Bab 7 Perhatian atau Kemanusian?

Kesedihan memang sebuah privasi
Tetapi terkadang kita juga butuh seseorang yang bisa memahami
Mulut seringkali berbohong dan menghindari
Tapi bagaimana dengan hati?

****

Adhara berjalan menyusuri koridor sekolah yang menuju ke kelasnya, sesekali ia melihat ke arah lapangan, sudah ada anak laki-laki yang asyik bermain basket. Di sana mereka tampak bersenang-senang, saling berebut bola untuk dimasukkan ke dalam ring. Adhara tahu, pertandingan itu bukan pertandingan sungguhan, itu terbukti karena mereka sama sekali tidak memakai kaos tim, mungkin pertandingan itu hanya sebatas keisengan yang menyenangkan sebelum bel tanda masuk kelas berbunyi. Berbanding terbalik dengan mereka yang terlihat menyenangkan, Adhara justru tampak tidak bersemangat untuk menginjakkan kaki di sekolah ini. Pikirannya masih terjebak dengan kejadian tadi pagi di meja makan.

“Cis, lo mau sarapan apa? Roti? Gue ambilin, ya?” tanya Adhara pada Ocis yang hanya bergeming dan menatap kosong ke arah piring di depannya. “Ocis?”

“Nggak perlu, Ocis bisa sendiri. Mulai sekarang Kakak nggak perlu peduli sama urusan Ocis, cukup urus aja kehidupan, Kakak.” Gadis itu tak merubah ekspresi wajahnya sedikitpun. Ia lalu mengambil beberapa potong roti dan memakannya perlahan.

Adhara hanya menelan ludahnya, rasanya ludah pun susah ia telan. Kata-kata Ocis di luar dugaannya, haruskah hubungannya dan sang adik berakhir seperti ini? Ia harap tidak.

“Kita berangkat bareng, ‘kan? Yuk! Gue udah selesai—“

“Ocis bareng temen aja, udah janjian,” potongnya tiba-tiba sembari beranjak dari meja makan dan berlalu begitu saja.

“Adhara!” Seseorang menepuk pundaknya membuat Adhara sedikit meringis karena nyeri semalam akibat kejadian itu masih terasa.

“Lo kenapa?” tanya laki-laki itu khawatir dan merasa tidak enak telah mengagetkannya.

“Nggak papa, lo tadi ngagetin. Kenapa, Dit?” tanya Adhara sembari tersenyum hangat.

“Nih, buat lo!” Aditya tiba-tiba memberikan sebuah tote bag berwarna hitam pada Adhara. “Dimakan, tapi kalo nggak mau juga nggak papa, kasih aja ke temen lo,” lanjutnya sembari berjalan mendahului gadis itu yang masih bergeming dengan segala kebingungannya. Perlakuan Aditya benar-benar tidak bisa diprediksi tentang apa dan kenapa alasan ia melakukannya.

Namun, gadis itu tersenyum bahagia, rasanya jantungnya berdetak lebih cepat dari biasanya, bahkan saat ini kupu-kupu berwarna-warni seolah menari-nari di perutnya. Perlahan tangannya membuka tote bag itu dan melihat sebuah kotak makan dengan secarik kertas di atasnya.

Gue nggak tahu lo suka nasi goreng apa nggak, gue sengaja bikin buat sarapan. Kalau gue berpikir buat ngasih lo itu nggak salah, ‘kan? Gue harap lo suka. Semangat, Adhara!

Adhara tersenyum begitu lebarnya, entah mengapa hal ini membawa perubahan besar pada suasana hati gadis itu, ia harap jantungnya tidak sampai lepas karena mendapat perlakuan seperti ini. “Ini karena kemanusiaan, lo yang perhatian atau emang gue yang kebaperan, Dit?” gumamnya pelan, lalu kembali berjalan menyusul Aditya yang sudah tidak terlihat dan mungkin hampir sampai di kelasnya.

