3. Pindah
"At least, we have each other"
" Selamat datang, nona. Ada yang bisa saya bantu?"
" Tidak perlu, terima kasih."
" Nona sudah makan? Kami merekomendasikan..."
" Aku belum lapar, bi."
" Bagaimana kamarnya? Apakah ada yang..."
" Kamarnya sempurna."
" Nona, tas anda."
" Tidak perlu, paman. Saya bisa membawanya sendiri."
" Tapi tuan menyuruh kami..."
Nala menghirup nafas dalam-dalam sebelum berbalik dan menatap keenam orang itu dengan tegas.
" Biar saya yang bicara dengannya. Paman dan bibi kembali ke lobi saja." Ucapnya tegas.
Tiga pria dan tiga wanita langsung membungkukkan badan dengan sopan. Mereka menunggu Nala menjauh sebelum menegapkan diri lagi. Nala cepat-cepat memasuki lift untuk menghindari berpasang mata yang mengamatinya ingin tahu, membuat Nala merasa risih.
Astaga! Nala bisa gila!
Nala keluar dari lift ketika ia mencapai lantai teratas, tempat dimana kamar dan ruangan eksklusif berada. Nala menghela nafas, kemudian menuju salah satu ruangan.
" Linda, Ian ada?" Tanya Nala pada sekretaris yang baru saja menegakkan diri itu.
" Ada, bu Nala. Silahkan masuk." Kata Linda dengan suaranya yang lembut. Nala tersenyum berterima kasih sebelum membuka pintu dan menutupnya kembali.
Di sana, di tengah ruangan, terdapat sebuah meja panjang berbahan kayu berukir dari Jepara. Seorang laki-laki berusia dua puluh empat tahun mendongakkan wajahnya dari majalah bisnis yang sedang ia baca.
Nala menghembuskan nafas keras sebelum menjatuhkan diri di sofa berwarna hijau muda yang terdapat di sisi lain ruangan. Ia memejamkan mata sehingga membuat laki-laki bermata biru jernih itu mengangkat alis.
" Bagaimana hari pertama mengajar? Kamu tidak membalas pesanku, Kana." Tanyanya dengan suara yang dalam. Ia meletakkan majalahnya di meja dan ikut duduk di sofa di hadapan gadis itu.
" Maaf. Banyak yang harus aku kerjakan hari ini. Tapi aku dapat sekolah yang cocok." Jawab Nala dengan senyum menyembang.
" Yah, aku lihat kamu menikmatinya. Jadi sepertinya aku tidak perlu berbuat sesuatu yang tidak berguna." Celetuk laki-laki itu.
Nala berdecak. " Ian, mau sampai kapan kamu mengurungku di sini? Aku bisa gila gara-gara kamu menyuruh semua pegawai di sini memperhatikanku."
Laki-laki yang dipanggil Ian mengerutkan kening, " Sampai kamu kembali ke Perancis, tentu saja!"
" Tapi Ian, rasanya aneh." Kata Nala tidak enak hati. " Aku...tinggal di apartemen saja, ya? Lagipula penthouse terlalu jauh dari sekolah tempatku mengajar."
Laki-laki itu mengeraskan pandangannya. " Tidak bisa! Papa menyuruhku menjagamu, Kana."
" Issss!! Aku kan masih di Indonesia! Dan aku pernah hidup di negara ini sendirian, kalau kamu lupa." Gerutu Nala bersedekap.
" Tidak lagi. Sekarang kan ada aku. Dan aku tidak mau kamu jauh dariku." Jawab laki-laki itu enteng.
" Ya! Fabian Halid!!" Seru Nala jengkel. Adik angkatnya ini benar-benar seorang yang posesif! Delapan tahun hidup bersama keluarga barunya membuat Nala jadi tahu seperti apa sebenarnya seorang Fabian Halid.
