22 | Luka yang Makin Dalam
"ABIL?" Alfi sedikit tersentak saat mendapati laki-laki itu berdiri di ambang pintu. Ia kira, sang adik baru saja pulang sekolah dan dengan manja meminta dibukakan pintu, padahal tak ia kuci. Namun, sosok Abil-lah yang ditemuinya. Dengan seorang gadis di belakangnya. "Cari Alwin?" tanyanya kemudian.
"Hm ... bukan juga, sih. Mau main aja." Kedua sudut bibir Abil terangkat pelan. Entah mengapa sedikit kaku bertemu Alfi setelah sekian lama tak berjumpa.
"Sini, masuk!" Alfi menggeser tubuhnya. Memberi ruang untuk kedua tamunya. "Sama Jihan juga, ya?"
"Iya, Kak." Jihan tersenyum. "Alwin belum pulang?" tanyanya selagi mengikuti tuntunan tuan rumah menuju sofa di ruang tamu.
"Belum. Bandel banget emang itu anak. Baru sehari sekolah, tapi udah bilang mau pulang telat."
Jihan hanya mengangguk. Mengambil sisi kosong di sebelah Abil yang sudah terlebih dahulu mendudukkan tubuh.
Hening sesaat sebelum Alfi berpamit mengambilkan minum. Namun, langkah anak sulung Adinata itu terhenti kala rendah suara Abil terdengar.
"Om Gilang ada, Kak?"
"Papa? Kebetulan baru pulang. Naik aja kalau mau ketemu. Di ruang kerja paling." Melihat Abil yang masih duduk di tempat, membuat gadis itu terkekeh ringan. "Kayak sama siapa aja, sih, Bil? Jadi canggung gini. Padahal juga dulunya sering bareng. Apa gue yang panggil Papa buat turun nih?"
Abil menggeleng. Tak enak hati pula membiarkan Gilang yang datang menemuinya. Lagi pun, alasannya tetap diam di tempat bukan karena canggung yang Alfi katakan. Hanya ia kembali ragu jika harus menemui Gilang. Apa tak berlebihan? Namun, bagaimanapun, Abil ingin segera membunuh semua bayang yang menghantuinya. Setidaknya, sedikit saja ia ingin tenang. Agar selepasnya dapat fokus pada pengobatan fisik.
Abil bangkit berdiri. "Titip Jihan, ya Kak? Kadang galak, tapi enggak sampai gigit kok."
Dengusan dari Jihan yang terakhir kali Abil dapat sebelum berlalu. Laki-laki bertubuh tinggi itu mengambil langkah menuju lantai atas. Berdiri di depan pintu yang diyakininya, di dalam sana Gilang berada. Sekali ia mengetuk dan instruksi untuk masuk langsung ia dapat. Abil berdiri di ambang pintu, usai membukanya. Mendapati raut tak biasa Gilang yang diarahkan padanya.
Gilang menghentikan aktivitasnya saat tubuh jangkung Abil berada tak jauh darinya. Kulit putih pucat sosok itu, tampak lebih pucat dari terakhir yang ia lihat. Ditambah jaket putih yang membalut Abil terlihat lebih besar atau memang si empunya yang kehilangan bobot badan. "Abil? Duduk, Bil!"
Abil menurut tatkala Gilang menuntun mereka duduk di sebuah sofa di sana. Tempat yang terkesan lebih santai untuk berbicara.
"Gimana kabarnya, Bil? Jadi agak kurusan. Lagi sakit?" Kendati Gilang dapat membaca apa yang Abil sembunyikan, tapi kata-kata itu pada akhirnya dipilih sebagai pembuka. Memang, Abil sudah menghubunginya untuk meminta temu pagi tadi. Namun, baru sore ini ia dapat memenuhi janji. Tempat praktiknya akhir-akhir ini selalu ramai. Bahkan seharusnya, jika Abil tak bilang hendak datang, ia belum akan pulang.
Abil menunduk. Menyembunyikan keruh air wajahnya. Dengan bergetar, "Iya, Om. Tapi ada yang lebih sakit," kalimat itu keluar dari bibir pucat Abil.
