Chapter 1 : Important Dinner

April 2022

Darla memandang dirinya sendiri di hadapan cermin. Sebuah gaun berwarna kelabu membungkus tubuhnya dengan indah. Dia membiarkan rambut hitamnya terurai begitu saja. Riasan di wajahnya terlihat sederhana namun tetap sangat menawan dan menonjolkan warna hazel dari matanya.

Si wanita tersenyum, dan kini dia berputar di hadapan cermin untuk memastikan penampilannya sekali lagi. Darla tersenyum, karena dia sudah merasa puas dengan apa yang dilihatnya.

Pintu kamar mandi yang ada di dalam kamarnya terbuka, menampilkan sang suami yang mengenakan jas yang warnanya senada dengan gaun Darla. Jameson tersenyum, memandangi istrinya dari cermin.

Sang suami melangkah menuju ke arah Darla, lalu memeluk si istri dari belakang. Darla memandang wajah suaminya dari cermin, dan Jameson menghujani bahu istrinya dengan ciuman, yang membuat Darla terkekeh karenanya.

"Damn, why you always look so beautiful?" bisik Jameson.

Darla tersenyum karenanya, "Ah, kamu ini bisa saja," sahut Darla, tersipu karena pujian suaminya.

"Aku serius, tahu. Kamu selalu kelihatan cantik."

"Serius bohongnya?"

"Ah, kamu ini. Kayak nggak ngerti apa maksudku. Ya aku serius lah!"

Kini Darla tertawa karena kelakuan suaminya, "Iya deh, iya. Tapi kalau kamu begini, kapan kita bisa pergi coba?"

Jameson memberikan sebuah senyuman nakal kepada Darla. Sang istri menghembuskan napas, tapi dia tidak berusaha melepaskan dirinya dari sang suami. Baru saja Jameson membuka mulutnya karena dia ingin mengungkapkan alasannya, tiba - tiba terdengar sebuah ketukan di pintu kamar mereka.

"Woi! Kalian sudah selesai belum? Setengah jam lagi acaranya di mulai loh!" seru sebuah suara dari luar kamar mereka.

Darla dan Jameson tersenyum karenanya. Tidak lain dan tidak bukan suara itu berasal dari putri mereka, Rila. Anak perempuan mereka setidaknya cukup menghargai privasi kedua orang tuanya, karena dia tidak langsung mendobrak masuk ke dalam.

"Iya, tunggu sebentar dulu. Ayahmu ini loh, sudah tahu kalau kita ini maunya buru - buru, masih saja kepengen berleha - leha," sahut Darla.

Rila yang ada di balik pintu itu hanya bisa menghembuskan napasnya, kemudian menggeleng. Dia tahu tipe orang tua macam apa yang dimilikinya. Keduanya agak tidak biasa untuk ukuran orang tua seusia mereka, tapi keduanya merupakan tipe orang tua yang bersahabat dan mengikuti perkembangan zaman. Tapi, Rila jelas tidak mau tahu apa yang keduanya lakukan ketika dia tidak ada. Rila sudah bisa membayangkan sendiri apa yang kira - kira terjadi.

"Ya sudah, kalian buruan gih! Jangan macam - macam di dalam sana!"

"Kamu nggak mau masuk, nak? Kali saja kan, ibumu butuh bantuan?" tanya Jameson, berusaha memancing anaknya.

"Nggak mau ah! Mama biasanya nggak perlu bantuan kalau soal dandan, malah aku yang biasanya minta bantuan Mama. Lagian, aku trauma masuk kamar kalian tanpa izin. Terakhir kali aku masuk, aku harus lihat sesuatu yang mantap mantap, kan ternoda nih mataku!"

Darla terkekeh, "Gak apa kok nak, kamu nggak perlu masuk. Aku sudah selesai kok! Ayahmu ini kebiasaannya ngeselin memang. Sudah ah, mending sekarang kita pergi saja!" sahut Darla, sambil berusaha untuk melepaskan dirinya dari Jameson.

