6
“Siang, Kak. Maaf telat, tadi gue—.”
“Iya, nggak apa-apa. Sana ganti baju dulu!” potong Bila.
Sudah jam setengah dua siang Bongbong baru sampai toko. Meskipun tempatnya tidak jauh, ia tidak enak jika terlambat berangkat kerja.
Selesai berganti seragam, ia menuju kasir. “Kak Bila, nggak marah?” Bongbong penasaran dengan pertanyaannya.
Pasalnya, perempuan yang menggantikan dirinya bekerja itu terkenal disiplin dan tidak peduli dengan alasan macam apa pun. Jika terlambat sedikit saja, yang mengomel bisa sampai sore. Tapi, sekarang tumben tidak mengomeli Bongbong.
Bila yang menggantikannya pun menoleh, melihat Bongbong dengan alis naik ke atas. “Marah? Kenapa? BTW, selamat, ya.” Bila mengucapkan apa yang tidak diketahui Bongbong.
“Selamat kenapa? Gue nggak lagi ultah, Kak.”
“Lo tunangannya Pak Jay. Tadi beliau yang ngizinin lo buat telat.” Bila bergegas menuju tempat roti yang sudah di oven.
“Eh, kok, Bang Jay tau?” Bongbong penasaran bagaimana orang itu bisa tahu jika dirinya bekerja di tempat teman Fey. Apakah Fey memberitahu Jay jika dirinya bekerja di sini? batin Bongbong.
“Udah, lupain. Gue mau ke dapur dulu.”
Beranjaknya Bila ke dapur, Bongbong mendapat pesan. Ia menilik ponselnya sebentar, ternyata dari nomor baru. Ia akan memasukkannya lagi, tapi ponselnya bergetar lagi tanda panggilan masuk.
“Iya, siapa?”
“Saya tunggu di depan toko!” Ponsel di matikan.
Bongbong melihat layarnya sudah gelap. Telepon dimatikan, dan ia tidak tahu siapa yang menelepon. Ia menggelengkan kepala, dan tak peduli pada penelepon yang sudah menunggunya di depan. Bongbong masih menata roti yang baru saja keluar dari dapur.
Baru dua menit menata roti, seorang pria berpakaian jas hitam menghampiri Bongbong. “Maaf, Mbak. Ditunggu Bos di depan!”
“Iya. Gue? Siapa yang nunggu? Kenapa nggak masuk sendiri aja?”
“Mari, Mbak!” perintahnya mengajak Bongbong berjalan lebih dulu.
Bongbong akhirnya keluar, menemui orang yang ingin bertemu dengannya. Orang berjas hitam itu membuka pintu mobil bagian belakang, menyuruh Bongbong untuk masuk.
Dilihatnya laki-laki yang ada di dalam mobil. Laki-laki itu adalah orang yang Bongbong sukai, namun jauh dari jangkauannya. Leyra, lelaki idamannya, cinta pada pandangan pertama, lelaki yang menolongnya, yang hampir jatuh mencium tanah.
“Loh, Bang Ley. Kok, di sini? Ngapain?” tanya Bongbong, terkejut. Ia duduk di sebelah Ley, di kursi belakang.
“Emang nggak boleh mau kenal dekat sama lo,” kerlingnya.
Ia adalah lelaki idaman Bongbong. Ganteng, cepat dalam memahami isi hati perempuan, terutama hati Bongbong yang selalu semangat saat melihat dirinya.
“Gue, ‘kan, kerja. Gue masuk dulu, ya?”
Sebelum Bongbong pamit, tangannya ditarik Ley agar berdiam di mobil sebentar. “Jangan pernah nggak bales WA gue, ya. Kalo gue telepon juga diangkat!”
“Tadi nomernya Bang Ley? Okey, gue save.” Tangannya membentuk huruf O dengan jari telunjuk dan Jempolnya.
Baru saja Bongbong keluar, lengannya ditarik perempuan yang sedang naik pitam.
“Oh, jadi elo yang jadi pelakor? Perebut laki orang,” ucap perempuan itu dengan nada tinggi. Hingga membuat orang-orang di sekitar melihat keributan yang perempuan itu ucapkan.
Jalanan yang ramai dengan kendaraan lalu lalang berjalan pelan saat mendekat ke arah mereka. Suara klakson dari pengendara lain yang ingin melaju cepat terdengar di telinga Bongbong, membuatnya menutup telinga.
“Maaf, siapa, ya? Gue pelakor? Laki siapa yang gue rebut, Mbak? Dateng main tuduh-tuduh aja. Kenal juga enggak.” Bongbong melepaskan tangan perempuan yang menarik lengannya dengan erat.
“Tiara,” ucap Ley, yang keluar dari mobilnya.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top