In Love with CEO 17 - Menghabiskan Malam Bersama

Mysha menahan napas ketika Axel menyentuh garis wajahnya, berusaha menenangkan jantung yang sudah melompat liar. Axel menjadi berani karena kesalahan ucapnya barusan. Mysha mengutuki diri dan membungkam pikiran liarnya ketika Axel mendekat. Aroma musk yang maskulin masuk tanpa permisi ke indra penciumannya, membuat kaki perempuan itu lemas. Ingin sekali dia bersandar pada dada bidang di hadapannya.

Ketika Axel menunduk dan mengecup pipinya pelan, Mysha menutup mata sementara napasnya berlomba. Sensasi geli menyebar dari pipi hingga ke seluruh tubuh. Sentuhan sederhana itu membuat tubuhnya mendamba lebih, berharap kecupan itu mendarat di bibirnya. Napas hangat yang menyapa kulitnya membuat Mysha nyaris saja membayangkan bagaimana rasanya ciuman dengan Axel ketika lagi-lagi pria itu berbisik pelan, penuh gairah, di telinganya.

"You finally falling for me."

Suara bariton itu seakan membelai seluruh tubuhnya, membuat helaan napas lolos dari mulut yang setengah terbuka. Mysha merasakan tubuhnya meremang, menginginkan Axel mendekap dirinya erat dan menyentuh daerah-daerah sensitifnya, menyerahkan segalanya pada pria arogan itu.

Arogan.

Kesadaran menghantamnya keras, membuat Mysha kembali fokus. Dia menjilat bibirnya yang kering dan menelan ludah, sebelum berkata, "Saya permisi dulu, Mr. Delacroix."

Secepat kilat, wanita itu melangkah pergi kembali ke kantornya, meninggalkan suara heels yang terketuk lembut dan Axel yang menyunggingkan sebuah senyum miring, menatap belokan tempat sosok Mysha menghilang. Ada perasaan lain yang merayap di dadanya, perasaan hangat dan puas mendengar pengakuan Mysha. Tanpa sadar senyum muncul di wajahnya yang kaku, senyum kecil, sebelum Axel melangkah pergi kembali ke kantornya dengan langkah ringan.

Sepanjang hari, Mysha berusaha memfokuskan diri ke pekerjaan. Setelah kesalahan bodoh yang dia lakukan tadi siang, pikirannya tidak bisa lepas dari kejadian itu. Untunglah kesibukan yang menumpuk membuat perhatiannya teralih. Setelah meeting dengan Mr. Walker, Mysha harus berhadapan dengan manajer HRD membahas masalah karyawan, disambung dengan meeting internal kantor untuk membahas audit yang akan dilakukan. Kepalanya bertalu-talu memikirkan betapa banyak masalah yang harus dipecahkan dan prosedur yang harus dijalankan.

Ketika jam dinding menunjukkan pukul lima sore, Mysha masih berhadapan dengan layar komputer dan memeriksa laporan pajak dari departemen keuangan. Sepertinya dia akan lembur malam ini, karena masih ada laporan dari beberapa negara yang belum disentuh. Dia sedang memijat kening ketika terdengar ketukan di pintu.

"Masuk."

Mysha menatap pintu, dapat membayangkan Michael muncul sambil membawa makanan atau minuman untuk menghiburnya. Namun senyum yang sudah merekah tiba-tiba luntur ketika mendapati pria berambut pirang pendek dengan jas biru tua melangkah masuk. Dominan dan tegas, Axel berjalan cepat menuju meja Mysha dan meletakkan sebuah gelas dari kertas di hadapan wanita itu. Semerbak kopi langsung memenuhi ruangan, memanjakan pikiran dengan aroma yang menenangkan.

"Mr. Delacroix?" tanya Mysha tidak percaya. Selama beberapa hari di CLD, Mysha tidak pernah mendengar kabar sang CEO mendatangi karyawan kecuali bila dia ingin memarahi dan memecat seseorang. Untuk keperluan apapun, semuanya diselesaikan di ruangan pria dingin itu. Fakta itu membuat Mysha berkeringat dingin, apakah pada akhirnya dirinya harus angkat kaki dari perusahaan impiannya?

"Mengapa wajahmu seperti itu?" tanya Axel menatap wajah pucat Mysha yang seperti melihat hantu.

"Ti-tidak." Mysha berusaha menenangkan diri dan merapikan penampilan. "A-ada apa Anda kemari, Mr. Delacroix?"

