Plan 29
Pantulan di cermin menampakkan wajah kuyu, mata sayu, pipi yang cekung, dan sorot tak bergairah seorang perempuan. Apalagi tubuh kurus dengan perut yang sedikit membuncit, membuat kondisi bayangan itu terlihat sangat memprihatinkan. Sulit kupercaya, tapi perempuan mengenaskan itu aku. Bahkan, saking menyedihkannya, aku hampir tak mengenali bayangan diriku sendiri.
Mulai semester tujuh, aku memutuskan untuk tidak kuliah. Aku mengambil cuti karena tak bisa lagi menyembunyikan perut yang cukup menonjol---walaupun ukurannya tergolong kecil di usia enam bulan. Tepatnya sudah tiga minggu aku tak muncul di kelas, membuat teman-teman sekelas mempertanyakan keberadaanku. Dengan sangat terpaksa, aku mengganti nomor ponsel untuk memutus kontak dengan mereka, dengan dunia luar.
"Mbak beli gula sekilo, minyak tanah dua liter, ya ... "
Aku tersadar dari lamunan, segara bangun dari kursi plastik dan mengalihkan pandangan dari cermin usang yang tergantung di tembok, untuk mengambil barang belanjaan pembeli. "Iya, Bu ... sebentar."
Setelahnya aku memberikan barang itu ke Mpok Ana, yang ada di meja kasir. "Ini Mpok, ada belanjaan." Aku menoleh ke arah sang pembeli sambil tersenyum, "bayar di sini, ya, Bu."
Salah satu alasan mengapa aku memilih cuti karena bisa punya waktu lebih banyak untuk mencari uang. Ya, setelah beberapa bulan di awal kehamilan aku mengabaikan kondisiku, dan bersikap sesukaku, kini aku menyadari jika mau tak mau, anak ini harus kujaga. Namun sayangnya, uang saku yang papa kirim tak bisa memenuhi biaya hidupku, ditambah dengan susu ibu hamil serta vitamin-vitamin yang bayi ini butuhkan. Belum lagi, aku harus menabung untuk biaya melahirkan nanti, yang tentu tak murah.
"La, lo nanti kalau pulang, ambil beras tuh, sama susu kaleng," kata Mpok Ana dengan logat Betawi yang kental.
"Kenapa, Mpok? Nggak usah, usah."
Wanita berdaster hijau bunga-bunga, dengan rambut dipasang roll, mendengkus. "Lo itu bunting, tapi badan kayak lidi. Kurus bener. Lo mau anak lo prematur?"
Aku langsung menggeleng dan mengelus-elus perutku. "Jangan doa yang jelek, dong, Mpok .... "
"Ya, makanye ... ambil tuh beras yang udah kantongan sama susu kaleng. Satu atau dua. Gratis deh, buat lo," tukasnya. "Gue kasihan sama lo. Laki lo ke mane, deh?"
Aku cuma meringis, sambil menggeleng.
"Nggak punya laki? Kalau enyak lo?"
Aku kembali menggeleng.
Terlihat Mpok Ana menarik napas. "Susah bener, ye, idup lo. Yang kuat ye lo."
Pukul sembilan malam, akhirnya jam kerja usai. Aku berjalan pulang menuju indekos yang tak terlalu jauh. Suara keroncongan dari perut menggelitik telinga.
"Sabar ya, Nak ... nanti kalau sampai rumah, langsung makan, ya .... "
Menginjak usia lima bulan, aku jadi cepat lapar. Aku selalu mengganjalnya dengan roti atau segelas susu di jam-jam menjelang tidur begini. Aku tersenyum kecil, melihat kantong plastik yang kutenteng. Meskipun galak, Mpok Ana adalah bos yang perhatian. Aku menemukan sosok seorang ibu di sana.
Kubuka pintu indekos berukuran 3x3 itu, lalu merebahkan badan di kasur. Menjaga toko sejak pagi sampai malam, cukup melelahkan. Aku memijat kaki bengkakku yang terasa pegal. Kalau malam begini, pikiranku suka liar melayang. Teringat mama di rumah, papa, dan adik. Setetes air mata bergulir di pipi ketika memikirkan bagaimana caranya jujur pada mereka.
"Maafin Lula, Ma ... Pa .... "
***
Kegamangan hatiku terus berlanjut. Ndaru pantas tahu bagaimana masa laluku, jika aku serius dengannya. Namun, aku tidak yakin dia bisa menerima itu. Sulit rasanya untuk jujur, di saat konsekuensi yang akan kudapat, sepertinya akan membuatku terpisah dengan Ndaru. Kalau bisa, aku ingin menjebak lelaki itu di sisiku lebih lama. Terdengar egois memang.
"Liv, kalau lo jadi Ndaru, lo bakal maafin gue nggak?"
Olivia yang berada di kursi kemudi, menoleh ke arahku sekilas, lalu kembali menatap lurus ke depan.
"Tergantung, sih, La. Kalau Ndaru beneran cinta sama lo, gue yakin dia bakal maafin lo," jawabnya, "dengan catatan, lo jujur, terus terang sama dia."
"Gue takut, Liv," cicitku memandang kemacetan yang membentang di sepanjang jalan.
