21. Acid Rain

Semakin lama aku menjalani hari, semakin kurasakan rasa tenang yang terusik. Wijaya masih bersikeras mengungkap kasus Yusup, bahkan mungkin bekerja siang malam untuk mendapatkan jawaban yang ia inginkan, sedangkan aku yang tahu kebenarannya berleha-leha, menghindari seluruh pertanyaan yang diajukannya padaku sekadar untuk berpura-pura tak tahu, hingga pada puncaknya Wijaya mulai mempertanyakan keseriusanku dalam penyelidikan kasus ini, berhasil melihat merosotnya antusiasku, yang padahal bukan merosot melainkan kusembunyikan.

Aku tengah menyantap makan siang di kantin kantor ketika Wijaya membawa setumpuk berkas, kembali menjejali diriku dengan tulisan-tulisan rapi hasil cetakan komputer yang memang sengaja ingin ia perlihatkan padaku. Konklusinya sampai saat ini masih sama: Yusup hilang dan mayatnya belum ditemukan, tetapi itu artinya Wijaya tak akan berhenti sampai ia bisa melihat di antara dua hal: Yusup yang masih hidup atau seonggok mayat yang bisa diidentifikasi sebagai Yusup. Kasus itu bisa saja ditutup karena melewati batas waktu penyelidikan yang ditempuh, tetapi itu artinya aku harus terus menghindari Wijaya selama bertahun-tahun—jelas tak kuinginkan.

Aku berpura-pura membaca seluruh hasil penyelidikannya, memindai secara cepat seluruh tulisan yang tersusun runut dari atas sampai bawah sambil menggerus nasi di dalam mulutku. Kemudian, kusimpan kembali dan mendapati Wijaya yang mengangkat sebelah alisnya. Walaupun begitu, aku masih bisa menangkap gagasan utama dalam tulisannya.

"Laporanmu mashih belum berubah jauh dari laporanmu sebelumnya."

"Saya tahu, Pak," katanya, dan membiarkanku untuk kembali menyantap makanan sambil merapikan berkas laporannya.

"Dengar, Wijaya, berkaitan dengan sikapku waktu itu, aku minta maaf." Kunyahan dalam mulutku belum selesai kulaksanakan, tetapi aku sengaja berbicara, mempercepat proses pertemuanku dengannya. Sialannya, suaraku terdengar seperti gumaman anak kecil yang baru belajar membaca. "Tidak ada bukti konkret yang menunjukkan bahwa Yusup masih hidup, dan aku rasa aku mulai sadar bahwa membuka kembali kasus itu adalah kesalahan. Mungkin, waktu itu ... oh, sialan." Aku mengangkat kedua tangan sembari berusaha mencari kalimat terbaik untuk dikeluarkan.

"Terlalu dihantui oleh kepergian Loka, sehingga ketika aku tahu ada kejanggalan di kasus Yusup, aku berpikir jika dia masih hidup dan aku bisa menyelamatkannya. Dan itulah sebabnya selama ini aku selalu ikut campur dengan kasus itu—yang kebetulan terkadang kau membuatku terpaksa ikut campur juga. Tapi, sekarang aku benar-benar merasa tolol. Emosi itu sudah menghilang, dan mencari orang yang hilang tujuh tahun lalu itu benar-benar tolol dan imajinatif."

Tidak sepenuhnya, sebenarnya. Buktinya aku berhasil, kan? Tetapi, kurasa, seluruh permulaan dibukanya kasus ini memang karena rasa emosionalku yang tak terbendung, yang sialannya kini membuatku bingung.

Aku sudah siap mendengarkan kalimat 'tidak apa-apa' khas Wijaya, yang memang biasanya ia berikan ketika aku meminta maaf—walaupun aku benar-benar melakukan kesalahan. Tetapi, selesai merapikan seluruh berkasnya, Wijaya tak melayangkan kalimat khas yang biasa diberikannya.

Sebaliknya, dia tersenyum, sedikit tertawa, lebih tepatnya sih cengengesan. Napas pendeknya keluar dari kedua lubang hidung yang tersendat-sendat.

"AKP Januar bilang dia tahu siapa Lima yang dimaksud."

"Kau ... hah!?"

