Chapter 7
Rasanya, perkataan dr. Tadashi tempo lalu ada benarnya.
Mungkin seharusnya aku mengawasinya. Aku benar-benar risau melihat kondisi adikku yang semakin lama semakin memburuk. BoBoiBoy bahkan nyaris seperti penderita amnesia. Ia bukanlah adikku yang sehat seperti dulu. Ia bukanlah adikku yang selalu memanggil namaku dengan tepat. Ia terkadang mudah marah dan dingin, seperti sifat elemennya, Halilintar. Ia selalu memaksa untuk ceria, padahal aku tahu bahwa ia sedang menahan rasa sakitnya, seperti Taufan. Ia terkadang sok dewasa dan mungkin sok kuat jika berhadapan denganku, seperti Gempa.
Hari demi hari berganti, aku mulai disibukkan dengan kegiatan mengikuti try out persiapan ujian nasional dan latihan pentas seni perpisahan sekolah dasar pulau rintis. Aku terpilih sebagai pemain gitar akustik yang mengiringi Yaya bernyanyi nanti di atas panggung.
Aku semakin sibuk. BoBoiBoy semakin lemah.
-Fang-
222
Mungkin lebih baik aku mati.
Tapi itu tidak masuk di akal. Sebelum aku memutuskan untuk mati, sudah banyak hal yang kupikirkan sampai nyaris membuat kepalaku pecah. Aku tidak ingin Adu Du menguasai bumi dengan tamak. Aku tidak mau Ibu dan Ayah menangis ricuh. Aku masih ingin berada di dekat Kak Fang, bermain bersama Gopal, tertawa bersama Ying, dan mendengar nasihat dari Kak Yaya. Aku perlahan tidak bisa mengontrol kekuatan elemenku. Kata Kak Fang, sifat mereka-Halilintar, Taufan, dan Gempa-keluar begitu saja tanpa aku sadari. Beruntung Adu Du belum muncul sampai sekarang bak ditelan bumi.
Hari demi hari berganti, aku selalu merasakan dadaku yang berat, pening di kepala, dan darah yang keluar begitu saja dari hidungku. Bahkan kata Gopal, aku sering pingsan di tengah-tengah aktivitas.
Aku semakin lemah. Kak Fang semakin repot mengurusiku.
-BoBoiBoy-
222
SHUUUT!
DUK!
"Nice shoot, Fang!"
"Terima kasih, Amardeep!"
Fang segera menangkap bola basket yang baru saja ia jebolkan ke dalam ring. Ia lalu berlari seraya men-dribble beberapa kali di atas tanah lapang yang ditutupi aspal. Teman sekelasnya, Amardeep berlari menyusul Fang.
"Semangat, Kak Fang!"
Seketika terdengar suara gesekan antara dasar sepatu dengan tanah lapang. Fang menghentikan lariannya. Bola basket tertahan di tangannya. Amardeep yang berlari di belakang Fang, terpaksa berhenti dan akhirnya menubruk punggung Fang. Untung saja pemuda bersurai raven itu tidak jatuh. Amardeep lalu menggerutu tidak jelas ke arah Fang.
Fang menatap tajam ke arah sumber suara.
"Untuk apa kau ke sini?"
Bocah yang ditatapnya hanya mengernyit heran.
"Heh? Untuk menyemangati Kak Fang lah!"
"Kau harusnya pulang lalu beristirahat, BoBoiBoy!"
BoBoiBoy memutar bola mata cuek.
"Aku sudah kemoterapi hari ini kok, Kak. Jadi, jangan khawatir!"
Fang menghela napas. Ia melempar bola basket ke arah Amardeep. Amardeep menangkapnya.
"Aku pulang duluan, Amardeep," ujar Fang lalu menyampirkan tas selempangnya ke pundaknya.
"Oke, Bos!"
"Yaaaah, kok pulaaang? Shoot Kak Fang tadi keren sekaliiii. Aku mau lihat lagiii," rengek BoBoiBoy.
"Berisik kau."
Fang dan BoBoiBoy berjalan menuju gerbang sekolah. Matahari menunjukkan warna jingga.
TAP TAP TAP!
"Hosh... Hosh..."
Langkah Fang dan BoBoiBoy berhenti ketika melihat seorang perempuan berhijab merah muda menghampiri mereka.
"Kau kemana saja tadi? Harusnya kita latihan untuk perpisahan nanti," omel perempuan tersebut.
Fang hanya memandang perempuan itu malas. BoBoiBoy hanya berusaha menahan tawanya.
