19 | Sedikit Membaik

"WIN! Gue bicara serius ini!"

"Ya teruuuus?" Berusaha tak mengindahkan cerocosan Alfi di ambang pintu sana, Alwin terus larut bersama si bundar oranye. Menyibukkan diri dalam  permainan tunggal yang ia buat sendiri.

"Terus, terus, aja lo kayak tukang parkir." Alfi menggerutu sebab sejak tadi adik laki-lakinya itu tampak tak serius menanggapi ocehannya.

Cuaca sedang terik-teriknya. Tapi, sudah hampir dua jam Alwin malah asyik berpanas-panasan di sana, sebuah lapangan basket kecil di belakang rumah. Wajah rupawannya bahkan sudah memerah dan dibanjiri keringat.

"Shit!" Umpatan itu refleks lolos saat lagi-lagi shooting yang ia lakukan gagal.

"Terserahlah!" Alfi menghentakkan kaki kesal. Ia baru saja hendak berbalik dan melangkah meninggalkan Alwin saat....

"Argh!"

...erangan itu terlalu jelas untuk tidak menyentuh gendang telinganya. Dilihatnya tubuh Alwin luruh, terduduk lemas di tengah lapang sana. Selagi tangannya sibuk mencengkeram kuat kepalanya. Buru-buru Alfi berlari menghampiri si adik, berjongkok dan mensejajarkan diri dengan Alwin.

"Bandel sih! Orang sakit tuh diem di rumah. Istirahat. Tidur. Rebahan. Bagus-bagus mau nurutin permintaan Mama sama Papa buat periksa ke dokter. Bukan malah panas-panasnya main basket gini."

Alwin menggeleng perlahan. Mengusir denyutan hebat di dalam kepalanya. "Lo ngebawel terus, jadi pusing kan gue." Kekeh Alwin kontan mengudara saat melihat wajah cantik kakaknya memerah karena menahan marah. Sedetik kemudian ia meringis lantaran Alfi dengan tiba-tiba menggeplak punggungnya dengan kasar.

"Lo tuh, ya! Gue itu khawatir tau gak?" Alfi bangkit. "Gue bilangin sama mama papa pokoknya." Lantas setelah itu meninggalkan Alwin, berjalan tergesa ke dalam rumah.

Melihat si yang lebih tua pergi, Alwin perlahan bangkit. Membungkuk sebentar guna menghalau pening. Lantas setelah denyutan di kepalanya perlahan lenyap, Alwin berjalan terseok menyusul Alfi.

"Bilangin apa sih, Kak?" Alwin menyambar cepat ponsel di tangan Alfi begitu berhasil membawa langkahnya ke hadapan si kakak.

"Bilang kalo lo gak mau ke dokter. Gak mau periksa." Alfi berusaha merebut kembali ponselnya. Tapi, Alwin mengacungkan ponselnya itu ke udara. Ia kemudian menyerah saat sadar kalau kini tubuh adik kecilnya itu sudah lebih tinggi dari dirinya. Ia tak mungkin bisa meraih ponsel itu.

"Percuma. Lo bilang juga mereka gak bakal peduli. Gue sekarat juga gak bakal peduli. Jadi, ngapain gue periksa ke dokter?"

"Lo itu ngebacot apa, sih? Emang yang nyuruh gue buat bujuk lo ke dokter itu siapa, hah? Mama, Win. Mama tuh khawatir banget sama lo."

"Terus kalo emang Mama khawatir terus peduli sama gue, kenapa gak dia aja yang bujuk gue ke dokter? Kenapa harus lo?"

Sebanyak mungkin, Alfi menghimpun udara dalam paru-parunya. Lantas mengembuskannya dalam sekali hela. Ia paham dengan perasaan Alwin. Jarak yang tercipta antara Alwin dan orangtuanya memang sudah cukup jauh. Wajar jika Alwin berpikir demikian. Tapi, Alfi juga tahu kalau orangtuanya masih menyimpan peduli pada Alwin. Tidak secuek yang Alwin pikir.

Alwin itu jarang sakit. Sakit paling parah ya paling cuma flu sama diare. Tidak pernah sampai pingsan seperti di Car Free Day kemarin lusa. Saat Alfi memberi tahu kedua orangtuanya kalau Alwin sempat pingsan, mereka juga terlihat khawatir. Jadi tidak mungkin kalau mereka tidak peduli pada Alwin.

