19. Ending : One year later

Sepoian angin kecil bertiup diantara awan awan, tanpa sengaja ia membuat sehelai daun lepas dari tangkainya. Terombang ambing tanpa mau jatuh ke bumi. Tetap membiarkan dirinya dipermainakan udara menuju tempat lain yang tak pernah ia kunjungi sebelumnya. Hingga akhirnya terhenti di atas sebuah pagar taman bermain yang sepi.

"Happy Anniversary!"seru Azhalea sambil memamerkan sebuah hadiah yang berukuran cukup besar ditangannya.

"Wooaahh"William berseru girang
"Aku juga punya sesuatu untukmu"kata sambil memamerkan liontin bunga Azhalea.

"Cantik sekali"

William membuka kaitan kalung itu dan memakaikannya untuk menghiasi leher gadis yang tak kunjung berhenti tersenyum sejak awal mereka tiba di taman itu. Baru saja Azhalea berpaling ke arah William untuk menunjukkan betapa berkilaunya ia dengan kalung itu, tiba tiba William mengernyitkan kening, teringat sesuatu.
"Oh ya, aku ada janji dengan Mrs.Vania siang ini"

"Mrs.Vania? Sudah lama kita tidak bertemu dengannya semenjak naik kelas"

"Iya, lama sekali dan sekarang kita hampir lulus"

"memangnya ada apa?"

"Aku juga tidak tau"

"Hanya kau sendiri?"

"Kurasa begitu"

"Baiklah," Azhalea tersenyum dan mengambil kembali hadiah yang belum dibuka itu dari tangan William.
"Pergi kesana dulu lalu baru kita makan ice cream dan buka hadiahnya"

"Oke putri tidur"kata William seraya menunduk seakan memberi hormat.

Mereka berjalan bersama menuju kafe yang letaknya tak jauh dari taman itu. Keduanya tersenyum saat memperhatikan Mrs.Vania yang sudah menunggu didalam. William mengangguk, seakan memberi isyarat mengajak Azhalea masuk ke dalam. Tapi gadis itu menahan tangannya dan menggeleng pelan.

"Kau tidak mau ikut?"

"Aku tunggu diluar saja"Azhalea menempati kursi panjang didepan kafe dengan payung lebar warna warni.
"Didalam terlalu ramai"

William menurut dan melanjutkan kakinya memasuki kafe itu. Tak ingin membuat sang guru menunggu terlalu lama.

"Good Evening Mrs"

"Hallo Will" Mrs.Vania meletakkan secangkir Macchiato yang sedari tadi menemaninya menunggu.
"Thanks for your comes"

"no problem, i so ...tersanjung"

Mrs.Vania tertawa kecil mendengar guyonan William, tapi tetap mengangguk dan memuji.
"Bahasa inggrismu meningkat ya"

"Itu berkat anda"

"Dan kerja kerasmu juga"Mrs.Vania menghembuskan nafas pelan, dipandanginya wajah pria muda yang sudah beranjak dewasa didepannya itu, seakan mengembalikan waktu ke masa dimana ia melihat wajah seorang siswa berandal yang dulu begitu buruk dengan penampilannya yang kacau. Kini malah duduk di depannya dengan sopan dan dandanan rapi dari rambut hingga ujung kaki.
"Aku hanya ingin mengembalikan ini"Mrs.Vania menyodorkan sebuah Sketboard yang berada didalam paper bag.

William terpaku pada Sketboard lamanya yang ternyata masih disimpan Mrs.Vania sampai saat ini.

"Anda masih menyimpannya?"tanyanya tak percaya

"Sebentar lagi kau lulus, aku khawatir kalau tidak bertemu denganmu lagi dan malah tidak mengembalikan Sketboard ini"

"Sebenarnya anda tidak perlu repot-repot. Tapi terima kasih, ini kenangan yang sangat berharga"

Azhalea menengok spontan saat bunyi bel dari pintu itu terdengar ditelinganya. Mrs.Vania keluar dan menyapanya saat mereka bertatap muka, Azhalea tersenyum seiring wanita itu pergi dari hadapannya. William datang menghampirinya tak lama kemudian, saat Mrs.Vania mulai hilang dikelokan jalan.

"Bagaimana?"tanya Azhalea

"Taraaa"William memperlihatkan senyum sumringah seraya memperlihatkan sketboard lamanya.
"Mrs.Vania mengembalikan ini"

"Sketboard-mu?"