"Main basket di lapangan," balas Fang datar.
"Lalu kapan latihannya? Aku tidak bisa tampil kalau tidak ada kau."
"Aku malas, Yaya."
Lalu terjadilah perdebatan diantara Fang dan Yaya yang akhirnya membuat BoBoiBoy melepaskan tawanya.
222
Setelah melewati sedikit debat dari Yaya, akhirnya Fang bisa juga pulang bersama BoBoiboy. Mereka berjalan lalu bertemu dengan seorang remaja perempuan bersurai pirang yang sedang kebingungan di dekat pohon.
Remaja perempuan itu menatap mereka berdua, seolah-olah mengharapkan bantuan dari mereka. Fang mengisyaratkan BoBoiBoy untuk cuek saja dan melanjutkan perjalanan.
BoBoiBoy menggeleng kepala, lalu menghampiri remaja perempuan tersebut.
"Ada apa ya, Kak?" tanya BoBoiBoy memandang heran remaja tersebut.
"Miaaawww..."
Terdengar suara kucing, membuat BoBoiBoy mendongakkan kepalanya ke atas pohon. Kucing lucu itu terlihat ketakutan sekaligus was-was.
"You can see what's my problem now? Please help me," ujar perempuan tersebut.
"Eh?"
BoBoiBoy cengo mendengar perkataan yang keluar dari remaja bule tersebut. Ia masih belum bisa mencerna arti pembicaraannya karena remaja itu berbicara dengan sangat cepat.
"Maksudnya, dia minta tolong untuk menurunkan kucing peliharaannya di atas pohon sana," ucap Fang yang berada di belakang BoBoiBoy.
"Oh, gitu. Hehehe," balas BoBoiBoy seraya menggaruk pipinya yang tidak gatal.
Fang memutar bola mata. Ia sedikit kesal dengan adiknya yang masih tidak paham dengan bahasa Inggris.
"Baiklah, aku akan membantu Kakak," ucap BoBoiBoy sopan.
Remaja itu akhirnya tersenyum lebar dan mengangguk semangat.
"PUSARAN ANGIN!"
Pusaran angin topan kecil keluar dari tangan BoBoiBoy. Lalu pusaran angin itu bergerak mengikuti arah tangan BoBoiBoy yang menuju ke atas pohon. Awalnya kucing itu memberontak tidak mau mendekati pusaran angin yang terlihat menakutkan baginya. Namun, karena remaja tersebut membujuk kucingnya-yang BoBoiBoy sendiri tidak tahu apa terjemahan perkataan bujukannya -untuk menurutinya, kucing itu akhirnya melompat di atas pusaran angin.
Pusaran angin perlahan turun dan menghilang. Kucing itu mendarat selamat di pelukan majikannya.
"Kyaaa! Thank you very much, boys! You guys save my kitty," sorak remaja tersebut.
Melihat majikannya senang, kucing peliharaan itu ikut mengeong bahagia seraya menatap BoBoiBoy.
"Jangan nakal lagi, ya. Ikutin perintah majikanmu. Sampai jumpa!" BoBoiBoy tersenyum dan mengelus kepala kucing itu sebelum ia meninggalkan remaja itu.
"Cih. Membuang waktu saja," gerutu Fang setelah mereka berdua meninggalkan remaja tersebut.
"Kasihan tahu, Kak. Muka kakak itu sudah pasrah. Sepertinya tidak ada yang menolongnya sedari tadi."
"Ya, tapikan-"
Belum sempat Fang menyelesaikan kalimatnya, BoBoiBoy berlari menuju seorang pemuda paruh baya yang mereka kenal. Fang lalu menyusul BoBoiBoy dengan langkah malas.
"Selamat sore, Uncle Ah Beng!" BoBoiBoy menyapa kepada pemuda tersebut.
"Haiya, selamat sore juga, BoBoiBoy. Kebetulan sekali kau di sini. Bisakah kau menolongku memperbaiki mesin pemotong rumputku? Sepertinya macet," Uncle Ah Beng menggaruk-garuk puncak kepalanya yang tidak gatal seraya memandangi mesin pemotong rumputnya.
Fang berpikir bahwa Uncle Ah Beng ingin sekali BoBoiBoy memperbaiki mesin tersebut. Ia menggeram kesal karena waktu pulangnya akan terbuang percuma.
"Uuumm..."
"Sebaiknya kita pulang saja. Katakan kepada Uncle Ah Beng bahwa kau tidak bisa memperbaiki mesinnya," bisik Fang kepada BoBoiBoy.
