21. Fragment of The Past
"Biasanya orang kasih hadiah apa buat anak umur 5 tahun?"
Naura mengalihkan pandangan dari piring nasi goreng demi memberi orang di depannya tatapan bingung. Rafisqi dan segala kerandomannya masih saja sukses membuat Naura takjub. Tidak ada yang bisa menebak jalan pikirannya. Pria itu bisa saja bicara tentang A baru beberapa saat yang lalu, kemudian tiba-tiba melontarkan pertanyaan mengenai Z yang jauh sekali hubungannya.
Di hadapannya, Rafisqi sudah melipat lengan di atas meja dan menatap Naura penuh perhatian, terang-terangan mengabaikan makanannya sendiri. Rasanya agak menggelikan melihatnya begitu serius menantikan jawaban dari pertanyaan barusan.
"Kenapa?" Dengan santainya Naura kembali menyendokkan nasi ke mulut. "Anakmu ulang tahun?"
"Memang anakmu ulang tahun?" Rafisqi balas bertanya.
"Hah?" Naura sekali lagi tidak paham dengan pertanyaan itu.
"Masa' lupa? Harusnya anakku 'kan juga anakmu, Honey. Ulang tahunnya pasti sama lah. Ibu macam apa- DUH!"
Di bawah meja, kaki Naura dengan sekuat tenaga menendang tulang kering Rafisqi. Mereka sedang ada di restoran di jam makan malam. Otomatis ada banyak orang di sekitar mereka dan Naura tidak ingin memancing kesalah-pahaman karena kalimat barusan.
"Kau makin lama makin receh ya?" Naura kembali fokus ke makanan, tidak peduli sedikit pun pada Rafisqi yang langsung tertunduk sambil memegangi kaki kirinya.
"Anarkis!" gerutu Rafisqi, yang masih mengelus-elus kakinya yang Naura tendang. "Rosy yang ulang tahun."
"Nah, gitu! Coba dari tadi bilang itu. Ini malah langsung tanya tanpa kalimat pengantar." Naura menaruh sendok-garpunya dan bertepuk tangan sekali. "Ada banyak pilihan kok. Boneka, rumah-rumahan, baju-baju cantik," Dengan semangat, Naura mulai menyebutkan macam-macam hadiah yang mungkin disukai anak perempuan umur 5 tahun. "aksesoris, sepeda, buku-buku cerita. Banyak. Hmm, Mas Dharma ngebolehin pelihara hewan? Kasih hewan peliharaan lucu juga. Sekalian belajar buat tanggung jawab. Asal jangan dikasih gadget. Kasihan otaknya. Lalu... Heh! Kau menyimak tidak sih?"
Naura kembali kesal. Padahal dia sudah dengan sangat antusias menyebutkan serentetan hadiah potensial, tapi si Rafisqi malah dengan santainya duduk bertopang dagu. Matanya memang tertuju ke Naura, tapi dari tatapannya yang terlihat menerawang, jelas sekali kalau pikirannya sedang berkelana ke tempat lain.
"Iyaa. Dengar. Oke, besok temani ke pet shop."
"Aku juga ikut?"
"Iya. Aku mana ngerti kesukaan anak kecil."
"Tapi tahu nggak hadiah yang paling spesial?" Sekarang Naura ikut menumpukan siku di atas meja dan meniru Rafisqi duduk bertopang dagu. "Ajak Rosy ke taman bermain atau kebun binatang atau taman kompleks juga boleh. Dengan kata lain, uncle and niece quality time."
Kali ini Rafisqi terang-terangan mengalihkan pandangan. Dia memundurkan tubuh dan tanpa bicara apa pun meraih gelas orange juicenya.
Naura hanya memandangi pria itu meminum minumannya dengan kegugupan yang terlihat jelas. Dia sudah tahu kalau Rafisqi tidak suka anak kecil, termasuk keponakannya sendiri. Sepengetahuan Naura, Rafisqi akan selalu memberi jarak minimal 1 meter antara dirinya dan Rosy-Ziko. Ziko memang selalu mengganggu Rafisqi tiap ada kesempatan, tidak peduli dengan penolakan terang-terangan yang ditunjukkan untuknya. Tapi beda dengan Rosy. Putri tertuanya Dharma itu mulai paham kalau pamannya tidak menyukainya. Rasanya sangat menyayat hati waktu mengetahui Rosy cuma mengintip dari jauh atau bersembunyi dibalik tubuh ibunya tiap kali ada Rafisqi.
Tapi sekarang Rafisqi berniat memberi Rosy hadiah. Artinya apapun alasan Rafisqi menjauhi keponakannya, bukan karena dia membenci mereka. Pria itu terlihat gugup saat Naura menyinggung tentang quality time tadi. Seolah ide itu terasa sangat mengerikan baginya.
"Apa selain phobia tenggelam dan dekat-dekat sama laut, kau punya phobia lain?" tanya Naura berhati-hati. Sebenarnya ada satu lagi. Phobia jatuh cinta. Tapi dia memutuskan untuk melewatkannya. "Soal anak-anak... kau bukannya benci. Kau takut pada mereka."