"Yah, kalian nggak asyik!" ujar Jameson, sambil mencium bahu istrinya sekali lagi.

"Kalau mau yang asyik, nanti saja! Sekarang kita harus pergi!"

Si suami menurut, dan dia melepaskan dekapannya pada Darla. Jameson menuju ke pintu dan membukanya. Rila sudah tidak lagi berada di depannya, dan bisa terlihat kalau kini dia melangkah menuju ke ruang tengah. Sementara itu, Darla mengambil tas tangannya, lalu menyusul suaminya setelah menutup pintu kamar mereka.

"Rila, kamu jangan ngambek gitu dong. Sori, kalau kami kelamaan. Ada apa sih? Kamu kepengen segera ketemu cowok ganteng ya?" tanya Jameson, menatap ke arah anaknya yang tengah memuat ponselnya ke dalam tas tangannya.

"Aku nggak ngambek. Cuma kesel saja. Kok aku punya ayah kelakuannya begini banget ya?" jawab Rila.

Darla tersenyum. Antara suami dan anaknya, keduanya terkadang memiliki beberapa pertentangan. Walau sebenarnya keduanya juga bisa jadi sangat kompak di saat tertentu. Darla merangkul puterinya, lalu mengelus bahunya.

"Ah, sudahlah. Nanti kalau kamu punya suami, nanti kamu juga mengerti rasanya kok. Siapa tahu nanti kamu dapatnya yang kayak ayahmu, ahaha," sahut Darla.

"Iya deh, iya. Kalau beitu, cepetan deh, nanti telat."

Jameson mengangguk, lalu dia bergegas mencari kunci mobilnya. Sementara itu, Darla memandang Rila baik - baik. Si anak memperhatikan ekspresi ibunya, lalu tersenyum.

"Coba sini, aku mau benerin maskaramu dulu!" kata Darla, lalu mengambil sesuatu dari tas tangannya.

"Berantakan ya?" tanya Rila, lalu memasang wajah cemberut.

"Enggak juga sih, bagus kok. Cuma kalau menurutku masih belum terlalu kelihatan maskaranya, agak tipis."

Darla mengambil maskara yang dia simpan di dalam tasnya, kemudian dia membantu Rila merapikan maskara yang ada di bulu matanya. Setelah puas, si ibu tersenyum, lalu memasukkan maskaranya kembali ke dalam tasnya. Rila mengerjapkan matanya selama beberapa saat, kemudian memandang ibunya.

"There you go, anak ibu sudah kelihatan cantik!" kata Darla.

"Mama ...." sahut Rila, lalu dia memutar matanya dengan jengah.

Darla terkekeh. Anaknya memang tidak suka diperlakukan seperti anak kecil. Mungkin itu salah satu sifat yang dia dapatkan dari ayahnya, karena keduanya memang tidak manja. Tapi, Darla terkadang tetap memperlakukan Rila seperti seorang bocah. Dia tidak bisa melakukannya saat Rila masih kecil, karena dia tidak begitu bisa mengikuti perkembangan masa kecil anaknya dengan baik. Underground jelas bukan tempat yang cocok untuk anak kecil. Jadi, masa kecil Rila dan kembarannya lebih banyak dihabiskan dengan ayahnya.

Walau begitu, Darla tetap bahagia karena Rila masih berada bersamanya. Setidaknya, dia tidak kehilangan semua orang yang disayanginya saat kecelakaan itu. Kehilangan Lila kecil mungkin memang menohok perasaan Darla dengan sangat hebat saat itu. Tapi setidaknya Rila masih ada di sini, dan tumbuh jadi gadis yang mengagumkan.

"Nanti kalau kamu ketemu cowok ganteng, kasih tahu Mama ya! Siapa tahu saja ada yang kepincut sama kamu!" canda Darla.

"Hei! Lalu aku mau dikemanakan hah?" tanya Jameson, yang sudah menemukan kunci mobilnya.

