50 | The Truth

"Bagaimana jika kau simpan dulu euforiamu sampai kita kembali ke dunia nyata? Sejujurnya aku tidak tahu apakah semua tentara Indian itu akan kembali lagi atau tidak, atau lebih buruknya, Wendigo," ucap Tadashi cepat pada Dakota.

"Jangan khawatir, alam mimpiku aman dari Wendigo."

Terkejut, Tadashi dan Dakota menoleh ke belakang, melihat Akando mengenakan jaket kulit berwarna cokelat tua yang dipadukan dengan kemeja flanel. Celana jeans-nya dilipat, mengekspos boots hitam yang dikenakannya. Rambut panjang berubannya dibiarkan tergerai. Tangannya memegang tombak dengan sedikit bulu-bulu binatang. Dengan segera, Tadashi berdiri sambil menopang lengan Dakota, membantu pria itu untuk berdiri. Namun, Dakota terlalu lemah untuk berlari, sehingga Tadashi tidak sempat membawa kakeknya untuk kabur. Melarikan diri ke dunia nyata pun percuma karena kini Akando juga memiliki kemampuan dream walking. Mereka terjebak.

"Selamat datang di alam mimpiku, Tadashi. Akhirnya kita bertemu kembali." Akando menyeringai.

"Akando, enough!" bentak Dakota.

"Aku tidak akan bermain-main denganmu lagi, Pak Tua." Atensi Akando kini tertuju pada Tadashi. "Karena apa yang kami butuhkan sudah ada di depan mata," ucapnya tenang.

"Apa maumu?" hardik Tadashi.

"Kau berbicara sekasar itu pada orang yang lebih tua?" Akando terkejut.

Tidak mengindahkan, Tadashi maju satu langkah untuk menghalangi kakeknya dari Akando. Kedua matanya kembali bercahaya merah. Tadashi kembali membentak Akando sambil menunjuk wajah pria itu. "Mundur! Aku bisa membuatmu bernasib sama seperti tentaramu yang lain!" Tadashi tahu ancamannya tidak akan membuat Akando mundur, tetapi pemuda itu sudah telanjur putus asa.

Akando mengangkat tangan, mengisyaratkan bahwa Tadashi tidak perlu bersikap seagresif itu terhadapnya. "Kau tidak bisa membuatku bangun dari mimpiku sendiri, Anak Muda. Aku memiliki sebagian kekuatan Wendigo. Aku sama kuatnya sepertimu."

"Lalu, mengapa kau begitu terobsesi dengan kemampuan dream walking-ku? Apa yang sebenarnya kau rencanakan?" balas Tadashi.

Akando menyentuh dadanya sendiri. Raut wajah dan nada suaranya tetap tenang. "Aku bukan orang jahat di sini, Tadashi. Aku tidak terobsesi dengan kemampuan dream walking-mu. Aku tidak menginginkannya untuk kepentingan pribadi, tetapi kami semua membutuhkannya."

"Tidak menginginkannya? Setelah segala yang kau perbuat?" bentak Dakota. "Kau menghancurkan hidup cucuku, hidupku, keluargaku!"

"Dengar, kami sama menderitanya seperti kalian," ujar Akando tenang.

Tadashi menggeleng. "Aku tidak mengerti arah pembicaraan ini. Jangan berbicara berputar-putar, Kakek Tua!" bentaknya lagi.

Akando meletakkan tombaknya di rumput, kemudian kembali berdiri tegak dan mengangkat kedua tangan. "Aku berjanji tidak akan melakukan apa pun untuk melukai kalian. Namun, kalian harus mengetahui apa alasanku melakukan ini. Berhenti bersikap agresif selagi aku menjelaskannya baik-baik."

Tadashi dan Dakota saling pandang sejenak. Pria itu mengangguk, mengisyaratkan cucunya untuk tenang.

"Grandpa! Bagaimana jika ia memang mencoba memanipulasi kita?" bisik Tadashi.

"Jika Akando mencoba memanipulasi kita, aku akan mengetahuinya," ujar Dakota.