Lama ditunggu, Rafisqi tidak kunjung menjawab. Pria itu hanya diam memandangi kedua tangannya yang dia satukan di atas meja. Naura menganggap itu sebagai jawaban 'iya'. Meski penasaran dengan alasan dibalik ketakutan yang satu itu, Naura merasa sebaiknya dia tidak bertanya.
"It's okay," hiburnya, berusaha terdengar positif. "Step by step. Memberi hadiah juga sudah bagus. Semuanya butuh waktu. Nanti kubantu deh. Aku cukup ahli urusan anak-anak." Bukan tanpa alasan Naura ditugaskan di bangsal anak-anak selama lebih dari 2 tahun.
Setelah itu Rafisqi malah memandanginya lama. Terlalu lama, sampai Naura risih sendiri.
"Makasihnya mana?!" tuntut Naura, berusaha menghilangkan atmosfer aneh yang diciptakan pria itu.
"Makasih."
Naura lega melihat pria itu tertawa. Rasanya aneh melihat Rafisqi seperti tadi. Menurutnya Rafisqi sama sekali tidak cocok bersikap seperti pemeran utama pria dalam novel, yang muram, memiliki latar belakang tragis dan juga masa lalu kelam. Cocoknya jadi pria yang nyinyir, menyebalkan dan receh seperti biasa.
"Naura."
Naura pikir dia bisa lanjut menikmati makanannya dengan tenang. Tapi sepertinya Rafisqi punya hal serius lainnya untuk dibicarakan. "Apa?" tanyanya setelah buru-buru mengunyah dan menelan makanan di mulutnya. "Sekarang kau bingung mau kasih kucing, hamster, kelinci atau ayam?"
Rafisqi menggeleng. "Sepertinya aku jatuh cinta."
Naura refleks menjatuhkan sendok dan garpu yang ada di tangannya. Kedua benda itu membentur piring dengan bunyi kelontang keras yang kemungkinan besar menarik perhatian pengunjung lain. Tapi Naura tidak peduli. Fokusnya sudah tertuju sepenuhnya ke Rafisqi. Pria itu seolah baru saja menjatuhkan bom molotov tepat di depannya.
Detik selanjutnya Naura sudah menutup mulutnya dengan dua tangan. "Oh, ya ampun! Benarkah?!" serunya sambil menahan pekikan yang sudah di ujung kerongkongan. "Selamat, Rafisqi! Siapa? Siapa orangnya? "
Akhirnya perjuangan dan penantian Naura selama dua bulan membuahkan hasil. Rasanya terlalu indah untuk menjadi nyata.
Gerbang kebebasan sudah berada tepat di depan matanya.
"Dia-"
"Rafi?"
Baik Naura maupun Rafisqi serentak menoleh ke suara barusan. Rafisqi tidak jadi melanjutkan perkataannya, sementara Naura mulai bersungut-sungut kesal karena interupsi barusan. Saat ini di samping meja mereka berdiri dua orang perempuan. Tatapan keduanya tertuju ke Rafisqi.
"Rafi, kan?" Salah seorang dari mereka, yang berkemeja biru dan rambutnya dicepol ke atas, kembali bicara.
Rafisqi mengangguk. Jelas sekali juga terlihat sebal karena interupsi yang dilakukan dua orang itu.
"Wah! Tidak kusangka ketemu disini." Perempuan satunya lagi, yang berambut pendek, ikut nimbrung. "Eh, masih ingat kami? Keterlaluan kalau sampai lupa!"
Kali ini Rafisqi diam dan mengamati dua wajah di depannya bergantian. "Ah, Ratu sama Angel?" Dia tersenyum sumringah sambil menunjuk si rambut cepol dan si rambut pendek bergantian. "Lama tidak bertemu."
Mendengar itu, Naura langsung mematung di tempatnya.
Ratu dan Angel.
Akhirnya, dengan was-was, dia mengamati wajah dua perempuan itu dengan seksama. Dia berusaha menangkap detail yang dimiliki dua orang itu dan menyamakannya dengan bayangan dua orang yang selalu ada di ingatannya. Disaat yang sama, Angel juga ikut mengamatinya.
"Kau... Naura? Dari kelas B?"
Belum sempat Naura bereaksi apa pun, Ratu ikut menoleh ke arahnya. "Eh? Benaran Naura yang itu?!"
Keduanya memandangi Naura dan Rafisqi bergantian. Naura sadar ekspresi mereka agak berubah begitu melihat ke arahnya dan satu-satunya yang bisa dia lakukan hanyalah menunduk memandangi makanannya.
Kenapa harus ketemu mereka disini?
Tanpa bisa dikendalikan, Naura merasa dia kembali berusia 14 tahun. Terpuruk, sendirian dan ketakutan. Panik dan juga putus asa mencari jalan apa pun untuk melarikan diri. Dia tidak menyangka akan merasakan itu lagi di usianya yang sekarang.
"Kalian sedang makan malam? Berdua?"