Rila terkekeh, lalu mengacungkan jempolnya. Ibunya tertawa, dan mengajak anaknya tos. Jameson menggeleng, karena dia tahu hal ini memang jadi semacam hal kesukaan antara istri dan anaknya. Sebagai suami, dia tidak marah karena mereka doyan melirik pria ganteng, hal seperti itu kan wajar. Toh, Jameson sebagai laki - laki kadang melakukannya. Tapi, tentu saja Jameson juga bisa cemburu.

"Eh, ngomong - ngomong soal cowok, kok kamu nggak ngajakin Ray sih?" tanya Jameson.

"Dia lagi menduakan aku sama proposal buat acara di kampus sih, makanya aku nggak mau ngajakin dia. Sekekali lah aku bebas ngelirikin cowok," sahut Rila.

"Kaliin saja kenapa. Ya sudah, kita langsung saja berangkat yuk?"

Keluarga Shaun memutuskan untuk segera berangkat menuju ke acara yang harus mereka hadiri. Malam itu kota Inkuria terlihat cukup ramai, dipadati dengan penduduk kota yang ingin melaksanakan beberapa urusan atau pergi ke acara yang harus mereka hadiri.

Hari itu, Jameson mendapatkan sebuah undangan untuk jamuan makan spesial, yang diselenggarakan oleh Walikota Inkuria. Pak Walikota mengundang Jameson secara khusus karena distribusinya terhadap kota. Pada awalnya Jameson ingin menolak permintaan itu, karena walau dia sudah sering pergi ke berbagai pesta penting di kota, dia tetap tidak terlalu menyukainya.

Tapi Jameson akhirnya memutuskan untuk datang. Penyebabnya adalah bujukan dari Walikota periode sebelumnya, Jono Sulistyo yang mengatakan kalau beliau ingin Jameson hadir dalam acara itu. Karena kedekatannya dengan sang mantan walikota dan entah bujukan apa yang dilancarkan oleh beliau, Jameson akhirnya menerima undangan itu.

Di acara itu, akan ada banyak orang penting di Inkuria diundang. Selain dari Shaun Private Eye, akan ada beberapa tamu dari pihak kepolisian dan militer, lalu tentu saja banyak pengusaha dan pejabat penting lainnya. Bukan hal yang aneh, karena pesta ini diperuntukkan untuk "kalangan atas" kota Inkuria.

Entah apa alasan Jameson menolak undangan itu pada awalnya, mengingat bahwa dia punya hubungan yang baik dengan walikota periode sebelumnya. Dia sendiri seharusnya sudah terbiasa dalam menghadiri pesta semacam itu, terutama karena pekerjaannya. Tapi tidak akan ada yang bisa tahu apa yang sebenarnya ada di dalam kepala seorang Jameson Richard Shaun.

Setelah perjalanan selama 20 menit, keluarga Shaun akhirnya sampai di lokasi acara di selenggarakan. Sebuah hotel bintang lima sudah secara khusus dipesan untuk acara ini, dan sudah dipenuhi oleh para undangan.

Ketika menuju ke ballroom, ruangannya sudah dipenuhi oleh undangan yang semuanya berpakaian formal. Beberapa pelayan terlihat hilir mudik menyajikan minuman kepada tamu undangan, membuat suasananya terlihat semakin sibuk.

Jameson langsung dihampiri oleh Pak Bambang, yang berasal dari Kepolisian Inkuria. Keduanya sudah mengenal sama lain sejak lama, dan kini mereka terlibat dalam sebuah perbincangan seru. Sementara itu, Darla bertemu dengan beberapa perempuan pebisnis, yang langsung mengakrabkan diri dengannya.

