Chap 8 : Angan

"Surya aku akan dijodohkan dengan Pangeran Kusuma," akhirnya keluarlah kata-kata itu. Setelah menatanya dengan begitu susah, tersimpan rapi di pikirannya, akhirnya terucap juga. Kini Putri Hanifa makin tegang, menunggu reaksi Surya. Bahkan Ia tak berani memandang Surya meski lewat bayangan yang ada di pantulan danau.

"Itu berita yang hebat Putri, apa sudah ditetapkan tanggalnya?" Surya menjawab dengan cepat, suaranya terdengar bersorak girang, terdengar tanpa ada kekecewaan sedikitpun.

Putri Hanifa kini menatap Surya dengan pandangan bertanya diliputi ketidakmengertian. Jawaban Surya membuatnya seperti berada di labirin yang amat membingungkan. Begitu rumit. Berkelok-kelok. Dan tidak ada peta untuk keluar dari sana.

"Jangan lupa mengundangku nanti. Jika ada undangan langsung dari Raja aku bisa kembali ke sini seperti sekarang, diberi izin oleh Pangeran Aryo Damar menemani Putri," Surya menampakkan senyum yang amat indah. Senyum itu seakan sebuah kompas bagi Putri Hanifa, menuntunnya keluar dari labirin yang berliku-liku panjang tadi. Seketika hatinya diusik dengan rasa sakit.

"Apa Gendis sudah tahu Putri? Oh, ya Gendis ada urusan apa? Kenapa seperti buru-buru tadi?" mendengar pertanyaan itu, telinga Putri Hanifa barulah terasa peka. Ditatapnya ke dalam mata Surya, seolah menyelam ke dasar mencari sebuah jawaban yang ia tanyakan tadi, tentang bait syair yang baru saja ditulis oleh Surya.

Tulisan itu untuk Gendiskah? Ribuan tanya itu kini berkecambuk membuat perasaannya jadi terluka. Sekarang Putri Hanifa tahu kenapa ia merasa seperti ada jurang antara dirinya dengan Surya.

"Aku ingin membacakan syair ini pada Gendis, Putri," nada Surya terdengar melunak. Putri Hanifa menunduk dalam. Matanya terasa panas. Ia benar-benar kalap. Menahan tetesan yang tak boleh dilihat oleh Surya. Rasanya butuh tenaga yang ekstra untuk melihat ke arah Surya. Sesaat kesunyian mulai berbalut dengan kehampaan di hatinya, sehampa kenyataan yang baru ia sadari bahwa dari awal dirinya hanya dipermainkan oleh angan-angan.

"Aku amat bahagia, karena Pangeran Kusuma akan ke sini dua bulan lagi," Putri menampilkan senyum yang di paksakan, sambil menyeka air di ujung mata. Bahagia apanya? Umpat bagian dari dirinya yang lain. Bahkan susah payah Putri Hanifa menahan bening itu agar tidak jatuh lagi.

"Ayo kita pulang Surya, Gendis mungkin tidak akan ke sini lagi. Kau bisa membacakannya besok pagi. Apa kau ingin membacakannya berdua saja tanpa ada pengganggu?" Putri Hanifa memberikan seuntai nada yang berbeda. Senandung kata yang dibuat-buat agar bisa menyamarkan nada perihnya yang kini mulai tersimpan di kubangan kecewa. Mendengar itu Surya langsung gugup seketika.

"A- tidak perlu begitu Putri. Besok pagi Putri cukup mengajak kami ke taman bunga belakang kerajaan. Karena Gendis menyukai bunga Asoka, jadi aku ingin membacakan ini di sana," Muka Surya sudah merah padam.

Melihat itu, Putri Hanifa langsung menjatuhkan pandangannya ke bumi. Rasanya begitu pilu. Kenapa sakit sekali rasanya? Tukas batinnya, mendadak ia merasa lelah luar biasa. Sepanjang jalan sambil mengiris hatinya sendiri, Putri Hanifa bercerita tentang kejahilannya bersama Gendis dulu ketika kecil. Membuat Putri Hanifa mau tidak mau harus menyaksikan sinar suar mata Surya memperlihatkan luapan cintanya pada Gendis, bukan pada dirinya.

Malam itu, gerimis kembali membasahi Lubuk Linggau. Menciptakan ritme suara mendayu agar tidak mengganggu siapapun. Kenapa rinai hujan tetap ikhlas? Padahal takdirnya selalu jatuh ke bawah sela suara hati Putri Hanifa, jerih mengingat kembali percakapannya tadi bersama Surya.

Putri Hanifa mengurung diri di kamar. Dulu Putri Hanifa terlalu malu untuk mengungkapkan bahwa ada benih cinta yang hadir lewat bait demi bait syair yang Surya goreskan. Ah, ternyata cinta sangat sederhana, hanya lewat tulisan, kemudian ia mampu membuat hati pembacanya terpesona. Entah Gendis yang tidak dapat membaca perasaan Putri Hanifa. Atau Putri Hanifa yang terlalu rapat menyimpannya. Putri sedang menangis membekap wajahnya dengan selimut. Lalu bagaimana dengan perasaan Gendis terhadapa Surya? Memikirkan itu bagaimanapun pertanyaannya, semuany menyakitkan.

