Bab Empat: Rahasia Ketahuan!
BESOKNYA aku izin nggak masuk kerja. Aku bilang ke Pak Trimo badanku demam, panas dan menggigil pada saat bersamaan, padahal aku nggak kenapa-kenapa. Badanku adem-adem aja. Cuma memang pikiranku lagi nggak sehat saat ini. Lagi kalut. Semalaman aku nggak bisa tidur karena kepikiran dengan apa yang telah Reza lakukan padaku.
Aku bertanya-tanya dalam hati apakah yang Reza lakukan itu—memaksaku ngewe di rumah kosong—termasuk ke dalam pelecehan seksual? Well, aku memang merasa agak dilecehkan karena dalam sudut pandangku Reza seolah-olah menganggap aku ini 'sebuah barang' yang bisa dia pakai sesuka hatinya tanpa peduli apakah aku menyukainya atau nggak. Caranya memohon supaya aku menurutinya, caranya mengucapkan janji bahwa itu yang terakhir kali dan setelahnya dia nggak akan mengajakku yang aneh-aneh lagi, membuatku kesal, sedih, marah pada saat bersamaan. Karena setiap kali dia ingin mendapatkan apa yang dia inginkan, kata-kata itu yang selalu diucapkannya. Aku ingat, ketika kami ngewe di halaman belakang rumahnya pun kata-kata yang dia ucapkan saat itu kurang lebih sama dengan yang dia ucapkan di rumah kosong itu: "Aku janji ini yang terakhir kali. Setelah ini kita ngewe di tempat yang aman." Hah! Bodoh juga aku nggak mengungkit ucapan itu kemarin.
Aku memukul bantalku keras-keras dan menjerit di baliknya.
Sampai pukul dua belas siang, nggak ada chat atau permintaan maaf apa pun dari Reza. Fix, kami putus. Aku nangis lagi. Aku nangis karena ternyata selama ini lelaki itu sekalipun nggak pernah mencintai aku. Jadi hubungan dua tahun ini apa artinya untuk dia? Aku nangis sampai lelah untuk meneteskan air mata, dan akhirnya jatuh tertidur.
Aku terbangun beberapa saat kemudian ketika iPhone-ku berdering keras.
Dengan kesal karena tidurku terganggu, kulihat layar dan membelalak kaget karena nama yang muncul di sana adalah Putra Gendut Gemesh Anak Baru Di Kantor. Aku langsung menjawabnya.
"Halo?"
"Hai. Gimana keadaan? Sehat?"
Suara Putra ditelepon kenapa empuk banget didengarnya?
"Demam. Tapi baik-baik aja. Kenapa?"
"Ya nggak apa-apa, mau tanya kabar aja. Nggak boleh? Gue matiin aja, ya."
Aku tertawa. "Baperan banget deh bocil. Lagi istirahat, ya?" tanyaku sambil melirik jam dinding. 13.30.
"Pak Rudi lagi keluar sama Pak Trimo, entah ke mana. Dan lagi nggak ada yang perlu gue kerjain juga, jadi nyantai deh."
Aku tersenyum. Dia lagi santai yang diteleponnya aku, bukan pacarnya. Berarti dia lebih suka aku yang menemani waktu santainya. Mendadak aku jadi kepedean sendiri.
"Gue mau meluruskan sesuatu," kataku.
"Apa itu?"
"Tiara bohong tentang gue yang punya epilepsi. Gue sehat, kok. Semalem gue nggak habis kejang-kejang. Semalem gue cuma kehujanan, dan susah dapat orderan Grab, makanya Tiara ngebohong tentang epilepsi supaya lu jemput gue karena sebenarnya Tiara males jemput gue ..."
"Oh, iya nggak apa-apa. Tadi pagi Mbak Tiara juga udah jujur. Semalem dia nggak mungkin jemput lu hujan-hujan kan, makanya dia minta tolong gue karena dia tahu gue punya mobil."
"Sorry, ya."
"Santai aja. Hitung-hitung balasan karena kemarin lo udah beliin gue makan siang."
Aduh, kenapa bahas makan siang itu, sih? Itu topik yang berusaha aku hindari. Jadi aku mengalihkan pembicaraan.
"Pak Trimo sama Pak Rudi pergi ke mana?"
"Nggak ada yang tahu, kata temen gue sih mungkin lagi karaokean." Putra tertawa, bersama temannya yang suara tawanya terdengar samar. "Lung, udah makan belum?"
