File 0.6.8 - Unexpected Assistance

"Bagaimana sekarang? Kita tidak mungkin menunggu Watson bangun untuk gerakan selanjutnya. Kita akan menghabiskan banyak waktu di sini!"

Aiden menatap wajah Watson yang tertidur pulas, menghela napas pendek. "Tidak ada pilihan lain. Kita ambil inisiatif darurat."

"Kamu punya rencana, Aiden?"

"Kita harus melakukannya tanpa Dan, seperti biasa." Aiden berkata pendek.

Supaya lebih jelas, klub detektif Madoka sudah berdiri sejak semester pertama. Tentu Aiden, Hellen dan Jeremy telah memiliki pengalaman mengatasi kasus-kasus terdahulu. Sementara Watson baru pindah dan bergabung dengan mereka saat semester dua.

Aiden beranjak bangkit, membiarkan Watson tidur. "Hellen, Jeremy, kalian berdua pergi ke kantor polisi. Panggil Inspektur Deon dan timnya, namun jangan membuat kehebohan. Kalian harus menemukan beliau secara diam-diam. Aku akan menunggu di sini, sembari memeriksa tempat ini, juga menunggu Dan bangun. Semoga saja Dan tidak tidur lama."

Hellen dan Jeremy mengangguk serius.

"Lakukan!"

Dua menit, TKP langsung senyap. Aiden membalikkan badan, memandangi rumah Gadela lekat-lekat. Rumah itu hanya rumah penduduk biasa. Tidak ada hal mencolok. Lantas mengapa Watson menyuruh Aiden untuk menyelidikinya?

Aiden berkacak pinggang. Dia tahu, bahwa Watson tahu suatu hal di rumah ini. Watson tidak mungkin sembarang menyuruh sesuatu. Dia melihat setitik keganjilan di TKP, namun ragu dan bimbang. Dasar Watson, masih saja tidak percaya akan kemampuan detektifnya.

"Nah, Dan, setelah kasus ini selesai, kamu harus memberiku hadiah lho! Seperti yang kamu lakukan pada Hellen tadi," gumam Aiden semangat, melakukan peregangan. "Tidurlah dengan nyenyak. Kami akan mengurus ini. Percayakan saja padaku."

Gadela Ganez, 17 tahun, berasal dari Tasva. Menurut perhitungan Aiden, Gadela adalah murid berprestasi. Dengan bantuan foto yang dipotret selagi di Hutan Maosav, dapat dipastikan bahwa Gadela tipe murid rajin dan sering ke perpustakaan. Pembatas kertas, buku-buku pelajaran yang berlabel sekolah, dan kartu tanda pinjam pustaka. Gadela banyak menghabiskan waktu untuk membaca di perpustakaan.

Merujuk dari foto, di dalam tas korban, terdapat sebuah piala perwakilan sekolah. Apakah Gadela dalam perjalanan pulang dari tempat olimpiade lantas diculik oleh pelaku? Tidak mungkin. Dia pasti pulang menaiki mobil untuk peserta.

"Apa ini?" Sibuk membuka laci-laci meja, Aiden menemukan banyak surat tagihan hutang di salah satu laci. Matanya terbelalak. "250 dolar? Gila! Utang macam apa ini?"

Apakah ini motif pelaku? Penuntutan hutang? Aiden berdecak, melirik sana-sini. Jika memang itu motif pelaku, maka Aiden harus mencari jawaban lain untuk motif pembunuhan dua korban lainnya.

Aiden meniti. Keadaan rumah sangat kacau. Perabotan rumah tangga pecah-belah. Dia harus menjinjit agar kakinya tidak menyentuh barang, takut menghapus jejak pelaku.

Sampai di kamar Gadela, mata Aiden menyelisik sampai ke sudut-sudut ruangan.

Tidak ada yang spesial. Kecuali beberapa piala yang bisa dihitung oleh jari, rak buku patah, dan pemukul kasti. Lalu beberapa jenis pentungan tergantung di sebelah rak. Apa Gadela suka mengoleksi benda ini? Apa cita-citanya menjadi pemain bisbol?

Aiden mengelus dagu, menatap foto-foto di ponsel. Apa dia harus ke sekolah korban untuk menyelidikinya lebih detail?

