ORANG-ORANGAN MONOPOLI, DADU, DAN UANG DOLAR YANG MENEMANI LEGO

Ditulis oleh coffeenians

"Sudah lama aku terbaring di kotak ini."

Orang-orangan hijau terbangun dari tidurnya yang sudah sangat lama setelah merasakan kotak tempatnya tidur bergerak.

"Lego lebih suka ponsel pintarnya. Jangankan kita, mainan murahan yang menemani masa kecilnya ... lihat saja buku-buku mahal yang ada di rak itu juga tidak disentuhnya," kata si Merah galak.

"Tahu dari mana kamu soal itu?" tanya si Kuning.

"Aku tahu dari Dadu yang suka menggelinding tiap kali Lego memindahkan kita. Dia mudah mengintip!" tuding si Merah.

"Apa Lego akan memindahkan kita lagi?" tanya Dadu yang menggelinding ke salah satu sudut kotak, mengenai si Kuning yang kakinya tersangkut di celah kotak yang sudah bolong.

"Lihat hotel-hotel itu. Dulu mereka mahal sekali! Sekarang nasibnya sama dengan rumah-rumah dan kartu dana umum dan kesempatan. Tergeletak di dalam kotak, tidak tersentuh sama sekali." Kali ini si Hitam yang bersuara. Dia melihat sekeliling.

"Aku ... andai saja aku jadi dadu yang ada di meja bar permainan para mafia di TV. Orang-orang kaya dan perempuan-perempuan cantik di sana akan lebih baik daripada kotak ini," keluh Dadu. "Awas ... awas!!!" teriaknya pada si Kuning yang masih saja tertidur, hampir saja keluar dari kotak yang sudutnya sudah menipis, sedikit berlubang karena kaki runcing si kuning yang menyangkut.

"Tahu dari mana kamu kalau dadu bisa ada di meja mafia?" tanya si Kuning yang terbangun karena Dadu yang mengimpitnya.

"Aku mengintip Lego yang menonton film mafia waktu itu," Dadu menjawab. "Coba saja kamu lihat dari celah tempat kakimu tersangkut itu. Ah, Lego akan memindahkan kita ke mana lagi?!" teriak Dadu saat merasakan kotak tempat mereka tinggal kembali bergerak.

"Issshhhhh, rumah-rumah dan hotel itu berisik sekali!" seru si Biru yang paling pendiam. "Waaahhhhh! Awas ... awas! Dana umum dan kesempatan akan mengenai kalian," katanya melihat kartu berwarna hijau dan pink itu terlepas dari ikatannya.

"Uang-uang itu juga. Aku senang mereka semakin kelihatan sedikit, tapi tetap mereka yang paling banyak. Awas, Dadu!" teriak si Hijau.

Tiba-tiba cahaya menyorot ke seisi kotak. Lego dewasa memperhatikan semua isi kotak dengan bahu menurun. Dia membenarkan posisi si Kuning, melepaskan kakinya yang tersangkut pada sudut kotak.

"Ah, terima kasih Lego!" seru si Kuning yang kini bergabung dengan si Merah, Hijau dan Biru.

"Berlebihan sekali, kau, Kuning!" kata si Hitam kesal karena tempatnya sempit dengan si Kuning di sebelahnya.

"Aku masih berharap kalau Lego bisa mendengarkan kita."

Suara berat dari gambar uang-uangan Dolar menarik perhatian seluruh isi kotak.

"Konyol sekali, kau, Dolar!" tawa Dadu meledek. "Kau tahu, ada film anak-anak yang sering ditonton Lego. Di sana mainan seorang anak juga bercakap-cakap seperti kita."

"Lalu?" tanya si Biru. "Apa hubungannya dengan kita?"

"Di sana mainan-mainan itu juga tidak bisa bicara dengan pemiliknya. Mereka berinteraksi satu sama lain. Menjadi saksi si pemilik yang tumbuh dewasa."

"Seharusnya kalau Lego ingat kita, dia akan tersentuh dengan film itu. Mungkin dia akan merapikan kita, membiarkan kita berkumpul dengan mainan lain atau ...." Dolar menggantungkan ucapannya.

"Membuang kita. Aku mengerti itu." Si Biru tidak ambil pusing dengan perkataan Dolar. "Tapi buktinya, Lego tidak pernah membuang kita. Ke mana pun dia pergi, kita akan selalu dibawanya. Saat dia pindah rumah, tinggal di asrama, tinggal di kosan, sampai sekarang tinggal di apartemen. Sebatas itu. Sudah cukup. Tidak perlulah dia mendengarkan kita."