"Masih tidak memanggilku dengan Axel," balasnya datar sambil menyodorkan gelas ke arah Mysha sebelum dia sendiri meminum gelas di tangannya. "Apakah aneh seorang atasan mengunjungi kantor bawahan?"

Mysha dengan ragu menerima kopi dari Axel. Rasanya ada yang salah dengan hal ini. Seorang Axel membawakan kopi untuknya, membuat Mysha curiga apakah kopi itu diberi racun atau mungkin obat perangsang.

"Tidak menerima kopi selain dari Michael?" lanjut Axel tajam dan dingin, menatap wanita di hadapannya. Mati-matian pria itu menekan nada kesal dari suaranya tapi tetap saja aura ketidaksukaan menyebar.

"Bu-bukan itu." Mysha mengambil gelas di hadapannya dan menciumi aroma harum yang menguar sebelum mencicipinya. Black coffee tanpa gula. Mysha bertanya-tanya bagaimana atasannya tahu minuman kesukaan dan kejadian tadi pagi.

Axel duduk di kursi depan Mysha dan membuat dirinya nyaman sambil menghabiskan kopi di tangan. Dia menatap Mysha tajam, membuat perempuan itu merasa jengah.

"A-ada apa?"

"Apa yang sedang kamu kerjakan?"

Mysha mengintip sekilas ke arah layar yang menunjukkan tabel-tabel berisi angka fantastis, menunjukkan penghasilan CLD di Afrika Selatan. "Mengecek laporan pajak dari departemen keuangan. Sejauh ini saya tidak menemukan adanya indikasi kesalahan--"

"Masih lama?" potong Axel.

Mysha menarik napas kesal. Pria itu masih saja seenaknya. "Iya. Masih ada sekitar tujuh negara lagi yang perlu saya perhatikan."

"Aku ingin mengajakmu ke suatu tempat," lanjut Axel membuang gelas kertas kosong ke tempat sampah tak jauh dari kakinya. Dia terdiam sejenak, mempertimbangkan. "Aku akan menunggu hingga kamu selesai."

Mysha membulatkan matanya terkejut. Seorang Axel, menunggu? Sepertinya hari ini New York akan dilanda badai salju.

"Tapi, Sir, saya hari ini membawa mobil sendiri--"

"Tidak masalah, aku akan mengantarmu pulang dan menjemputmu besok pagi. Mobilmu akan aman di sini." Axel berkata tenang sambil mengeluarkan laptop dan mulai bekerja. "Katakan saja kalau kamu sudah siap untuk pergi."

Mysha menutup mulutnya yang melongo mendengar ucapan Axel dan berminat berlama-lama mengerjakan tugasnya, berharap Axel akan menyerah dan pulang. Namun, hingga jarum jam menunjukkan pukul tujuh, pria itu masih bertahan. Dia sudah selesai dengan pekerjaannya dan kini menatap Mysha lekat membuat perempuan itu salah tingkah sendiri. Mata biru yang membius itu membuat konsentrasi buyar, bagaimana bisa Mysha fokus pada angka-angka tidak menarik di hadapannya sementara seorang pria tampan sedang memperhatikan setiap gerak-geriknya.

Akhirnya, wanita itu menyerah dan mematikan komputer. Besok pagi, dia akan datang lebih awal untuk menyelesaikan pekerjaannya. Mysha melirik ke arah Axel dan mendapati tatapan mereka bertemu. Cepat-cepat dia memutus pandangan, sementara jantungnya kembali berdebar lebih cepat.

Axel akan membawanya ke mana?

Mengusir khayalan liar mereka menghabiskan malam di kamar sebuah hotel, Mysha sebenarnya ingin menolak. Namun sudah terlalu banyak dia membuat masalah dengan Axel. Memikirkan masa depannya di CLD, kali ini dia memutuskan untuk ikut, sambil menyelipkan pisau swiss army di sakunya.

"Sudah?" tanya Axel ketika Mysha memasukkan semua barangnya dalam tas jinjing berwarna pink lembut dengan logo wanita berambut ular.

"Kita akan kemana?" balas Mysha defensif, mengambil tas kerja dan berjalan keluar dari kursinya.

"Salah satu tempat terbaik di New York."

