CHAPTER 2
Matahari belum naik ke permukaan saat Eira bangun untuk berlatih pedang pagi itu. Dia ingat betul bagaimana dia memilih pedang pertamanya dengan menukar koin Frocrint druid yang dia curi hanya untuk sebuah pedang. Jika saja saat itu dia tahu harga 1 koin Frocrint druid seharga ratusan pedang, dia sudah jelas tidak akan menukarnya. Sayangnya, Eira masih terlalu muda dan bodoh untuk ditipu.
Eira menarik napas panjang setelah hampir dua jam dia menghabiskan waktu dengan berlatih pedang. Diasahnya pedang itu agar kembali tajam setelah percobaan dua jamnya itu. Angin yang berhembus pelan membawa aroma pohon Elder tercium dari segala arah, aroma yang dia cukup rindukan. Pasalnya, pohon itu hanya tumbuh di daratan Arlon dan Aeri, di mana para elf dan peri menanamnya dengan sihir mereka.
Matahari kini mulai tampak melalui celah-celah dedaunan di atasnya, cahaya keemasan membanjiri tubuh Eira yang basah karena keringat. Hari ini, dia berniat untuk berbelanja ke pasar, Eira juga berniat untuk menetap di rumah untuk beberapa hari ke depan. Lagipula, dia masih memiliki 3 keping koin emas yang belum dia gunakan. Dan setidaknya, itu bisa menghidupinya sampai musim dingin nanti yang hanya tinggal 3 bulan purnama lagi, jika perkiraannya benar. Jadi dia tidak perlu repot-repot untuk mencari upah dari berburu monster.
Saat berjalan kembali ke rumah gubuknya, dari kejauhan Eira melihat Nero yang terbang rendah dan mendarat tepat di halamannya. Eira tersenyum sambil berlari kecil menghampiri hewan itu. "Kau bersemangat sekali ya? Aku juga." Dia kemudian masuk mengambil daging yang dia beli kemarin untuk memberikannya pada Nero. "Aku akan ke pasar, kau di sini saja, tidak akan lama."
Nero seolah tidak peduli, dia sibuk mengunyah santapan paginya. Tentunya, Eira meninggalkan Nero karena letak pasar yang tidak terlalu jauh jika ditempuh dengan berjalan kaki. Lagipula, masih terlalu pagi untuk tidak mencicipi udara segar hutan yang begitu rindang.
Setelah berjalan keluar hutan dan berjumpa dengan beberapa rumah yang tidak jauh dari sana, Eira akhirnya menemukan gerbang kayu tua yang menjadi pintu masuk pasar. Suara hiruk-piruk pasar bukan salah satu hal yang dia rindukan. Namun seperti kebanyakan pasar lainnya, tempat itu merupakan tempat yang cocok untuk menyebar gosip dari satu orang ke orang lainnya. Eira yang biasanya tidak ingin tahu-menahu mengenai gosip di kota mulai penasaran karena setiap lapak pedangan yang dia kunjungi membicarakan hal itu.
Dari yang dia dengar samar-samar, mereka menyinggung mengenai pedang, kemunculan, dan sesuatu mengenai manusia. Karena penasaran, Eira menanyakannya pada pedagang sayur tempat dia berhenti. "Maaf, apa yang dibicarakan orang-orang?" tanyanya.
"Mereka membicarakan Excalibur," jawabnya.
"Excalibur? Ada apa dengannya?" tanya Eira lagi, lebih penasaran dari sebelumnya.
"Kabarnya, pedang itu terlihat di daerah Morlon."
"Pedang itu tidak pernah terlihat selama lebih dari lima ribu tahun."
"Tepat sekali, yang berarti perang akan terjadi lagi." Pedagang sayur itu memasukkan belanjaan ke kantung bahan yang Eira berikan.
Setelah membeli semua daftar belanjaannya, Eira kembali menuju gubuknya dengan tergesa-gesa. Dia bukan tipe seseorang yang mempercayai sebuah gosip, namun kali ini jika apa yang dikatakan pedagang sayur di pasar benar, maka perang memang akan terjadi lagi. Karena itu, Eira sendiri yang harus memeriksa kebenaran berita itu. Nero yang sedang berbaring, segera menegakkan kepalanya saat melihat Eira yang tergesa masuk ke rumah. Tidak lama setelah itu, dia keluar lengkap dengan kedua pedang miliknya.
