Lembar 10. Bencana Besar
Adji Gatrakalya hancur dari dalam. Dia tidak menemukan alasan apa pun untuk mempertahankan sahabat yang telah dicintainya sejak lama ini. Dia ingin menepis semua keraguannya, memuntahkan rasa sedih yang dia pendam selama ini. Arya menjelaskan dengan sangat panjang, bagaimana perasaannya bertahun-tahun.
Dan dia ingin pergi.
Dari negerinya.
Darinya.
Batin Adji menjerit tak terima. Marah. Harga dirinya sebagai seorang lelaki diuji. Dia tidak menerima keputusan Arya, yang dengan semena-mena akan menghilang dari hidupnya. Adji terlalu terpaku pada singgasana dan tahta, namun sesaat dia sadar... yang dia inginkan bukan tahta itu. Yang dia inginkan adalah kekuasan. Hanya wibawa. Agar negerinya dan Maharaya dapat berdamai, agar dia dapat bertemu dengan sahabatnya tanpa bersembunyi seperti dulu.
Sayangnya... semuanya hancur karena Kedaton Wangi yang mengidamkan atensi. Dan Prabu Gajih, ayahandanya sepertinya melihat itu sebagai sebuah peluang agar kedua negeri bisa bersatu.
Bagaimana bila Arya benar-benar menggadaikan rasa cintanya terhadap negerinya? Adji merasa sangat patah dan cemas, sementara Pancakalya mengidamkan kepeduliannya. Adji menelan ludah gugup. Hatinya tidak cukup kuat untuk menghadapi masalah ini. Lalu matanya menatap lurus-lurus wajah Arya.
"Apa kau akan benar-benar meninggalkanku?"
Jantung Arya berdegup kencang. Lalu dia berbisik pelan sekali lagi, memuntahkan rasa sakit yang selama ini dia himpit seorang diri. "Ya..."
Hati Adji semakin diuji.
"Dan kau tak peduli dengan hatiku?"
"Aku peduli dengan hidupmu."
"Aku tidak tahu kenapa sekarang kau jadi begini egois, Arya!"
Arya menggeleng. "Aku tak ingin menyakitimu dan membawamu dalam masalah karena pemikiranku."
"Apa kau pikir aku akan baik-baik saja ketika kau pergi?"
"Apa kau akan mengabaikan rakyatmu?"
"Apa aku akan menyakiti hatimu? Rakyatku bisa bahagia karena ayahku atau saudaranya yang lain, namun aku hanya bisa bahagia karenamu. Apa aku tak berhak bahagia, Arya?"
Arya merasa tercubit.
"Kita tak berhak begini."
"Maksudmu, aku tak berhak bahagia?"
"Sangat berhak, namun bukan denganku."
Hati Adji semakin panas. Dia tidak tahu jika Arya menjadi rapuh, menjadi pribadi yang sangat penakut dan juga pengecut. Baginya, Arya tahu segala solusi atas semua masalah yang terjadi dalam hidupnya. Adji selalu meminta pendapat, namun sekarang pendapat Arya seperti sebilah pisau dengan dua buah mata yang tajam. Hatinya seketika hancur dan tak bisa dibendung lagi. Adji menangis.
"Apakah aku harus bertingkah menyedihkan baru kau tahu betapa hatiku hancur karenamu?"
Arya tak bergerak. Bibirnya kelu meski hanya untuk bicara.
"Apa aku terlihat sangat menjijikkan hingga kau menepis semua rasa yang kurasakan terhadapmu?"
Arya masih tak bersuara.
"Lalu, aku harus bagaimana, Adji?"
"Tetaplah di sampingku."
"Tidak mungkin. Berada di sampingmu sangat menyakitkan."
"Kenapa?"
"Kau bukan untukku."
"Hatiku masih..."
"Tidak, aku tidak ingin menyakiti banyak orang karena keegoisan kita."
"Apakah cinta ini yang kausebut egois, Arya?"
"Kita tidak seharusnya bersama. Kau lelaki, aku pun begitu. Tak baik bila kita saling memiliki rasa."
"Aku mencintaimu! Sampai aku ingin mati karena melihatmu! Akan kita bawa bersama beban ini, karena memikirkanmu pun sangat berat."
"Aku mencintaimu."
"Lalu apa?"
"Namun, kita tak bisa bersama, Adji."
Hati Arya digempur nestapa. Hati Adji pun demikian. Namun, bukan Arya bila pendiriannya tak mengejutkan. Hati Arya semakin gundah, namun dia berhasil melarikan diri dari semua masalahnya. Lalu, satu kalimat muncul dari bibirnya.
"Aku akan pergi..."
"Ke mana?"
"Ke tempat yang bahkan kau pun tak sanggup menjangkaunya."
"Tidak, aku akan mengikutimu."
"Tidak boleh! Kau untuk rakyatmu."
"Hatiku untukmu."
"Namun kau tidak berhak mengikutiku."
"Kenapa?"
"Aku akan semakin lemah bila berada di sampingmu, Adji."
"Lalu kau akan meninggalkanku menyedihkan di sini?"
"Setidaknya rakyat lebih berhak atasmu."
"Apa yang akan mereka katakan bila melihat raja mereka bertingkah begini menyedihkan, menjadi raja yang seperti mayat hidup?"