Tadashi berdecak. Ia berhenti menggertakan gigi dan berkedip, cahaya kemerahan di matanya padam. Ia kembali menoleh pada Akando. "Jika ini adalah bagian dari tipu daya muslihatmu, kau akan menyesalinya!" ancamnya.

Ah, tentu saja Tadashi tidak akan memercayainya begitu saja setelah insiden kebakaran hutan kota beberapa bulan lalu, Akando tahu itu. Maka, ia memasang ekspresi setenang dan sehangat mungkin untuk membuat anak muda itu memercayainya kembali. "Aku akan mengajak kalian kembali ke masa lalu."

Akando mengangkat kedua tangan. Seketika, langit yang semula berwarna biru cerah, kini berganti menjadi jingga kemerahan. Matahari nyaris tenggelam di cakrawala. Pepohonan yang mengitari danau tenggelam ke tanah, menyisakan dataran yang luas sejauh mata memandang. Rerumputan sedikit layu dan tanah terlihat sedikit lebih gersang akibat cuaca panas. Di sana banyak tenda-tenda kerucut yang terbuat dari jerami dan kulit binatang. Di kejauhan terdapat beberapa rumah yang lebih kokoh, dibuat dari kayu dan jerami. Suku Indian beraktivitas seperti biasa. Beberapa pria dewasa datang dari arah hutan, membawa pulang hewan buruan seperti rusa dan babi hutan yang kaki tangannya diikat ke batang kayu panjang.

Tadashi dan Dakota menoleh pada seorang pria berkulit cokelat yang usianya sekitar pertengahan dua puluh tahunan. Wajahnya mirip dengan Akando, tetapi dengan kerutan yang sangat minim. Pria itu mengenakan terusan panjang berwarna putih dengan sandal gladiator berbahan kulit. Ia menyeret sesuatu yang lebih besar dari babi hutan. Ketika diamati dari dekat, cucu dan kakek itu membelalak ketika mengetahui bahwa sosok yang pria itu seret adalah seorang manusia. Ditambah lagi, seseorang itu memiliki etnis yang berbeda dengan suku Indian. Rambut pirang, kulit putih, serta rahang yang tidak terlalu tajam. Tubuhnya diikat kuat layaknya hewan ternak.

"Yang sedang membawa seorang pria itu ayahku, Etu," ujar Akando.

Tadashi dan Dakota mengikuti pria yang bernama Etu itu. Ia menyandarkan pria kaukasia yang tadi diseretnya ke totem setinggi dua meter dengan tengkorak rusa di atasnya. Diikatnya seluruh tubuh pria itu. Seorang wanita tua menyalakan api unggun yang terletak sekitar lima meter di depan pria yang diikat. Tadashi dan Dakota menoleh, melihat sekitar selusin pria dan wanita dewasa dengan cat di wajah berjalan mengitari pohon dan api unggun, kemudian duduk di rumput. Mereka lalu bersujud pada totem tersebut, mengucapkan pujian-pujian dalam bahasa kuno.

"Please ... please don't do this. Release me ...," lirih pria kaukasia itu dengan aksen British yang kental. Air matanya berlinang, suaranya lemah dan parau. Tubuhnya bergetar karena ketakutannya yang luar biasa.

Salah satu pemuda suku Indian yang terlihat lebih muda dari Etu berdiri di sebelah totem, mengangkat kedua tangannya di udara. Ia mengenakan topi bulu binatang dan lambang-lambang tribal. Kulitnya cokelat, rambut panjangnya dikepang. Kalung taring serigala menghiasi leher jenjangnya. Tadashi mengangkat kedua alis ketika menyadari bahwa kalung itu persis seperti miliknya.

"Pemuda itu seorang dream walker!" seru Tadashi.

Akando mengangguk. "Ya. Seorang dream walker akan memimpin ritual yang kami lakukan."

Para penduduk suku Indian dengan cat yang menghiasi wajah memejamkan mata, menjadikan tubuhnya rileks. Pemuda dengan topi berbulu itu pun pada akhirnya ikut duduk bersila di tengah lingkaran, melakukan hal yang sama.