Selagi sibuk membuat dugaan tak pasti, mata Aiden tak sengaja melihat satu sosok berjongkok di depan Watson lewat jendela kamar yang pecah. Dia perempuan. Perawakannya tidak asing.

Aiden melotot. Mau apa dia?!

Bahkan Aiden baru mulai sepuluh menit, sudah datang masalah. Aiden segera keluar dari TKP, berseru galak, "Hei! Apa yang kamu lakukan di sini? Jauhi dia!"

"Ma-maaf!" Gadis itu terlonjak, mundur dari Watson yang masih tidur.

Aiden berdiri di depan, membatasi jarak, menatap tak suka. Perempuan itu seenak jidat masuk ke TKP, mengganggu Watson. Jelas dia punya niat tertentu. Jangan-jangan dia memberi racun lagi.

"Eh? Kamu kan...!" Tatapan bengis Aiden berubah kaget demi melihat wajah si gadis.

Rambut berwarna pink pekat di bawah bahu, memintal rambutnya, baju sekolah khas Distrik Uinate. Tidak salah lagi, dia adalah salah satu detektif yang mengganggu Klub Madoka pada kasus Nyonya Sunni.

"Celeste Candy? Sedang apa kamu di Moufrobi?"

*

"Anda tak bisa melakukan ini, Pak Kepala! Tim 1 yang mengambil kasus Maosav lebih dulu. Kita butuh konfirmasi dari Komisaris jika memang kasus ini di—"

"Sayang sekali, Deon Ernest, Pak Komisaris sendiri yang menyuruhku untuk mengambil alih kasus ini. Kalau kamu masih bersikeras, silakan temui Komisaris di kantornya. Yah, walau kita tahu hasilnya."

Brak! Shani dan Max terperanjat. Deon melampiaskan kemarahannya pada tong sampah di taman, geram sekali.

Bagaimana tidak? Mereka yang datang ke TKP pertama kali. Lalu Komisaris sialan itu seenak jidat mengganti divisi investigasi. Paling-paling beliau ingin menutup kasus, menyuruh Tim 1 tidak ikut campur. Dia tak peduli sama sekali dengan kematian korban di Hutan Maosav.

"Sudahlah, Deon. Ini bukan pertama kalinya kita dikucilkan. Biarkan saja mereka." Shani membujuk. Tahu-tahu nanti Deon nekat hendak membakar kantor polisi.

Max menghela napas kasar. "Aku tahu kemarahan Deon. Ini sangat keterlaluan, tidak adil bagi masyarakat. Bagaimana mungkin orang tua licik itu menjadi pimpinan? Dunia sudah terbalik, menjadikan para korupsi menjadi penjabat."

"Itu tidak terjadi di masa modern saja. Bahkan dulu, saat masih masa kerajaan, kuno sebutannya, hal seperti ini sudah terjadi."

"Kamu ternyata bijak juga, Max." Shani mengacungkan jempol.

"Kalian masih bisa bergurau?" sanggah Deon tajam. Dua rekannya itu langsung mati kutu. "Yang perlu kita pikirkan saat ini, bagaimana kita akan menyelidiki kasus Maosav secara eksklusif. Aku takkan membiarkan korban mati sia-sia. "

Tap! Tap! Kemarahan Deon perlahan mereda melihat kedatangan Hellen dan Jeremy. Shani sampai melongo dibuatnya—bagaimana mungkin Deon yang baru mengamuk beberapa detik lalu langsung jinak?

Deon menilik wajah mereka berdua. "Ada apa dengan kalian? Di mana Aiden dan Watson? Kalian berpencar?"

Hellen tersengal. "Apa Inspektur tidak peka? Atau Inspektur punya kulit baja? Lihat cuaca, Inspektur! Amat terik! Dan kami berjalan kaki kemari, tidak ada kendaraan. Tentu kami kelelahan. Sudah begitu, beri kami napas dulu dong."

Jeremy menyikut Hellen, menyuruhnya berhenti mengomel, supaya kembali serius. Mereka tak punya waktu mengeluh akan panasnya matahari.

"Kami butuh bantuanmu, Inspektur." Jeremy berkata tegas.

Deon melirik Shani dan Max, mengangguk. "Apa yang terjadi? Apa kalian menemukan petunjuk?"

Mulai bercerita.