BoBoiBoy mengangkat salah satu alisnya sambil memandang Fang.
"Ah, aku yakin ini hanya sebentar, Kak Fang," BoBoiBoy sepertinya paham dengan keluhan Fang.
BoBoiBoy segera memeriksa mesin pemotong rumput milik Uncle Ah Beng yang berada di dekat mereka.
"Sepertinya ada masalah di bagian dalam mesinnya."
"Mungkinkah mesinku kekurangan listrik?"
Fang semakin menggerutu dalam hati. Warna merah menghiasi seluruh wajahnya.
'Kalau sudah tahu kekurangan listrik kenapa tidak diisi ulang sendiri saja?!' batin Fang.
"Mungkin saja," BoBoiBoy mengangkat bahunya.
"ALIRAN PETIR!"
BoBoiBoy mengulurkan tangannya ke arah mesin pemotong rumput. Terlihat aliran listrik berwarna kuning muncul dari telapak tangan BoBoiBoy.
Aliran listrik itu memasuki bagian dalam mesin tersebut. Seketika mesin itu menyalakan lampu, tanda bahwa mesin pemotong rumput siap bekerja.
"Sepertinya mesinmu sudah kembali normal, Uncle Ah Beng," BoBoiBoy tersenyum manis.
"Waaaa, terima kasih, BoBoiBoy!" Uncle Ah Beng memekik kegirangan.
"Sama-sa-"
Sebelum BoBoiBoy menyelesaikan balasannya, Fang sudah menarik tangannya terlebih dahulu lalu berjalan menjauhi rumah Uncle Ah Beng. BoBoiBoy melambaikan tangan ke arah Uncle Ah Beng seraya mengucapkan kata 'maaf, BoBoiBoy duluan,' tanpa suara. Uncle Ah Beng mengangguk mengerti dan membalas lambaian tangan BoBoiBoy.
"Huh, buang-buang waktu saja. Ayolah, hari sudah semakin sore," gerutu Fang sambil terus menarik tangan BoBoiBoy.
"Kak Fang, aku menolong tetangga kita loooh. Hanya sebentar," balas BoBoiBoy.
Sebuah suara menganggu percakapan kecil antara BoBoiBoy dengan Fang.
"BoBoiBoy! Nak BoBoiBoy!"
BoBoiBoy dan Fang segera menoleh ke sumber suara. Itu Mak Cik Kantin, ibu kantin di sekolah mereka.
BoBoiBoy melepaskan tangannya dari cengkraman Fang. Dengan cepat BoBoiBoy berlari menghampiri Mak Cik Kantin disusul Fang yang sudah marah tingkat hercules.
"Ada apa, Mak Cik?"
Mak Cik Kantin menatap tanah coklat yang ditumbuhi beberapa bunga kesayangannya. BoBoiBoy melihat tanah yang nyaris hancur lebur dan bunga yang berantakan dan tergeletak dimana-mana.
"Tanah yang akan kutumbuhi bunga hancur karena tikus tanah keluar dan pompa air di dalam tanah itu rusak. Tolong bantu Mak Cik ini memperbaiki tanah itu. Kau punya kekuatan tanah, 'kan?" ucap Mak Cik Kantin dengan nada dramatis.
BoBoiBoy menatap ragu Mak Cik Kantin. Fang sedari tadi memberi isyarat untuk menolak permintaan Mak Cik Kantin karena ia ingin pulang sekarang.
"Oke, aku akan menggunakan kekuatan tanahku untuk membereskan ini," BoBoiBoy tersenyum kepada Mak Cik Kantin.
Rasanya Fang ingin menjedukkan kepalanya di atas tanah.
222
"Fang? Kau kenapa?"
Pertanyaan Ochobot sama sekali tidak membuat Fang menengokkan kepalanya menghadap robot kuning itu. Wajahnya sama sekali tidak bersahabat ditambah kedua tangannya dilipat di depan dada.
BoBoiBoy yang sedang menuangkan sup di mangkuknya, menatap Fang sekilas.
"Tau tuh. Kak Fang ngambek karena aku menolong orang-orang."
BRAK!
"Bukan itu alasannya!" jerit Fang.
"Lalu?" tanya Ochobot sweatdrop.
Ochobot terbiasa dengan pemandangan Fang menggebrak meja. Makanya ia menilai itu adalah suatu kewajaran dari diri Fang.