"Ayo, Nero! Ada hal yang harus kuperiksa. Sebelumnya aku harus meminta persetujuanmu dulu." Eira berdiri di depan hewan itu yang memiringkan kepalanya seolah menunggu apa yang akan dikatakan. "Kita akan ke Morlon, tapi aku tidak punya waktu untuk menyembunyikanmu. Yang berarti jika kau ikut bersamaku, kau akan terlihat oleh orang-orang," paparnya, tidak yakin hewan itu bisa berempati.
Nero masih memiringkan kepalanya, namun tidak memberikan gerakan lain. "Aku tidak akan memaksamu, aku tahu kau tidak suka orang-orang, aku juga, karena itu aku tahu bagaimana perasaanmu." Eira kemudian menunduk, tidak tahu apakah Nero mengerti perkataannya atau tidak. Namun, saat dia berpikir bahwa Nero sudah pasti tidak mengerti perkataannya, hewan itu menyundulkan kepalanya pada Eira, memberikan isyarat untuknya naik.
"Kau mengerti perkataanku?" tanya Eira.
Nero kemudian berkicau seolah mengerti yang dibalas dengan senyuman lebar dari Eira. Dia kemudian menaikinya.
Arlon menuju Morlon, bukan sebuah perjalanan yang singkat, karena harus menyebrangi Laut Haetra. Selain itu, Eira tidak tahu di mana letak persis pedang Excalibur muncul, membuatnya harus berputar-putar mencari keberadaannya. Sampai mereka berhenti pada sebuah kerumunan orang-orang yang mengantre untuk sekadar melihat atau pun mencoba menarik pedang Excalibur dari batunya.
Nero mulai turun perlahan, kepakan sayapnya yang besar membuat angin di sekitar berhembus lebih kencang. Sekarang, bukan hanya pedang Excalibur yang menjadi perhatian, melainkan Eira dan Nero juga. Semua orang memberikan jalan saat dhampir itu turun dari tunggangannya, mencoba untuk bertemu dengan pedang melegenda itu.
Bisikan mulai terdengar, bukan dari orang-orang di sekitar yang mencoba untuk bergosip, melainkan suara dari pedang itu yang menarik Eira untuk mendekat. Dia tidak pernah berpikir sedikit pun untuk menarik pedang Excalibur, bahkan Nero pun tahu Eira hanya memiliki setengah darah manusia, yang berarti pedang itu pun akan berlaku sama. Atau tidak? Pikirnya.
Suara bisikan yang kian menarik Eira membuatnya secara tidak sadar telah menggengam Excalibur dengan satu tangan, siap untuk menariknya. Orang-orang mulai memperhatikannya bagaikan sebuah adegan menegangkan. Suara bisikan yang tidak begitu jelas masih menghantui telinganya, sampai pada saat dia menggenggam pedang itu dengan kedua tangan, matanya menjadi gelap seketika dan bisikan berubah menjadi perkataan yang terdengar jelas ditelinganya.
"Kegelapan telah kembali, dia lebih kuat dari terakhir kali perang terjadi. Hanya manusia yang bisa menarik pedang malaikat dan menghunuskannya pada setiap iblis, jika kau berhasil menemukannya."
Eira kembali pada kesadarannya penuh, namun telinganya seolah masih tertinggal jauh di belakang. Dia masih merasakan suara itu, yang begitu jelas dan sedikit membingungkan. Nero di belakangnya bersuara untuk memberikan isyarat pergi, hewan itu rupanya tidak tahan berlama-lama berada di kerumunan, begitu juga Eira.
"Kita pergi ke istana, 7 kerajaan besar pasti sedang mengadakan pertemuan." Diusapnya Nero perlahan, hingga hewan itu melesat naik.