Gilang menghela napas pelan. Disentuhnya pundak remaja itu selagi tangan yang lain meraih dagu Abil. Menuntut pandang mereka bertemu. Dan luka itu, Gilang dapati di sana. Kesendirian, kerinduan, tekanan dari apa yang selalu Abil sembunyikan terbaca jelas olehnya.
Abil tak berkata apa-apa. Namun, entah mengapa netranya mendadak berkaca-kaca. Mengaburkan penglihatannya dan luruh begitu saja butir air mata tanpa seizinnya. Kali ini, lengan kuat Gilang melingkar di bahunya. Membawa tubuh ringkihnya ke dalam dekapan. Membiarkan ia terisak di dalam pelukan. Aroma tubuh Gilang memulangkan rindunya akan figur sang ayah. Tak sama memang. Namun, ketenangan di dalamnya melarutkan kesadaran Abil. Semua kepura-puraannya luruh. Racau nama sang ayah, ibu, dan semua dukanya begitu mudah terlafal dari bibir.
"Abil enggak tahu harus bertahan dengan cara gimana lagi." Suara sarat akan keputusasaan dengan jelas Gilang tangkap.
"Abil enggak tahu harus lari ke mana lagi. Papa ... papa bahkan enggak peduli lagi sama Abil. Dan mama ... mama ...." Abil tercekat. Selalu tak dapat semudah itu menggumamkan sosok yang telah melahirkannya. Seorang yang sangat dirindukannya. Seorang yang belum lagi dilihatnya, usai hakim memutuskan perceraian kedua orang tuanya.
Gilang menepuk punggung Abil. Berupaya memberikan kekuatan dalam tiap sentuhan. Ia paham. Sangat mengerti bagaimana kehidupan sosok dalam dekapnya. Masa lalunya, waktu-waktu tersulit yang pernah dilampauinya, hingga kini kembali Abil runtuhkan pertahanannya.
Bagaimanapun, sekuat apapun Abil memasang tameng, yang diperlukan remaja seusianya hanyalah sosok orang tua. Sosok yang benar-benar kuat menjadi tempat bersandarnya. Atau sekadar membagikan kisah sehari-hari yang ia alami. Gilang kembali menghela napas. Kali ini lebih berat dan ia embuskan dalam sesaat. Bayangan Melly, ibu Abil sekaligus temannya terlintas. Lantas, membuat bibirnya bergerak mengatakan, "Om janji akan mempertemukan Abil sama mama."
Getaran punggung Abil mereda, kendati kalimat itu tak sontak membuat Abil tenang. Bagaimanapun, bayang-bayang kekecewaan menggelayutinya. Bagaimana jika Gilang hanya mengatakan itu untuk menenangkannya? Atau lebih buruk lagi, jika sang ibu segan bertemu dengannya.
"BENERAN ya, lo langsung pulang!"
Abil mengangguk. Lantas membalik tubuh Jihan sebelum mendorong pelan gadis itu guna memasuki rumah.
"Abil." Jihan kembali berbalik. Sejemang, ia biarkan tatap mereka saling bertemu. "Gue boleh minta sesuatu gak sama lo?" tanyanya kemudian.
"Hm?" Kening Abil sesaat berkerut. Gelagat Jihan hari ini terasa janggal dalam pikirannya. Entah karena memang suasana hatinya belakangan ini sedang ada dalam mode mellow, atau memang Jihan sedang ada masalah dan membutuhkan dirinya.
"Peluk gue," tutur gadis itu tiba-tiba. "Sepuluh detik aja."
Untuk beberapa saat terdiam, sebelum akhirnya dibawanya tubuh gadis itu dalam dekapannya. Memeluknya dengan erat.
"Dulu, lo kalo ada masalah, selalu peluk gue." Jihan membalas pelukan Abil. Berusaha menyelami jiwa laki-laki itu lebih dalam lagi. Entah kenapa, Abil terasa semakin jauh darinya. Sangat jauh. Sehingga bahkan ia merasa menjadi bukan seseorang yang berarti lagi untuk Abil. Tidak seperti dulu.