"BoBoiBoy terlalu baik hati. Seharusnya kau menolak saja permintaan tolong orang-orang itu. Cih, masalahnya sangat sepele asal kau tahu, Ochobot. Anak baik hati ini terus saja melayani orang-orang padahal langit sudah gelap," jelas Fang berapi-api.
"Memangnya kenapa kalau kita menolong orang? Gak ada salahnya, 'kan?" BoBoiBoy menyuapkan sesendok supnya ke mulutnya dengan santai.
"Arrgh! Kau tidak mengerti! Kau dalam kondisi sakit dan kau butuh pertolongan. Tapi kau masih saja menolong orang."
"Aku tidak sakit, Kak Fang."
"Lihat? Siapa sebenarnya yang butuh pertolongan?"
"Dan aku tidak butuh pertolongan."
"Wajahmu saja sudah pucat pasi."
Memang tidak bisa dihindari. Sejak sore tadi wajah BoBoiBoy pucat pasi. Fang sangat menyadari hal itu. BoBoiBoy masih dalam keadaan drop walaupun sudah kemo. Ia membutuhkan banyak istirahat.
Sebelum perang berlanjut di meja makan, Ochobot harus menghentikannya.
"Sudah! Sudah! Berhenti bertengkar. Harusnya kau mendengarkan kata Kak Fang, BoBoiBoy," ucap Ochobot.
"Lalu untuk apa aku punya jam kuasa jika tidak digunakan untuk menolong orang, Ochobot?" BoBoiBoy sedikit tidak menerima pembelaan Ochobot untuk kakaknya.
"Untuk sementara, jangan gunakan kekuatan elemenmu dulu jika keadaan tidak betul-betul darurat."
"Darurat itu seperti apa?" BoBoiBoy bertanya dengan nada sinis.
Baru saja Ochobot ingin menjawab, BoBoiBoy sudah terlebih dahulu beranjak dari kursi di ruang makan.
BoBoiBoy merasa bahwa ia memang dibutuhkan orang-orang semenjak ia mendapat jam kuasa dari Ochobot. Ia hanya kesal kepada kakaknya dan robot itu karena tidak mendukung BoBoiBoy.
Memang kondisinya lemah dan payah. Namun, selama ia masih bisa berdiri, ia akan menolong orang di sekitarnya.
Telapak kaki BoBoiBoy menginjak anak tangga pertama. BoBoiBoy merasakan waktu berhenti sejenak. Saluran pernapasan di hidung BoBoiBoy berhenti seperti ada sesuatu yang menyumbat. Dengan segera ia membuka mulutnya untuk mengambil oksigen sebisa mungkin. Tangannya ia tempelkan di dadanya, menahan sakit yang terasa di paru-parunya. Punggungnya menempel di tembok, tubuhnya merosot, dan ia duduk di anak tangga pertama. Berusaha menstabilkan pernapasannya.
"Kan sudah kubilang, kau harusnya istirahat."
BoBoiBoy mendongakkan kepalanya, menatap Fang yang menampilkan ekspresi datar. BoBoiBoy menatap sebal ke arah kakaknya.
Perlahan oksigen memasuki hidungnya dengan lembut. Paru-parunya sudah tidak memberontak seperti tadi. BoBoiBoy menarik napas lega.
"Adiknya lagi kesusahan bukannya bantuin," semprot BoBoiBoy.
Fang hanya memutar bola matanya cuek. BoBoiBoy menaiki tangga menuju lantai dua. Ia akan beristirahat di kamarnya, menuruti permintaan dari kakaknya yang manis. BoBoiBoy mencibir ketika kata 'kakaknya yang manis' melintas di pikirannya.
Ekspresi dingin Fang berubah menjadi murung. Ochobot segera merangkul pundak pemuda itu.
"Aku harap BoBoiBoy baik-baik saja." Fang masih mencemaskan BoBoiBoy. Takut-takut anak itu akan kesakitan lagi di kamarnya.
"Jangan khawatir, Fang. BoBoiBoy sudah merasa lebih baik. Aku yakin itu." Ochobot mengusap kedua pundak Fang dengan lembut.
Fang duduk di anak tangga. Ia menunduk frustrasi, lalu mengusap wajahnya dengan kedua tangan yang tertutupi sarung tangan ungu fingerless. Ia benar-benar panik jika BoBoiBoy sudah kesakitan. Ia begitu panik melihat wajah BoBoiBoy yang pucat pasi dan bersusah payah mengambil oksigen. Ia dapat melihat dengan jelas, live di matanya, bahwa adiknya yang bertopi dinosaurus itu sedang mengerang kesakitan, berharap Fang merangkulnya atau setidaknya menginstruksinya untuk tetap tenang dalam mengambil pernapasan.