Morlon adalah daerah kekuasan witch, mereka yang lahir di daerah itu, akan memiliki kekuatan langsung sebagai seorang witch, seolah-olah memang tempat mereka tinggal memiliki kekuatan magis. Maka dari itu, akan sangat jarang sekali melihat makhluk lain selain witch di daerah itu. Tentunya ini hanya berlaku di sekitar tanah kerajaan yang dibatasi dengan mantra sihir mereka. Selain itu, setiap witch yang sudah menjadi remaja dibebaskan untuk memilih menjadi seorang witch atau vampir. Hal ini merupakan salah satu kesepakatan demi menjaga kaum vampir dari kepunahan karena tidak bisa menghasilkan keturunan. Walaupun begitu, vampir memiliki rentang hidup yang abadi, yang berarti mereka akan hidup panjang jika bukan karena dipenggal kepalanya atau ditusuk jantungnya.
Dari kejauhan, Eira bisa melihat kastel kerajaan yang mengapung tinggi di langit, di bawahnya, pemukiman warga yang sibuk di tengah hari. Kerajaan Witch di Morlon merupakan satu-satunya kerajaan yang berada di langit. Mereka membangun kastel dengan kekuatan sihir agar bisa mengapung.
Eira meminta Nero untuk memutari kastel sebelum akhirnya mereka mendarat pada sebuah balkon besar dengan pintu terbuka yang di dalamnya terdapat sekumpulan orang berdiskusi. Tentunya, itu adalah para raja dan ratu dari 7 kerajaan, namun dari yang Eira lihat, ada lebih dari 7 orang yang berada dalam ruangan itu. Rupanya, beberapa kerajaan kecil di Afemir diundang dalam pertemuan mendadak ini, yang berarti hampir semua perwakilan ras di Gaia berada dalam satu ruangan, kecuali dhampir.
Kedatangan Eira yang cukup mencolok membuat semua mata tertuju ke balkon, yang paling terkejut adalah Raja Peri dan Ratu Elf. Ini semua karena kehadiran Nero bersamanya. "Oh, jadi semua ras di Gaia hadir dalam pertemuan ini, kecuali diriku," ujarnya saat turun dari tunggangannya.
Diliriknya satu-persatu setiap perwakilan, hingga berhenti pada raja vampir yang memiliki kulit begitu pucat, sampai-sampai jika dia bukan vampir, orang akan mengira dia terkena penyakit, ditambah dengan rambut putihnya yang bagaikan tembaga, Elias nama yang menambahkan kesan misterius di balik matanya. "Bakhan Satyr dan Mermaid," gumam Eira, seraya berjalan memutari ruangan. "Kalian benar-benar membenciku, ya?"
Tidak ada jawaban. Semua terdiam tanpa menjawab pertanyaan Eira sedikit pun yang sejujurnya dia tidak membutuhkan jawaban sama sekali.
"Kenapa?" Suara Eira menggelegar di seluruh ruangan, membuat beberapa perwakilan terkejut. "Kenapa?"
"Karena kau tidak bisa kami kendalikan!" Untuk pertama kalinya seseorang menjawab. "Karena kami tidak tahu kau berada di mana atau tinggal di mana. Kau selalu berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat lainnya, dan terakhir seseorang melihatmu di Troan kemudian menghilang," papar Elias.
Eira terdiam. Tidak mengira bahwa Elias akan menjawabnya, bahkan Eira bertanya-tanya dari mana dia tahu bahwa dirinya baru saja dari Troan.
"Sekarang, duduk lah jika kau mau, kita sedang membahas mengenai kemunculan Excalibur," kata Elias yang mempersilahkan Eira bergabung.
"Silahkan kalian lanjutkan, aku akan mendengarkan," ujar Eira yang tetap berdiri di tempatnya, tidak menghiraukan ajakan Elias untuk duduk.
Pertemuan dilanjutkan kembali. "Aku ingin mendengar pendapat kalian semua mengenai situasi ini, terutama tindakan apa yang harus kita lakukan?" Elias melirik satu-persatu orang di ruangan.
"Aku menyarankan kita mempersiapkan pasukan, terutama di setiap wilayah perbatasan," usul Raja Dellinger, Alpha dari pack manusia serigala di Rudolf.
"Itu sudah pasti. Maksudku rencana untuk mengalahkan pasukan iblis. Pedang Excalibur satu-satunya yang bisa melukai para iblis, dan hanya menusia yang bisa menariknya, tanpanya kita tidak bisa menang." Ratu Elf, Calliope memberikan ekspresi kesal karena usulan Raja Dellinger yang tidak memuaskan.