"Belum, baru bangun tidur."
"Send alamat, ya. Gue beliin makan siang."
"Hah?"
"Iya, gue GoFood-in makan siang. Tulis alamat rumah lu. Di chat."
"Nggak usah. Emak gue masak." Padahal emakku lagi kerja.
"Gue tahu emak lu guru, dan jam segini masih di sekolahan, jadi nggak usah bohong. Tulis sekarang alamat rumah lu, ya. Gue pesenin." Lalu sambungan terputus, dan aku dibiarkan kebingungan. Well, sebenarnya aku nggak kebingungan. Aku terlalu excited sampai nggak tahu harus ngapain karena Putra Gemesh mau beliin aku makan siang!!! Awwwww. Manis banget sih dia aaaarrrrggghhhh!!!
Lalu dengan jari agak sedikit gemetar, kutulis alamat rumahku ke Putra. Ya ampun, kenapa aku selebay ini cuma karena dikirimin makan siang? Ah, dia cuma mau balas budi, bukannya beneran peduli. Aku menepuk-nepuk pipiku yang tersenyum lebar. Alung bodoh, Alung gampang baperan, kataku pada diri sendiri, tapi nggak bisa berhenti senyum walaupun sudah kutampar pipiku berkali-kali.
13.35 Oke Lung, ditunggu ya makan siangnya.
Aku baru hendak akan membalas Terima kasih, tapi dia sudah keburu ngirim: Selamat makan. Cepet sembuh ya. Dibarengi dengan emoticon ":)". Ya ampun, senyumku makin lebar, dan sekarang aku guling-gulingan di kasur sambil menggigit bantal yang baru beberapa jam lalu aku pukuli. Kenapa sih Putra harus memperlakukanku seperti ini!!!
Dua puluh menit kemudian makanannya sampai. Putra beliin aku Panas 2-nya McDonald's. Aku mengucapkan Terima kasih di chat sampai tiga kali karena aku merasa ini terlalu banyak. Nasi ayam sayur yang aku kasih kemarin dibalas dengan Panas 2 McDonald's sangat nggak setimpal, kan? Maksudku ... ya ampun, ini harganya 2x lipat harga nasi ayam sayurku.
14.03 Nggak usah lebay. Sekarang dimakan. Fotoin kalau udah habis.
Iiihhh kenapa harus minta fotoin sih, aku kan jadi makin melayang!!! Kenapa Putra sepeduli ini sama aku? Apakah dia suka sama aku? Sambil membayangkan Putra dan aku jadian, kulahap ayam McDonald's sama nasinya sampai habis, lalu aku fotoin kotaknya yang sudah habis dan hanya menyisakan tulang ayam. Foto yang kukirim nggak dibaca Putra, mungkin dia lagi sibuk ada kerjaan. Jadi aku membiarkannya sementara aku membuang kotaknya.
Setengah jam kemudian foto yang aku kirim sudah dibacanya, tapi nggak dibalas. Ya sudah, biarkan. Kurebahkan tubuh ke kasur, lalu memejamkan mata, berharap bisa tidur, dan ketika bangun, kuharap Putra membalas pesanku.
Rasanya baru dua menit aku tertidur ketika terdengar suara pintu kamar diketuk.
"Siapa?" tanyaku, kesal. Hendra, adikku, memang suka banget gangguin aku tidur.
Karena nggak ada jawaban dari balik pintu, aku pejamkan mata lagi. Hendra sialan. Aku lagi sakit sempat-sempatnya dijailin.
Belum ada dua detik kemudian, pintu diketuk lagi. Agak keras.
Geram, aku bangkit dari kasur dan membuka pintu dengan kasar. Aku tadinya mau nyemprot Hendra dengan kata-kata makian, tapi ketika kutarik pintu, yang berada di baliknya ternyata si Reza Anjing. Aku seketika berubah jadi patung. Kaget, sumpah. Nyaris seharian dia nggak ada kabar, padahal aku menanti-nanti banget kabar dan kata maaf darinya, tiba-tiba sosoknya muncul di hadapanku kayak tukang parkir. Aku bahkan nggak yakin aku berkedip.
"Lung?" kata Reza, lalu tanpa kusuruh masuk, dia masuk ke kamar sambil menggenggam tanganku. Pintu kamar menutup di belakangnya. "Ayo, kita ngobrol di kasur."