Berbeda dengan kedua orang tuanya, Rila memutuskan untuk memisahkan diri dari mereka. Menurut Rila, pesta seperti ini adalah ajang sosial bagi kaum berumur. Bukan berarti anak muda sepertinya tidak ada di sana. Dia bisa melihat beberapa pengusaha muda atau anak - anak pejabat di pesta itu. Tapi Rila tahu benar kalau dirinya tidak terlalu cocok dengan acara seperti ini. Mungkin kalau dia sudah lebih dewasa, dia akan bisa merasa nyaman di acara seperti ini. Toh, sedikit banyak kan dia mewarisi kemampuan kedua orang tuanya yang ahli dalam bersosialisasi.

Selain itu, Rila bisa melihat kehadiran tiga rekannya, yaitu David, Brian dan Anthony. Ketiganya berdiri bersisian, sambil mengobrol satu dengan yang lainnya. Rila memutuskan untuk menghampiri ketiganya.

David menumbuhkan rambut, jenggot dan kumisnya semenjak kepergian Angela, dan entah kenapa pertumbuhannya bisa terjadi dengan cepat. Kini, brewok menghiasi dagunya, tapi dia tetap terlihat sangat rapi dengan jas dan rambutnya yang memanjang dikuncir bentuk manbun. Sementara itu, Anthony terlihat agak tidak nyaman dengan suasana di sekelilingnya. Mungkin karena dia belum pernah menghadiri acara semacam itu sebelumnya.

Lalu tentu saja, di antara mereka Brian - lah yang terlihat paling cocok berada di pesta itu. Tidak heran, karena Brian sendiri menyukai keramaian macam ini. Walau luka bakar yang di dapatkannya saat menyelamatkan Brock menyisakan bekas di pipi dan leher sebelah kirinya, Brian tetap terlihat tampan. Apalagi dengan rambut halus di wajahnya yang belum dia cukur, penampilannya sukses membuat banyak perempuan meliriknya dengan penasaran.

Kapan lagi sih, kamu bisa lihat pria Irlandia seksi yang terlihat jantan, dan membuat penasaran seperti Brian? Lirikan dan senyumannya yang terlatih itu memang maut bagi hati perempuan yang lemah. Jangankan itu, wajahnya sendiri sudah memikat. Ah, belum lagi matanya yang serupa lautan. Kalau saja Rila tidak mengenal Brian, pasti dia akan mengajak pria itu berdansa bersamanya, atau paling tidak dia akan minta nomor teleponnya.

Rila menghampiri ketiga temannya, yang langsung menyambutnya dengan pelukan. Agak aneh, tapi mengingat kalau mereka berada di pesta, basa - basi sepertinya diperlukan. Rila mengambil minuman dari pelayan yang berada di dekatnya, lalu mulai mengobrol dengan rekannya.

"Wah, kok kamu kalau didandanin jadinya cakep sih, Rila? Aku jadi pangling nih," kata Anthony, lalu tertawa.

"Itulah kekuatan rahasia Rila. Dia itu, selama di Chicago dikenal sebagai agen perempuan paling badass, dan banyak mafia yang kenal sama wajahnya. Tapi kalau dia didandanin, lalu dimasukkan ke pesta kelas atas, nggak bakalan ada yang kenal deh! Bahkan mafia paling cermat sekalipun tertipu sama penampilannya!" sahut Brian, lalu terkekeh.

"Sayangnya misi yang melibatkan penyamaran semacan itu yang menjadi momen buruk bagiku," ujar Rila.

Brian terdiam, kemudian dia sadar apa maksud perkataan Rila. Dia harus kehilangan Arlan di pesta seperti ini. Penyamaran Rila ketahuan oleh seorang bawahan dari mafia incarannya, dan tiba - tiba saja Arlan muncul untuk menyelamatkannya. Tapi kini Rila sudah bisa membahasnya tanpa harus teringat akan kejadian buruk itu.

"Setidaknya kamu sekarang sudah bisa menghadapinya dengan baik," sahut David, sambil memberikan sebuah senyum simpati.

Rila tersenyum, "Iya, aku tahu. Tapi tetap saja aku masih agak tidak terbiasa dengan pesta semacam ini," ujar Rila.

"Oh iya, kamu nggak ngajakin Ray? Kayaknya dia bakalan senang deh ke acara seperti ini," tanya Anthony.