"Apa kau tidak ingin membuat orang tuamu bangga?"
"Aku ingin bahagia untuk hatiku."
"Kau belajar banyak untuk menjadi keras kepala."
"Kau yang mengajariku."
Arya mengembuskan napas. Dia masih ingin pergi, meninggalkan Adji Gatrakalya dengan segala keagungannya sebagai raja suatu hari nanti. Arya tersenyum lembut, lalu jemarinya menepuk bahu sahabatnya sekilas.
"Aku akan pergi."
"Tidak, aku tidak akan mengizinkanmu!"
"Kau tidak berhak melarangku!"
"Aku harus melarangmu. Bagaimana aku bisa hidup bila kau tak ada?"
"Hiduplah untuk rakyatmu!"
Adji masih keras kepala. Jemarinya terulur, memeluk Arya sekencang mungkin. Dia akan memeluknya sepuas yang dia mau. Bila nanti Arya hancur karenanya, dia akan menyusul. Adji tidak mengerti kenapa hatinya jadi begini rapuh ketika Arya mencoba untuk meninggalkannya. Namun, Adji tidak akan pernah bisa menyerahkan orang yang dia cintai. Arya miliknya, dan seterusnya akan menjadi miliknya.
"Gusti Pangeran, Paduka Pangku Wiyatmaya memanggil Pangeran Arya..." Suara emban istana terdengar di luar taman. Adji berdehem, melepaskan pelukannya sesaat, lalu menatap lurus-lurus mata sahabatnya.
"Apa pun yang terjadi, kau tidak akan pernah bisa lepas dariku, Arya!"
Arya tahu, sahabatnya sejak kecil itu memiliki pandangan yang tidak bisa dialihkan. Dia tidak tahu bila segala sesuatu akan berujung pada sebuah keputusan rumit. Adji selalu keras kepala, dan itu tidak akan pernah bisa berubah darinya. Karena itulah Adji merasa sangat kuat dengan segala sesuatunya. Dia tahan banting dan tidak akan pernah goyah dengan apa pun juga.
"Aku akan menemui ayahku. Mungkin inilah saatnya aku pamit, kembali ke negeriku."
Dan benar saja, rombongan tersebut segera kembali ke Wiyatmaya. Arya mencoba untuk tak bicara apa pun meskipun hatinya terasa sangat sedih. Adji menatapnya dari balai istana, menatapnya tanpa kata. Hanya ada jejak kesedihan di matanya. Adji tidak mengerti kenapa Arya menjadi seperti ini. Arya bukan lagi sosok yang dulu.
Hari-hari setelahnya berganti. Arya memendam rasa sakit tersebut. Lalu, segalanya berubah. Hari itu gerimis membasahi bumi. Arya bergerak. Hatinya sudah tidak tahan lagi. Ditinggalkannya sebuah pesan di atas lontar untuk ibundanya tersayang. Isinya singkat, namun pasti akan membuat mereka semua kebingungan.
"Ibunda, anakmu ini terlalu rapuh dan picik. Karena itulah, izinkan Ananda pergi dari Maharaya, menempa diri Ananda untuk terus kuat dan kokoh..."
Arya berhasil keluar dari istana melalui jalan yang sering dia lewati ketika hendak bertemu Adji. Dia berhasil sampai di tempat pertemuan mereka, lalu tersenyum dengan semua kenangan yang ada di sana. Arya berbalik. Ini waktunya pergi, itu pikirnya. Namun, sesosok lelaki berdiri di depannya secara mendadak.
Arya bungkam.
"Aku menunggumu..." bisiknya lembut.
Arya tidak tahu harus menjawab bagaimana.
"Apa yang kaulakukan?"
"Aku akan menemanimu ke mana pun kau pergi."
"Hentikan, Adji!"
"Aku akan meninggalkan semuanya. Tahta, istana, dan segala hal tentang jabatan yang memisahkanku denganmu. Aku akan hidup bersamamu, tertawa bersama hingga maut memisahkan kita."
Mata Arya berkilat. "Aku tak akan pernah kembali."
"Aku juga tak akan pernah menarik ucapanku kembali. Aku akan mengikutimu."
Arya melangkah, Adji mengikutinya di belakang. Semuanya terlihat semu dalam sekejap. Adji mengikuti langkah Arya. Dia terlihat sangat bahagia. Tak ada raut terpaksa. Bahkan dalam beberapa sikap, Adji-lah yang tertarik dengan cara melarikan diri seperti ini.
"Apa kau siap untuk menjalani hidup yang menyakitkan denganku?"
Adji mengangguk cepat.
"Tak akan ada emban yang akan melayanimu."
Adji mengangguk cepat.
"Tak ada prajurit ataupun pengawal istana yang akan melindungimu..."
Adji mengangguk lagi, lalu mengedikkan bahunya dan berbisik, "Namun ada kau yang selalu membuatku bahagia. Itu sudah lebih dari cukup, Arya... Aku akan menemanimu ke mana pun kau pergi!"
TBC
Kurang 1 episode lagi tamat.
Akhir2 ini aku ke wattpad ibarat Milea ke Dilan. Tau, lah apaan... :3
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top