Aku masih jadi patung ketika dia mendudukkanku di kasur.
"Pertama, aku bingung harus bales pesan kamu kayak mana karena aku yakin kata-kata semanis apa pun nggak akan buat kamu tenang. Kedua, maaf karena aku muncul mendadak kayak tukang parkir Indomaret, karena kalau aku bilang mau dateng kamu pasti nggak bakal mau nemuin aku. Ketiga, aku ke sini mau minta maaf. Aku janji nggak akan ngulangin lagi kesalahan yang sama," celotehnya.
Entah dapat keberanian dari mana, aku nyeletuk, "Iya kamu nggak akan ngulangin lagi kesalahana yang sama, karena masih banyak kesalahan lain yang mau kamu coba, kan?"
Dia menatapku tersinggung. "Nggak gitu. Dengar dulu, kemarin itu aku ceroboh—"
"Ceroboh?" bentakku, kesal. "Za, kamu lagi nggak membimbing aku! Kalau kemarin kita tersesat di rumah kosong padahal tujuan kita bukan ke sana, itu namanya ceroboh karena kamu nggak lihat jalan! Tapi ini kamu melakukannya secara sadar. Kamu ngajak aku ke rumah kosong, supaya kamu bisa wujudkan fantasi seks gila kamu!"
"Tapi kamu awalnya mau diajak ke sana, Alung!" Dia nggak membentak, tapi nadanya mulai tinggi.
Apakah dia benar? Aku nggak tahu, aku terlalu emosi untuk mengingat ulang kejadian tadi malam. Yang kuingat, aku memang penasaran ketika dia mengajakku ke rumah kosong, tapi setahuku nggak pernah aku bilang setuju. Apakah aku bilang setuju waktu dia mengajakku ke sana? Aku lupa.
"Kalau kamu memang nggak mau, harusnya kamu nolak waktu aku ajak ke sana! Tapi kamu nggak nolak, jadi kita tetap pergi ke sana, dan tiba-tiba aja di sana kamu malah nyalahin aku."
"Kamu ke sini mau minta maaf, kan?" kataku, lelah. Aku lagi malas berdebat saat ini. "Aku udah maafin kamu, Za. Sekarang, pulanglah. Kita baik-baik aja."
"Baik-baik aja? Kita nggak baik-baik aja, Alung! Kamu mencampakkanku—"
Aku tersengat. "KAMU YANG MENCAMPAKKAN AKU, REZA!" Wow. Ini kali pertama aku meneriaki Reza, dan rasanya ... melegakan.
Ekspresi Reza yang awalnya kaget berubah mengeras, lalu dia menggeram. "Berani-beraninya kamu membentak—"
"Aku minta kamu keluar sekarang," kataku pelan. Seolah-olah tenagaku tersedot habis karena teriakan yang melegakan tadi.
"Kita belum selesai, Lung," katanya.
"Aku tahu persis apa yang mau kamu omongin, Za. Jadi, nggak usah. Kita udah selesai. Aku nggak mau dengar apa-apa lagi dari kamu. Sekarang, demi kebaikan hubungan kita, aku mau kamu pergi dari sini. Aku lagi nggak semangat lama-lama dekat kamu."
Reza sepertinya tersinggung, ekspresinya berubah galak. Lalu dicengkeramnya tanganku, lumayan kuat sampai aku meringis. Oh, jangan khawatir. Cengkeramannya kali ini nggak lebih kuat dari biasanya.
"Aku belum selesai," geramnya. Cengkeramannya lebih keras. Aku meringis, tapi itu malah membuatnya makin melotot galak.
Aku menciut. Rasa sakit di tangan membuat nyaliku runtuh. Aku nggak bisa melawannya. Dia terlalu kuat. Lalu aku menangis. Sialan. Kenapa aku menangis? Aku benci ketika aku menangis karena nggak bisa melawan rasa takutku sendiri.
"Za, tolong ..."
Tok, tok, tok. Pintu kamarku diketuk. Reza buru-buru melepas cengkeramannya di tanganku, meninggalkan bekas merah di sana. Seseorang masuk ke dalam kamar dengan suara cempreng yang heboh: "Aluuuuungggg, kami datanggg membawa Chatime!!!" Siapa lagi kalau bukan Tiara.
