Chapter 7
hit the road.
verb.
phrase of hit: to start on a journey.
• Chapter 7 •
Hit The Road
Kedua mata Berlian terpejam.
Begini lagi.
Terjadi lagi.
Dan yang bisa ia lakukan hanya diam mendengarkan. Sama seperti sebelumnya. Selalu seperti itu.
Tanpa sadar, air mata mengalir membasahi pipinya.
Gadis berperawakan 169cm itu menghela napasnya panjang dan mengusap wajahnya secara kasar, lalu meraih earphone yang terletak di atas nakas dan menyambungkan ke ponsel miliknya. Tangannya bergerak untuk mencari lagu yang sekiranya dapat mengalihkan perhatiannya lalu ia selipkan earphone itu ke kedua telinga dengan volume ekstra keras.
Tapi sialannya, malah lagu Broken Home milik 5 Seconds of Summer lah yang terputar.
Berlian berdecak sebal dan cepat-cepat mencabut sambungan earphone dari ponselnya serta melemparnya jauh-jauh.
Apa-apaan sih ini?!
Maksud Berlian, kenapa bisa-bisanya lagu itu yang terputar dari beberapa ratus lagu lain yang berada di ponselnya? Berlian mengumpat dalam hati.
Baru saja ia hendak melempar ponselnya untuk mengikuti jejak earphonenya, kala tiba-tiba saja ponsel yang berada di genggamannya itu bergetar keras.
Ia membenarkan posisi duduknya sesaat dan bersandar pada kepala kasur sebelum melihat pesan yang masuk di ponselnya.
Daniel Adijaya
21:10 Udah tidur?
Mata Berlian mengerjap selama beberapa kali. Tak percaya dengan pengelihatannya sendiri. Ada apa Daniel mengiriminya pesan malam-malam seperti ini?
Walaupun sempat ragu pada awalnya, namun jemari Berlian segera bergerak untuk membalas pesan dari cowok itu. Bahkan ia tak sempat untuk berpikiran panjang seperti: membiarkan pesan Daniel selama beberapa saat dan membalasnya lima menit kemudian. Hanya sekedar untuk memberinya jarak waktu dan prasangka bahwa ia tidak menunggu Daniel untuk mengiriminya pesan.
Berlian Wen
21:11 Belum. Kenapa?
Kendati bereaksi demikian, hati Berlian tengah meloncat kegirangan.
Tidak perlu menunggu waktu lama sampai Daniel kembali membalas pesannya.
Daniel Adijaya
21:11 Gapapa, nanya aja.
21:12 Besok berangkat bareng, mau gak?
Sumpah demi Tuhan, walaupun sedang tidak berkaca, Berlian dapat merasakan seluruh aliran darah mengalir naik ke cupingnya bahkan sampai ke leher dan dapat dipastikan bahwa seluruh wajahnya tengah memerah saat ini.
Berkat Daniel, suara berisik di luar kamar Berlian bahkan sudah tak lagi terdengar. Perhatian Berlian sepenuhnya teralihkan.
Namun, cepat-cepat ia berusaha menyadarkan dirinya sendiri dengan menampar pipi selama beberapa kali dan menggeleng cepat.
Kenapa sih, Daniel terus menerus mengganggu hidupnya seperti ini?
Kalau terus begini, Berlian kan jadi tidak bisa tidur.
Tapi, cewek itu akhirnya memutuskan untuk membalas pesan Daniel. Hanya saja, ia memilih untuk pura-pura jual mahal agar tak terkesan terlalu gampangan walaupun hatinya sudah berdebar bukan main.
Berlian Wen
21:13 Berangkat bareng gimana?
Belum sampai semenit sejak Berlian menekan layar ponselnya untuk mengirim pesan, ponselnya sudah bergetar lagi. Kali ini diiringi suara yang lumayan keras tanda adanya panggilan masuk di sana.
Bola mata Berlian melebar begitu melihat nama 'Daniel Adijaya' tertera di sana.
"Aduh, gimana nih?" dumal Berlian, kelimpungan. "Angkat jangan?"
Tentu saja tidak ada yang menjawab pertanyaan itu. Berlian hanya sendiri di kamarnya.
Malah terkesan horror kalau tiba-tiba saja ada yang menjawab pertanyaan itu.