****

Hari ini cukup melelahkan bagi Adhara, seharian ini ia benar-benar tidak bisa berkonsentrasi dalam menerima pelajaran apa pun. Bahkan, beberapa kali ia ditegur oleh guru karena kurang fokus saat menyimak materi yang diberikan. Bukan tanpa sebab Adhara mengalami hal ini, jujur saja ia memang bisa menutupi kesedihannya, tetapi ia tidak bisa membohongi hati dan pikirannya. Perubahan Ocis benar-benar membuatnya khawatir, ia tidak ingin menjadi seperti ini. Ia ingin Ocis selalu mengganggu dan mengusiknya, atau merengek ingin dibelikan makanan favoritnya. Namun, sekarang? Jangankan melakukan semua itu, rasanya berbicara dengannya akan menjadi hal yang sangat sulit.

“Ra! Lo kenapa, sih, dari tadi bengong mulu, sampai sekarang udah di parkiran lo masih aja diem! Nanti kesambet setan baru tahu rasa!” kata Mince yang merasa aneh dengan sikap Adhara yang tidak seperti biasanya.

“Iya, setannya lo!” cibir Adhara yang langsung membuat Keysa dan Tari tertawa terbahak-bahak.

“Lo kalo ngomong licin banget kayak perosotan! Lancar gitu kalo ngatain gue, kena azab ketimpa perosotan baru tahu rasa!”

“Ati-ati, Ra! Muka si Mince udah merah gitu, kayak kebakaran jenggot!” Kini tari ikut menimpali.

“Emang Mince punya jenggot, Tar?” tanya Keysa dengan begitu polosnya yang langsung mengundang tawa Adhara dan Tari bersamaan.

“Sialan lo pada!”

Adhara hanya tertawa melihat tingkah teman-temannya, hal ini justru membuat dirinya merasa lebih baik. Hanya dengan mereka ia merasa hidupnya baik-baik saja, candaan, tingkah konyol, sampai perdebatan yang berujung pertengkaran selalu membuat Adhara merasa beruntung karena memiliki teman seperti mereka.

Btw lo nggak pulang bareng Ocis, Ra? Atau dia ada ekskul?” tanya Keysa tiba-tiba.

“Oh, itu—“

“Adhara, lo di sini ternyata! Lo bisa ikut gue sebentar?” Tiba-tiba Aditya datang dengan napas yang terengah-engah, membuat Adhara heran. Bukan hanya Adhara, Tari, Keysa juga Mince ikut merasa heran.

Adhara hanya menggangguk, lalu Aditya langsung menarik tangannya dan membawa Adhara pergi meninggalkan teman-temannya dengan berbagai pertanyaan tentang kedekatan mereka yang tiba-tiba. Ada apa sebenarnya?

“Sejak kapan mereka akur begitu? Eh—deket maksudnya? Dia Adit, ‘kan?” tanya Tari pada Keysa dan Mince. “Key, lo sekelas sama mereka, ‘kan? Lo tahu?”

“Nggak, setahu gue Adit juga rada cuek ke semua cewek di kelas. Paling kalo ada perlu aja dia ngobrol banyak.”

“Aduh, gue heran ama lo pada! Lagian biarin aja kali mereka, biar si Adhara kagak jomlo!” cibir Mince sembari mengibaskan rambutnya—entah apa maksudnya.

“Ngaca, Om! Kayak punya pacar aja!”sarkas Tari dan Keysa bersamaan.

****

Aroma buku baru dan sejuknya udara yang dihasilkan dari AC menyambut kedatangan Aditya dan Adhara. Gadis itu mengedarkan pandangan ke seluruh penjuru, ternyata bukan hanya mereka yang tenggelam di lautan buku-buku ini, beberapa orang juga terlihat asyik memilih buku yang mereka suka. Bahkan anak laki-laki berkacamata yang sedang berdiri di depan rak berisi buku komik, terlihat serius memilih komik yang ingin ia beli. Anak itu mengangkat dan melihat bukunya dari segala arah. Ternyata memang se-asyik itu ketika memilih buku.

“Lo sering ke sini?” Akhirnya Adhara memutuskan untuk memulai pembicaraan.

“Iya. Nggak papa, ‘kan, gue ajak lo ke sini?”

“Nggak papa, lagian udah lama juga gue nggak ke toko buku. Terakhir kali SMP kayaknya,” ucap Adhara sambil terkekeh pelan.

