Kyuu

"Kau mencari pasien dengan nama Ikemoto Erika? Maaf, dia sedang tidak ingin dijenguk siapa pun. Terutama ...."

"Terutama siapa?"

"Boleh saya tahu nama Anda?"

"Ishida Mitsuki."

"Maaf, pasien sedang tidak ingin dijenguk oleh siapa pun. Terutama Anda."

*

Percakapanku dengan salah satu petugas di rumah sakit masih saja terngiang-ngiang. Dia kelihatannya serius sekali. Aku bahkan ragu jika dia berbohong.

Tapi, mengapa Erika tidak mau menemuiku, lagi. Apa dia sadar jika setelah semua yang aku lakukan selama ini menunjukkan jika aku bukanlah 'teman' baginya? Atau, apa dia tidak mau memaafkanku lagi karena selama ini tidak terlalu menunjukkan sikap sebagai 'teman'? Atau, aku memang tidak pantas bersamanya, lagi.

Aku bangkit dari tempat tidur. Membuka jendela kamar lebar-lebar. Jendela yang tepat menghadap ke arah jendela rumah Erika yang sekarang sedang tidak ada orang karena Akira sudah pasti diam di rumah sakit menjaga adiknya.

Erika, apa kau serius tidak mau memaafkanku? Jika 'ya', apa yang harus kulakukan? Melupakanmu terasa benar-benar mustahil. Seperti yang kukatakan pada festival musim panas, terlalu sulit bagiku untuk melupakan semua kenangan itu.

Di jendela ini, masih saja terbayang di mataku percakapan singkatku setiap malam dengan Erika. Masih teringat saat dia mencoba untuk melempariku dengan vas bunga, meneriakiku 'hentai' dari seberang sana. Jika aku memang harus melupakan kenangan itu, bagaimana caranya?

Bingkai foto yang masih berdiri tegak di atas mejaku menjadi bukti jika terlalu banyak kenangan indah untuk dilenyapkan. Bahkan saat dikejar anjing pun seperti berubah menjadi sebuah kesenangan. Terlalu sulit membayangkan jika aku harus berpisah selamanya dari Erika dengan kenangan indah yang tentu saja akan berubah menjadi menyakitkan untuk diingat kembali.

Mitsuki, kau terlalu egois. Bahkan saat Erika menderita pun, kau masih memikirkan dirimu sendiri. Pantas saja Erika tidak ingin melihatmu lagi. Pantas saja Akira menyuruhmu untuk menjauhinya. Pantas saja semua ini terjadi.

Tidak ada siapa pun yang bisa disalahkan selain aku. Akulah penyebab semuanya. Jika saja aku lebih perhatian, mungkin Erika tidak perlu mengalami semua ini. Jika saja aku tidak bersikap sok-dewasa dihapannya, mungkin dia bisa jauh lebih bahagia. Akira benar, jika aku hanya diam saja, apa gunanya aku menjadi 'teman'.

Ah, Mitsuki. Setelah mencoba untuk mencari tahu lebih banyak tentang kondisi yang dialami Erika saat ini lewat internet, kau seharusnya sadar jika kau telah membuatnya dalam kondisi yang sangat parah. Sama saja kau telah beruasaha untuk membunuhnya. Kau benar-benar tidak pantas untuk disebut 'teman'.

Pengkhianat ... tidak akan mempunyai tempat. Tidak ada balasan yang setimpal bagi seorang pembunuh kecuali kehilangan nyawa. Dan tidak ada balasan yang lebih adil dari rasa sakit, selain rasa sakit yang sebanding.

Ahh … mengapa semuanya tiba-tiba berubah menjadi seperti ini? Hidupku yang semula seindah musim semi, mengapa berubah begitu kelam seperti malam yang tanpa akhir. Benar-benar sakit.

Apa yang harus kulakukan? Mengalihkan rasa sakitnya? Iya, mungkin itu akan membuatku merasa lebih baik. Sedikit sayatan pisau pasti bisa mengalihkan perhatianku dari rasa sakit yang aku tidak tahu darimana asalnya ini.

"Tidak perlu takut, Mitsuki. Ini tidak akan sakit," ucapku pada diriku sendiri. Tanpa ragu, aku mendekatkan ujung cutter itu menuju pergelangan tanganku. Tanpa menunggu lebih lama, aku semakin mendekatkan ujungnya hingga tertempel. Sekarang hanya tinggal menyayatnya. "Tidak usah takut, Mitsuki," ucapku lagi.

"Onii-chan." Suara itu tiba-tiba membuatku terperanjat. Ternyata yang memanggilku adalah Kaitou yang entah sejak kapan berdiri di bawah bingkai pintu kamar yang lupa kututup. Aku segera menyembunyikan cutter itu agar tidak dia temukan.

"Onii-chan, boleh aku pinjam cutter?" tanyanya. Aku tersentak. Mengapa dia tiba-tiba meminjamnya?

"Untuk apa?" aku bertanya balik. Menyembunyikan cutter itu di bawah selimut.

"Aku sedang mengerjakan PR musim panas. Tapi pensilku patah. Rautan pensilku hilang. Karena itu aku pinjam cutter," terangnya. Aku menatap datar, ternyata untuk itu ya. Tapi, syukurlah bukan untuk hal yang bukan-bukan.

"Ini, tapi hati-hati ya," ucapku sambil memberikan cutter yang hampir saja kugunakan untuk melukai diri.

Astaga, Mitsuki. Kau bodoh sekali. Tuhan pasti sengaja membuat Kaitou datang untuk meminjamnya agar aku tidak jadi melakukan aksi gila itu. Jika pendarahan itu tidak bisa dihentikan, maka sama saja aku dengan bunuh diri.

Gunakan akal sehatmu, Mitsuki. Ingat jika keluargamu sangat membenci orang yang memilih untuk melakuka bunuh diri. Jangan hanya karena kau tenggelam dalam kesedihan lantas sel saraf otakmu tidak berfungsi.

"Erika mungkin tidak ingin bertemu dengaku hari ini. Tapi besok, mungkin saja dia sudah berubah pikiran," batinku mencoba untuk optimis, walaupun rasanya itu terlalu mustahil.

*

Jangan lupa vote dan comment ya 😊.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top