Namun, Fang sudah keburu membeku melihat BoBoiBoy. Yang ia bisa lakukan ialah menatap BoBoiBoy dengan wajah penuh kebodohan.
222
"Haaaahhh..."
Dokter Tadashi menghembuskan napas lega ketika ia duduk di atas kursi empuk. Ia beberapa kali mengerutkan keningnya melihat isi kertas beserta lampiran-lampiran yang berada di atas meja.
"Kau tahu, kau seperti orang tua jika memberengut seperti itu."
Dokter Tadashi menatap sebal rekannya, dr. Seok Jin . Yang ditatapnya hanya tertawa, lalu melemparkan kopi kaleng kepada dr. Tadashi.
"Terima kasih," Dokter Tadashi langsung membuka dan meminum isi kaleng itu.
"Omong-omong, apa yang kau lakukan sehingga memberengut seperti itu?" Dokter Seok Jin duduk di hadapan dr. Tadashi, lalu meneguk kopi kaleng miliknya.
Dokter Tadashi langsung menyodorkan kertas-kertas di atas mejanya ke hadapan dr. Seok Jin.
Dokter Seok Jin mengambil salah satu kertas yang disodorkan rekannya dan membacanya dengan saksama.
Seketika keningnya mengerut.
"Ada apa lagi dengan pasienmu yang bernama BoBoiBoy itu?"
Dokter Tadashi memalingkan wajahnya dari dr. Seok Jin. Ia memang benci membahas permasalahan berat tentang anak itu. Tetapi mau tak mau, ia harus berbagi juga dengan dokter lain.
"Entahlah, hasil diagnosa yang tertulis di sana membingungkan."
"Membingungkan?"
"BoBoiBoy memang mengidap Alzheimer. Tetapi, gejalanya bercampur dengan gejala penderita kanker."
"Mwo? Benarkah apa yang kau katakan, Chingu?" Dokter Seok Jin terlihat kaget.
"Sulit dipercaya, Seok Jin-san." Dokter Tadashi menjentikkan jarinya di depan dr. Seok Jin lalu bangkit dari kursinya.
Dokter Tadashi berdiri di samping dr. Seok Jin. Dokter Tadashi menghidupkan komputer di atas mejanya. Ia lalu terlihat sibuk membuka beberapa file di dalam komputernya.
Ketika gambar hasil ronsen terpampang di hadapan mereka berdua, dr. Tadashi menunjukkan salah satu bagian otak dengan telunjuknya.
"Ini... hasil CT-Scan otak BoBoiBoy?" ucap dr. Seok Jin setelah membaca judul gambar tersebut.
Hasil CT-Scan Cerebrum atas nama pasien BoBoiBoy.
"Ya, hasil CT-Scan positif menunjukkan bahwa BoBoiBoy mengidap Alzheimer."
Dokter Tadashi mengambil beberapa kertas di atas mejanya.
"Tetapi analisa di kertas juga membeberkan gejala yang muncul pada BoBoiBoy semenjak ia melakukan pemeriksaan di rumah sakit ini."
Entah mengapa, dada dr. Tadashi menjadi berat untuk menjelaskan beberapa kondisi mengenai BoBoiBoy.
"Ada gejala-gejala yang memang merupakan dari Alzheimer. Tetapi, ada juga gejala seperti kanker."
Dokter Tadashi memasang wajah murung, sedangkan dr. Seok Jin memasang wajah penasaran atas kelanjutan dari kata-kata dr. Tadashi.
"Aku sudah mencari-cari kanker dari gejala yang dialami BoBoiBoy. BoBoiBoy terkadang mimisan, tetapi bukan berarti ia mengidap kanker leukimia. Ia sering merasa pusing dan sakit kepala, tetapi di sini tertulis ia bersih dari kanker otak."
"Woah! Ini sangat langka terjadi di sini." Dokter Seok Jin berdecak kagum.
Dokter Tadashi menatap tajam ke arah dr. Seok Jin. Ia tidak suka atas decakan yang dilontarkan rekannya itu. Sadar bahwa dr. Tadashi membenci decakannya, dr. Seok Jin lalu menggumamkan kata 'maaf'.
Dokter Seok Jin sadar bahwa penyakit berat bukan sesuatu yang harus dikagumi.
"Alzheimer memang langka, apalagi untuk bocah seperti dia. Tetapi kalau ini, kanker alzheimer, aku tidak pernah menemukannya dalam ilmu kedokteran."