Fabian Halid. Direktur Utama Halid Corp sejak dua tahun lalu adalah seorang jenius gila yang sangat posesif terhadap makhluk bernama Kanala. Dia bisa menempatkan seratus pengawal dan mata-mata hanya untuk mengawal Nala pulang dari kampusnya. Nala menatap mata biru jernih itu dengan tatapan memelas.
" Ian...please, aku janji akan kirim kabar setiap hari, deh." Kata Nala memohon dengan sangat. Dia benar-benar tidak tahan dengan segala macam perhatian berlebih dari pegawai-pegawai hotel yang memperlakukannya bak putri raja. Ini tidak boleh, itu tidak boleh, dia bisa gila!
Sepasang mata biru itu menatapnya tajam. " Kenapa keras kepala sekali?"
" Karena sikapmu keterlaluan, Fabian. Aku datang ke Indonesia karena aku harus menangani cabang yang bermasalah, ditambah harus membuat jurnal itu, aku benar-benar harus bisa membagi waktu. Akan lebih cepat selesai jika setiap pagi aku tidak perlu terjebak macet! Aku tidak bisa meninggalkan papa terlalu lama, Ian." Ucap Nala memberi pengertian pada adiknya yang sangat menggemaskan, walaupun kini Fabian Halid tidak imut untuk dipeluk-peluk lagi. Tingginya seratus delapan puluh tujuh sentimeter dengan badan tegap dan kekar berkat olahraga rutinnya.
Pandangan tajam Fabian melunak. Ia menatap kakak perempuannya beberapa saat. " Aku yang memilihkan apartemen untukmu."
Nala membelalak. " No! Kamu cuma akan memilih apartemen Halid, kan?" Seru Nala ngeri membayangkan dirinya tinggal di salah satu apartemen mewah milik Halid. Atau dengan kata lain, masih di bawah pengawasan Fabian.
Pandangan Fabian berubah datar hingga Nala memutar bola mata.
" Apa salahnya? Banyak apartemen kita yang dekat dengan tempat kamu mengajar." Kata Fabian seolah tidak mengerti.
" Ya tapi kan..." Nala menghentikan racauannya saat ia menyadari sesuatu. Ia menyipit ke arah adiknya. " Seingatku aku belum memberitahumu tempatku mengajar." Bisiknya.
Fabian mengerjap, mendadak tertarik pada bangunan tinggi di luar jendela nun jauh di belakang Nala.
" Fabian!!" Seru Nala habis kesabaran.
" Farel yang memberitahuku, Kana. Meskipun tanganku gatal ingin menyuruh orang untuk mengikutimu, tapi aku masih menghormati permintaanmu." Celetuk Fabian tenang menghadapi kakaknya yang meledak-ledak.
Nala mendelik tidak percaya. Fabian berdecak.
" Tidak ada yang bisa menyembunyikan sesuatu dariku, Kana. Kamu kira bagaimana selama ini aku bekerja jika mengamati hal sepele saja tidak bisa?"
Nala mengerucutkan bibir, terpaksa setuju dengan kata-kata Fabian. Adiknya ini mewarisi sifat tenang dan awas dari Alexander Halid. Dia selalu bisa mengimbangi Nala yang meledak-ledak dan cenderung semaunya sendiri.
" Fine. Aku izinkan kamu tinggal di apartemen. Tapi aku yang mencarinya dan aku berjanji itu bukan apartemen milik kita. Puas?" Tawar Fabian tidak mampu melihat Nala cemberut lama-lama. Nala mengerjap, kemudian menatap Fabian.
" Oke. Tapi carikan aku apartemen yang biasa-biasa saja. Yang. Biasa. Saja. Ian!" Kata Nala menegaskan. Fabian mengangguk singkat.
" Iya. Aku carikan sesuai pesananmu." Kata Fabian dengan nada mengakhiri perdebatan tentang apartemen ini. Ia tahu kakaknya adalah orang yang keras kepala. Maka Fabian harus mengerahkan tenaga ekstra untuk tetap melindungi kakak tersayangnya itu.
" No bodyguard! No Spy!" Tukas Nala belum melepaskan wajah Fabian.