"Tunggu. D-dia ...," bisik Dakota dengan mata membelalak. Ia merasa tidak asing ketika melihat fitur-fitur pemuda dengan kalung serigala yang berada di hadapannya.

"Kau tentu mengenalnya." Akando tersenyum pada Dakota. "Itu Kangee, adik dari Etu."

"Tapi ... Kangee adalah nama ayahku," lirih Dakota ketika menoleh pada Akando. "Apakah itu Kangee yang sama?"

"Wait, what?" seru Tadashi. Pemuda itu bergantian menatap dua pria tua di sampingnya, menutut penjelasan sekarang juga.

"Kau tidak pernah menyangka kita memiliki ikatan darah, 'kan, Sepupu?" ucap Akando pada Dakota.

"No." Dakota menggeleng. "Orang tuaku bilang mereka lahir dan tumbuh di kota."

"Itu karena orang tuamu berbohong padamu dan berkhianat pada suku Indian, Dakota," desis Akando.

Dakota membelalak. Ia membuka mulut, hendak mengatakan sesuatu, tetapi tenggorokannya tercekat. Dakota sudah tahu sejak lama bahwa mendiang ayahnya adalah seorang dream walker. Namun, dirinya terlalu syok untuk menerima kenyataan bahwa ayahnya memiliki seorang kakak, juga kenyataan bahwa ia memiliki hubungan darah dengan Akando.

Keributan di sekitar totem mengalihkan perhatian mereka. Ketiganya kembali pada ritual yang dilakukan suku Indian. Pria kaukasia yang diikat terlihat semakin ketakutan. Tubuhnya bergetar, bibirnya tidak berhenti berkomat-kamit. Pujian-pujian kuno yang dilontarkan suku Indian pun semakin lantang, bertumpuk antara satu suara dengan suara yang lain. Pria kaukasia yang dijadikan tumbal itu tiba-tiba berhenti bergetar. Tertidur, kelopak matanya menutup. Untuk beberapa saat, pria itu menjadi tenang setelah sampai di alam mimpi. Di satu titik, tiba-tiba tubuhnya tersentak dan menggeliat seperti terkena sengatan listrik. Kemudian, napasnya terhenti, kepalanya tertunduk, hidungnya mengeluarkan darah segar.

"Apa yang terjadi padanya?" tanya Tadashi.

"Wendigo mengambil nyawanya dan memakan jasadnya di alam mimpi sebagai persembahan dari suku Indian." Akando menjelaskan.

"Memangnya siapa dia? Apakah ia adalah penjajah?" tanya Tadashi.

Akando menggeleng. "Perang sudah berakhir beberapa puluh tahun lalu, tetapi Wendigo masih menginginkan manusia untuk dijadikan tumbal. Leluhur kami tidak terlalu khawatir ketika perang masih berlangsung, karena kami bisa mengambil penjajah sebagai tumbal. Namun, hal itu menjadi masalah setelah perang usai dan kami tidak lagi memiliki jasad untuk dipersembahkan."

"Lalu, apa yang kalian lakukan?" tanya Tadashi lagi.

"Pada akhirnya, kami harus diam-diam membawa penduduk suku lain, atau bahkan pendatang dari Eropa yang sudah melakukan perjanjian damai dengan suku Indian." Akando menjelaskan. Mendengarnya, Tadashi dan Dakota membelalak.

Langit yang semula berwarna jingga kemerahan perlahan menggelap, membuat ketiganya mendongak. Gumpalan kapas mendung menutupi benda-benda di angkasa. Puji-pujian yang dilontarkan suku Indian meredup seperti volume televisi yang dikecilkan. Api unggun di depan mereka perlahan mengecil dan padam. Hening, tidak ada penduduk desa yang berkeliaran di luar rumah selarut ini, hanya terdengar samar-samar lolongan serigala di kejauhan.