Sekarang, ia bahkan tidak pernah tahu apa-apa lagi tentang Abil. Bahwa tak hanya fisiknya saja yang rusak, jiwa laki-laki itu pun sama. Harusnya ia menjadi orang yang paling tahu tentang Abil. Tapi pada kenyataannya?
"Kalo gitu, tambah dua puluh detik." Dipeluknya tubuh Jihan lebih erat. Berusaha mencari ketenangan di sana. "Enggak, tiga puluh detik aja." Abil baru tahu, kalau pelukan Jihan masih sama seperti dulu. Menenangkan, mendamaikan.
Benar, dulu Jihan adalah satu-satunya orang yang ia miliki. Tempat ia membagi semua beban yang menghimpit dadanya. Tempat di mana ia bisa menangis sepuasnya ketika berbagai kenyataan menghujaninya tanpa ampun. Sekarang terlalu banyak hal yang menjadi sekat antara mereka.
"Gue tau lo gak akan segampang itu menyerah. Tapi, kalo lo benar-benar udah gak kuat, lo udah gak tahan dengan semuanya, gue selalu ada di sini, Bil. Selalu. Buat lo." Tanpa sadar, air mata Jihan luruh. Tubuhnya bergetar hebat. Entah kenapa, sosok yang ada dalam pelukannya kini terasa begitu rapuh, sangat rapuh, seolah dalam satu sentuhan saja dia akan pudar dan menghilang.
"Jihan...."
"Gue tau ini egois. Tapi, gue selalu berharap hanya ada gue aja di hidup lo, Bil. Gak perlu ada Sira dan yang lain. Gak perlu ada Alwin atau pun Pandu. Gue mau cuma gue satu-satunya sahabat yang lo miliki."
Abil tak merespon lagi. Hanya sibuk merasakan aroma tubuh Jihan yang terasa menenangkan. Membuat ia sesaat lupa dengan segala permasalahan yang ada. Detik ini yang ia ingin hanya satu. Tak melepaskan pelukan itu barang sedetik pun.
ABIL memejamkan mata sejenak kala pusing semakin mendera. Bersandar pada gerbang berwarna abu-abu di dekatnya. Setelah mengantar Jihan pulang, sempat bimbang sebelum akhirnya memutuskan untuk putar balik guna mencari alamat yang Gilang berikan padanya.
Alih-alih menuruti perintah Jihan untuk langsung pulang, rasa penasaran dan rindu justru membuatnya nekat dan pergi mencari alamat itu. Padahal sejak masih di rumah Alwin tubuhnya sudah protes minta diistirahatkan.
Lelah. Kendati alamat yang dicarinya tak sulit ditemukan, tapi tenaganya seperti dikuras tuntas tanpa sisa. Lemas semakin menjadi. Beruntung gerbang abu-abu tempatnya bersandar itu adalah rumah yang sejak tadi dicarinya.
Gelap mulai menggantung di langit. Udara juga terasa semakin dingin. Setelah mengumpulkan energi beberapa saat, diseretnya langkah lemasnya memasuki gerbang. Tak sabar ingin bertemu, saat langkahnya berhenti di depan rumah, sesegera ia menguluk salam seraya mengetuk pintu rumah itu.
Lama tak ada respon, Abil kembali mencari sandaran. Entah kenapa jantungnya terasa berdebar dengan cepat. Menimbulkan sesak sehingga napasnya menjadi lebih pendek. Matanya kembali terpejam, kali ini lebih erat. Merasakan sensasi sakit di sekujur tubuhnya.
"Abil?"
Abil terkesiap. Melupakan segala nyeri yang ada, ditegakkan tubuhnya saat suara itu menyapa gendang telinga. Begitu melihat siapa yang berdiri di hadapannya kini, kening Abil berkerut dalam seketika?
"Sira?"
Publikasi, 15 April 2020
Revisi, 01 Juli 2021
Ya Allah, yang gak komen semoga titik-titik.--Sira
.
Kenalin, ini Mika. Saudara kembar Sira. Dia pernah di singgung di chapter #10. Penasaran, boleh baca ulang. Atau kalau mau tau lebih dekat, dia muncul banyak di ceritaku yang Last Memory di akun Naesu13
Mika & Sira
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top