" Iya iya, Ma Cherie Kana." Kata Fabian dengan suara dalam yang menenangkan. Nala menatapnya lekat-lekat, kemudian memutuskan untuk mempercayainya. Lebih baik menurut pada Fabian daripada ia tidak diperbolehkan keluar dari pengawasan Halid di negeri ini.
" Ada dokumen untukmu. Jess baru saja mengirim padaku." Kata Fabian menyadarkan Nala. Nala melebarkan mata, kemudian senyumnya merekah.
" Dia mengirim kabar tentang La Belle Femme?" Tanya Nala cepat-cepat mendekati Fabian yang sudah kembali ke meja kerjanya dan menghadap laptop.
" Hmm. Sepertinya Jess sudah menyiapkan permintaanmu." Kata Fabian. " Bulan depan La Belle Femme siap membuka cabang di Indonesia."
" Tentu. Masih ada waktu sebelum aku kembali." Kata Kana lancar membuat Fabian mendongak.
" Jangan lupakan alasan kita kemari." Kata Fabian mengingatkan. Nala menarik satu ujung bibirnya dengan wajah masih menghadap layar.
" Jangan khawatir. Aku bisa mengatasinya."Kata Nala pasti. "Cukup aku saja."
" Kamu memang saudari yang menakjubkan, Kanala." Katanya berterima kasih.
" Selalu untukmu, Monsieur Fabian." Kata Nala membungkuk hormat dan tertawa.
**
Nala keluar dari mobil dan merapikan dirinya di kaca mobil sebelum beralih pada Farel.
" Farel, tolong carikan lima puluh pigura kaca ukuran 10R. Bulletproof. Paling lambat besok harus sudah ada. Bagaimana?" Tanya Nala pada Farel yang mengerutkan kening di samping pintu kemudi.
" Tentu, nona. Tapi untuk apa?" Kerutannya semakin dalam, " Mengapa harus bulletproof? Apa anda memerlukannya untuk latihan?"
Nala menggeleng, " Aku memerlukannya untuk mengajar. Sudah ya, aku masuk dulu. Semoga berhasil!" Pamit Nala ceria menepuk pelan bahu Farel yang masih memasang wajah tidak mengerti.
Nala tertawa pelan dan melangkah menuju sekolah tempatnya mengajar. Sejenak, gadis itu berdiri tepat sebelum gerbang masuk. Tidak mengindahkan beberapa anak yang mencuri pandang ingin tahu ke arahnya. Karena dia, yah...tidak memakai seragam formal seperti kebanyakan guru yang lain. Tapi toh Nala memang tidak punya dan tidak berniat membuatnya. Dia hanya pengisi waktu kosong.
Dari dulu, dia tidak terlalu menyukai sesuatu yang formal. Itu terlalu kaku, mengekang dan menghambat kreativitasnya.
" Permisi. Anda guru baru yang akan mengisi posisi guru Bahasa Inggris?"
Nala menoleh dan mendapati seorang guru wanita yang mengajaknya bicara. Nala tersenyum ramah dan mengangguk.
" Saya belum sempat memperkenalkan diri." Kata Nala sopan dan mengulurkan tangan, " Kanala, mohon bimbingannya."
Guru wanita dengan rambut lurus sepundak itu mengangkat salah satu sudut bibirnya yang berlipstik merah menyala. Ia membalas uluran tangan Nala dengan singkat, " Brigita. Juga guru bahasa Inggris di sini. Kalau boleh tahu anda lulusan pendidikan mana?"
Nala mengedipkan mata satu kali, kemudian menjawab, " Saya bukan lulusan pendidikan guru. Saya hanya kebetulan pernah berada di Inggris beberapa tahun."
Brigita, wanita yang lebih tua beberapa tahun dari Nala itu mengangkat alis, " Jadi itu sebabnya kepala sekolah menerima anda meskipun anda tidak masuk kualifikasi?"