Suara rumput yang saling bergesekan mengalihkan atensi ketiganya. Mereka melihat Kangee dari balik tenda, menoleh kanan kiri, mengendap-endap di antara rumah-rumah. Fisiknya kini terlihat beberapa tahun lebih dewasa dari sebelumnya. Pakaiannya tetap sama, hanya saja rambut gondrongnya kini dibiarkan terurai. Kalung taring serigala melingkari lehernya. Tidak ada coretan cat di wajahnya. Pria itu terus melangkah, tangannya menuntun seorang wanita cantik yang tampak lebih muda darinya. Usianya mungkin sekitar awal tiga puluh tahunan. Keduanya berjalan tanpa suara dan masuk ke dalam hutan.

Rahang Akando mengeras. Pria tua itu menatap pamannya tajam. "Kangee, satu-satunya dream walker di suku Indian melarikan diri bersama istrinya." Akando kemudian menoleh pada Dakota yang masih dirangkul oleh Tadashi. "Kangee dan Etu sempat berdebat beberapa malam sebelumnya. Pria itu menganggap bahwa mengorbankan orang-orang asing sebagai tumbal Wendigo adalah perbuatan yang salah. Kangee menyangka dengan pergi dari suku, bersembunyi di kota, dan melepas ikatan dengan seluruh anggota suku, akan menghentikan kami melaksanakan ritual dan menyelesaikan segala masalah. Namun, hal yang lebih buruk justru terjadi."

Matahari mulai merangkak naik. Perlahan-lahan, langit kembali bercahaya, meskipun tidak terlalu cerah akibat banyaknya awan mendung. Tadashi dan Dakota terkejut melihat banyaknya anggota suku Indian tergeletak di atas rumput. Beberapa dari mereka mengeluarkan darah dari hidung atau mata. Tidak ada satu pun dari mereka yang bergerak.

"Apa-apaan ...," lirih Tadashi sambil mengedarkan pandangan. Ia membelalak tak percaya. Kengerian menjalar di tubuhnya, membuat bulu-bulu halus di lengannya berdiri.

"Ayahku bilang, dahulu pemandangan seperti ini tidak asing untuk disaksikan di pagi hari. Wendigo tidak peduli jika kami tidak bisa lagi melakukan ritual dan memberikan tumbal. Kepergian Kangee memperburuk segalanya. Alih-alih memilih tumbal dari suku lain, Wendigo justru menculik banyak penduduk suku Indian. Ia memilih makananya sendiri, tidak peduli dari mana asalnya dan apa latar belakangnya." terang Akando. Rahangnya semakin mengeras. "Sedangkan Kangee, ia menjalani hari dengan tenang tanpa rasa bersalah hingga akhir hidupnya. Setelah kematiannya, Etu dan anggota suku lainnya berusaha mencari tahu siapa dream walker yang lahir di generasi selanjutnya, tetapi mencari jarum di tumpukan jerami tidak semudah itu. Hingga berpuluh-puluh tahun lamanya, aku meneruskan usaha ayahku dan menemukan Tadashi di New York."

Setelahnya, alam kembali berganti. Danau kembali tampak, pepohonan di sekitarnya muncul dari dalam tanah, terus tumbuh menjulang tinggi. Dedaunan di rantingnya pun perlahan tumbuh. Ketiganya kembali ke tempat semula. Akando menatap Tadashi serius. "Kemampuanmu sangat langka, Tadashi. Kau istimewa."

"Aku tidak pernah meminta dilahirkan seperti ini!" bentak Tadashi, "memangnya aku senang menjadi seorang dream walker? Kau tahu bahwa aku tidak pernah tidur nyenyak sejak kau mencoba mencuri kemampuanku?"

"Kami tidak punya pilihan lain. Suku Indian tidak ingin mengambil risiko jika peristiwa Kangee terulang kembali. Kau cicitnya. Mungkin saja Kangee memberitahu sesuatu padamu dan memintamu untuk tidak bekerja sama dengan kami. Jika kau tidak mau membantu kami memimpin ritual, biarkan aku mengambil kemampuanmu," ujar Akando.