*

Candy sudah menjelaskan sebaik mungkin pada Aiden bahwa yang terjadi adalah kesalahpahaman. Dia memang tinggal di kawasan situ. Toh, wilayah TKP tidak terlalu jauh dari Uinate. Merasa ada yang aneh di rumah tersebut, dia pun pergi memeriksa, dan menemukan Watson.

"Lalu? Mau apa kamu tadi sama Dan, hah?" Aiden masih curiga. Dia sempat berpikir bahwa Candy memberi pelacak dan memata-matai kegiatan mereka. Lalu datang mengambil alih layaknya pahlawan seperti terakhir kali. "Kamu terlihat sangat mencurigakan!"

"I-itu salah paham. Aku tidak bermaksud apa-apa," kata Candy menggaruk tengkuk. Susah mau bilang apa lagi pada Aiden agar dia percaya bahwa Candy tidak bersalah.

"Huh! Kamu pikir aku percaya omong kosongmu? Katakan tujuanmu sebenarnya atau kuusir kamu dari sini."

Candy menggeleng cepat. "Aku tidak pergi."

"Apa? Apa maksudmu?! Sudah kuduga, kamu punya niat busuk! Pasti di sekitar sini ada komplotanmu, kan?"

"Di sini terjadi pembunuhan, kan? Begini-begini aku juga seorang detektif. Izinkan aku membantu! Lalu aku datang sendiri. Taran dan Valentine masih di sekolah, mendiskusikan kasus pencurian. Aku tidak tertarik dan melewati simpang ini. Aku bersumpah!"

"Lalu, apa yang mau kamu lakukan pada Dan tadi? Jika aku kedapatan kamu menaruh sesuatu, aku sendiri yang akan mengurusmu."

Candy kikuk. "I-itu tadi ada daun hinggap di rambutnya. Jadi kuambil. Aku tidak punya niat tersembunyi. Aku sungguhan ingin membantu."

"Sekali kubilang tidak ya tidak—"

"Aiden!"

Pemilik nama dan tamu tak terduga menoleh ke pemanggil. Hellen serta Jeremy sudah kembali, bersama mobil detektif. Dari dalam sana keluar Deon, menyusul dua rekannya. Mereka kembali sangat cepat.

"Eh, Candy? Kenapa kamu di sini?" Kepala Jeremy berputar ke Aiden. "Lalu, bagaimana penyelidikanmu, Aiden? Apa ada sesuatu yang aneh?"

"Nanti kujelaskan."

Deon menghela napas kasar, keluar dari TKP. "Ini buruk sekali. Kami tidak mendapat izin dari kantor. Kami tidak bisa memanggil forensik resmi," ucapnya jengkel, menatap Watson di titian rumah. "Narkolepsi-nya kambuh di saat tak tepat."

"Kalau begitu jangan panggil mereka." Candy berkata lugas. Eh, ini cewek kenapa ikut-ikutan masuk? "Aku tahu, semua kepolisian di negara ini cenderung menerima suap. Aku tahu hal ini sering terjadi. Menutup kasus dan membiarkan tangisan keluarga korban. Inspektur hanya perlu melakukannya diam-diam."

Deon sedikit bingung melihat keberadaan Candy di TKP, meminta keterangan. Candy menjelaskan singkat.

"Apa yang akan kita lakukan sekarang, Inspektur?" Aiden bertanya. Mereka sudah tertahan dua puluh menit di TKP.

"Merujuk perhitungan kalian, pelaku boleh jadi sudah menuju ke kediaman keluarga Tix. Kita pergi ke sana."

"Tapi, bagaimana dengan keluarga Gadela? Kita tidak bisa membiarkan mereka mati tidak adil begini, Inspektur!"

"Jangan khawatir, Aiden. Aku memiliki beberapa kenalan. Akan kusuruh mereka datang ke sini..." Sama halnya dengan reaksi Watson, Deon menghela napas. "Ah, benar. Mati lampu. Tidak ada jaringan. Aku tidak bisa menelepon. "

"Aku punya rencana."

Semua pasang mata menoleh ke belakang. Watson sudah bangun dari tidurnya.

"Detektif Shani jagalah TKP dan Detektif Max pergilah ke tempat forensik kenalan Inspektur Deon. Aku, Stern dan Bari akan kembali ke gardu, mencoba mencari jalan untuk mengembalikan tenaga listrik.  Inspektur Deon sendiri pergilah ke rumah Danbi bersama Celeste dan Aiden."


Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top