"Maunya sih aku ngajakin dia. Tapi, saat aku tanyai, katanya malam ini dia sibuk. Harus nyusun proposal buat acara, katanya. Kalian harus cari sponsor kan?"

Anthony mengangguk, "Ah iya, kami masih butuh sponsor. Nggak salah sih kalau Ray harus bikin proposal, dia kan bagian humas."

Rila mengangguk. Di dalam hatinya, Anthony bersyukur karena dia berada di divisi Olahraga dan Kesenian, bukannya Humas seperti Ray. Bagian itu memang terkenal harus mengurus banyak sekali surat - menyurat. Kemudian, Anthony memandang wajah Rila sekali lagi.

Ray pasti akan senang kalau bisa berada di sini, apalagi kalau melihat Rila berdandan secantik ini, pikir Anthony. Tapi dia tahu kalau keduanya punya kesibukan masing - masing, dan sering kali waktu luang mereka bentrokan antara satu dengan yang lainnya. Bohong kalau Anthony tidak bisa merasakan kerengganggan dalam hubungan antara Rila dan Ray, tapi Anthony tahu kalau temannya pasti bisa mengatasi masalah itu dengan baik.

Keempatnya menikmati suasana pesta sambil berbincang - bincang. Kadang ada orang yang mencuri pandang ke arah kelompok kecil itu, mungkin untuk melirik Brian, atau bisa juga rekannya yang lainnya. Tapi, sepertinya ada beberapa wanita muda yang iri karena Rila dikelilingi oleh pria - pria tampan. Walau begitu, mata keempat agen ini tetap mengamati ke sekeliling, kalau - kalau ada sesuatu yang mencurigakan.

Pandangan mereka sering kali tertuju ke arah Jameson atau Darla. Pada awalnya, mereka tidak merasakan ada sesuatu yang aneh. Hingga akhirnya pembicaraan mereka terhenti, karena pandangan mereka kini berfokus pada satu orang yang menurut mereka mencurigakan.

"Please tell me that we are looking atthe same guy," kata Brian.

"Kurasa kita memang melihatnya," sahut Anthony.

"Kalau aku mau jujur, tindakannya tidak terlihat seperti seorang pelayan. Sangat kaku. Menurutku ada sesuatu yang disembunyikannya," ujar Rila.

"I think he's creeping over yer mom, Rila," kata David.

Kini keempatnya mulai memperhatikan orang itu dengan seksama. Dia terlihat seperti pelayan pada umumnya, yang mengenakan kemeja berwarna putih polos yang dilapisi rompi berwarna hitam. Lehernya dihiasi sebuah dasi kupu - kupu, dan dia mengenakan celana kain dan sepatu pantofel di kakinya.

Walau penampilannya terlihat seperti pelayan biasanya, mereka tidak mengendurkan pengamatan mereka. Wajahnya sendiri tidak terlihat datar atau bersahabat seperti pelayan lainnya. Pelayan yang mereka amati ini malah memiliki ekspresi yang serius, seperti sedang mengamati sesuatu. Rambutnya yang berwarna cokelat gelap agak berantakan, dan iris matanya menggambarkan sebuah emosi yang menggebu di dalam jiwanya.

Si pelayan tentunya tidak merasa kalau dirinya diamati dari kejauhan, karena dia tetap memandang ke satu arah. Kini keempat agen itu memandang satu sama lainnya, karena kini mereka yakin kalau pandangan si pelayan tertuju pada Darla yang tengah berinteraksi dengan seorang lelaki yang berada di hadapannya.

"Haruskah kita ikuti dia?" tanya Brian.

"Entahlah. Sepertinya akan mencurigakan. Kalau dia memang ke sini dengan cara menyamar, kurasa dia akan sadar kalau kita memata - matainya. Bisa jadi orang yang berbahaya," jawab Rila.

"Nah, kalau begitu, untunglah aku selalu membawa ini," ujar David, lalu memperlihatkan sebuah pemancar mini yang berbentuk seperti chip.