Sore ini, aku sengaja mengajak Olivia mengunjungi makam Kalya, untuk mengobati kekalutan sejak semalam yang tak kunjung mereda. Sepulang dari sana, Olivia membawaku ke salah satu restauran Italia. Katanya, aku terlihat mengerikan, seperti zombie. Meskipun malas sekali kembali ke kantor, tapi aku harus mengambil mobil.
"Gini deh, La ... kalau lo emang mau punya partner hidup, pasangan, lo harus cari yang mau menerima masa lalu lo," tukas Olivia. "Dan, kalau lo serius sama Ndaru you owe him an explanation, a honesty about your past. Lo nunda-nunda kasih tahu dia tentang Kalya itu, sama aja lo buang waktu. Misal, lo jujur ke Ndarunya pas hubungan kalian udah serius banget, udah dua tahun jalan, dan ternyata amit-amit, Ndaru nggak terima itu apa nggak sayang waktu dua tahun dihabisin sama orang yang salah?"
Olivia menatapku lama dengan senyum lembut, saat mobil berhenti di lampu merah. Meskipun kadang kali menyebalkan, dia adalah seorang sahabat yang paling mengerti aku.
"Lebih baik, lo kasih tahu Ndaru sekarang, di awal hubungan. Biar jelas, hubungan ini worth it nggak. Kalau nggak, ya udah tinggal aja. Lo cari cowok lain."
Olivia mengucapakan kalimat barusan dengan santai, seolah-olah hal itu sesuatu yang mudah kulakukan. Meskipun aku menyadari betul, semua petuah yang keluar dari mulutnya, benar. Namun, diriku yang pengecut ini, malah semakin menciut. Jika lelaki sebaik Ndaru saja menolakku, tidak menerima masa laluku, siapa yang mau?
"Gue kayaknya cinta sama Ndaru, Liv ... gue takut kalau dia ninggalin gue." Aku menghela napas, dengan tatapan nanar sambil bersandar di jendela.
"Lo yakin Ndaru orang baik?" Aku mengangguk. Dia lelaki terbaik yang kukenal. "Ya, udah. Lo harus yakin kalau dia bakal terima lo. Kalau nggak, nanti dia berurusan sama gue."
"Kalau dia nolak gue pun, Liv ... gue nggak berhak marah. Iya, kan?" Aku tersenyum kecut.
***
Tanpa pamit ke orang kantor, aku langsung melajukan mobil menuju apartemen. Pikiranku berkecamuk tak jelas. Aku melirik ke arah ponsel yang berkedip. Kuambil benda persegi panjang itu, lalu menggeser layarnya, dan kemudian pesan Ndaru terpampang di sana.
From: Ndaru
Babe, kata Daniar kamu udah pulang. Ini aku nyusul ke apartemen ya? I have something nice for you.
(SEND PICTURE)
Foto akuarium mungil berbentuk balok yang terlihat menggemaskan itu tidak menarik untukku saat ini. Fakta Ndaru memegang key card apartemen, membuatnya dapat dengan mudah masuk ke sana, tanpaku. Dan, yang kupikirkan adalah bergegas ke apartemen, secepat mungkin sebelum lelaki itu, karena aku ingat betul belum mengunci kamar Kalya.
Aku mencoba menghubungi Ndaru, agar dia menunggu di suatu tempat, tapi tidak terhubung. Kenapa nomornya tidak aktif? Aku mengerang dalam hati. Kepanikan langsung menyelimutiku. Kemacetan ibukota semakin memperburuk suasana hatiku. Beberapa kali aku menekan klakson, meskipun tahu, hal itu tidak membantu sama sekali.
Jantungku berdentum semakin kencang saat mobil memasuki tempat parkir di basement. Aku langsung berlari menuju lift. Suara tapak kakiku memenuhi lorong yang sepi. Napasku terengah-engah. Jantungku seperti terhempas ke lantai, saat melihat sepasang sepatu Ndaru di rak. Aku meneriakkan namanya, tapi tidak terdengar sahutan.
Sosok lelaki itu tidak terlihat di ruang tamu dan kamar mandi. Hal itu seakan membenarkan kekhawatiranku. Aku langsung melangkah ke ujung apartemen, yang berdekatan dengan balkon---tempat kamar Kalya berada, tepat di depan ruang kerja dan mini library yang direnovasi---dan mendapati pintu putih itu sedikit terbuka. Aku mendorong pintu dengan keras dan menarik Ndaru yang berdiri di depan boks bayi, keluar dari sana. Dadaku naik turun, dengan mata membeliak lebar, menatap lelaki itu.
"Kamu nggak ada hak buat masuk ke kamar itu!" teriakku keras dan menghempaskan tangannya.
Ndaru mematung di tempat. Dia berkedip beberapa kali. Kebingungan terlihat jelas di matanya. "Apa maksud kamar itu, Lula?" tanyanya dengan suara lirih.
Aku memalingkan wajah. "Pergi! Aku pengin kamu pergi dari sini!"
***
Bersambung hahahaha🤣🤣🤣🤣🤣
Ketawa jahat 😈😈😈
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top