"Iya"

Azhalea cemberut.
"Lalu ini untuk apa?"katanya sambil membuka bungkusan kado yang ternyata adalah sketboard juga.

William tertawa melihatnya.
"Tidak usah khawatir" pria itu meraih sketboard dari tangan Azhalea dan miliknya berdampingan.

"Apa?"tanya Azhalea tak mengerti

"Mau naik sketboard bersamaku?"

"Hei? Apa maksudmu? Aku tidak bisa"

"Ayolah ini mudah Azhalea"bujuk William seraya menaik turunkan alisnya.

"bagaimana jika aku jatuh?"

"Jatuh cinta padaku?"

Azhalea tertawa kecil mendengar guyonan William.
"Kau ini"

Azhalea mencoba naik, awalnya memang sedikit sulit. Namun berkat William yang dengan telaten mengajarinya, gadis itu sekarang telah bisa berdiri dengan benar diatas sketboard itu.

"Kau berbakat"puji William.

Azhalea mengibaskan rambutnya kebelakang dengan tangan kirinya yang bebas.
"Tentu saja"

Mereka melewati jembatan di antara orang orang yang berjalan kaki dan beberapa mobil yang berlalu lalang. Menaiki sketboard dengan tetap bergenggaman tangan dan dihiasi suara tawa ceria.

Angin kembali berhembus, membuat daun yang tadi tersangkut di atas pagar taman itu kembali terbang. Melewati gedung gedung pencakar langit yang membuatnya terlihat seperti sebuah debu kecil jika bersanding dengan mereka. Daun itu terbang rendah hampir menyentuh trotoar sepi hingga kembali dibuat melayang oleh angin yang berhembus dari laju bus. Berkejar kejaran dengan alat transportasi umum itu hingga tiba disebuah sekolah. Gedung bertingkat itu tampak berdiri anggun diterpa sinar matahari. Di atas gerbang putih itu tertera beberapa huruf yang menyusun kata 'Decides Spem Internasional School'.

"Kapan?"tanya Adelwis dengan tatapan kosong. Menandang jauh ke depan sana.

Gio masih menatap lekat gadis itu yang seakan kehilangan cemerlang cahaya matanya saat ia mengatakan rencananya untuk melanjutkan studi ke Oxford.
"Segera setelah kita mengadakan upacara kelulusan"

"Aku tidak bersedia kau tinggalkan"

"Tapi aku harus, Adelwis..."

"Kau puncak Alpenku"gumam Adelwis

"Maaf..."

Gio kembali diam, keadaan hening. Kecamuk dihatinya tergambar jelas dikedua mata itu. Daun itu juga masih berdiam diri disana, seakan menanti apa yang akan terjadi selanjutnya.

"Baiklah, aku mengerti"Adelwis melangkahkan kakinya beranjak dari sisi pria itu. Namun, dengan cepat Gio meraih tangannya dan mendekapnya hangat.

"Maaf, aku tidak akan meninggalkanmu"

"Lalu?"

"Kupikir aku punya rencana yang lebih bagus" Gio tersenyum, membuang semua ekspresi sendu dari wajahnya seketika.
"Aku akan kuliah disini bersamamu, menikah, setelah itu baru melanjutkan S2 di London bersama istriku, begitu jauh lebih mudah bukan?"

"Menikah dengan siapa?"

"Entahlan aku masih bingung"jawabnya seraya melihat kearah daun itu seakan mencoba berfikir.
"Menurutmu bagaimana kalau dengan Pevita pearch? Atau Raline Shah?"

Adelwis mengernyitkan keningnya dan memasang wajah cemberut.
"Kau menyebalakan"

"Habisnya kau menanyakan sesuatu yang kau sudah tau sendiri jawabnnya"

"Aku tidak tau jawabannya"elak Adelwis.

"Benarkah?"

"Iya"

"Mau kuberi tahu?"

"Siapa?"

Gio terdiam sejenak, tangannya meraih wajah gadis didepannya dengan lembut dan berkata lirih.
"Anaphalis Javanica"

Dua kata itu, nama lain dari bunga Edelweiss yang sukses membuat Adelwis bersemu.

