Bab 15
------------------------<<>>--------------------------
Gita tertawa melihat kerumunan yang tampak menjatuhkan harapan di sebuket bunga. Sakti tersenyum melihat tawa Gita. Perempuan berambut panjang itu tampak bahagia. Tawanya terdengar lepas. Tanpa sadar Sakti teringat dengan janjinya tiga bulan silam.
Pernikahan yang ditawarkan untuk Gita bukanlah pernikahan yang seluruhnya penuh kebahagiaan. Melainkan pernikahan dimana Sakti akan terus berada di sisinya sebagai teman hidupnya.
-------------------------<<>>---------------------------
"Kenapa lama di kamar mandi?" tanya Sakti pada Gita yang baru keluar dari kamar mandi. Sekilas Sakti menghela napas lega melihat pakaian yang dikenakan oleh Gita. Sebuah pakaian sejenis daster tapi berbahan katun rayon dengan warna mustard. Sebelumnya ia sudah merasa waswas, Gita akan mengenakan ...
Shit. Dasar teman-teman racun, rutuknya mengingat bagaimana teman-temannya mengompori malam pertamanya.
Gita terdiam tak menjawab. Harapannya agar kamar ini kosong pupus sudah.
"Malam ini kita tidur sekamar?" tanya Gita hati-hati.
Sakti yang baru saja melepas rompi menatap Gita lama. "Iya, ada masalah?"
Mendengar jawaban dari Sakti membuat Gita hanya menundukkan kepala. Sementara Sakti yang melihat istrinya justru tak menjawab hanya menghela napas.
"Saya mandi dulu. Setelah itu kita perlu ngobrol. "
Saat Sakti masuk ke kamar mandi, Gita mendesah lega. Perempuan itu akirnya memilih duduk di sofa. Ia memperhatikan ranjang dengan hati yang tercubit.
Matanya nanar melihat kecantikan ranjang di depannya. Ranjang ukuran queen dengan sprei putih. Di atasnya bertaburan kelopak mawar yang membentuk hati dan tulisan happy honeymoon. Tidak ketinggalan dua handuk putih yang sudah dibentuk menjadi dua angsa yang saling berciuman.
Seketika Gita merasakan dadanya sesak. Gegas ia membuka jendela dan berdiri di balkon.
Gue butuh udara segar. Tarik napas. Lepas. Tarik napas. Lepas. Tarik napas. Lepas.
Ia beruntung sempat memasukkan pakaian ini ke dalam koper bepergiannya. Sissy yang kemarin bertugas merapikan pakaian rupanya sudah berniat mengerjai Gita. Hampir setengah dari kopernya berisi lingerie beraneka bentuk dan warna. Dan daster katun yang ia kenakan sekarang adalah satu-satunya pakaian yang aman dikenakan untuk dipakai tidur. Dengan panjangnya yang menyentuh pertengahan betis, Gita merasa yakin tidak ada yang perlu dikhawatirkan.
Ketenangan yang berhasil dibangun oelh Gita buyar saat Sakti bertanya, "Kamu ngapain di luar sana?"
Gita membalikkan badan dan tersenyum canggung. "Eh, nggak apa-apa, Cuma lagi nyari angin aja."
Sakti terkekeh sambil menyugar rambut basahnya dengan handuk. Pemandangan yang membuat Gita segera menundukkan wajah. Ia seketika terdiam di tempatnya, mengurungkan niatnya untuk melangkah masuk.
"Ayo masuk! Kita perlu bicara." ajak Sakti.
Masih dengan menundukkan kepala, Gita melangkah masuk perlahan. Ia dengan ragu memilih duduk di ujung ranjang.
"Kamu kayaknya takut?" tebak Sakti melihat tingkah Gita.
"Eh." Pernyataan Sakti membuat Gita mendongak. "Bukan kok. Cuma—"
Kalimatnya tertahan dengan gerakan Sakti yang merentangkan telapak tangan di depannya.
"Nggak apa-apa. Kamu nggak perlu jawab. Tapi selagi Cuma kita berdua di kamar ini, nggak ada salahnya kita omongin masa depan pernikahan ini. Saya tahu saya udah bilang, kalo saya mau kita jalani pernikahan ini seperti kita berteman. Tapi mungkin ada yang perlu kita bahas. Skinship misalnya."
Sakti memperhatikan Gita yang mulai menegang mendengar kata skinship.
"Gita. Saya mungkin orang baru dalam kehidupan kamu. Tapi sejak kita bertemu pertama kali, tingkah kamu yang begitu menghindari skinship terekam jelas dalam memory saya."