Biarpun sedikit gemetar, setelah menarik napas dalam-dalam dan menetralkan detak jantungnya yang sudah tidak karuan Berlian akhirnya menggerakkan jemari panjangnya itu untuk menjawab panggilan dari Daniel.
"Haloh?" sapa Berlian begitu mengangkat panggilan.
Alisnya langsung mengernyit begitu menyadari nada suara yang keluar dari kerongkongannya itu entah kenapa terkesan seperti sok imut, yang mana ia sadari sendiri bahwa itu menjijikan.
Kenapa kalau ada Daniel, tiba-tiba saja sikapnya itu berubah manis?
"Gue ganggu gak nih?" Suara berat Daniel terdengar dari seberang sana.
Apa-apaan sih? Kenapa tengah malam suara Daniel terdengar seksi begini?
Spontan Berlian menepuk jidatnya sendiri. Kok bisa-bisanya dia berpikiran seperti itu?!
"Ng—nggak kok," jawab Berlian ragu-ragu.
Daniel tertawa renyah. "Suara lo serak banget kayak orang abis nangis."
Ucapan Daniel barusan membuat kepala Berlian mendongak dan menelusuri kamarnya secara cepat. Tiba-tiba saja ia ketakutan kalau Daniel meletakkan kamera tersembunyi di kamarnya atau apa. Apa sejelas itu kalau dia baru saja menangis?
"Nggak!" balas Berlian cepat. "Sotoy!"
Sekali lagi Daniel tertawa, hanya saja kali ini lebih keras dari yang sebelumnya.
"Nah, gitu dong nge-gas."
"Orang nggak nangis juga!"
"Iya-iya-iya, nggak nangis kok, iyaaaa." Daniel mengalah.
Padahal dia tahu kalau Daniel tidak dapat melihatnya sekarang ini, tapi entah kenapa Berlian tetap cemberut dan menarik bantal yang biasa digunakan untuk kepala dan memeluknya.
"Kenapa nelpon?"
"Jadi gimana?" Daniel malah balik bertanya.
Alis Berlian bertautan jadi satu. "Gimana apanya?"
"Mau berangkat bareng gak besok?"
"Ah... itu."
"Iya," tegas Daniel. "Mau gak? Kalo gak mau—"
"Emang lo tau gue ada kelas jam berapa?" pungkas Berlian, memotong ucapan Daniel sebelum sempat diselesaikan.
"Nggak sih."
Berlian berdecak. "Kalo kelas kita beda jam gimana mau bareng."
"Ya gapapa."
"Gapapa gimana?"
"Kalo lo pagi, ya gue jemput pagi. Kalo lo siang, ya gue jemput siang."
Jantung Berlian berdebar kian keras. Sepertinya Daniel itu tukang modus kelas kakap. Bagaimana bisa cowok itu membuat jantungnya berdebar tak karuan hanya dengan berkata seperti itu? Berlian bahkan belum mengenalnya dengan pasti, tapi kenapa dia sudah dibuat seperti ini? Dalam hati, entah kenapa Berlian merasa sedikit takut. Takut kalau apa yang dilakukan Daniel semata hanya untuk menggodanya atau sekedar memberinya harapan palsu belaka.
Jadi, dengan susah payah Berlian menahan gejolak dalam dirinya dan berusaha memberi respon senormal mungkin.
"Masa gitu sih? Terus kelas lo gimana?"
"Besok gue libur, gak ada kelas."
"Terus lo ngapain ke kampus?"
"Nganterin lo lah."
Wah, Berlian tidak habis pikir dengan respon spontan super modus yang diberikan oleh Daniel. Bisa-bisanya cowok itu membalas pertanyaan Berlian sedemikian cepatnya dan tetap memberikannya serangan jantung ringan.
Berlian kehabisan kata-katanya.
"Mau nggak?" tanya Daniel sekali lagi.
"Nada lo kayak bukan minta persetujuan, lebih ke nyuruh kok ya."
Mendengar jawaban Berlian membuat Daniel tertawa sekali lagi.
"Ya emang gue gak menerima penolakan sih."
Bibir Berlian mengerucut. "Kalo gitu ngapain minta izin segala?"
"Masalahnya... gue gak tau rumah lo di mana."