"Lagian gue itu cuma sakit biasa. Ngapain juga ke dokter coba? Ini juga udah mendingan. Besok gue udah niat mau sekolah kok." Alwin mendelik. Menyimpan ponsel milik Alfi di atas meja.

"Iya, gue tau. Tapi apa salahnya kalo periksa dulu? Biasanya lo tuh kalo sakit gak kayak kemarin tau, gak? Gak pernah sampai pingsan, gak pernah sampe demam tinggi gak turun-turun, apalagi ngerengek sakit kepala sampai jedot-jedotin kepala ke tembok juga, kan?"

"Apaan sih?"

"Win! Ayo, periksa. Mama nyuruh gue buat bujuk lo itu karena Mama tau kalo lo pasti gak bakal nurut sama dia."

"Iya, gue kan anak durhaka. Gak sepenurut lo."

"Mulut lo itu ya! Mau gue cabein ap——"

"Assalamualaikum."

Tanpa komando, Alwin dan Alfi kompak memandang pintu utama rumah begitu suara salam disertai ketokan pintu itu terdengar.

"BESOK-besok kalau bertamu harusnya bawa makanan, biar enggak ngerepotin tuan rumah." Alwin terpaksa mengeluarkan persediaan snack-nya dari dalam kulkas. Membawa beberapa bungkus Taro dan kue kering lain selagi mengimbangi langkah sang kakak membawa minuman.

"Ya, kan Bu Faa nyuruh kita nengok elo siapa tahu enggak karena sakit, tapi malah udah jadi manten," celetuk Sira. Ia memang sudah mendengar cerita Aisya tempo hari, perilah laki-laki yang kini berkaos putih itu. Wali kelas mereka juga. Namun, bukan biasanya Alwin absen selama tiga hari. Wajar jika guru muda mereka meminta perwakilan kelas untuk menengok.

"Besok udah masuk, kan?" tanya Aisya selagi membantu Alfi menata es jeruk di atas meja. Lantas, anggukan Alwin didapatnya sebagai jawab. "Padahal kalau belum masuk, kemungkinan besar Bu Faa sama anak kelas bakalan ke sini."

"Liburnya nambah sehari, enak kayaknya, ya Kak? Biar ditengok bu guru cantik." Alwin beralih memandang kakak perempuannya. Mengerling jahil. Bukannya tanpa sebab yang jelas, guru berkacamata wali kelas mereka itu memang banyak dikagumi siswa.

Alfi balas adik laki-lakinya dengan tatapan tajam. Kontan membuat Alwin menarik ucapannya. Tak hanya karena apa yang didapat dari sang kakak. Tapi, anak bungsu Adinata itu tersadar jika Pandu turut hadir di sana.

"Lo diam aja dari tadi, sih Pan?" Alwin memutar topik. Diarahkannya pandang pada Pandu, lantas dirinya mengambil alih sisi kosong sofa di samping Pandu.

"Boring gue." Rendah suara Pandu terdengar sebagai jawab. Laki-laki berseragam OSIS itu menatap layar ponselnya yang menggelap. Sesaat bangkit dari duduknya untuk menyimpan benda pipih persegi panjang miliknya di dalam saku celana.

"Lagian, siapa yang nyuruh elo ikut ke sini?" Kalimat tanya Aisya sempat membuatnya mendapat tatapan datar dari Pandu. Sebelum laki-laki itu lebih fokus untuk mengambil posisi duduk ternyamannya.

Jikalau boleh jujur, sebenarnya canggung masih terasa nyata olehnya. Bagaimana sebelum ini ia terlibat perkelahian dengan Alwin. Menyalahkan laki-laki bertubuh tinggi itu atas semua masalah yang mereka hadapi. Dan kini, tiba-tiba datang dengan tampang seolah semua baik-baik saja tanpa terlebih dahulu meminta maaf.

"Mau ketemu Kak Alfi kali, Kak," celetuk Sira.

"Akhirnya kakak gue ada penggemar nih."