Dokter Seok Jin mengangguk. Setuju dengan perkataan dr. Tadashi. Dalam hati, ia juga merasa kasihan kepada BoBoiBoy yang harus mengidap penyakit seperti ini. Apalagi para dokter tidak mengetahui jenis gejala dan penyakit ini dengan tepat.
Seketika keheningan menyelimuti ruang kerja dr. Tadashi. Masing-masing kedua dokter itu tenggelam dalam pikirannya.
Sampai sebuah ketukan lembut dari balik pintu memecah keheningan ruangan itu.
"Hei, dr. Tadashi! Hari ini aku mau melakukan kemo dan pemeriksaan."
Dokter Tadashi dan dr. Seok Jin tersentak dan segera melihat tamu mereka. BoBoiBoy dengan cerianya memasuki ruangan dr. Tadashi. Tak lupa ia menutup pintu terlebih dahulu.
Dokter Seok Jin menatap BoBoiBoy. Tubuhnya kurus dan wajahnya pucat, tetapi senyum di wajahnya tak menghilang.
'Anak ini begitu ceria,' batin dr. Seok Jin.
Atau mungkin karena BoBoiBoy masih bocah. Atau mungkin ia menyembunyikan perasaan sebenarnya dibalik keceriaan itu.
Dokter Seok Jin bangkit dari kursi lalu berjalan menuju pintu keluar. Sebelum ia benar-benar keluar dari ruangan dr. Tadashi, dr. Seok Jin berdiri di hadapan BoBoiBoy, melempar senyum, lalu mengusap kepala BoBoiBoy -yang ditutupi topi dinosaurus berwarna orange- beberapa kali.
222
"FANG! BERHENTILAH MELAMUN!"
Fang mengerjap-ngerjapkan matanya. Saat itu ia baru sadar. Di hadapannya sudah ada Yaya dengan wajah marah beserta murid-murid lain yang menatap fokus ke arahnya.
Saat ini, Fang merasa lebih populer karena diperhatikan begitu banyak orang.
"Perpisahan akan diadakan tiga bulan lagi. Permainan akustikmu masih jelek. Jika kau tidak fokus pada permainan gitarmu, maka aku tidak akan bisa menyeimbangi nyanyianku," ucap Yaya blak-blakan.
"Apa katamu? Akustikku masih jelek?" Setelah kaget mendengar pernyataan Yaya, Fang sedikit kesal.
"Ya, kau masih lamban memetik gitarnya. Dan oh..." Yaya mendesah kesal lalu memandang sekelilingnya.
"Apa yang kalian tatap-tatap hah? Kalian juga masih ada kesalahan. Amy, kalau memainkan biola jangan cengengesan! Kau Iwan, atur lagi adik-adik kelasmu untuk lebih natural lagi saat bermain drama! Suzy, dandananmu terlalu menor untuk membaca puisi!" Yaya setengah berteriak dan menunjukkan teman-teman yang disebutkan dengan jari telunjuk.
Amy, Iwan, dan Suzy segera berbalik badan dan meneruskan latihan mereka. Tentu saja disertai sungutan kecil yang tidak bisa didengar langsung oleh Yaya.
"Dan kalian, aku minta atur panggung dan sorot lampu secara tepat!" Yaya menatap tajam ke arah orang-orang para pengatur panggung.
"Oh, adakah yang lebih buruk dari hari ini?! semuanya kacau!" frustrasi Yaya seraya meremas kepalanya yang ditutupi hijab merah muda.
Fang menatap sebal ke arah Yaya. Memang Fang salah, karena ia terlalu mencemaskan keadaan BoBoiBoy-walaupun Fang tau anak itu aman-aman saja sekarang.
Yaya sendiri repot mengurusi ini semua. Ia adalah presiden dari semua kegiatan siswa ataupun organisasi. Ia tidak ingin mengecewakan kepercayaan guru-gurunya. Yaya ingin semuanya terlihat sempurna dan mengesankan untuk seluruh siswa sekolah dasar pulau rintis di acara perpisahan nanti.
"Baiklah, Fang. Ayo, kita latihan lagi!" ucap Yaya setelah menstabilkan kembali emosinya.
Fang mengangguk singkat. Ia duduk di bangku tinggi dan memposisikan gitarnya. Yaya berdiri di sampingnya, memegang mic, dan mulai membuka mulutnya untuk bernyanyi.
O-ow. Fang lupa kunci gitar saat memainkan bagian intro. Bagian awal.