Benar juga. Kalau lagi berdebar, Berlian jadi bodoh begini.
• • • • •
Setelah diberikan penjelasan akan alamat rumah oleh Berlian, Daniel memutuskan panggilannya begitu saja. Membuat Berlian dengki setengah mati. Tapi sejam setelahnya, cowok itu berkata bahwa ponselnya kehabisan baterai karena terlalu lama ia gunakan untuk bermain games.
Jadi, Berlian bisa bernapas lega setelahnya dan tidur dengan nyenyak sampai pagi.
Dan sekarang, di sini lah Berlian berada. Di dalam mobil sedan keluaran terbaru dengan jok berwarna cokelat terang yang Berlian yakini tidak mungkin merupakan bawaan sejak kali pertama dibeli. Sudah jelas beberapa bagian dari mobil ini telah dimodifikasi.
"Mobil lo bagus," komentar Berlian, memecah keheningan panjang yang sudah terasa sejak kali pertama ia melangkah masuk ke mobil ini.
Daniel manggut-manggut, namun matanya masih terus fokus ke jalanan di depan.
Berlian menoleh ke arah Daniel dan menatapnya ragu-ragu, berusaha membaca ekspresi di wajah cowok itu. Namun sayang, ia tak mendapati apa-apa selain wajah datarnya.
Apa-apaan sekarang ini? Apa Daniel tengah mengabaikannya?
"Susah ya nemuin rumah gue?" tanya Berlian, tiba-tiba merasa tidak enak. "Aturan gak usah dijemput. Repot kan."
"Apasih," kata Daniel. "Lebay."
Berlian tertohok.
"Ha?"
"Nggak susah. Kan ada maps. Yakali masih nyasar."
Tiba-tiba saja Berlian meragu. Ke mana sifat manis Daniel yang semalam? Ia takut, Daniel punya kelainan kepribadian.
"Iyasih." Dan hanya itu respon yang dapat Berlian berikan.
Daniel meliriknya sebentar, membuat Berlian yang ketahuan curi-curi pandang ke arahnya langsung menoleh ke arah jendela dan menatap jalanan di luar.
"Lo gak pinter basa-basi," papar Daniel, hampir saja membuat Berlian tersedak. Tapi beruntung, di mulutnya sedang tidak ada apa-apa.
Berlian merengut. "Ya abisan lo diem aja dari tadi."
Daniel tertawa. "Gue juga bingung mau ngomong apa soalnya."
"Ngomong apa kek, nanya-nanya kek." Berlian berdecih sebal.
"Nanya-nanya?"
Cepat-cepat cewek itu pun mengangguk. "Iya nanya-nanya apa kek. Makanan kesukaan, warna kesukaan, tipe—"
"Lo udah punya pacar belom?"
Astaga.
Jantung Berlian meronta-ronta lagi.
Lampu jalan menunjukkan warna merah dan Daniel pun menghentikan laju mobilnya. Lalu, ia menoleh menatap Berlian yang hanya diam tak menanggapi pertanyaannya. Mata cewek yang mengenakan kaos putih bergambarkan palm tree itu mengerjap selama beberapa kali dan pandangannya lurus ke depan, tak menoleh ke arah Daniel barang sedikitpun.
Daniel menghela napasnya panjang. Bakalan panjang kalau begini urusannya.
"Berlian?" panggil Daniel, menyentuh lengan Berlian mencoba menyadarkannya dari lamunan.
Berlian tersentak dan langsung menoleh. "Iya?"
"Lo udah punya pacar belom?" ulang Daniel.
"Emangnya kenapa lo nanya itu?"
"Ya gapapasih," kata Daniel, kembali mengalihkan pandangannya ke jalan di depan. "Cuman pengen ngajak lo mulai jalan baru aja."
Alis Berlian mengernyit. "Jalan baru gimana?"
"Bikin cerita hidup baru. Sama gue."
Apakah ada yang bisa memberikan Berlian napas buatan sekarang juga? Karena ia merasa tenggorokannya tiba-tiba saja tercekat dan sesak napas seperti orang yang terserang penyakit asma.
Tapi setelah dipikir-pikir, Berlian baru ingat kalau dia tidak punya penyakit asma.
• • • • •
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top