Aku terkejut bukan main. Rasanya jantungku terpompa dengan hebat sampai hampir lepas, meninggalkan tubuhku bagaikan pesawat terbang yang meninggalkan landasannya. Mataku mengerjap berulang kali, dan aku baru sadar beberapa butir nasi keluar dari mulutku karena proses kunyahan yang tak sempurna. Aku seharusnya mengambil minum agar tak tersedak, tetapi rasa terkejutku berhasil mengendalikan kerongkonganku, membiarkan suapanku sebelumnya masuk begitu saja.

"Kenapa kau masih berhubungan dengan orang itu, Wijaya? Dan sialan, dia bukan seorang AKP lagi." Aku menggerutu, tak kurang dari seorang anak yang tak dibelikan ponsel atas permintaannya. Tapi Wijaya tahu jelas aku tak sedang bercanda.

"Karena ... beliau mengaku tahu siapa Lima yang dimaksud, Pak."

"Kau memercayainya!?"

"Tidak sepenuhnya, Pak."

"Wijaya, sialan, itu sangat buruk, karena seharusnya kau tidak memercayainya sama sekali, bukan tidak sepenuhnya memercayainya."

"Saya rasa tak ada alasan lagi untuknya berbohong. Maksud saya, Anda mengerti kan, Pak? Beliau sudah mendekam di penjara, dan saya rasa bagaimanapun dia tak akan bisa keluar dari sana. Kasus yang menjeratnya berat."

"Wijaya, sialan, orang-orang melaporkan kasus kejahatan ke kepolisian, dan ternyata orang-orang brengsek bajingan seperti Januar ada di kepolisian, kau terlalu percaya orang-orang di sekitarmu adalah orang-orang baik sepertimu. Apa kau tidak pernah hidup di lingkungan orang-orang brengsek seperti itu?"

"Tapi ...."

"Kau tidak pernah melihat ibumu sendiri mati di tangan ayah tirimu, berada di posisi penentuan hidup dan mati temanmu, dan yang terparah, kau tidak tahu betapa kesalnya aku, ketika si bajingan Januar berhasil merenggut satu-satunya keluarga yang kupunya, dan sekarang kau masih bisa memercayainya. Kau tahu hal kecil apa yang kuinginkan dari Loka? Melihatnya berkuliah, berfoto dengannya saat ia mengenakan toga. Dan si sialan itu mengambil semuanya, bukan hanya masa depan anak itu, tapi juga masa depanku, potret masa depan yang sampai sekarang masih kuimpi-impikan."

Napasku terengah-engah. Dan di saat yang bersamaan, aku baru sadar bahwa belasan tatapan mata tengah tertuju ke arahku, termasuk sang penjaga kantin yang biasa menjajakan dagangannya.

Aku menggerutu dalam hati. Oh, sialan. Apa yang baru saja kulakukan?

Aku berjalan, pergi. Aku mendengar Wijaya yang beberapa kali memanggilku, tetapi kuhiraukan.

Aku benar-benar bingung.

===

"Kau bisa mendengar ini, aku tahu itu."

Kulemparkan pandanganku ke segala arah, mencari carut marut sudut-sudut ruangan yang tak pernah kubersihkan, terutama bagian atap, sekadar menghilangkan rasa grogi saat berbicara di depan ponsel ... dan tidak melakukan panggilan apapun.

"Dan aku yakin kau tahu apa yang terjadi denganku di siang hari ini, jadi aku benar-benar meminta kau untuk menghubungiku, atau—brengsek—aku akan membocorkan keberadaanmu, Yusup, kenapa semua orang."

Aku tak akan berbohong, aku benar-benar terlihat seperti orang gila yang berbicara dengan ponselnya sendiri, padahal tak kulakukan sebuah panggilan. Mulutku yang sengaja kudekatkan pada mikrofon ponsel jelas ingin segera pergi, melepaskan tautan jarak yang pendek darinya. Tapi, setelah berpikir sekian lama, aku tahu cara ini adalah cara yang terbaik.

Si sialan itu—Luthfi—tak pernah memberikan kesempatan untukku menghubunginya, yang akhirnya membuatku merasa sedikit tolol karena selama ini, tanpa sepengetahuanku, dia menyadapku, yang artinya dia bisa mendengar seluruh percakapan yang kulakukan. Termasuk sekarang ini, kan?