Dan aku terbelalak kaget ketika seseorang mengekor masuk di belakangnya. Putra. Cowok gendut itu tersenyum melihatku, lalu berubah heran ketika melihat Reza.
"Ohh!!! Ada Reza Anjing!!!" pekik Tiara, kaget. Lalu dia tertawa keras. "Ups, maaf ya Reza, keceplosan. Gue kalo kaget suka begitu emang, hahaha."
Tiara dan Putra mendekat ke kasur. Aku melirik jam dinding. Ternyata sudah jam setengah 7 malam. Berarti tadi aku tidur cukup lama sebelum Reza datang.
Ketika Tiara dan Putra duduk di kasur, Reza beringsut mundur dan duduk di kursi meja belajar. Matanya mengawasi kami, seperti hewan buas.
Putra melirik Reza, ekspresinya masih keheranan.
Tiara memperhatikan wajahku. Dia membelalak kaget melihat air mataku. Lalu dia sudah akan berbalik untuk memarahi Reza, tapi aku mencegahnya. Kugelengkan kepalaku padanya. Awalnya dia melotot, tanda bahwa dia nggak setuju dan ingin memarahi Reza, tapi aku memohon, dan setetes air mataku jatuh ke pipi sehingga membuatnya luluh dan nggak jadi memarahi Reza.
Aku berhasil mencegah Tiara, tapi nggak kepikiran sama sekali kalau Putra yang bakal menghadapi Reza.
Cowok gendut itu mendekati pacarku. Aku bisa mendengar apa yang mereka bicarakan.
"Ngerokok, Bang?" tanya Putra.
Reza menggeleng.
Lalu Tiara mengajakku bicara sehingga aku nggak mendengar lagi obrolan Reza dengan Putra.
"Kalian berantem lagi?" tanya Tiara.
Aku menghapus air mata, mengangguk. Pelan-pelan supaya nggak menarik perhatian Tiara, kusembunyikan tanganku yang merah di balik selimut.
"Pengen gue tampar rasanya," katanya dengan suara geraman tertahan.
"Nggak usah, gue baik-baik aja."
Lalu Putra dan Reza keluar kamar. Aku nggak tahu apa yang mereka bicarakan, tapi aku lega Reza keluar dari kamarku karena kehadirannya membuatku merasa terintimidasi. Selepas kepergian mereka, aku menangis lagi. Tiara memelukku, menepuk-nepuk punggungku. Dengan lembut dia memintaku untuk cerita, tapi aku nggak bisa. Jadi selama beberapa menit dia mendengarkanku menangis.
"Memang dasar berengsek tuh cowok. Pacarnya lagi sakit malah dibuat nangis!" geram Tiara.
"Biarin aja, toh orangnya juga udah pergi."
"Nanti jangan lupa bilang makasih sama Putra. Karena dia udah ngusir cowok lu yang bajingan itu." Tiara mengangkat alis sambil tersenyum jahil. "Omong-omong, dia paham ya sama situasinya. Dan gue denger-denger, katanya tadi siang dia beliin lu makan siang, ya?"
Aku mengangguk senang. "Gue nggak mau baper dulu sih ya, karena kayaknya dia cuma mau balas budi karena kemarin gue beliin dia makan siang juga."
"Oh ya? Kok lo nggak cerita kalo lo beliin dia makan siang juga?"
"Kemarin kan kita nggak setegoran, Cong."
"Oh iya ya. Oke, sekarang cerita."
Baru aku mau cerita, Putra sudah keburu masuk ke dalam. Dia tersenyum—ya Allah manis banget senyumnya, mau meninggal. Lalu duduk di sebelah Tiara.
"Gimana? Udah sehat?"
Aku mengangguk kelewat senang, senyumku lebar.
"Eh gue ke bawah ya, Lung. Mau taruh Chatime di kulkas sama mau nyapa mama lo," kata Tiara.
"Loh, tadi kan kita udah ketemu mamanya Alung di bawah?" tanya Putra, kebingungan.
"Yaaa mau ketemu lagi aja, tadi kan cuma salam sapa aja, nggak ngobrol. Dah, tunggu bentar ya. Gue ke bawah dulu." Sambil melangkah keluar kamar, Tiara mengedipkan sebelah mata padaku.
Aku putar bola mata ke arahnya, tapi senang sih akhirnya ditinggal berduaan bersama Putra.