Mysha menatap Axel heran sambil memastikan sekali lagi tempat di mana dia menyimpan swiss army knife-nya. Jika pisau itu tidak melukai Axel, benda itu harus berhasil menyadarkan dirinya dari apapun yang pria itu rencanakan.

Bagi seorang gadis dari kota kecil, pemandangan di hadapannya adalah salah satu yang paling megah yang pernah dia lihat. Sebuah kotak raksasa dari kaca dengan bola besi ditengahnya. Berhiaskan lampu sorot, tempat itu terlihat indah dan mencolok di malam hari, di antata langit Manhattan yang kehilangan bintang akibat polusi.

Rose Center for Earth and Space. Sebuah planetarium yang didirikan sebagai bagian dari Museum Art and Science di Central Park, memungkinkan penduduk kota Big Apple untuk mengintip langit. Mysha ternganga melihat bangunan di hadapannya dan berhenti berjalan, hingga Axel harus menggenggam tangannya dan menarik wanita itu masuk.

Rasa hangat yang berbeda mengisi hati Mysha dengan debaran lain. Tangan Axel yang besar membungkus tangannya memberikan kehangatan dan rasa aman, tidak terasa menuntut seperti biasa. Mysha mendongak, menatap ke arah wajah Axel yang masih dingin, bertanya-tanya apakah ini hanya perasaannya semata.

"Tutup," baca Mysha ketika mereka hendak masuk ke ruangan Star Theatre. Ada rasa kecewa tersisip dalam hati, sementara dia sudah berharap akan melihat bintang. Dia melirik ke arah Axel yang dengan tenang menunggu, bertanya-tanya apakah Axel bisa menembus tembok. Namun, tak lama kemudian seorang petugas membawa kunci dan membukakan pintu.

"Star Theatre selalu terbuka untuk pendonor terbesarnya." Axel menahan senyum melihat wajah Mysha yang terbelalak kaget.

Ruangan yang mereka masuki tidak kalah luar biasa. Sebuah hall besar dipenuhi kursi seperti bioskop di seluruh ruangan. Mysha bertanya-tanya di mana layar peraknya ketika langit-langit melengkung di atasnya menampilkan galaksi dan seluruh antariksa. Ternyata seluruh atap itu terbuat dari LED. Sekejap, wanita itu terhenyak, indah sekali. Dia seperti tenggelam ke dalam lautan bintang. Tanpa sadar sebuah senyum terukir di wajahnya, senyum lebar penuh kekaguman sambil menatap keajaiban di hadapannya.

"Cantik, bukan?" tanya Axel mengamati ekspresi Mysha, melihat gemintang terpantul di mata emas wanita itu.

"Luar biasa," balas Mysha menoleh ke arah Axel. "Terima kasih sudah membawaku kemari."

"Sama-sama."

Dan untuk pertama kalinya, Mysha melihat pria itu tersenyum. Tiba-tiba saja galaksi dan keajaiban di hadapannya lenyap, seluruh pandangan terpaku pada sosok di hadapannya. Hanya ada dirinya dan pria itu.

Axel tersenyum.

Dia mengulangi kata-kata itu dalam hati, mengimbangi debaran dada yang makin tak terkendali. Mysha mengakui bahwa pria itu tampan dan memiliki pesona yang sulit ditolak, tapi melihat senyum kecil tanpa keangkuhan di wajahnya adalah hal lain. Sebuah sengatan listrik tiba-tiba menyusup masuk ke dalam relung hatinya, seketika membuat perasaan asing mengembang perlahan. Perasaan hangat seperti jutaan kupu-kupu sedang beterbangan di dalam tubuh.

Hari ini, di tengah musim panas, New York benar-benar akan badai.

Hahaha makasih udah nungguin cliffhanger keterlaluan dari chapter sebelumnya. Aku menikmati menulis chapter ini, perkembangan karakter dari Axel semakin terlihat :3

Dan tempat di atas itu beneran ada di New York. Cakep banget yah :'D coba aku yg dibawa Axel ke sana :'D //mupeng

Anyway, AXEL SENYUUUUUM!!! SENYUUUUM!!!! HASTAGAH!!! NYC AKAN BADAAAAI SALJUUUUUU! XD XD

MAKASIIIH! Berkat kalian Night with CEO dapat rank #14!!! Tetap dukung CEO Project dengan vote dan komen ya :D oh ya, chapter 18 akan di private! Pastikan sudah follow kami ya ^^ sampai jumpa hari sabtu :*

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top