"Mengapa kau tidak memakai kemampuan yang dipinjamkan oleh wendigo untuk melaksanakan ritual? Saat ini pun kau bisa melakukan dream walking, 'kan?"

Akando menggeleng. "Aku tidak terlahir sebagai dream walker, Tadashi, aku tidak bisa terus menerus meminjam kemampuan dream walking. Wendigo adalah makhluk yang penuh perhitungan. Ada harga yang harus kubayar untuk menggunakan kekuatannya."

"Like what?" tanya Tadashi.

"Umurku. Setiap menit yang kugunakan untuk melakukan dream walking, akan mengurangi masa hidupku," jawab Akando, "seseorang yang dapat menyelamatkan kami hanya kau, Tadashi. Entah kau membantu kami untuk memimpin ritual, atau kau menyerahkan kemampuanmu padaku."

"Meskipun itu akan membuat keseimbangan otakku terganggu dan membuatku kehilangan kewarasan?" bentak Tadashi lagi.

Akando bergeming sejenak sebelum berbicara kembali. "Apa pun risikonya untuk kepentingan suku Indian. Suku leluhurmu, Tadashi."

Tadashi tidak pernah merasa semurka ini seumur hidupnya. Rahangnya mengeras, tangannya terkepal. Tanpa sadar, kedua matanya bercahaya merah. Pemuda itu hanya ingin hidup tenang layaknya remaja lain. Ia tidak perlu ikut campur dalam permasalahan yang dialami leluhurnya di masa lalu, 'kan? Ia juga merasa tidak memiliki tanggung jawab untuk menyerahkan kekuatannya pada Akando, maupun membantu suku Indian melakukan ritual penumbalan manusia.

Melihatnya, Akando tidak takut sedikit pun. Ia menyeringai, seolah menantang Tadashi untuk menggunakan potensi maksimalnya.

*****

Akando membuka mata. Sinar bulan jatuh menembus celah di antara jendela dan tirai, menimpa wajah dan mempertegas kerutan di mata dan sekitar bibirnya. Kini, dirinya sedang duduk bersila di atas karpet cokelat berbahan wol dengan kedua tangan yang diletakkan di lutut. Dukun suku Indian itu mengedarkan pandangan. Ruangan di mana dirinya berada didominasi oleh cat berwarna cream, serta furnitur berbahan kayu. Terdapat satu sofa dua dudukan di hadapan rak besar berisi buku-buku hard cover yang telah usang. Tidak banyak perabotan di ruangan yang cukup luas ini. Masih banyak tersedia area kosong yang lantainya dilapisi karpet.

Malam ini, rumah singgahnya di Kota New York begitu hening. Di hadapan Akando, duduklah beberapa anggota suku Indian, termasuk Noah. Tidak ada yang berbicara ketika dirinya bangun. Semua anggota suku menatapnya dengan raut wajah penasaran.

"Apa yang terjadi di sana? Apa Anda baik-baik saja?" tanya seorang pria kekar berusia pertengahan empat puluhan. Rambut hitam panjangnya diikat menjadi buntut kuda. Akando mengenalnya sebagai jendral perang suku Indian.

"Aku baik-baik saja, Kele," jawab Akando tenang.

"Kami terbangun dari alam mimpi beberapa menit yang lalu, tetapi Anda masih di sana saat kami tersadar." Noah menambahkan.

"Aku berhasil menemukan dream walker itu." Akando tersenyum dan menjawab dengan tenang. Pria tua itu beranjak dari posisi duduknya, lalu berdiri. "Panggil anggota suku lainnya! Kita harus bergegas!" perintahnya.

"Ke mana? Lalu, bagaimana dengan bocah dream walker itu?" tanya Noah sambil membantu Akando berdiri.

Akando menoleh pada pemuda berambut pirang itu. "Kita akan pergi menemuinya." Pria itu menjeda perkataannya. Wajahnya tampak serius. "Pertempuran besar akan terjadi. Kita harus mempersiapkan diri."

Dukung Dream Walker dengan menekan bintang di pojok kiri bawah 🌟

23 Juli 2022

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top