Seperti kaset yang di stel di DVD baru. Porak poranda bayangan, Gendis pun hadir di benak Putri Hanifa. Kenapa dulu Gendis saat Putri Hanifa baru pertama bertemu dengan Surya sudah berani berkomentar pedas? Itu sebenarnya menandakan bahwa mereka sudah akrab sebelumnya. Kenapa instingnya tidak peka saat itu? Kenapa Gendis menjelma jadi gadis yang banyak bicara dan dengan mudah mengungkapkan rahasia apapun kepada Surya? baru ia sadar bahwa itu artinya Gendis sudah nyaman bersama Surya. Kenapa ia baru menyadarinya sekarang? Padahal Putri Hanifa sangat tahu Gendis bukan tipe gadis yang mudah terbuka dengan orang lain, apalagi sampai bercanda dengan bebas. Kenapa dia tidak menyadari itu sejak awal?

Mungkinkah perasaan kagumnya pada Surya membutakan itu semua? Sesaat kemudian tangisnya pecah menderas. Sakit, kecewa, dan sesak mengaduk-aduk perasaannya, membuat Putri Hanifa jadi tahu bahwa sebenarnya dari awal ia sudah kalah. Dengan sesenggukan, ditemani dinding kamar yang menjadi saksi bisu tangisnya, gerimis menjadi lebat, seolah menyembunyikan isak tangis Putri Hanifa pada dunia.

***

"Kenapa begitu? Bukankah Putri Hanifa cantik? Kenapa Surya malah menyukai Gendis?" Ayla memandang Musi dengan rasa ingin tahu yang kuat. Musi malah tersenyum dengan mendayuh ombaknya pelan.

"Bukankah kita tidak perlu menjadi cantik untuk dikagumi? Dan tak perlu menjelma dulu menjadi seorang putri tuk bisa dicintai? Kadang berat menjadi diri sendiri, tapi tetaplah mempesona dengan jati dirimu apa adanya, seperti yang Gendis lakukan, Ay" Musi berpetuah bijak.

"Tapi lihatlah hati Putri Hanifa remuk oleh kenyataan yang ada," sahut Ayla tidak terima.

"Kita tidak bisa memilih pada siapa hati akan berlabu Ay, seperti Bang Taro ketika berusaha mendapatkan cinta kak Ulfa dulu,"

"Tapi-"

"Kau belum melihat dari sisi Gendis Ay, cobalah untuk menilai adil," Musi menghempaskan gelombang tinggi kemudian bergulung-gulung kencang. Setelah itu gulungan ombaknya reda seketika, dan mulai menampakkan gambar pagi di taman kerajaan belakang.

***

Tempat bunga Asoka tumbuh, itu adalah tempat favoritnya Gendis. Sesuai permintaan Surya bahwa Putri Hanifa akan memanggil Gendis ke taman kerajaan belakang. Surya sudah siap dengan syairnya. Gendis berjalan amat bingung karena hanya melihat Surya tanpa ada Putri Hanifa.

"Bukankah kita dipanggil Putri Hanifa, lalu di mana Putri?" Gendis mendekat pelan mengingat percakapan terakhir dia bersama Putri Hanifa kemarin di Danau Raya.

"Mungkin sebentar lagi Putri datang," Surya memandang Gendis lamat-lamat. Menerima tatapan itu muka Gendis memancarkan rona malu, salah tingkah.

Adegan itu jelas-jelas dilihat oleh Putri Hanifa yang tidak mereka sadari keberadaannya. Putri berada di belakang Gendis dan Surya dengan jarak yang agak jauh, ia sengaja tidak mendekat agar memberi mereka ruang untuk berdua saja. Atau mungkin Putri Hanifa memang tidak ingin ada lagi di antara mereka berdua? Di samping Putri Hanifa ada Dayang Nayla dan Dayang Gina yang juga menyaksikan gerak-gerik Surya yang jatuh cinta.

"Lihatlah Tuan Surya dan Gendis amat akrab, dulu mereka tidaklah begini," Dayang Nayla berbicara pada Dayang Gina sambil tangannya bersedekap di dada tersenyum bangga, seperti mengetahui satu rahasia besar yang hanya diketahui oleh dirinya seorang.

Mendengar itu Putri Hanifa diam sesaat. Dia ingat Dayang Nayla adalah dayang yang ditugaskan Ratu Asma untuk menemani Gendis selama perjalanan ke ibukota. Artinya Dayang Naylalah yang tahu kapan dan kenapa hati Surya jadi terpaut pada Gendis.

"Maksudmu apa?" tanya Dayang Gina.

"Dayang Nayla, bisakah kau ikut aku sekarang? Ada yang ingin kubicarakan," Putri Hanifa menyela pembicaraan mereka.

"Baik Putri," mendengar titah itu Nayla langsung mengekori Putri Hanifa menuju kamarnya.

***

Maaf ya Author terlambat updatenya, Author ada agenda super penting kemarin nginep >,< jadi baru pulang langsung edit kisah ini. Semoga tidak kecewa yaa ^^ #sepertinya gak ada yang menantikan kisah ini, sedih :(

Eh, dapat kiriman dari facebook kalau buku The Silent Eyes sudah sampai ke Sry Dwiyanti karena beliau dikirim dari penerbit dan tingganya di Bekasi jadi bukunya sampai dengan cepat. Katanya baru baca quotes dicerita pertama udah sukka. Karena quotesnya nendang-nendang banget XD makasi ya sudah jadi pembaca pertama buku kita :)

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top