Entah sudah berapa menit kuulangi kalimat-kalimat yang sama, berkutat di antara 'dia, atau mereka—Luthfi dan Yusup—bisa mendengarku saat ini' dan 'aku meminta mereka untuk menghubungiku sekarang juga', tentu saja dengan tambahan ancaman yang sangat terdengar seperti gertak sambal. Mungkin di ujung sana, Luthfi dan Yusup tengah menertawaiku.

Dan sialannya, aku menyerah, melemparkan ponsel itu ke atas sofa sebelum segera merebahkan raga di tempat yang sama.

Aku meregangkan tubuh, dilanjutkan dengan mengusap seluruh permukaan wajah dengan kedua tanganku, dan sekali lagi menggerutu, "Sialan, kenapa jadi sulit seperti ini."

Setidaknya, perlu waktu hingga dua menit sampai pemikiranku pulih kembali. Kemudian, aku meraih ponselku, dan tepat setelahnya, ponselku yang lain—yang Luthfi berikan padaku—berdering. Aku tak perlu membuat pemikiran yang berputar terlalu jauh hanya untuk menerka siapa si penelepon itu. Jelas Luthfi, kan? Atau mungkin Yusup karena dia sudah membuka tabir hilangnya secara terang-terangan padaku.

Jadi, aku segera mengangkatnya, berteriak tanpa salam sapa yang hangat.

"Manusia sialan ...." Kuucapkan frasa itu, tetapi tidak kutunjukkan secara khusus. Yusup atau Luthfi, aku harap seseorang dari mereka berhasil menerima hardikanku. "Kau ada di mana? Aku ingin bertemu denganmu. Tadi siang aku menuju bunker dan kalian malah tak ada di sana."

"Hei, hei, sabar Roy, ada apa denganmu?" Suara itu jelas suara Luthfi. Aku sudah mengenal suaranya seperti aku mengenal suara kakakku—yang sebenarnya tak ada, sih.

"Wijaya masih melanjutkan kasus Yusup, dan kaupikir aku bisa menghindar terus-terusan darinya?"

"Bisa saja, kalau kau bisa."

"Dan kau masih bisa membalas seperti itu, Brengsek?" Aku menarik napas panjang, mengeluarkannya secara perlahan, berusaha meredam emosi yang kembali mencuat dalam kepalaku. "Dengar, kau ceritakan semua kenyataan itu padanya, dan aku akan sangat berterima kasih padamu."

"Memangnya tak bisa kau buat dia untuk percaya Yusup sudah mati?"

"Aku yang pertama antusias membuka kasus Yusup dan menyerahkan kasus ini padanya. Aku sudah berpura-pura putus asa dan Wijaya masih belum patah semangat untuk menyelidiki kasusnya."

"Aku akan menyembunyikan Yusup semampuku."

"Bukan itu poinnya, sialan," gerutuku. "Apa orang-orang PK tahu tentang dirimu?"

Perlu jeda beberapa saat sampai Luthfi kembali membalasnya.

"Mungkin. Siapa yang tahu, kan?"

"Januar mengaku mengenalmu."

"Kami memang pernah bertemu, kan?"

"Bukan mengenalmu sekadar tahu wajahmu, dan kau adalah orang sialan brengsek yang menyusup ke dalam rumahnya, kemudian dengan seenaknya mengikat seluruh pergelangan lengan orang-orang yang ada di dalam sana, sialan, tetapi mengenalmu sebagai Lima. Kau pasti mengerti maksudku, kan? Apa kau sudah berubah jadi orang bodoh yang tidak tahu apa-apa?"

Sekali lagi, Luthfi tak segera menjawabnya, tetapi emosiku yang mencuat juga tidak bisa memikirkan susunan kalimat yang bisa kugunakan untuk menambal waktu kosong seperti ini. Mungkin Luthfi sedang berpikir, mungkin juga tidak, yang jelas aku masih menunggunya berbicara, hingga akhirnya ia melakukannya.

"Aku rasa Lima yang ia maksud bukan aku, tetapi orang lain."

"Memangnya siapa lagi?"

"Kau ingat temanku yang pernah kuceritakan?"