"Tapi aku bosan hidup di kotak hanya dengan kalian," kata si Hitam. "Lego! Aku ingin keluar!"

"Hai, apa kalian yang jadi ide cerita Lego yang tidak punya lego dalam buku yang terpisah sendiri di sana?" tanya perempuan yang datang bersama Lego, mengabaikan sejenak benda pintar yang semula ditekuninya. "Hebat! Kamu masih punya monopoli. Aku ... waktu kecil aku membelinya setiap tahun untuk dimainkan di bulan puasa."

Lego tertawa. "Hampir aja lupa, mau aku pindahin," kata Lego yang sedang menuangkan air. "Kotaknya udah rusak."

"Ini monopoli edisi lama banget, Lego!" seru perempuan itu riang. "Aku dulu kalau main ini suka pakai orang yang warna biru."

Si Biru tercengang begitu perempuan itu mengangkatnya, meletakkannya di telapak tangannya, menelitinya lebih dekat.

"Kalau aku malah enggak pernah pakai yang biru, Cita," kata Lego, menyerahkan air minum untuk temannya itu.

Si Merah, Kuning, Hijau dan Hitam, semuanya bergantian melihat si Biru.

"Apa karena Biru itu melambangkan kesedihan?" tanya Cita, meletakkan si Biru lagi ke tempatnya. "Ah, berarti novel pertamamu itu kisahmu sendiri?"

"Novel apa? Apa Lego penulis?" Dadu berisik bertanya.

Lego terangguk dengan senyum manisnya, kembali menekuni kotak usang yang hendak digantinya. Semua isi kotak itu meluncur ke atas meja, mendekat pada laptop yang terbuka.

"Sebenarnya dulu kalau pakai si Biru itu aku enggak pernah menang. Aku miskin," kekeh Lego. "Saat besar, baru aku tahu makna biru itu apa ... sampai aku jadikan tambahan buat pelengkap cerita di novelku. Biru enggak selalu berarti sedih, Cita ...."

Si Biru yang ikut menyimak percakapan itu, tersenyum. Si Hitam, Merah, Kuning dan Hijau ikut melihatnya.

"Biru itu punya banyak makna. Menjadi simbol banyak macam perasaan. Mungkin karena Biru mewakili warna langit, laut."

"Feeling the blue, out of the blue," Cita menyebutkan dua kalimat terkenal. "Kita lihat langit di saat sedih, melamun, tapi langit cerah juga yang bikin kita senang dan tenang. Suara angin, suara air laut."

"Atau karena kita senang yang bikin langit jadi terlihat indah karena kita butuh tenang yang bikin laut jadi menenangkan," lanjut Lego.

"Enggak tahu, ah! Capek ngomong sama penulis. Enggak ngerti," keluh Cita yang ditertawai Lego. "Tapi itu semua yang bikin kita lebih merasa. Jadi teman kita buat berpikir lebih dalam. Benar kan kalau dengan itu semua pikiran kita lebih mudah dirasa?"

"Sekarang aku yang enggak ngerti sama omongan kamu," ledek Lego.

"Hih!" Hampir saja Cita mengambil rumah-rumahan, melemparkannya pada Lego saking kesalnya. "Apa berarti kamu juga enggak punya mainan lain waktu kecil? Seperti dalam novel itu?" tanya Cita penasaran. Kembali dia mengambil si Hitam, Merah, Kuning, Hijau dan Biru, meletakkannya semua di telapak tangannya. "Kamu sungguh enggak punya Lego walaupun namamu Lego, tapi kamu punya monopoli ini yang sekarang mungkin udah beda edisi."

"Iya, jangankan lego yang mahal. Monopoli itu pun aku beli pakai uang jajanku. Ibuku pernah bilang kalau dia enggak akan membelikan aku mainan, apa pun, karena aku akan lupa belajar. Aku jadi malas nantinya, tapi ...." Lego menaikkan bahunya, tidak melanjutkan ucapannya.

"Kenapa?"

"Dulu aku enggak cukup mampu buat beli lego," terang Lego, mengingat masa kecilnya. "Mungkin karena tahu lego itu mahal, aku jadi enggak punya keinginan buat beli."