"Apaan, sih Win?" Cukup keras Alfi menyikut rusuk sang adik. Membuat seorang tiga tahun lebih muda darinya meringis kecil.

"Gue inget!" Aisya sedikit memekik, "tadi, kan kita ketemu Pandu di parkiran. Pas tahu ada Sira, dia langsung aja tuh mau diajak ke rumah lo. Emang walau deket, kalau enggak gercep bisa kalah sama yang jauh, ya?"

"Ye ... kok gue? Elo kali tuh sama si penggemar rahasia lo itu!" Sira tak terima dirinya dan Pandu mulai jadi bahan bully-an.

"Kok jadi gue? Mohon maaf, ya ... gue udah ada yang punya. Suami lagi wamil, istri harus jaga hati."

Alfi terkekeh ringan mendapati keributan yang dimulai gadis kpoper itu. "Eh, tapi beneran jaman segini masih ada secret admire yang gituan?" Perempuan paling dewasa di sana tertarik oleh pembicaraan yang dibawa Sira.

"Yang model kayak gue juga masih ada kok, Kak." Alwin menimpali.

"Lo mah apaan?" Pandu bangkit berdiri. Mengambil bola basket yang sempat Alwin simpan di bawah meja.

Satu sudut bibir Alwin terangkat. Cukup jelas respons Pandu menjadi penanda kembalinya hubungan baik mereka. Bukannya dalam persahabatan tak ada kata "maaf" dan "terima kasih"? Karena mereka tak pernah berniat menyakiti dan tak berharap mendapat jawab atas kebaikan yang diberikan.

"Tapi udah lama juga sih gue enggak dapat tulisan-tulisan itu lagi," gumam Aisya. Pikirnya kembali mengingat kapan terakhir kali puisi tanpa nama pencipta itu datang padanya. Sedangkan Sira dan Alfi tak menanggapi. Menunggu Aisya yang tampaknya sebentar lagi akan memulai ceritanya perihal secret admire-nya.

"Main enggak Win?" Pandu memutar si kulit orange yang berpindah pada tangannya.

"Udah move on kali. Lo kurang peka." Tak langsung menjawab pertanyaan Pandu, tapi bangkitnya Alwin menjadi pertanda kesanggupannya.

"Jangan panas-panasan lagi, woy! Bandel banget dasar bocah!"

Dan Alwin hanya melambaikan tangan pada sang kakak. Mengambil langkah setengah berlari menyusul Pandu menuju lapangan.

ALWIN membungkuk. Menumpukan telapak tangannya pada lutut sebagai tumpuan tubuh. Dua jam bermain basket ditambah menemani Pandu mengalihkan rasa bosannya benar-benar menyita tenaganya.

"Gue mau ngajak taruhan sebenarnya. Tapi kalau lo belum enakkan, gue enggak maksa." Pandu menantulkan bola beberapa kali sebelum menembak ke dalam ring dan masuk.

"Taruhan gimana?" Gamblang, Alwin bertanya.

"Kalau lo bisa ngalahin gue, gue bantuin minta maaf ke Metta," jawab Pandu tanpa ekspresi berlebih. Memang, masih ada keraguan jikalau harus kembali membuat Alwin bersama Metta. Namun, ia tak lagi dapat melihat wajah sepupunya yang tak seceria dulu. Alwin memberi pengaruh cukup besar bagi gadis sama-sama pecinta basket itu. Banyak kali Alwin mematahkan kepercayaannya, tapi bagaimanapun, nyatanya, tak ada laki-laki lain yang dapat ia andalkan untuk membahagiakan Metta.

"Setuju." Cepat, Alwin tegakkan tubuhnya. Bahkan sebelum Pandu bersiap, terlebih dahulu diambilnya alih bola dari tangan sahabatnya.

Terik semakin membakar semangat mereka. Bukannya mempersulit Alwin, Pandu enggan mengalah sebab ingin tahu seberapa besar usaha laki-laki itu untuk kembali memiliki Metta. Dan di matanya, sosok itu masihlah sama. Berkeras seolah ialah laki-laki yang paling pantas untuk menjaga gadis bernama Maretta, meski tak dapat ia menjamin luka yang sama tak akan lagi dibuat oleh Alwin.