"Oh, dongengmu yang kauceritakan untuk membuat hubungan kita semakin dekat itu?"

"Terserah." Luthfi menggerutu. Tak terdengar seperti itu, sebenarnya, tapi aku yakin hatinya tengah mengomel. Namun, di saat yang bersamaan, aku kembali memikirkan lontaran kalimatnya.

"Tunggu, jadi selama ini ada orang dengan nama 'Lima' lain yang benar-benar bukan dirimu?"

Tak ada jawaban dari seberang sana.

"Sebenarnya kau siapa, sih?"

"Kau ingat ketika aku meminta berkas kasus 'Lima' ketika kau masih sanggup menodongkan pistol padaku seandainya kau masih punya?"

Sungguh, lelucon yang tidak lucu sama sekali. Aku tahu izin menggunakan senjata apiku dicabut dan sesekali aku membuat topik candaan dari sana, tetapi ketika Luthfi yang menyajikannya, aku benar-benar tak bisa tertawa bersamaan dengannya.

"Aku berterima kasih padamu karena aku bisa melemparkan berkas-berkas itu ke hadapan wajahnya—orang yang membunuhnya—sebelum ... kau tahu, kan? Metodeku dulu."

"Maksudmu dia tidak mati karena overdosis?"

"Kalau aku menulis Loka meninggal karena tenggelam, apa kau akan percaya?"

"Jangan bawa-bawa dia, sialan!"

"Maaf, Roy, bukan maksudku ingin membuatmu kesal, tapi ada banyak kasus yang ditutup dengan kesalahan. Aku harap kau mengerti itu."

"Terdengar lucu untuk kalimat yang keluar dari ... bagaimana caraku mengatakannya, ya?" Kulambungkan kedua bola mataku ke atas dan ke bawah. "Seorang perampok, karena aku tahu kau tidak ingin disebut sebagai pembunuh."

"Hei, aku harus bertahan hidup, kan? Kau pikir aku bisa hidup tanpa makan? Oh ya, siang tadi aku dan Yusup bekerja sama untuk pertama kalinya mengambil hak orang lain yang bisa mereka sedekahkan kepada kami. Biasanya Yusup menolak, tapi aku yakin dia terpaksa karena kelompokku sebelumnya sudah menendangku keluar. Aku yakin mereka menyesal."

"Kau merampok lagi?"

"Kurang lebih."

"Kau tahu, kau adalah sasaaran empuk untukk mengejar karier, sialan. Ada berapa kejahatan yang sudah kaulakukan?"

"Aku tidak ingat. Tapi kalau kau memang ingin mengejar karier, tangkap saja."

Tiba-tiba, aku dapat mendengar pintu rumahku yang diketuk—tiga kali. Reaksiku yang sedikit lamban berhasil membuat seseorang di luar sana kembali mengetuk pintu rumahku, sebelum akhirnya kuakhiri pembicaraan—yang entah bagaimana awalnya hingga bisa keluar dari topik pembicaraan yang kuinginkan—dengan Luthfi.

"Ada tamu, tapi pembicaraan kita belum selesai, oke?"

Aku benar-benar merasa lega sekarang ini, karena setidaknya aku tahu bagaimana caraku menghubungi Luthfi, yang berbulan-bulan ini tak pernah kuketahui. Setidaknya, sekarang aku berada dalam kondisi: bisa memutuskan panggilan tanpa harus takut tak dapat menghubunginya kembali.

Aku bangkit dari sofa setelah menyakukan ponsel ke dalam saku celana. Untungnya, aku masih menggunakan celana seragam sehingga tak perllu repot-repot mencari celana panjang untuk menerima tamu. Ketika aku membuka pintu, aku bisa melihat sosok Pak Jajang tampil di teras rumahku.

Laki-laki itu tersenyum ramah, tetapi kehidupanku yang sudah berkutat terlalu jauh dengan orang-orang PK sepertinya membuat instingku bekerja dengan sangat baik. Senyuman itu bukan senyuman ramah yang diberikan dengan tulus, lebih seperti senyuman untuk sapa: "Kejutan, Bajingan!"

Apalagi dengan pistol yang ia todongkan ke arah perutku, secara diam-diam.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top