"Fang!" jerit Yaya kesal.
"Aku tahu! Aku lupa petikannya!" balas Fang sengit.
Yaya menatap Fang dengan sorot mata yang tajam.
"Kenapa kau bisa lupa?!"
"Karena aku manusia biasa," jawab Fang asal.
"Jangan bercanda, Fang!"
Wajah Yaya memerah menahan amarah.
"Aku serius, Yaya! Kenapa kau menyalahkanku?" Fang mulai tidak sabaran.
"Kau memang salah kan? Kenapa bisa sampai lupa padahal kita sudah latihan berminggu-minggu," balas Yaya tak mau kalah.
"Memangnya hanya aku yang salah? Nyanyianmu juga masih kacau!" ucap Fang berani.
"Apa katamu, Fang?!"
Suasana semakin panas di aula gedung serba guna sekolah dasar pulau rintis ini. Walaupun udara di dalam ruangan itu lumayan dingin karena AC, orang-orang di ruangan itu ikut merasakan ketegangan dan hawa mencekam di sekitar mereka.
Murid-murid kelas 6 Jujur memang sudah terbiasa melihat Yaya dan Fang beradu mulut di kelas. Masalahnya sepele dan itu biasanya sudah selesai beberapa jam kemudian.
Tapi ini lain. Mereka bisa melihat keseriusan dan kemarahan di antara sorot mata mereka. Tidak ada yang mau mengalah.
Tidak ada juga yang mau melerai dan ikut campur. Karena mereka takut Yaya akan mencatat nama mereka di notes kecil perempuan itu dengan tinta merah.
"Kau menyalahkan semua orang di sini. Seakan-akan kau tidak mempunyai kesalahan, padahal ada!" ucap Fang tajam.
Sebelum Yaya berkesempatan membuka mulutnya, Fang berkata duluan lebih keras.
"Kita tahu, kau menginginkan acara ini berjalan sempurna! Kita juga ingin perpisahan ini terlihat berkesan! Tapi kalau kau seenaknya berteriak dan marah kepada kita semua, kita tidak akan nyaman menjalani latihan ini!" seru Fang.
Wajah Yaya semakin memerah. Bukan marah, tetapi perempuan itu terlihat malu dan kicep. Ia merasa perkataan Fang ada benarnya.
Tetapi egonya mengatakan Fang tetaplah salah.
"Mentang-mentang kau adalah ketua OSIS, ketua kelas, ketua panitia, dan ketua blablabla, jangan memperlakukan teman-temanmu dengan seenaknya. Kau sama seperti kita. Kau harus berusaha seperti kita. Camkan itu, Yaya! Guru-guru mungkin mencintaimu, mengagumimu, dan lain-lain. Tapi ingat! Selain guru, lingkungan sekolah masih ada murid-murid lainnya yang mungkin tidak su-"
PLAK!
Tamparan keras mendarat di pipi Fang.
"Sudah! Cukup, Fang!" ucap Yaya dengan suara serak.
Fang terkejut dengan tamparan dari tangan Yaya. Selama ini, Yaya selalu menyerang musuhnya dengan hantaman kepalan tangannya. Mengingat dia mempunyai jam kuasa gravitasi, seharusnya ia bisa membuat Fang babak belur.
Tetapi Yaya masih punya perasaan. Ia tidak mungkin menyakiti temannya sendiri.
"Cukup! Kau jahat, Fang!"
Perlahan, air mata turun deras dari kelopak mata Ketua OSIS itu. Diiringi dengan isak tangis kecil.
"Kau pikir mudah untuk melakukan semua tanggung jawab ini? Jangan berbicara seenaknya!" ucap Yaya dengan suara pelan diiringi isak tangis.
"Kau beruntung aku memperingatimu terlebih dahulu. Masih ada orang yang lebih kejam perkataannya daripada aku." Tatapan tajam masih mengiringi Fang.
Yaya membekap mulutnya. Ia berusaha untuk tidak menangis keras di depan semua orang yang sedang melihatnya.
Semua orang di dalam aula itu memandang Yaya dengan berbagai macam. Teman-teman sekelasnya ingin sekali berlari memeluk temannya itu, tetapi mereka mengurungkan niat. Takut-takut sesuatu akan terjadi lebih parah jika mereka menghampiri Yaya.
Adik-adik kelas memandang Yaya seraya berbisik-bisik kepada teman-temannya masing-masing. Antara bergosip dan kasihan kepada kakak kelasnya.