"Oya, Jihan sama Abil gak diajak?" Sedari awal teman-temannya datang, Alwin memang merasa ada yang kurang. Ia baru ingat kalau Abil dan Jihan tidak ada di antara mereka saat ini. Dan juga Metta tentu saja.

"Katanya sih, Ais udah chat Jihan sebelum ke sini, tapi Jihan bilang mau ke rumah Abil." Masih berusaha merebut bola dari kuasa Alwin, Pandu berusaha menjelaskan.

"Oh gitu." Singkat Alwin merespons. Agak kecewa. Biasanya Abil paling care sama sahabat-sahabatnya. Tapi, giliran ia yang sakit, laki-laki penyuka musik itu tidak hadir menjenguknya.

"Kayaknya sih Abil juga sakit, Win. Soalnya kata Metta, sebelum gak masuk dua hari ini, Abil mimisan banyak banget."

Masih mencoba mempertahankan bola di tangannya, kemudian ingatan Alwin flashback ke kejadian beberapa waktu ke belakang. Ia sendiri sudah lebih dari sekali memergoki Abil mimisan. Mendadak, ia jadi khawatir juga dengan kondisi temannya itu. Alwin curiga kalau Abil menyembunyikan sesuatu dari dirinya, dari sahabat-sahabatnya.

"Win ada tamu lagi!"

Lengkingan suara Alfi sontak membuat gerakan Alwin men-dribble bola terhenti, seiring terhentinya ingatan tentang Abil dipikirkannya. Netra laki-laki itu menyipit. Tak hanya sebab sinar matahari, tapi juga untuk memperjelas kemampuan indranya menjangkau seorang yang berdiri di ambang pintu. "Metta?"

Pandu turut menoleh saat nama itu terlafal dari bibir Alwin. Dilihatnya gadis yang juga masih berseragam OSIS memangkas jarak ke arah mereka.

"Tadi nyokap lo telfon gue, katanya lo enggak bisa dihubungi."

Ada gurat kecewa terlukis di wajah Alwin kala kalimat itu yang terlebih dahulu didengarnya dari Metta. Bukannya salam bosa-basi, sekadar menanyakan kabar, atau hal lain yang bersangkutan dengannya.

"HP gue mati."

"Pantesan. Tante tadi minta lo jemput. Gue mau jemput tapi enggak ada kendaraan. Udah gue cariin di ruang OSIS, elo-nya enggak ada. Terus ada yang bilang kalau lo ke sini. Kebetulan anak IPS 1 rumahnya deket sini, jadi gue bareng dia." Metta memberi penjelasan cukup panjang tanpa sedikit pun mengubah arah pandang. Fokus pada Pandu. Seolah keberadaan Alwin di sana hanyalah angin lalu.

"Kalau gitu, kebetulan juga lo ke sini."

"Eh?"

"Gantiin gue main sama Alwin. Gue jemput nyokap dulu."

Kening Metta berkerut dalam. Bibirnya terbuka untuk menolak, tapi tak sempat lantaran Pandu terlebih dahulu pergi, usai menepuk pundaknya.

Hening. Tak ada suara lain yang terdengar setalah kepergian Pandu. Tawa dari ruang tengah pun hanya samar terdengar. Mungkin, mereka memang sengaja meninggalkan dirinya berdua dengan Metta. Ingin rasanya Alwin membuka percakapan. Sekadar mengatakan "Hai" misalnya, tapi setelah dipikir-pikir kata itu tak cukup menarik.

"Gue ada tantangan."

Tak cukup siap, Metta menangkap bola yang tanpa aba-aba, Alwin lempar padanya.

"Kalau gue memang, balikan. Kalau gue kalah, lo boleh minta tiga permintaan dari gue. Gimana?"

Lidah Metta kelu. Entah ke mana segala bentuk penolakan yang telah dirangkainya jika sewaktu-waktu laki-laki itu meminta kembali. Entah ke mana menguapnya segala usaha untuk menjauhi sosok itu. Karena sekeras apapun Metta mencoba, Alwin selalu punya beribu pesona untuk lagi-lagi menariknya.

"Kalau nolak, berarti kalah."