Awkward. Bingung ih mau ngomong apa, hahaha. Lalu, tanpa bisa kuantisipasi karena gerakannya tiba-tiba, Putra meraih tanganku yang merah bekas cengkeraman Reza tadi. Aku meringis kesakitan.
"Maaf," katanya, lalu meletakkan kembali tanganku dengan lembut.
Dia menatapku, cemas.
Aku mematung, nggak tahu harus merespons bagaimana. Mataku menghindari tatapannya.
"Ini harus dilaporin, Lung."
"Jangan."
"Ini nggak bisa dibiarin—"
"Jangan ikut campur," kataku, entah kesurupan apa ngomong begini.
Putra tampak kaget.
"Ini nggak apa-apa. Bisa hilang. Nanti juga baik-baik aja."
"Ya. Lukanya memang bisa hilang. Tapi traumanya?" Dia mencari-cari mataku. Untuk pertama kalinya aku benci menatap mata Putra, karena dia tahu rahasia kelamku.
Aku nggak menjawabnya. Dia berusaha meraih lenganku lagi, tapi aku menggeleng jangan dan menarik tanganku menjauh.
"Lihat sebentar aja, cuma pingin tahu seberapa kuat dia mencengkeramnya. Kalo lo ngerasa ini bakal baik-baik aja, oke. Tapi izinkan gue ngelihat sekali lagi aja?"
Kusingkirkan selimut yang menutupinya, kubiarkan Putra meraihnya, lalu diamatinya lenganku. "Nggak terlalu kuat, tapi pasti lumayan sakit, ya?"
Aku nggak menjawab.
"Ini pasti bukan pertama kali."
Langsung kutarik lagi lenganku. Kenapa dia bisa tahu?
"Gue punya temen cewek yang posisinya sama persis kayak lo gini. Dia malah lebih parah, cowoknya suka nampar, mencekik, bahkan pernah menendang pinggangnya."
Aku diam mendengarkan, agak penasaran.
"Cowok-cowok yang suka abuse pasangannya, biasanya nggak cuma ngelakuin satu kali, tapi sering. Karena mereka merasa punya kuasa, punya hak."
Suara Putra kenapa sangat menenangkan? Aku bisa-bisa tidur karena terlalu nyaman mendengar suaranya.
"Gue bukan mau ikut campur atau gimana, tapi gue nggak bisa ngebiarin cowok ngelakuin hal kayak gini ke orang lain. Lung, lihat gue." Aku melihatnya, menatap matanya. Tatapanku turun ke hidungnya, lalu ke bibirnya yang merah. Kuperhatikan bibirnya yang seksi bergerak-gerak ketika dia bicara. "Kalau lo muak dengan perlakuannya, lo bisa laporin dia ke polisi."
Aku menggeleng. Mendadak kepalaku sakit. "Please, jangan ikut campur. Gue baik-baik aja. Ini cuma memar, nggak lama lagi bakalan hilang. Yang gue butuhkan saat ini cuma istirahat."
Putra tersenyum, ya ampun kalau saja dia bisa tersenyum terus 24 jam di hadapanku, aku yakin semua rasa sakit di dalam tubuh dan hatiku pasti bakal langsung sirna. Karena senyumnya candu banget. Pipinya menggembung lucu menggemaskan ketika dia tersenyum, mirip senyuman anak-anak, dengan mata yang menyorot ramah dan santai.
"Oke. Sekarang, istirahatlah." Dengan lembut, dia menarik selimut menutupi tubuhku. Kalau ini film romantis, dia pasti mencium keningku setelahnya. Tapi ini bukan film romantis, cerita romantis juga bukan, jadi nggak ada deh adegan mencium kening. Yang dia lakukan setelah itu keluar dari kamar. Aku cemberut ketika tubuhnya yang gendut menghilang di balik pintu kamar yang menutup.
Tapi lalu dia membuka lagi pintu kamarku, dan cuma kepalanya yang muncul dari balik pintu hanya untuk mengucapkan: "Gue emang nggak punya hak untuk ikut campur, tapi kalau lo butuh bantuan gue, kapan pun, hubungin aja. Gue siap kok bantuin lo." Kalimat manisnya ditutup dengan senyumannya yang memabukkan.
Setelah pintu kamar ditutup lagi, aku menjatuhkan tubuh ke kasur, dan menangis dalam kehampaan.
Bandar Lampung, 20 April 2021
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top