Daun kembali tertiup angin ke arah seorang pria yang hanya terdiam sedari tadi. Ikut menyaksikan Gio dan Adelwis yang tengah menikmati kebersamaan mereka dari balik pohon. Pria itu menunduk untuk memungut daun yang baru saja jatuh itu. Ia menengok saat merasakan sentakan lembut dikepalanya. Sebuah topi menutup hampir separuh wajahnya. Junior mengangkat sedikit topi itu dan melihat Queena yang mengenakan topi bertuliskan JR.

"Kau menangis?"

"Seorang laki laki tak pernah menagis"kata Junior seraya melepas topi yang tadi dipakaikan Queena. Dilihatnya topi baru itu yang rupanya bertuliskan Qwn.

"Tapi wajahmu tampak suram" Queea kembali berjinjit, memakaikan topi itu persis seperti yang dulu dipakaikan Junior saat ia menangis.
"Jadi pakai saja ini"

"Terima kasih"

"Kenapa kau menyerah begitu saja?"

"Apa?"

Queena mengamati Adelwis dan Gio yang mulai berjalan beriringan meninggalkan lapangan sekolah.
"Kau suka pada Adelwis kan?"

Hening menguasai keduanya. Junior lebih memilih menatap daun yang berada digenggamannya.
"Aku tidak menyerah, hanya berusaha mengendalikan perasaanku"

"Sama saja"

"Cinta itu harus memiliki, jika tidak bisa maka lupakan dia... jangan berlarut larut dalam cinta pada seseorang yang tak bisa kau miliki"Junior tersenyum.
"Lagipula, setangguh apapun aku menjadi pendaki yang begitu menginginkannnya... ia tetap akan setia pada sang Alpen"

"Kau benar, kuharap kau mendapatkan bunga yang lebih indah"kata Queena sembari mengerlingkan mata lentiknya.

"Ya, mungkin aku akan segera mendapatkan ratuku"

Queena tersenyum, diliriknya stoples yang tadi ia letakkan di keranjang sepeda merah jambunya tak jauh dari tempat mereka berdiri sekarang. Stoples yang berisi setangkai bunga aster dengan satu kelopak yang hampir layu.

Junior terkejut saat angin merebut daun itu dari kuasanya. Namun, tarikan tangan Queena yang mengajaknya untuk memasuki sekolah membuatnya melupakan perihal daun itu. Mereka tertawa bersama diiringi langkah kaki yang menggema dilorong sekolah.

Daun kembali melayang dipermainkan angin. Kali ini, ia menjelajah lebih jauh ketempat yang menyimpan sebuah kenangan bagi seseorang.

Abraham menarik nafas dalam dalam. Aroma bunga Amarilis menyeruak dalam indra penciumannya. Sejak beberapa waktu lalu ia sering datang ketempat ini jika sedang rindu. Setiap tiba musim hujan tepat dibulan ulang tahun gadis pujaannya. Bunga Amarilis bermekaran ditaman itu. Tak hanya menyebarkan aroma kenangan tapi juga harapan semu bahwa ia dapat merasakan keberadaan gadisnya.

Sehelai daun itu jatuh dipelukan kelopak Amarilis. Nampaknya ia telah lelah mengarungi angkasa dan lebih memilih menghabiskan sisa wakatunya ditengah harumnya bebunganan itu. Di depan Abraham yang masih bisu. Tepat saat ia membuka mata, bayangan itu muncul lagi. Seorang gadis manis yang tengah membelai lembut wajahnya dengan gaun putih yang berkilau.

Abraham menatapnya dengan nafas tercekat. Ia mencoba merengkuh gadis itu kedalam pelukannya namun, yang ia rasakan hanya udara hampa. Abraham tersenyum getir.

Maaf karena aku tak bisa menjanjikan kisah kita akan berakhir bahagia... karena yang ingin kuberikan, adalah cinta yang tak pernah punya akhir.

Diantara heningnya kala itu, ia dengar sang gadis bersenandung pelan.

~~~Selesai~~~

A/N

Hufftt, mari sama sama menghembuskan nafas lega atas selesainyanya cerita abal abal ini. Bertepatan dengan berkahirnya kisah Adelwis dkk, aku ingin mengucapkan banyak banyak terima kasih pada reader yang telah membaca sampai sejauh ini, makasih buat vote-nya, komen-nya, dan silent rider yang cuma nambah mata doang😅😅😆😆, ataupun kalian yang cuma baca tanpa kuota. Kalian semua yang terbaik. I so proud of you all.

Dipublish : 29 September 2016

Selesai : 16 Desember 2017

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top