"Wah, rupanya kamu serius ketika bilang kalau kamu akan siap menerima misi kapan saja?" sahut Brian, lalu terkekeh.

"Ide bagus, kak. Tapi bagaimana caranya kita menempelkannya?" tanya Anthony.

Rila terkekeh, "Ah, ini kan pesta. Gampang saja. Kalau kamu bisa berada di dekatnya dan pura - pura menyenggolnya, kurasa kamu bisa menyelipkannya," jawab Rila.

"Rila benar. Kamu sepertinya cocok untuk tugas ini, Anthony," kata David, lalu menyerahkan pemancarnya.

"Baiklah, baiklah ... akan aku lakukan," ujar Anthony, lalu mengambil pemancar mini tadi dari David dan melangkah santai ke arah si pelayan.

Anthony pergi mendekati pelayan itu, dan diam - diam dia berhasil menempelkan pemancar itu. Agar tidak dicurigai, Anthony menuju ke toilet dan dia kembali pada teman - temannya sepuluh menit kemudian. Walau sudah ada pemancar yang mengikuti pergerakan target mereka, keempatnya tetap memperhatikan si pelayan sambil mengobrol. Si pelayan bisa melakukan tugasnya dengan baik, tapi itu tidak mengendurkan pengawasan empat agen itu.

Dari gerak - geriknya, sepertinya Jameson dan Darla memutuskan untuk menyantap makan malam di beberapa meja yang tersedia di balkon ballroom tersebut. Rila dan rekan - rekannya memutuskan untuk mengikuti mereka, tentunya dengan alasan untuk makan malam. Si pelayan itu melayani meja di mana Darla berada, dan dia melakukannya dengan sempurna. Tapi kini, keempat agen tadi bisa meyakini kalau Darla tengah diamati oleh pelayan itu.

Jadi, ketika mereka sudah kembali ke lantai ballroom, David dan Anthony perlahan menghampiri Jameson. Anthony mengobrol dengan Kayla yang berada di dekat sana bersama ayahnya, Pak Clerk. Sementara itu, David membisikkan hasil pengamatannya pada Jameson. Atasannya mengangguk, memahami apa yang dimaksud oleh David.

Sementara itu, Brian dan Rila menyampaikan berita ini kepada Darla. Rila berusaha mengalihkan perhatian rekan ngobrol ibunya, seorang pemilik restoran yang dikenal dengan nama Charlie Chapman, sementara itu Brian berbisik dan menyampaikan pada Darla kalau dia sedang diamati oleh seorang pelayan.

"Oke, apa ini berbahaya?" bisik Darla.

"Entahlah. Sejauh ini, dia tidak berada dalam jarak yang terlalu dekat. Tapi sebaiknya anda berhati - hati," jawab Brian.

"Kalian melakukan sesuatu padanya?"

"Tidak, kami hanya memasang pemancar padanya. David juga sempat memotretnya diam - diam."

Darla mengangguk, "Boleh kulihat fotonya?"

Brian mengangguk, dan dia memperlihatkan sebuah foto dari ponselnya. Darla mengamati wajah pelayan itu baik - baik. Setelah beberapa saat, bisa terlihat kalau wajah Darla menegang. Darla berusaha mengembalikan ekspresinya supaya jadi lebih normal, lalu dia berterima kasih pada Brian atas infonya.

Darla tidak bohong kalau dia jadi agak tegang karena hasil penemuan Brian dan rekan - rekannya. Dia mengenal siapa pria itu. Tapi dia berusaha menutupi ketegangannya sebaik mungkin, dan kembali mengobrol dengan Charlie.

Sementara itu, Brian bisa merasakan kalau pandangan si pelayan terasa sangat tajam ke arahnya. Brian mengenal berbagai macam cara memandang, dan dia meyakini kalau si pelayan itu tidak memberikan pandangan ala mata - mata yang biasanya dia lihat. Pria itu kemungkinan memiliki tujuan tertentu, Brian yakin itu. Karena Brian tidak ingin menarik perhatian si pelayan, dia memutuskan untuk menarik Rila ke lantai dansa.