Naura buru-buru menoleh ke Ratu. "Ah! Bukan kok! Tadi kebetulan ketemu." Naura mengucapkan kalimat bohong pertama yang terlintas dibenaknya. "Meja lain penuh. Jadi terpaksa satu meja."
"Hmm, iya sih." Angel mengetuk-ngetukkan telunjuknya ke dagu dan memandang sekeliling. "Kalau gitu kami ikut duduk disini, boleh?"
"Oh... Silahkan." Rafisqi mempersilahkan dan dua orang itu langsung duduk di kursi kosong di meja mereka. Angel duduk di sebelah Rafisqi, sementara Ratu di sebelah Naura.
Naura sempat mendapati Rafisqi memberinya tatapan tajam. Tapi dia terlalu kalut untuk mencoba memahami artinya.
"Jadi bagaimana kabarmu?" Ratu kembali bicara ke Rafisqi. "Kok tidak pernah datang ke reuni?"
"Ya gitu. Sibuk." Rafisqi menjawab.
"Lagian kapan sih kau tidak sibuk?" goda Angel. "Dari dulu selalu begitu."
Dan Naura sukses diabaikan dalam pembicaraan. Ratu dan Angel terus bicara pada Rafisqi dan bersikap seolah Naura tidak ada disana. Merasa tidak tahan lagi, Naura memutuskan untuk berdiri.
"Maaf. Aku mau toilet."
Tanpa menunggu jawaban dari tiga orang itu, Naura buru-buru ke bagian belakang restoran. Dia masuk ke salah satu bilik toilet, mengunci pintunya dan bersandar disana dengan napas ngos-ngosan.
"Tenang. Tenang." Naura menarik napas dalam-dalam. Tangannya terangkat ke dada dan dia merasa seolah jantungnya berdentum cepat tepat di bawah telapak tangannya. "Aku tidak boleh begini lagi. Tenang."
Tapi usaha Naura untuk mensugesti dirinya sendiri tidak berujung bagus. Berbagai bayangan, suara, dan kilasan dari masa lalu mulai berseliweran di benaknya.
Lesty.
Nama itu muncul di pikirannya dan dengan tangan bergetar Naura mengeluarkan ponselnya dari saku. Hanya Lesty yang bisa menolongnya saat ini. Tapi belum sempat Naura mendial nomor sahabatnya itu, seseorang mengetuk bilik toilet dari luar.
"Naura."
Naura terkesiap keras mendengar suara Angel.
"Bisa keluar sebentar?"
"Keluar! Dasar murahan!"
Naura sontak menutup telinga. Dia kembali teringat kalimat lain yang diucapkan oleh orang yang sama, jauh di masa lalu.
"Kau mau bicara dengan cara begini?" Meski sudah menutup telinga, suara Angel samar-samar tetap terdengar oleh Naura. "Oke."
Lagi-lagi Naura tidak menjawab.
"Sudah selama ini dan kau masih melakukannya ya?" Suara Angel terdengar sinis. "Ternyata sekali murahan, selamanya tetap murahan."
"Tidak!" Naura akhirnya bicara. Dia tidak diterima dikatai, tapi terlalu takut untuk langsung membuka pintu dan menjambak rambut perempuan itu.
Ternyata selama 12 tahun ini tidak ada yang berubah. Tadinya Naura selalu meyakinkan diri kalau dia bukan lagi orang yang sama seperti waktu SMP. Tapi begitu menyadari reaksinya saat ini, bersembunyi di toilet lalu menutup telinganya sambil gemetaran... sepertinya dia masih sama seperti dulu. Baik dia maupun Angel, mereka sama-sama belum berubah.
Di balik pintu, Angel sudah tertawa mencemooh. "Kau terus mengikutinya sampai sekarang. Apa lagi namanya kalau bukan murahan? Tidak tahu malu."
Dan dengan bodohnya Naura mulai menangis mendengarnya.
"Hm? Jangan bilang kau menangis? Ah, bullshit!"
"Pergi." Suara Naura melemah karena isakan yang tertahan. "Pergi. Jangan ganggu aku."
"Well, okay. Sayang bilik toilet ini tidak bisa dikunci dari luar. What a shame, we can't do this in our OLD way." Terdengar Angel menghela napas berat dengan dramatis. "Oh ya, Naura?"
Tadinya Naura berharap Angel benar-benar pergi dari sana. Tapi sekarang dia malah was-was dengan kalimatnya selanjutnya.
"Tunggu sampai yang lain tahu."
Dan Naura merasa seolah seseorang baru saja menyiramnya dengan air dingin. Percayalah, Naura tahu sekali bagaimana rasanya. Secara fisik maupun mental.
Akhirnya dia mendengar langkah kaki menjauh. Setelah yakin Angel sudah pergi, Naura membenamkan wajahnya di kedua tangan dan kembali menangis.
***
Jadi siapa sebenarnya Angel dan Ratu? :/
Apa hubungannya mereka dengan kejadian 12 tahun yang lalu?
(Percaya deh, ini semua nggak sekedar tentang seorang anak SMP yang ditolak anak SMP lainnya secara sadis. Huehehehe)
Jangan lupa tinggalkan jejak yaa
Xoxo,
MTW :)
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top