Nala menatapnya sejenak, kemudian mengangguk. Brigita tersenyum yang lebih menyerupai seringai mengejek di depan Nala. " Oh iya saya lupa. Anda kan hanya guru pengganti. Sebetulnya saya juga bisa meng-handle Bahasa Inggris untuk kelas tiga, tapi kepala sekolah masih membutuhkan saya untuk membimbing kelas satu dan dua. Saya harap anda tidak kewalahan dengan kelas PE."
Sekali lagi, Nala hanya tersenyum sopan. Seringai mengejek itu semakin kentara. " Silahkan bertanya jika anda menemui kesulitan. Pasti agak sulit mengajar jika anda bukan lulusan pendidikan. Yah, dengan menyusun kurikulum dan sebagainya, itu bukan hal mudah."
Nala mengangguk, " Tentu saja. Terima kasih, bu Brigita."
Brigita mengangguk angkuh. " Kita bertemu di ruang guru, Bu Nala. Saya harus pergi ke kelas pertama saya."
Nala mengangguk mempersilahkan. Brigita melewatinya dengan dagu yang terangkat, membuat Nala mengangkat alis dan mengikuti Brigita yang menjauh dengan gaya berjalan seolah ia sedang berada di atas catwalk. Seragam coklat ketat dengan rok span selututnya mencetak jelas tubuh sintal itu, membuat Nala memalingkan wajahnya dan bergidik tanpa sadar.
PRANG!!
BRAKKKK!!
Nala baru saja mengambil satu langkah dari tempatnya berdiri ketika kini, sebuah kursi kayu terjatuh hanya satu langkah tepat di depannya diikuti serpihan kaca yang terjatuh deras seperti hujan.
Seketika itu juga, jeritan dari siswa-siswa di sekitarnya terdengar. Nala merentangkan tangannya ke belakang dan meraup siapapun yang bisa diraupnya untuk menghindari hujan kaca itu.
Kerumunan tercipta dalam waktu singkat. Nala dan yang lain menoleh ke atas, ke salah satu jendela kelas di lantai tiga yang terlihat berlobang besar sekali. Detik berikutnya, sesosok wajah berjambul muncul di sana, menyeringai ke bawah sembari mengusap ujung bibirnya sebelum berbalik dan menghilang dari pandangan.
" Raka ngamuk lagi!"
" Mati, itu kelas gue!"
" Dia pasti nyari si Andang tuh, Je. Kasus kemarin waktu tawuran sama sekolah belakang, ingat nggak?"
" Iya, si Andang sok-sokan bantu anak belakang. Ya udah salahnya sendiri bikin anak PE marah, eh!"
" Sekarang paham kan mengapa kelas PE tidak punya jendela." Nala menoleh dan mendapati kepala sekolah berdiri di sebelahnya entah sejak kapan. Beliau masih menatap ke atas. " Itu bukan tindakan deskriminatif, tapi preventif. Dari kelas satu, Raka sepertinya punya hobi melemparkan kursi ke jendela."
**
Ketika Nala masuk siang itu, sebuah mini konser langsung menyapanya.
Nala menutup pintu kelas yang tadinya dibiarkan terbuka dan berjalan ke meja guru dengan tenang. Ia duduk di sana, menautkan jemarinya di atas meja dan memandang ke depan dimana kelima meja kini telah disatukan dan keempat anak didiknya tengah asik berkaraoke di atas meja.
Keempatnya melirik Nala sambil lalu sebelum meneruskan berkaraoke. Nala menaikkan satu sudut bibirnya, menikmati dua anak laki-laki yang menciptakan melodi dengan dua anak perempuan bernyanyi tanpa ditahan-tahan.
Dua anak itu bernama Ali dan Gardan. Ali yang bermain gitar, si kurus jangkung mirip bambu dengan tiga tindik menghiasi telinga kanannya. Beberapa kali keluar masuk BP dengan hasil guru BP lelah berurusan dengannya lagi untuk kesekian ratus kali. Gardan yang menabuh meja dengan ujung penghapus whiteboard, adalah pemuda bertubuh besar yang proporsional dengan tingginya. Dia bisa dengan mudah menutupi lebar pintu kelas hanya dengan berdiri di sana.