Cita yang mendengarnya ikut bersedih melihat Lego.

"Tapi monopoli yang bisa kamu beli itu yang bikin kamu banyak belajar sampai jadi juara di sekolah, jadi jenius sampai sekarang akhirnya jadi penulis sukses!" Cita menjabarkannya dengan bangga. "Kalau kamu suka lego, punya, mungkin kamu juga akan punya cerita dengan lego."

"Mungkin." Lego terangguk-angguk. Dia langsung menuliskan apa kata Cita tadi. Siapa tahu bisa jadi ide untuk cerita berikutnya.

"Aku suka buku-buku, sampai sekarang aku koleksi. Kalau lagi beres-beres, selalu aku ingat waktu aku beli buku itu," cerita Cita, kembali ke masa kecilnya. "Kamu juga, kan, Lego?"

"Persis. Aku dan monopoli punya cerita panjang. Karena monopoli, aku jadi mau tahu negara-negara itu. Aku cari tahu soal Jepang, Spanyol, negara-negara di Komplek H, Pelabuhan dan Bandara. Semuanya! Itu karena monopoli," cerita Lego yang juga seperti kembali ke masa lalu.

"Dan cerita itu udah kamu tuliskan. Kenapa kamu menuliskannya, Lego?" tanya Cita, merapikan semua isi kotaknya; orang-orangan, rumah-rumahan, hotel, dadu, uang, dan semua kartunya. "Kamu juga merawat mereka dengan baik, masih menyimpannya."

"Mereka itu temanku, Cita," kata Lego, memberikan kotak kayu yang tampak seperti peti harta karun. "Aku mau mereka terus menemaniku, jadi cerita sampai aku tua nanti."

Orang-orangan, Dadu, dan Dolar tercenung mendengarnya.

"Apa semua penulis memang perasa seperti kamu, Lego?" tanya Cita, membuat Lego terbahak. "Aku jadi berpikiran kenapa orang-orang suka menulis. Waktu ke waktu otak kita akan terus diisi dengan ingatan yang baru. Menulis jadi salah satu cara buat kita ingat."

"Menulis itu magis, Cita ... aku enggak pernah peduli orang bilang aku melankolis, sensitif atau seperti perempuan," terang Lego bangga.

"Aku baru tahu kalau cita-cita itu punya jenis kelamin," sindir Cita. "Jangan ambil hati omongan seperti itu!"

"Tolong susun semuanya di sini," kata Lego yang sudah selesai menyusun sebagian kartu dan uang dolar, tidak mau menanggapi apa kata Cita.

Cita menurutinya. Orang-orangan yang tadi dimainkannya semua berpindah ke kotak kayu besar.

"Ah, tempat ini lebih nyaman!" seru Dadu yang menggelinding ke bagian sudut. "Kotak ini ada celahnya. Aku bisa dengan mudah mengintip Lego."

"Untuk apa kamu mengintipnya? Tidak sopan!" kata Dolar. "Andai Lego membayangkan kalau kita hidup. Andai dia bisa mendengar kita juga. Mungkin dia akan membuang kita karena kita berisik sekali membicarakannya."

"Tapi itu yang selalu kamu bayangkan," timpal si Hitam.

"Kamu, kok, bisa masih nyimpan ini?" tanya Cita masih heran di tengah-tengah kegiatannya merapikan isi kotak kayu yang sudah ditempati semua penduduk monopoli. "Selain kamu mau terus sama mereka, menjadikan mereka cerita di hari tua. Kenapa juga kamu menuliskannya jadi cerita?" tanya Cita, masih belum selesai dengan keingintahuannya.

"Aku mau mereka dapat aku kenang waktu aku pikun sekalipun," jelas Lego. "Aku baca mereka, aku jadi ingat mereka. Aku punya cerita panjang soal kenapa monopoli ini penting buat aku. Kalau aku ceritakan bisa jadi satu buku."

"Dan kamu sudah menjadikannya sebuah cerita, menjualnya dalam bentuk buku."

"Lebih dari cerita di buku. Aku mau orang-orang juga punya perasaan atas apa yang mereka punya, Cita. Berpikir sebelum membeli. Apa kegunaannya, apa bisa menjaganya?" Lego memulai khotbahnya. "Aku juga ingin orang tahu kalau apa-apa yang kita punya akan selalu punya cerita. Enggak peduli berapa harganya, gimana bentuknya. Yang penting gimana kita suka sama benda itu," jelas Lego dengan senyum. "Walaupun mereka hilang, rusak atau aku yang pikun, aku akan tetap punya cerita dengan mereka."

