CHAPTER 4

Eira terbangun dan mendapati dirinya berdiri di pinggir tebing. Matanya menelusur sekitar, tidak tahu bagaimana dia bisa berakhir di sana. Di ujung, dia bisa melihat sebuah gunung nan tinggi, saking tingginya, Eira tidak bisa melihat puncak gunung yang tertutup oleh awan di sekelilingnya. Eira kembali menatap tempat dia berdiri, melirik dasar tebing yang begitu tinggi, sedangkan sisi kanannya terpisah oleh tebing lain. Hingga dia mendengar bisikan mulai menghantui telinganya lagi, dia berani bertaruh suara itu sama dengan suara yang dia dengar saat menggenggam Excalibur dengan kedua tangannya.

Suara bisikan yang samar-samar itu kemudian menghilang tiba-tiba, meninggalkannya kembali pada kesunyian di pinggir tebing. Tidak lama berselang setelah itu, digantikan dengan suara sambaran petir jauh di depannya, tepat di sisi gunung. Eira yang terkejut merespon dengan melompat mundur. Sekali lagi, petir menyambar sisi gunung, lagi, dan lagi, terus-menerus hingga untuk yang kelima kalinya, petir itu menyambar dasar tebing yang Eira pijaki. Kali ini, Eira bukan lagi melompat mundur, dia tersungkur di tanah berpasir. Saat dia berusaha untuk bangkit, petir mulai menyambar lagi dan sekali lagi Eira tersungkur. Hingga sambaran ketujuh, petir tepat mengenai dirinya.

Mata Eira berair saat dia membukanya, bukan karena dia menangis, melainkan karena perih yang membuatnya mengusap mata dengan lengannya. Matahari sudah naik sejak tadi saat dhampir itu bangun dari tidurnya. Dia baru saja bermimpi tersambar sebuah petir, namun rasanya dia benar-benar baru tersambar petir. Menambah kecurigaan Eira, dia mendapati serpihan pasir di pakaiannya, sedangkan dia tidak menemukan tanah berpasir di tempatnya yang sekarang.

Dilihatnya Nero, sedang meringkuk di dekat sebuah pohon, sedangkan dia tidak menemukan phoenix begitu juga tuannya. Mungkin Elias pergi setelah mengingat kejadian semalam, pikirnya. Bangkit dari tempat berbaringnya, Eira kemudian membangunkan Nero dengan mengelus puncak kepala hewan itu. "Ayo, Nero, kita tidak punya banyak waktu," katanya yang membuat hewan itu membuka mata dengan malas. Setelah berkemas, mereka melanjutkan perjalanan, tanpa Elias.

Saat mereka sampai di Dark Alpen, matahari sedang berada di puncaknya, begitu menyengat dan menyilaukan. Nero, mulai terbang rendah saat mereka mencapai perbatasan Dark Alpen dengan Afemir yang pisahkan oleh laut. Sebenarnya, ada dua cara paling strategis untuk mencapai Dark Alpen, yaitu menyeberangi Laut Lochness atau melewati gunung Nomak melalui darat.

Kali ini, Eira memilih untuk melewati Gunung Nomak ketimbang harus melewati Laut Lochness, selain karena jarak melalui darat lebih dekat dengan tempatnya sekarang, laut Lochness bukan pilihan yang bagus. Banyak yang mengatakan bahwa selain Lochness terdapat Sea Serpent yang menjaga laut perbatasan antara Dark Alpen dan Afemir itu.

Berdasarkan pertemuan terakhirnya dengan Lucifer, Eira tahu bahwa dia tidak bisa keluar dari Dark Alpen karena terdapat sebuah selubung penghalang agar Lucifer terkurung di dalam sana. Namun begitu, Eira tidak perlu repot-repot berjalan lebih jauh menelusuri Dark Alpen hanya untuk mendatangi Lucifer.

Saat sampai di perbatasan, Eira sedikit ragu dengan pilihannya untuk menemui Lucifer. Pasalnya, dia tidak begitu percaya pada lelaki itu, begitu juga sebaliknya. Ini dikarekan pertemuan pertama mereka yang tidak begitu baik. "Lucifer, aku ingin bicara denganmu," ujar Eira di depan perbatasan, kakinya bahkan belum menyentuh Dark Alpen. Berjaga-jaga kalau Lucifer berniat menyerangnya.

Tidak ada jawaban, Eira mulai ragu kalau Lucifer mendengarnya. Dia saja tidak bisa meninggalkan Dark Alpen, apalagi mendengar di luar jangkauannya. Menghela napas panjang, Eira akhirnya melangkahkan kakinya ke wilayah Dark Alpen, sedangkan Nero menunggunya di belakang. "Lucifer, aku ingin berbicara denganmu," ulangnya, namun masih belum ada jawaban.

Eira kemudian menoleh pada Nero, yang mengamatinya seolah mengatakan "mungkin kau harus berteriak". Baru saja Eira berpikir mungkin Nero ada benarnya juga, saat dia berbaik dan mendapati Lucifer berdiri di depannya dengan tangan berada dibelakang, seolah merasa terganggu dengan panggilan Eira.