Rila yang mengerti akan situasi itu menerima ajakan Brian. Kini keduanya melangkah ke tengah - tengah ballroom, dan mulai berdansa berdua.

"Aku ngajak kamu dansa begini, kira - kira Ray bakalan marah nggak ya?" tanya Brian.

Rila terkekeh, "Entahlah, sepertinya sekarang dia sudah terbiasa dengan kedekatan kita berdua," jawab Rila.

"Jadi, bagaimana hubungan kalian? Baik kan?"

"Tentu saja. Cuma kami sama - sama sibuk, itu saja."

"Lalu? Kamu sudah sampaikan rencanamu pada Ray?"

"Belum. Nanti saja, kalau kami tidak terlalu sibuk lagi."

Brian mengangguk, "Baiklah, tapi aku mau tanya ... sejauh apa Ray mengenalmu? Kok rasanya dia masih terlihat seperti belum tahu siapa kamu sebenarnya?"

"Hmm, hanya secara garis besar soal kehidupanku di akademi, dan soal Arlan. Saat aku berniat untuk bercerita lebih lanjut, dia bilang kalau dirinya sudah cukup tahu tentang masa laluku. Ya sudah, aku tidak ceritakan sisanya,"

"Tunggu, jadi dia bahkan tidak tahu soal Underground?"

Rila mengangguk, "Tidak seharusnya dia tahu sih. Jadi tidak banyak kuceritakan. Lagipula, aku tidak ingin membuatnya khawatir akan pekerjaanku."

"Wah, padahal masih ada banyak hal menarik yang belum dia tahu tentang dirimu."

"Nanti akan kuceritakan, kalau dia mau mendengarkannya."

Brian mengecup pipi Rila, "Ah, Ray melewatkan banyak hal yang menarik soal dirimu, sayang sekali. Kalau aku jadi kamu, aku pasti akan mau mendengarkan ceritamu sampai habis."

"Itu kan kau, dasar playboy cap kentang. Lagipula, kurasa kau akan bosan mendengarkan semua hal yang telah terjadi dalam hidupku."

"Tidak juga kok, kamu punya banyak cerita yang menarik, kalau menurutku."

Pestanya semakin malam jadi semakin semarak. Tapi Jameson dan Darla sepakat untuk pulang saat tengah malam. Rila yang mengetahui perjanjian itu bergabung dengan orang tuanya sebelum waktunya mereka pergi.

Mengetahui situasi yang disampaikan oleh David tadi, Jameson memutuskan untuk mengambil jalan memutar untuk menuju ke kendaraan mereka. Mereka sampai ke mobil mereka dengan selamat, dan Jameson tidak melihat kalau ada orang yang mengikuti mereka. Perjalanan menuju kembali ke kediaman keluarga Shaun berlangsung dengan hening, hanya sekekali Rila memadangi wajah ibunya yang kini terlihat lega.

Rila sendiri memahami kegelisahan ibunya. Dia sudah penah melihat si pelayan itu. Pria itu memiliki sebuah kisah dengan ibunya di masa lalu, dan jelas ibunya tidak menyangka kalau dia kini telah kembali.

Sesampainya Jameson dan Darla di kamar mereka, sang suami memutuskan untuk menanyai soal pria yang mengikuti Darla. Sambil melepaskan jasnya, Jameson melontarkan pertanyaan itu.

"Kamu mengenalnya, Darla?" tanya Jameson.

Darla mengangguk, "Aku mengenalnya dengan sangat baik. Dia itu ... kembali untuk mencariku," jawab Darla.

Jameson mengangkat alisnya. Dia memandangi Darla, yang kini duduk di tepi ranjang. Si suami memutuskan untuk duduk di sebelah istrinya, dan mendengarkan kisahnya tentang pria itu.

~~~~~

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top