"Ugh, Lego romantis sekali!" Dadu berseru, terkagum dengan Lego, terharu dengan ceritanya.

"Itu pesan yang aku dapat dari buku pertamamu itu, Lego," ungkap Cita. "Kamu berhasil!"

"Terima kasih Cita!" Lego senang mengetahuinya.

"Oh iya, si Putih enggak ada di sini." Cita menyusun uang-uangan yang berceceran.

Ucapan Cita menarik perhatian semua penduduk monopoli yang tengah menikmati rumah baru mereka.

"Dia patah. Kalau kamu lihat di sana, aku menempelkannya di depan buku catatanku."

Cita meraih buku catatan yang ditunjuk Lego. Si Merah dan kawan-kawannya, Dadu dan Uang Dolar bersorak begitu melihat si Putih masih ada.

"Putih, kukira kamu mati!" seru Dolar, tertawa membahana. "Atau menghilang."

"Tidak. Aku hanya sulit bergerak saja, tidak bisa bertemu kalian juga."

"Kasihan dia sendirian," kata Cita, mengusap si Putih.

"Hahaha benar juga," Lego berpikir sebentar, melihat buku catatannya. "Masukan saja ke kotak itu nanti."

"Apa bukunya enggak akan kamu pakai lagi?" tanya Cita, menutup buku tersebut.

"Buku itu satu kesatuan dengan monopoli," ucap Lego mulai yang tidak Cita mengerti. "Seperti kata kamu tadi, kasihan si Putih sendirian."

Cita menggeleng-gelengkan kepalanya. Meski aneh dengan jawaban Lego, dia memasukkan buku itu ke kotak.

Semua penduduk monopoli menyambut hangat kembalinya si Putih dengan sorak-sorai.

"Putih ... Putih, kamu tahu apa yang ditulis Lego di sana?" tanya si Kuning penasaran.

"Ya, apa yang ditulisnya? Aku sering melihatnya menulis di sana!" seru Dadu si tukang intip.

"Menuliskan kita semua," kata si Putih. "Aku tidak peduli lagi soal kehancuranku yang ditempelkannya di sampul buku yang membuatku terimpit saat dia menulis, tapi karena itulah aku mendengar banyak cerita Lego."

"Apa ceritanya? Apa Putih? Katakan pada kami!" si Hijau penasaran sekali.

"Ceritanya ...."

"Lego suka membacakan apa yang sudah ditulisnya. Aku pernah melihatnya," jawab Dadu.

"Iya, tapi apa yang dia katakan?" tanya si Hitam mulai kesal.

"Apa yang dituliskannya?" tanya si Biru yang juga tidak sabar.

Kotak kayu yang mereka tempati kembali bergerak. Lego mengangkatnya.

"Akan dibawa ke mana lagi kita sekarang?" tanya si Dolar yang dari tadi diam.

Orang-orangan, Dadu, dan Dolar yang berpencar, mengintip lewat celah kayu.

"Kamu yakin mau bawa mereka? Rak bukumu penuh sekali, Lego. Ada bukuku juga. Kamu juga sibuk. Aku pun sama. Kita tidak akan sempat merawat mereka," Cita mengingatkan.

"Apa dua puluh tahun mereka yang tetap ada tidak cukup jadi bukti kalau aku bisa menjaga mereka?" tanya Lego.

Semua penduduk monopoli di dalam kotak terharu mendengarnya.

"Bukan cuma Lego yang semakin tua ...," kata si Merah bijaksana.

"Aku yang menguning," kata si Dolar. "Mereka yang menipis dan memudar," ia melihat semua kartu yang bertumpuk jadi satu; dana umum, kesempatan, kartu kepemilikan.

"Kita yang berdebu," si Putih melanjutkan.

"Waktu kecil mereka yang membawaku ke banyak tempat di dunia, Cita. Sekarang, aku yang akan bawa mereka ke mana-mana," tutup Lego.

Catatan Penulis:

Hargai apa yang sudah kita punya. Beli sesuatu sesuai kebutuhan dan kemampuan. Sebab semuanya tidak akan sia-sia, tidak peduli bagaimana bentuknya, berapa harganya

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top