"Dhampir, apa yang kau inginkan dariku?" tanyanya dengan tidak begitu ramah.

"Sedikit sopan santun dengan berkata senang bertemu denganmu lagi, akan lebih baik," cetusnya.

Lucifer tidak menanggapinya. "Aku tidak tertarik dengan apapun yang kau tawarkan," ujarnya.

Tidak mau berbasa-basi, Eira segera mengatakan maksudnya. "Oke, dengarkan aku dulu. Excalibur telah muncul kembali dan aku butuh kau-"

Belum selesai Eira berbica, Lucifer sudah memotongnya. "Tidak bisa, aku tidak bisa menolong kau atau siapa pun. Lagipula, jika pedang itu muncul, tidak ada satu pun dari kalian yang bisa menariknya dari batu."

"Ya, tapi pedang itu memberikan informasi padaku bahwa ada manusia yang hidup sampai saat ini," bantahnya.

"Tidak mungkin, manusia tidak bisa hidup sampai ribuan tahun. Selain itu, manusia terakhir telah mati." Lucifer menunduk saat mengatakan kalimat terakhirnya, seolah dia menyesali sesuatu.

"Bagaimana kalau tidak? Bagaimana kalau ada seorang manusia yang bisa hidup sampai sekarang?"

"Tidak!" Lucifer membantah dengan tegas.

"Bagaimana kau bisa yakin? Kau bisa saja salah. Kau bisa-"

"Karena aku yang membunuh manusia terakhir," selanya dengan begitu emosional. "Aku yang membunuh manusia terakir di danau Mortal."

Eira terdiam, kesunyian menyelimuti keduanya. Untuk pertama kalinya, Eira tidak tahu harus berempati atau marah padanya. Pasalnya, dia mendengar nada penyesalan segaligus amarah yang keluar dari mulut Lucifer. Jika saja manusia terakhir tidak di bunuh oleh Lucifer, mungkin dia tidak akan menjadi satu-sataunya ras yang terancam punah.

"Oke, katakan saja bahwa memang manusia telah punah, lalu bagaimana pedang itu bisa mengatakan padaku jika aku bisa menemukannya?" Eira mencoba meyakinkan Lucifer bahwa bisikannya bukan sekadar bualan.

"Aku tidak tahu," jawabnya lemah.

Eira menghela napas panjang, tujuannya bukan untuk berdebat dan dia butuh penjelasan lebih mengenai semuanya. "Bagaimana dengan Venus? Dia manusia, 'kan? Mungkin maksudnya dia," komentarnya.

Lucifer menggeleng. "Bukan, walaupun dia seorang manusia, namun dia bukan berasal dari dunia kita. Dia memiliki peran yang berbeda."

Kesal karena tidak mendapatkan jawaban apapun atas teka-teki pedang Excalibur, Eira akhirnya memutuskan untuk pergi. "Kalau begitu, aku sia-sia datang ke sini," keluhnya.

"Mungkin aku tidak tahu banyak mengenai manusia, tapi aku tahu seseorang yang mungkin bisa memberi tahumu," ujarnya sesaat sebelum Eira meninggalkan wilayah Dark Alpen.

Saat itu juga, Eira memutar balikkan badannya, antusias dengan informasi yang akan diberikan oleh Lucifer. Ekspresinya sarat akan keingintahuan yang tidak terbendung.

"Siren, mereka menyanyikan lagu-lagu mengenai manusia, mungkin mereka bisa menjawabmu." Lucifer menoleh pada Eira, menungu balasan yang ingin dia dengar.

"Siren? Mereka berbahaya, lagipula di mana aku bisa menemukan mereka?"

Lucifer menunduk sebelum menjawabnya, seolah jawaban yang akan dia lontarkan tidak akan terdengar memuaskan. "Danau Mortal, kau bisa menemukan mereka di sana. Tukarkan sesuatu yang berharga agar kau keluar dengan selamat."

Eira baru akan menanyakan pada Lucifer apa yang harus dia tawarkan pada Siren sedangkan dirinya tidak memiliki apa-apa untuk ditukar, saat dia menghilang dari pandangan. Tidak membuang waktu, Eira melesat menuju Danau Mortal. Saat dia sampai, langit sudah gelap kembali, sedangkan dia sekarang berdiri di pinggir danau memikirkan sesuatu yang bisa dia tukar.

"Sial, aku tidak punya apapun untuk ditawarkan," gumamnya kesal. Namun, mau tidak mau Eira harus tetap menyelam untuk menemui para Siren.

Dengan harapan dia bisa mengelabui para Siren, Eira mulai menyelam ke danau. Sedikit ragu, dia menoleh sesaat pada Nero yang mengamatinya dari pinggir danau, hingga akhirnya dia menyelam sepenuhnya. Kejernihan danau membuat Eira bisa melihat degan jelas tumbuhan yang menghiasi danau Mortal, namun dia masih belum menemukan tanda-tanda keberadaan Siren.