Tanpa menunggu tanggapan dari istrinya, Sakti melanjutkan," Jadi saya berasumsi, kalo kamu sangat menghindari sentuhan fisik. Terutama laki-laki."
"Maaf, Mas. Bukan bermaksud menutupi tapi—"
"Kamu nggak perlu jelasin apa-apa,Git. Apa yang saya bicarain sekarang supaya nantinya kita bisa sama-sama mengantisipasi keadaan. Jangan sampai orang lain bertanya-tanya tentang tingkah kamu yang kadang luwes, " kata Sakti sambil memberikan gestur tanda kutip dengan dua jarinya pada kata luwes.
"Bagaimanapun sentuhan fisik itu sebenarnya wajar untuk pasangan yang sudah menikah. Jadi sedari awal saya minta maaf, kalo sewaktu-waktu saya menyentuh kamu tanpa aba-aba."
Gita terkesiap ketika Sakti menyebut kata menyentuh.
"Eh, bukan menyentuh yang itu." Laki-laki itu menggaruk kepalanya yang tidak gatal, canggung.
Gita sama sekali tidak membalas
"Abaikan aja. Intinya, kalau kita lagi ada di tengah-tengah keluarga, kerabat, atau teman. Saya mungkin akan menggenggam tangan kamu. Saya akan memeluk kamu. Saya akan menautkan jari- jari saya di jemari kamu. Intinya sentuhan fisik sebatas itu."
Mendengar penjelasan Sakti, mau tidak mau Gita menganggukkan kepala. Ia menilai apa yang diucapkan oleh Sakti sangat masuk akal. Apalagi sentuhan yang dimaksud oleh Sakti tidak berlebihan.
"Lalu mengenai malam ini." Sakti dapat melihat ekspresi raut wajah Gita yang kembali menegang. "Ini sebenarnya sudah termasuk paket dari villanya. Mereka bilang ini bonus sekaligus hadiah. Jadi ... "
"Aku tidur di sofa aj," kata Gita cepat. Ia segera mengenyahkan pikirannya tentang dia dan Sakti tidur satu ranjang.
Tanpa berkata-kata, Sakti mendekati ranjang membuat Gita tampak mengkeret di tempatnya. Perempuan itu mulai bernapas dengan cepat. Ia semakin mencengkeram erat ujung ranjang.
Sementara itu, Sakti berjalan terus sampai ke kepala ranjang. Laki-laki itu mengambil dua bantal dan membawanya ke sofa.
"Saya yang tidur di sofa. Kamu tidur aja di atas ranjang."
Gita segera mendongak. Ia menatap Sakti yang sedang mengatur letak bantal di sofa.
"Mas Sakti serius?" tanya Gita hati-hati. Ia merasa bersalah terutama ketika laki-lakai yang berstatus suamiya itu masih membelakanginya.
"Apanya?" Sakti balik bertanya setelah terdiam cukup lama.
"Mas Sakti serius tidur di sofa?"
Sakti membalikkan badan. "Kenapa? Kamu mau saya tidur di ranjangyang sama dengan kamu?"
Seketika Gita menggeleng. "Bukan gitu, tapi kita kan—"
"Saya tahu, Git. Kalau-kalau kamu lupa, usia saya tiga tahun di atas usia kamu. Saya paham status kita sekarang adalah suami istri. Saya paham dengan anggapan kebanyakan orang tentang malam pertama. Saya juga nggak bohong, bahwa itu termasuk dalam kewas-wasan saya selama satu bulan ini." Sakti menarik napas pelan. "Tetapi untuk urusan hubungan badan, saya nggak bisa. Belum bisa tepatnya."
Sakti segera berbaring di sofa setelah mengucapkan kalimat itu. Sementara Gita masih terduduk di tempatnya. Ia menatap Sakti penuh haru. Kemudian barulah ia naik ke ranjang. Dua handuk angsa yang cantik ia pindahkan ke sisi kanan. Kelopak-kelopak mawar yang semula tersusun rapi akhirnya berantakan ketika perempuan itu beringsut ke arah bantal.
Gita menggeraikan rambutnya. Ia mulai menarik selimuthingga ke dada. Sambil bersedekap perempuan itu menatap langit-langit kamar. Dengan bantuan bernapas pelan, Gita mulai memejamkan mata. Sudah saatnya beristirahat. Ia sudah cukup lelah melalui hari yang cukup panjang. Alam bawah sadarnya perlahan mulai membawanya ke satu kenangan yang paling ingin dihindarinya. Air mata pun mengalir.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top