DTA-08- Faktanya
💌💌💌
Patah hati, terkadang bisa menjadi anugerah terindah, jika cinta itu hanya menjerumuskanmu ke lembah nista.
💔💔💔
Bel pulang masih satu jam lagi.
Kegiatan pembelajaran mata pelajaran matematika masih berlangsung. Mau tak mau Ayu harus izin keluar kelas, karena ia tak kuasa menahan lebih lama lagi panggilan alam yang mendera.
"Permisi, Bu. Izin ke belakang," ujar Ayu setelah sampai di depan, menghampiri Ibu Livi yang sedang mengoreksi tugas siswanya.
"Iya, silakan," ucap Bu Sofi menoleh sebentar dan Ayu segera keluar kelas.
Selang waktu beberapa menit, Ayu akhirnya keluar dari kamar mandi. Rasa lega akhirnya bisa ia rasakan. 'Tenyata menahan apa pun itu menyiksa banget sampai ke ulu hati, eh,' batin Ayu yang tampak terkekeh sendiri dengan pikiran konyolnya.
'Dasar, gue kok jadi bucin amat yak,' ucap Ayu dalam hati. Menyadari setiap tingkahnya yang tak seperti biasanya.
Baru beberapa langkah ia melewati kamar mandi yang berjajar. Langkah Ayu langsung terhenti saat mendengar suara seseorang yang tak asing di rungunya.
Apalagi mendengar nama dirinya disebut-sebut. Membuat Ayu penasaran dan memutuskan untuk berputar arah, lebih mendekat ke arah sumber suara.
"Tenang aja, langkah gue tinggal sedikit lagi buat dapetin dia seutuhnya. Dan itu berarti gue memenangkan taruhan ini, kan? Kalian tinggal atur lokasi dan waktu yang tepat buat gue bisa memadu kasih dengannya."
"Hahahaha, lo kayaknya betah amat dekat-dekat dengan cewek jelek itu, Van."
"Eitsss ... jangan salah. Gue awalnya juga pengen muntah setiap kali deket sama dia. Tapi, sekarang kan gue udah bikin dia bertekuk lutut atas semua permintaan gue. Lo pada bisa lihat, kan gimana dia sekarang?"
"Syeeettt dah. Lo emang hebat, Van. Ayu emang lebih cantik sekarang. Rencana kita kayaknya bakalan mulus, nih. Gue nggak sabar ngerekam aksi lo sama dia. Sepanas apa ya kira-kira pergulatan kalian. Secara, kan dia gadis polos yang pastinya masih perawan."
"Jangan salah, ya. Gini-gini gue masih perjaka, Woy."
"Halah ... mana percaya kita, yak."
Gerombolan laki-laki itu terbahak penuh suka cita. Mereka tak tahu saja, jika Ayu kini benar-benar diam terpaku, lidahnya tercekat akibat dadanya yang seakan terhimpit sejak mendengar obrolan mereka yang demi apa pun sangat menjijikkan itu. Hatinya bergemuruh oleh rasa panas yang seakan membakar lenyap rasa cinta dalam hatinya untuk laki-laki bernama Evan itu.
Air mata Ayu langsung mengalir deras, kepalanya tampak menggeleng-geleng cepat. Seakan tak percaya dengan apa yang baru saja ia dengar.
Penuturan mereka seperti sembilu yang menyayat hatinya begitu dalam. Meninggalkan luka tak berdarah yang menimbulkan perih yang sangat dahsyat.
Ayu pun tak tahan lagi mendengar obrolan mereka yang semakin tak senonoh. Ia pun langsung berlari dengan cepat. Bukan menuju ke kelas, tetapi ke arah musala yang ia yakini pasti tempat itu saat ini sedang sepi.
"Astaghfirullahal'adhzim." Lafal istighfar sontak mengalir dari lisan Ayu, begitu tiba ia di dalam musala.
Tubuhnya yang tadinya tegak bersandar, perlahan luruh dan lemah. Kakinya seakan tak bertenaga untuk menopang tubuhnya agar berdiri tegak.
Hatinya benar-benar kecewa. Ayu benar-benar tak menyangka. Jika dirinya kali ini dijebak dan hampir saja terjerumus ke dalam lembah yang paling nista.
Mendadak dada Ayu sesak, sampai-sampai ia memukul-mukul dadanya sendiri. Pil kepedihan dan kekecewaan yang ia rasakan kali ini berefek menyesakkan dada. "Allah ... ya Allah," ucapnya lirih dengan napas tersengal.