Gaby, siswi dengan rambut bercat ungu yang saat ini melilitkan seragam putihnya di pinggang, meninggalkan kaus longgar berwarna ungu tengah menghayati nyanyiannya. Yang terakhir Kezia. Perempuan langsing yang melenggak-lenggokkan badan dan menyahuti suara Gaby yang tengah bernyanyi.
Nala mengamati keempatnya dalam diam, berpikir-pikir apa gerangan yang bisa ia lakukan pada mereka. Ia membiarkan saja setengah jam berlalu dengannya menikmati pertunjukkan anak-anak didiknya yang ajaib hingga pandangannya tertutupi oleh Raka yang lagi-lagi melompat ke atas meja dan berjongkok di sana.
Saat itu juga konser berhenti. Raka bersedekap dan menumpukan lengannya di atas lutut sembari menyeringai meskipun sudut bibir pemuda itu sedikit sobek. Keringat menetes dari pelipis dan rambutnya yang basah. Meskipun demikian, kilatan jahil tidak hilang di matanya.
" Seragammu mana?" Tanya Nala setelah mengatasi keterkejutannya dan menyadari Raka yang hanya mengenakan kaus putih polos berlengan pendek.
" Gue jemur." Katanya santai sebelum mencondongkan tubuhnya ke arah Nala, membuat Nala otomatis menarik mundur punggungnya hingga menabrak punggung kursi.
Raka terbahak, " Cewek cengeng kayak gini jadi wali kita? Pak kepsek mabuk, ya?"
" Biar aja udah. Paling besok juga dia mundur." Ucap Ali yang telah turun dari atas meja bersama yang lainnya. Mereka berempat duduk selonjor di bawah, beberapa mengipasi diri, beberapa meneguk minuman dari botol sembari sesekali melirik malas pada Nala tanpa berniat menyambanginya.
" Saya akan turun kalau jadi kamu." Kata Nala tenang. Namun Raka malah tertawa meremehkan.
" Gue pinginnya di sini, bu guru." Jawabnya sombong. Dengan enaknya Raka mengupil dan dioleskannya pada tepi meja guru.
" Oh...oke." Kata gadis itu sebelum mendorong Raka.
" SHITTT!!"
Seluruh anak menoleh dan berteriak saat tubuh Raka melayang ke belakang. Namun belum sampai Raka terjatuh, sebuah tangan menahan lengannya.
" Saya sudah peringatkan kamu. Meja ini mau saya pakai." Kata Nala. Raka terbelalak. Kedua tangannya refleks mengencangkan pegangannya pada lengan putih nan mulus yang saat ini menahan seluruh beban tubuhnya.
" Lepasin gue!" geram Raka dengan wajah memerah. Nala menurut dan melonggarkan pegangannya untuk membiarkan gravitasi mengambil alih tubuh Raka.
Sekali lagi, yang lain berteriak sebelum Nala mengeratkan kembali cengkramannya, membuat posisi Raka begitu mengerikan dengan condong sembilan puluh derajat di tepi meja dengan punggung lebih dulu.
" Kamu bisa loncat tadi. Kenapa sekarang bingung turunnya?" Tanya Nala menatap monyet di atas meja guru. Sedangkan Raka menatapnya dengan bola mata nyaris keluar dari rongga matanya.
Demi apapun, selama ini tidak pernah ada yang berani membalas tatapannya jika Raka sudah melakukan ini. Semua guru baru yang mengaku sebagai wali kelasnya itu selalu menghindar jika Raka sudah melompat ke meja mereka!
Namun kali ini, ia dipermalukan seorang guru di depan yang lain. Saat ini ia tahu, bahwa jalan satu-satunya untuk selamat dari gegar otak adalah sang guru menariknya hingga ia memperoleh keseimbangan kembali.
Tapi bukan Raka namanya jika ia menyerah pada keadaan. Dengan sengaja, ia melepas pegangannya hingga gadis itu terkejut. Dengan cepat, gadis itu meraup lengannya, namun ia justru tersenyum.