"Bagaimana dengan Eira?" sahut Eros, Raja Druid sambil melirik perempuan dhampir itu.
"Ada apa denganku?" tanyanya bingung mengenai apa yang dia bicarakan.
"Dia memiliki setengah darah manusia, mungkin saja dia bisa menariknya," jelasnya.
Eira menggeleng sambil melipat kedua lengannya di dada. "Tidak, aku tidak bisa, aku sudah mencobanya ...." Keheningan sesaat, seolah ada yang ingin Eira katakana setelahnya, namun dia memilih diam.
Di saat keheningan menyelimuti, pintu utama ruangan terbuka, seseorang dwarf masuk sambil meminta maaf karena telah menginstrupsi. "Maaf, silahkan lanjutkan," ujarnya. Matanya kemudian menelusur sekitar hingga berpapasan dengan iris mata Eira. Sedikit terkejut dwarf itu kemudian tersenyum kecil padanya, seolah memberikan isyarat, "Senang bertemu denganmu lagi."
"Kalau begitu tidak ada yang bisa kita lakukan lagi," sahut Ratu Eglantine, Ratu mermaid yang memiliki tubuh mengkilat bagaikan mutiara.
Eira yang berdiri di pojok ruangan mulai mengingat-ingat bisikan yang menghantui pikirannya sejak dia menyentuh pedang Excalibur. "Hanya manusia yang bisa menarik pedang malaikat dan menghunuskannya pada setiap iblis, jika kau berhasil menemukannya," gumamnya.
Elias menoleh ke arah Eira saat mendengar dhampir itu bergumam. "Kau mengatakan sesuatu, Eira?" tanyanya.
"Aku mengatakan pada kalian bahwa aku mencoba untuk menarik pedang Excalibur," ujarnya.
"Ya, dan kau tidak berhasil," sela Ratu Calliope.
Eira menoleh padanya mengisyaratkan bahwa dia belum selesai berbicara. "Ya, namun saat kugenggam pedang itu, sebuah bisikan terdengar di telingaku, seolah pedang itu berbicara padaku. Kegelapan telah kembali, dia lebih kuat dari terakhir kali perang terjadi. Hanya manusia yang bisa menarik pedang malaikat dan menghunuskannya pada setiap iblis, jika kau berhasil menemukannya," paparnya, mengulangi apa yang dia dengar saat menggenggam pedang Excalibur.
"Kita semua sudah tahu bahwa pedang itu hanya bisa ditarik oleh manusia, tidak adakah informasi lainnya yang pedang itu berikan?" Kali ini Ratu Xandrilia sang tuan rumah yang merasa bosan dengan perkataan Eira, memutar bola matanya.
Eira menyeringai. "Kalian semua benar-benar bodoh ya," cibirnya.
"Hanya manusia yang bisa menarik pedang malaikat dan menghunuskannya pada setiap iblis, jika kau berhasil menemukannya," gumam dwarf muda yang belum lama ini bertemu dengan Eira waktu itu, mengulangi perkataanya. "Jika berhasil menemukannya, yang berarti kemungkinan di suatu tempat ada manusia yang hidup."
"Akhirnya ada seseorang yang mengerti." Eira menoleh padanya. "Terima kasih," tambahnya.
Dwarf itu memberikan anggukan kecil.
"Tidak ada manusia yang bisa hidup sejauh ini," bantah Raja Castor, dwarf lainnya yang berada di ruangan.
"Entahlah Castor, pedang Excalibur tidak akan mengatakan hal itu jika memang tidak ada." Elias menumpukan wajanya pada kedua tangan di atas meja, terlihat begitu serius namun dengan ekspresi yang datar.
Kini Eira terdiam lagi, berusaha untuk berpikir keras. Mencari arti dari bisikan pedang itu yang sampai sekarang dia putar berulang-ulang di kepalanya. Apakah yang dimaksud adalah Venus? Namun dia berasal dari dunia yang berbeda, pikirnya. Hanya ada satu hal yang bisa Eira lakukan saat ini, untuk bisa mengerti pesan yang dia dapatkan, yaitu menanyakannya pada seseorang yang tahu mengenai adanya dunia lain di mana manusia tetap hidup selain dirinya.
"Aku akan ke Dark Alpen," gumamnya.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top