“Kakak! Boleh minta tolong jelasin apa maksud buku ini? Zio dari tadi baca bolak-balik tapi nggak paham juga!” Tiba-tiba seorang bocah laki-laki dengan rambut ikal dan sedikit pirang menghampiri mereka dan membawa sebuah buku berwarna merah muda.

“Oh, sini Kakak lihat!” pinta Aditya sembari mengambil buku itu dari tangannya. Kemudian, Aditya membaca judul yang tertera di sampulnya lalu ia tersenyum dan terkekeh pelan. Hal itu membuat Adhara dan anak laki-laki berusia sekitar sembilan tahun itu menatapnya heran.

“Kenapa, Dit?” tanya Adhara heran.

“Pantes aja kamu nggak ngerti, ini buku nggak cocok buat anak kecil kayak kamu. Buku ini berjudul True Love, kamu tahu artinya?” tanya Aditya. Namun, anak laki-laki itu hanya menggeleng tidak mengerti.

Aditya terkekeh pelan. “Artinya cinta sejati. Intinya buku ini tentang perasaan yang begitu dalam, cinta yang penuh ketulusan dan pengorbanan, dan tak akan pernah mati selama masih terjalin dengan kepercayaan,” tutur Aditya sembari menatap ke arah Adhara. Membuat gadis itu salah tingkah dibuatnya. “Kamu nggak ngerti, ‘kan? Karena buku ini memang bukan untuk anak seusia kamu. Jadi, sekarang kamu cari buku lain, ya, jangan baca buku ini. Nanti biar bukunya Kakak balikin ke rak. Oke!” pinta Aditya sembari mengelus rambut anak itu.

Anak itu mengangguk. “Oke! Makasih Kak Ganteng, Kak Cantik. Kalian cocok!” serunya sambil berlari. Adhara dan Aditya hanya bengong mendengar apa yang baru saja anak itu katakan. Cocok apa?

Hm ... oke, biar gue balikin buku ini dulu,” ucap Aditya canggung lalu pergi meninggalkan Adhara.

Sepeninggalan Aditya, Adhara yang masih dilanda kegugupan karena kejadian barusan, akhirnya memutuskan untuk berkeliling melihat-lihat buku. Hingga pilihannya terhenti tepat di depan sebuah rak yang berisi buku-buku puisi karya pesyair legendaris Sapardi Djoko Damono. Adhara melihat buku bersampul putih bergambar rintik-rintik hujan, buku itu berjudul Hujan Bulan Juni. Ia tahu buku ini, buku beliau yang berisi kumpulan-kumpulan puisi yang begitu menyentuh hati.

Adhara memandangi buku itu dengan saksama dari mulai sampul, hingga membaca blurb di bagian belakang buku. Namun, sayangnya ia tidak bisa membuka halaman buku, karena buku itu tidak boleh dibuka terkecuali ingin membelinya. Seketika ia teringat salah satu larik puisi Hujan Bulan Juni.

Tak ada yang lebih tabah, dari hujan bulan Juni. Dirahasiakannya rintik rindunya kepada pohon berbunga itu ....

“Lo suka puisi ternyata?” Tiba-tiba Aditya sudah berada di sampingnya.

“Eh ... iya,” jawab Adhara. “Gue suka karya-karya Pak Sapardi. Kata-kata dalam puisinya begitu sederhana, tapi maknanya justru sebaliknya. Kadang maksud beliau begitu, tapi kita nangkapnya begini. Pokoknya puisinya keren-keren menurut gue—“

“Sama kayak lo. Ucapan lo bilang begitu, tapi hati lo justru bilang begini. Iya, ‘kan?”

“Hah? Ma-maksudnya?” tanya Adhara sedikit gugup.

“Kesedihan memang sebuah privasi, tetapi terkadang kita juga butuh seseorang yang bisa memahami. Mulut seringkali berbohong dan menghindari, tapi bagaimana dengan hati?” Kata-kata Aditya berhasil membuat Adhara tertegun, gadis itu tahu apa yang dimaksud Aditya. “Lo bisa percaya sama seseorang yang mungkin mau belajar memahami lo. Contohnya gue.”

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top