kamu kalau kalian udah nikah kali...," tanggapku.
"Cowok mana yang nolak disodorin toket, sih, Inggrid? Cuma Pramana! Paten lah dia gay. Yah... tapi nggak apa-apa, sih, aku diputusin. Aku emang udah mau mutusin dia, kok. Takut aja suatu hari dia ngajak aku nikah, terus aku diceraiin kayak tanteku."
Diana boleh bicara apa saja, yang penting mereka sudah putus. Hanya tinggal beberapa bulan lagi kami semua lulus, kalau memang Pramana gay, sekarang bukan waktu yang tepat buat mikirin itu. Pram boleh gay setelah aku move on.
Valentine tahun itu datang.
Cokelat tanpa nama lengkap sama ucapan singkat yang selalu kububuhkan di semua suratku, ICY (I see you, berarti aku selalu melihatmu, bukan kusingkat ICU karena takut dia mengira aku sedang mengancamnya masuk ICU) yang kumasukkan ke laci meja Pramana kembali ke laci mejaku berikut secarik pesan singkat yang diselipkan di pitanya.
Bunyi pesan itu,
Dear ICY,
Gudang belakang sekolah. 17.00 WIB.
Happy Valentine's Day.
P
Surat itu jelas-jelas ditulis oleh tulisan tangan Pramana. Mirip-mirip ceker ayam yang dirapi-rapiin. Waktu membacanya, aku langsung membayangkan desain gaun pengantin impianku. Mataku berkaca-kaca. Aku hampir nangis, apalagi saat jam terakhir sebelum janji kami bertemu, Pram melempar senyum manis padaku.
Aku nggak sempat mikir, dari mana Pram tahu kotak cokelat itu dariku?
It was my first kiss....
Ciuman itu adalah kontak fisik pertamaku dengan anak laki-laki.
Di dalam gudang yang sepenuhnya gelap gulita, lengan kekar Pramana menangkup pinggangku dan mendekapku erat. Bibirnya yang melekat pada bibirku mengalirkan hawa panas. Jantungku berdetak kencang. Di usia itu, aku sudah paham bahwa ciuman nggak akan bisa bikin anak perempuan hamil, tapi kupikir bau mulut Pram seharusnya lebih harum. Mungkin beraroma mint seperti wangi permen Chiclets yang sering dikunyahnya?
Aku mulai takut.
Rasa bahagiaku perlahan berubah jadi was-was saat tangan Pram mulai meremas bokongku. Apalagi, sewaktu lidahnya menjilat bibirku, lalu menyeruak ke dalam rongga mulutku. Tubuhku gemetar. Aku merasakan sentuhan di beberapa bagian tubuhku. Semuanya terjadi begitu cepat, otakku membeku.
Kemudian... pintu gudang tiba-tiba dibuka.
Tapi...
Pramana berdiri di sana... membelakangi cahaya.
Terima kasih sudah membaca.
Masih ingat gebetanmu masa SMA?
Cerita, donggg...
BTW Follow instagram dan tiktok-ku, dong. Wkwk 😆 tapi kalau tiktok yang cewek aja, ya. Yang cowok gak usah. Ahahaha... siapa tau termotivasi olah raga bareng 😅
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top