Karena belum menemukan apapun, Eira berniat naik ke permukaan untuk mengambil oksigen yang mulai menipis di paru-parunya. Baru saja dia akan berenang ke atas saat sesuatu menariknya turun, membawanya jauh ke dasar danau yang tidak terlihat. Dia menggeliat untuk terlepas agar bisa mencapai permukaan karena dadanya mulai kehabisan oksigen. Namun, apa pun yang menariknya tidak melepaskan Eira dengan mudah dan terus menariknya menjauh dari permukaan.

Anehnya, saat semakin jauh dirinya dengan daratan, paru-parunya mulai tebiasa dengan sesaknya udara di sekeliling. Tiba-tiba, dia sampai pada dasar danau yang gelap dan beraroma ganggang, sedangkan sesuatu yang menariknya sampai ke dasar, pergi meninggalkannya. Di sisi kanannya, dia mulai mendengar suara nyanyian yang begitu indah. Sesuai dugaannya, tiga Siren muncul berenang menghampirinya.

"Darah campuran manusia dan vampir, spesies terakhir dari jenisnya," ujar seorang Siren, yang entah bagaimana dia bahkan tidak berkomat-kamit untuk bisa didengar oleh Eira.

"Apa yang kau inginkan?" tanya seorang Siren lainnya, kini mereka memutari Eira bagaikan inti pusaran.

"Bagaimana aku bisa menjawab mereka," pikir Eira dalam hati.

"Kau bisa berbicara, kami mendengarmu," ujar Siren ketiga.

Eira sedikit terkejut dengan cara para siren berkomunikasi dengannya, namun cepat-cepat dia sampaikan maksud kedatangannya. "Aku ingin mencari tahu mengenai manusia, mitos-mitos cerita mengenai mereka."

"Dan apa yang bisa kau tawarkan?" tanya Siren pertama yang berbicara padanya.

Ragu untuk mengatakan bahwa dia tidak memiliki apa pun untuk ditawarkan, Eira akhirnya berbohong. "Sesuatu yang tidak bisa kalian tolak," katanya. Berharap, dia bisa mengelabui para Siren.

"Kau tidak memiliki apa pun untuk ditawarkan," sergah si Siren kedua.

"Oh, tidak! Kau tentu punya sesuatu yang sangat berharga untuk kami." Kali ini si Siren ketiga, seolah mereka berbicara sesuai dengan urutan secara bergantian.

Eira yang justru bingung dengan perkataan si Siren ketiga, mulai bertanya-tanya. Namun, berakhir dengan membisu, takut kalau-kalau yang dia maksudkan adalah Nero.

"Ingatanmu." Siren pertama mengulangi siklus percakapan mereka lagi.

"Ya, berikan memori indahmu dan kami akan berikan yang kau minta."

Untuk kesekian kalinya, Eira ragu kembali, tidak yakin untuk memberikan memori indahnya yang hanya sedikit untuk dilepaskan. Setidaknya, memori itu yang membuatnya tetap memiliki semangat untuk hidup, untuk tetap menemukan arti hidup panjangnya yang membosankan. Namun apakah setara dengan apa yang akan dia ketahui setelahnya?

"Baiklah, ambil memoriku dan berikan informasi mengenai manusia yang ingin kuketahui." Akhirnya dhampir itu menyetujuinya.

Para siren kemudian mulai berputar lebih cepat, membuat pusaran air di sekeliling Eira, menariknya naik perlahan-lahan. Hingga para siren mulai bernyayi untuknya.

Nun jauh di sana, seseorang tercipta
Dari ledakan ke tanah bernyawa
Tidak berjiwa dan tidak pula suci
Nun jauh di sana, istana kemegahan
Apel merah sepahit kehidupan
Cawan suci pembawa keabadian
Nun jauh di sana, di balik hutan
Tercium seperti bakaran
Meledak dengan buas bagai hewan
Senyap dalam kesendirian
Dia yang terlupakan

Nyanyian yang begitu khidmat dan menentramkan telinga, namun terdengar nestapa dan penderitaan, serta bermakna sesuatu yang tidak bisa Eira jelaskan. Hingga akhirnya dia sampai ke permukaan, Nero yang menunggu kehadirannya bangkit dari posisi berbaring dengan penasaran. Seolah-olah jika hewan itu bisa bicara, dia akan melontarkan setiap pertanyaan di kepalanya.

Diingat-ingatnya nyanyian para siren yang bahkan lebih dia tidak mengerti daripada bisikan pedang Excalibur. Membuatnya menyesali pertukarannya yang tidak menguntungkan sedikit pun. Kini, Eira memandangi danau, mengerti bagaimana manusia terakhir mati di sana. Memori indahnya telah di ambil oleh para siren sebagai hadiah, agar rasa sakitnya berkurang saat dia meninggalkan kefanaan.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top