Sempat berpikir cukup lama sebelum Metta dengan mantap setengah berlari menuju tengah lapangan. Pada akhirnya, adegan seperti ini tereka ulang. Bagaimana hanya mereka berdua menguasai satu lapangan. Berebut satu benda bulat. Hingga suatu kali, mereka kembali berhadapan. Kembali saling beradu tatap. Dan kembali Metta rasa jantungnya berdetak lebih cepat untuk yang sekian kali.

Keringat menetes deras dari tubuh keduanya. Seolah menghempas semua rindu yang ditahannya, Metta keluarkan tenaganya dalam sekali waktu. Bermain habis-habisan tanpa lagi memedulikan taruhan yang dibuat laki-laki itu. Karena bagaimanapun, tak peduli apa hasilnya nanti, yang terpinting ialah ...

"Met, jangan dipeluk mulu bolanya." Lengan Alwin melingkari tubuhnya dari belakang, mengambil alih bola dari tangannya.

... kebersamaan.

Dari samping, Metta pandangi wajah penuh keringat Alwin. Sepasang netranya terfokus pada ring. Bersiap mencetak poin agar dapat menyamai skor yang diperolehnya.

"Shit!" Alwin menunduk. Lantas menekuk lututnya selagi menutup mata dengan sebelah tangan. Membiarkan bola menggelinding bebas. Melepas kesempatan yang diberikan Metta begitu saja.

"Win, lo enggak papa?" Cukup panik, Metta turut berjongkok di hadapan Alwin.

Tak segera di dapatnya respons dari Alwin. Laki-laki itu masih bergeming dalam posisinya tanpa memedulikan gadis di hadapannya yang mulai khawatir. "Win lo--"

"Silau." Alwin mengangkat wajahnya selagi mengurut alis.

"Jangan bohong."

"Seriusan. Karena pancaran dari lo kali, ya?"

Metta bangkit berdiri. Sedikit kesal memang. Alwin telah membuatnya khawatir, tapi laki-laki itu malah mulai menggodanya. Tak berucap sepatah kata, ia berbalik. Berniat meninggalkan lapangan. Namun, gerakannya terhenti saat Alwin meraih tangannya.

"Gue enggak maksa kita harus pacaran kayak dulu karena gue kalah. Tapi, gue mohon jangan jauh-jauh dari gue. Gue sayang lo, Met. Gue sadar kalau udah basi banget gue ngasih penjelasan ke elo. Lo juga mungkin udah bosen dengerin alasan gue. Makanya, gue terserah lo. Kalau lo masih percaya sama gue, sekecil apapun itu, please ... izinin gue selalu ada di dekat lo."

Mendengar kalimat panjang yang Alwin urai, Metta tak tahu harus menjawab apa. Terlalu sulit untuk mereka kembali menjalin hubungan sedekat dulu. Tapi, ia juga tak ingin membohongi dirinya bahwa ia masih membutuhkan sosok itu.

"Kalau itu terlalu susah, seenggaknya lo biarin gue ngabulin tiga permintaan. Sesuai janji yang kita buat barusan." Alwin meraih bahu Mette, lantas memutarnya. Menuntut kedua pasang mata mereka untuk bersitemu.

"Pertama, gue mau besok lo ke sekolah."

Alwin mengangguk. Toh, tanpa diminta, ia memang telah berencana masuk kelas besok.

"Kedua, jangan sakit lagi."

Tak secepat itu Alwin menyetujui. Karena kesehatan adalah apa yang Tuhan berikan padanya. Ia dan Metta pantas meminta. Namun, Tuhan memilik hak untuk mengujinya sewaktu-waktu dengan sakit yang tak dapat diterka kapan datangnya. "Hm ... oke. Gue bisa usahain. Ketiga?"

Cukup lama Metta habiskan waktu untuk menahan sebuah kata terlafal dari bibirnya. Menyingkap banyak keraguan hingga ditemukannya sebuah putusan, "Balikan."

Sempurna. Segurat senyum tercetak di wajah tampan Alwin.

Publikasi, 06 Maret 2020
Revisi, 24 Juni 2021

Yang rajin vote sama komen, sini gue pelukin satu-satu. —Alwin

...

Jangan lupa mampir sini, yaaa...
.   ( ̄'Д´ ̄)9.

Juga ke fanfic ini di akun Naesu13

Gomawo

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top