Bagaimana gadis itu tak kecewa. Saat ia merasa sayang yang sangat sayang kepada laki-laki. Ternyata laki-laki yang menjadi pacarnya itu bukan saja play boy, tetapi laki-laki bejat tak bermoral yang sangat pandai bersilat lidah.
"Ya Allah ... astaghfirullah ... astaghfirullah." Tak pedulikan waktu telah berlalu beberapa menit, Ayu masih tak berhenti sesenggukan. Pikirannya penuh dengan berbagai hal yang tak pernah ia sangka dari Evan.
Evan yang menurutnya ganteng, baik dan romantis. Nyatanya itu hanya sebuah topeng. Topeng yang ingin Ayu sobek-sobek sekarang juga.
Ayu ingin sekali marah, tapi ia sadar, jika dirinya hanyalah wanita lemah yang tak mungkin melawan gerombolan laki-laki brengsek itu.
Sebandel-bandelnya Ayu. Dari dulu tak pernah dia bersitegang atau bahkan berkelahi dengan laki-laki. Karena ia bukan gadis yang jago silat.
Kini, ia hanya bisa meratapi kesakitan dan kesedihan hatinya seorang diri. Ingin rasanya ia berteriak sekencang-kencangnya untuk menghilangkan sesak di dada. Namun, ia sadar, jika saat ini berada di sekolah dan ia harus bisa mengontrol dirinya sendiri.
Hampir setengah jam berlalu. Ayu terus menenangkan diri dengan kalimat-kalimat thoyyibah yang ia sebut dengan lisannya. Tak hanya itu, Ayu pun berulang kali mencoba menghirup udara begitu dalam, lalu mengembuskannya perlahan.
Selang beberapa waktu, akhirnya Ayu bisa menenangkan diri. Buru-buru ia bangkit dan segera masuk ke kamar mandi di samping musala untuk cuci muka. Karena ia tahu, jam pelajaran belum berakhir dan harus segera kembali ke kelas.
Setelah beres, barulah Ayu merapikan jilbabnya dan bercermin di depan kaca. "Astaghfirullah ... bengkak gini. Harus alasan apa dong kalau masuk kelas," ucapnya lirih saat mendapati kelopak mata yang membengkak.
Di saat Ayu galau harus masuk kelas atau tidak. Tiba-tiba terdengar ketipak langkah yang semakin dekat. Ayu pun mengintip, ingin tahu siapa yang datang.
Betapa leganya hati Ayu, saat mengetahui. Jika Olivlah yang datang.
"Ayuuuuuu! Ternyata lo di sini," ucap Oliv sedikit histeris dan langsung menghampiri sang sahabat.
"Lo ini ngapain aja, sih. Lama amat nggak balik-balik kelas." Seperti biasa, memang jadi hobi Oliv, omongannya seperti mengomel saat kondisi dirinya kesal seperti sekarang ini. Namun, omelan Oliv selalu tak luput dari sebuah ungkapan perhatian.
Sejak tadi ia mengkhawatirkan Ayu yang tak kunjung kembali. Saat Bu Livi pamit ke kantor, ia langsung mengambil kesempatan keluar untuk mencari sang sahabat.
Ayu bergeming, ia malah menunduk. Berniat menyembunyikan matanya yang bengkak. Oliv pun heran, tangannya bergerak memegang pundak Ayu yang terlihat mulai sesenggukan.
"Yu, ada apa? Kok kamu nangis?" tanya Oliv mulai panik, tangannya memaksa Ayu untuk mendongak.
Gadis di hadapannya tak kuasa untuk meluncurkan satu kata pun dari lisannya. Tanpa kata, ia langsung merengkuh tubuh Oliv dan memeluknya cukup erat.
Oliv pun hanya bisa bergeming. Ia sangat paham, jika dalam kondisi seperti ini. Tak mungkin dirinya memaksakan Ayu untuk menceritakan apa yang terjadi. Saat ini, Oliv hanya bisa mengusap punggung Ayu dengan lembut untuk menyalurkan ketenangan. Meski dalam hatinya ia sangat penasaran dengan apa yang terjadi sebenarnya.
Waktu terus bergulir, setelah melihat Ayu lebih tenang. Oliv pun merenggangkan pelukannya. "Lo di sini dulu, ya. Biar nanti gue izinin ke Bu Livi. Lagian bentar lagi juga pulang. Entar gue bawain sekalian tas lo ke sini."
Ayu pun mengangguk. Bibirnya ia paksa untuk bisa menarik senyum.
"Thank's, ya," ucap Ayu dengan suara serak. Ia merasa sangat beruntung punya sahabat seperti Oliv. Selalu menemani, tanpa kenal kondisi. Baik itu dikala senang ataupun keadaan sedih.
.
.
.
.
Bersambung
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top