" Hmm, punya nyali juga kamu, eh?"
Raka mendengus. Tanpa buang waktu ia menarik sang guru ke belakang. Ia hampir limbung jika saja ia tidak menjadikan beban guru mungil itu sebagai tumpuan. Daya tariknya memaksa Nala memutari meja untuk mencegah Raka jatuh. Bagaimanapun juga, Nala adalah seorang guru. Raka menyeringai ketika kakinya menapak kembali. Sepertinya dia harus memberikan pelajaran pada tubuh mungil arogan ini. Dengan cepat ia meraih tangan mungil Nala dan memutarnya ke belakang.
Tapi dia kalah cepat.
Satu pekikan lolos dari mulutnya ketika merasakan bahunya sakit.
" Oh tidak boleh." Kata gadis itu tertawa di pundaknya. Ia menyapukan pandangan ke seluruh ruangan tempat keempat anak yang lain memandangi mereka dengan ngeri. Raka, si berandal sekolah memekik seperti banci!!
" Kamu kalah." Desis sang guru membuat Raka bergidik karena hembusan dingin di telinganya. Sang guru mengangkat alis sebelum melepaskan pergelangan tangan Raka yang ia tahan di belakang tubuh pemuda itu. Raka langsung menjauh sambil memijat bahunya dan menatapnya dengan nyalang.
Gadis itu hanya mengangkat bahu. Ia berbalik untuk kembali ke meja guru. Raka yang melihat sebuah kesempatan berlari ke arahnya dengan membabi buta. Ia menerjang, hanya untuk menabrak meja guru karena tubuh mungil itu berkelit gesit.
Nala terkekeh geli. " Menyerang dari belakang itu tindakan yang tidak terhormat, Raka." Jelasnya dengan suara lembut.
Guru itu menarik Raka berdiri, namun Raka menghempaskan tangannya meskipun itu menyebabkannya hilang keseimbangan dan malah terjatuh ke lantai. Nala tersenyum lebar. Ia membungkuk di depan Raka dengan menumpukan tangan pada lutut, balas menatap pemuda yang tengah menahan tubuhnya dengan siku itu.
" Butuh usaha lebih keras untuk mengalahkan saya." Kata Nala santai.
Saat itu, sebuah derap langkah kaki yang tergesa terdengar semakin dekat dan mengalihkan perhatian semua orang. Detik berikutnya wajah padam pak Hamdan, sang guru BP yang terkenal seram muncul di ambang pintu dengan selaksa murka.
" RAKA!! TURUNKAN SERAGAM KAMU DARI ATAP RUANG GURU!!"
Raka mengerjap tanpa rasa bersalah di wajahnya. Pemuda itu justru memiringkan tubuhnya ke arah pak Hamdan dan menumpukan kepala pada siku, kemudian menggeliutkan badannya seperti cacing kepanasan dengan seringai menggoda. Nala menegakkan diri dan mengangkat alis, takjub dengan kelakuan cowok satu ini.
" Tapi pak, seragam saya apek kena keringet habis lari keliling lapangan. Disana sebentar lagi pasti kering, kok. Mending bapak ikut cara saya, biar itu ketiak nggak bikin anak-anak pingsan kalau papasan sama bapak di koridor!"
Pak Hamdan terbelalak. Kemarahannya udah di ubun-ubun saat Gardan menyerobot.
" Salah Ka. Yang perlu dijemur itu pak Hamdan, bukan bajunya, bego!" Sahut Gardan.
" Duh jangan!" Seru Kezia dengan wajah cemasnya. Nala menoleh ke arahnya.
Apa Kezia adalah murid terwaras di antara lima sableng ini?
Kezia menatap kasihan pada pak Hamdan. Dengan suara selembut peri, ia meneruskan, " Nanti atapnya jebol kita nggak bisa jemur baju lagi."
*TBC*
Happy Tuesday. Hope you enjoy it ^^
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top