Orang-orang pengatur panggung melihat sekilas pertengkaran yang terjadi. Namun, mereka tetap melanjutkan perkerjaan masing-masing tanpa berkata apa-apa. Seolah-olah mereka sudah berpengalaman melihat pertengkaran seperti itu.
"Aku pergi dulu,"
Suara Fang memecah keheningan aula gedung. Setelah menyenderkan gitarnya pada dinding, ia pergi dan menghilang dari balik pintu.
222
BoBoiBoy melangkahkan kakinya dengan lesu di pinggir jalan. Matanya menatap lurus ke depan. Tatapannya terlihat kosong. Pikirannya entah menerawang kemana-mana.
Dokter Tadashi memberitahunya bahwa alzheimernya semakin kuat, ditambah kondisi badannya semakin melemah. BoBoiBoy hanya pasrah mendengar semua pernyataan yang di keluarkan oleh dr. Tadashi.
Karena selain minum obat, apa lagi yang harus ia lakukan untuk mencegah alzheimernya itu?
"Halo, BoBoiBoy!"
Kesadaran BoBoiBoy muncul. Ia mendongakkan kepalanya menatap seseorang-sepertinya bukan orang-yang menyapanya.
BoBoiBoy mengerutkan keningnya melihat makhluk di hadapannya. Makhluk itu berkepala kotak, mempunyai antena di kepalanya, dan berwarna hijau.
"Halo! Maaf, ada yang bisa saya bantu?" tanya BoBoiBoy kaku.
"Apa kau lupa denganku? Ya ampun!" Makhluk itu shock dan menepuk jidatnya.
"Memangnya kau siapa?" tanya BoBoiBoy dengan polos.
"Ah, aku Adu Du lah. Teman bermainmu. Masa lupa sih?" ucap Adu Du akrab.
"Oh, benarkah?"
"Tentu saja. Hei, bagaimana kalau kau mengunjungi rumahku untuk menonton acara bola di TV sore ini? Di rumahku sudah ada Probe yang menunggumu loh," ajak Adu Du.
"Acara bola? Oh tentu saja itu akan menyenangkan, Adu Du!" girang BoBoiBoy.
"Nah, ayo, kita pergi bersama!"
"Tunggu dulu. Aku harus pulang ke rumah untuk ganti baju dan minta izin kepada kakakku," ujar BoBoiBoy sambil menunjuk seragam sekolahnya yang masih melekat.
"Tidak usah. Kita langsung saja. Hanya sebentar kok," rayu Adu Du.
BoBoiBoy tampak menimbang-nimbang permintaan Adu Du. Ia ingin sekali menonton acara bola bersama Adu Du, sekaligus sebagai alasan untuk minta maaf karena ia lupa dengan temannya itu.
Namun, ia tidak mau membuat Kak Fang dan Ochobot khawatir.
Tapi...
"Baiklah. Hanya sebentar saja, Ok?" putus BoBoiBoy.
"Tentu saja,"
222
.
.
.
.
.
.
.
.
.
A/N: Haiiii, apa kabar kaliaaan?
Gimana menurut kalian? Apakah jalan cerita ff ini makin ngawur atau semakin seru? Hahaha.
Author cuma mau bilang, jalan cerita ini semuanya murni imajinasi, bukan fakta. Jadiiii, jangan tanyakan kepadaku tentang unsur ilmiah di dalam ff ini karena aku tak tahuuu T_T.
Sekali lagi Author ingatkan. Bagi yang merasa follow ig atau friend request di fb Author, tolong perkenalkan diri kalian yaaa. Soalnya tidak semua readers saya konfirm. Saya tidak ingat nama-nama kaliaaaan ;_;
Review lagi, please! Kalau kalian bingung mau review apa, kalian kritik saja EYD yang masih salah di chapter ini.
Author terima semua review kalian. Silent reader, saya mohon sekali jangan cuma numpang baca, kalau bisa ikut review aja ;)
——————————
K O L O M N U T R I S I
——————————
1. Mengapa Yaya selalu terlihat bertengkar dengan Fang?
2. Apakah kamu pernah jadi panitia di acara sekolah? Jadi apa dan acara apa?
3. Apa pendapatmu terhadap Chapter 7 di Do I Remember You ini?
***
Mari terapkan budaya baca cermat, memberi masukan dengan santun juga bijak, serta menghargai keberagaman dalam berkarya dan perbedaan pendapat. Be wise.
***
Sudahkah kamu vote bab ini dan follow penulisnya?
Scroll/Swipe untuk membaca bab selanjutnya dari fanfict Do I Remember You?
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top