Bab 4

Ujian Nasional resmi telah usai, Dian dan Dean diliburkan selama dua minggu, sebelum akhirnya masuk kembali. Tiga hari yang lalu, mereka berdua memutuskan untuk tidak berdiam diri di rumah saja. Beberapa rencana yang telah mereka persiapkan sejak jauh-jauh hari, akan terlaksana. Salah satunya, berlibur ke kampung halaman orang tua ayah. Berhubung orang tua mama telah berpulang, Dian dan Dean hanya bisa mengunjungi kakek dan neneknya di seberang pulau sana.

Pulau Madura.

Ayah memang asli berasal dari sana, namun pindah ke sini sejak SMA dan meneruskan kariernya di kota ini. Setiap satu tahun sekali, saat masa liburan datang atau ketika libur bertepatan dengan hari raya besar, Dean dan Dian akan pulang. Meskipun hanya diantar orang tua mereka beberapa hari dan pulang hanya diantar sampai Stasiun kereta, mereka berdua menikmati liburan di sana.

Selain karena suasananya yang 180 derajat berbeda dengan suasana perkotaan, yang mereka berdua sukai selain itu adalah makanannya. Banyak makanan yang tak bisa mereka makan di sini, bisa mereka makan di sana, terkecuali sate ayam yang sepertinya berada di mana-mana. Jangan tanya makanan khas favorit mereka berdua, jawabannya adalah semuanya. Setiap masakan yang nenek buat, atau makanan yang mereka beli, semuanya terasa enak.

Dian dan Dean bahkan sampai dibawakan banyak sekali makanan ringan khas sana, kerupuk mentah kesukaan mereka, hingga petis pun mereka bawa saat kembali pulang. Dan yang paling melelahkan setelah itu adalah, membongkar oleh-oleh dari sanak saudara. Belum lagi barang-barang yang mereka beli saat berada di sana. Melelahkan namun menyenangkan di saat yang sama.

Mama juga kegirangan saat ternyata, kerupuk kesukaannya tak lupa dibawakan oleh sang mertua. Yang seketika Dian dan Dean datang, langsung mama goreng dan santap bersama anak kembarnya, dengan cocolan petis tentu saja.

"Udahan makannya, nanti habis Mama nggak bisa makan lagi," komentar Dean saat melihat mama tidak bisa berhenti makan, saking sukanya.

"Gampang itu mah, tinggal telfon nenek kalian, minta belikan, dipaketin, deh."

"Kayak Mama sempat aja."

Baru satu hari sampai dan oleh-oleh yang mereka dapat hampir habis setengahnya. Dian pamit lebih dulu setelah mama selesai memakan kerupuk kesukaannya. Disusul Dean yang sedikit mereka ada yang tidak beres pada Dian.

Entah hanya perasaannya saja atau bagaimana, Dian selalu diam saja saat berada di sekeliling mama. Atau hanya sekedar basa-basi sebelum kembali diam. Dean ingat-ingat lagi, Dian seperti ini sejak beberapa bulan sebelum ujian nasional. Apa karena penolakannya atas tawaran double les dari mama waktu itu, sampai-sampai ia masih kepikiran bagaimana hasilnya nanti?

Dean menghela napas perlahan saat membuka pintu dan menemukan saudara kembarnya sedang menata kaos-kaos yang baru saja mereka beli saat perjalan pulang kemarin. "Di," katanya.

Dian menoleh, lalu tersenyum saat mendapati Dean berjalan perlahan Menghampirinya. "Kenapa?"

"Nggak, ngerasa aneh aja."

"Aneh gimana? Apanya yang aneh?"

"Kamulah, siapa lagi."

Dian menunjuk dirinya sendiri. "Aku? Emang aku kenapa?"

Dean menaruh ponsel yang semula di genggamannya ke atas meja. Memutar kursi belajarnya menghadap Dian yang duduk di bawah.

"Kamu akhir-akhir ini sering banget diem mulu. Kenapa? Ada masalah?"

"Nggak ada," jawab Dian sambil menaruh kaos-kaos itu ke dalam lemari.

"Bohong. Kelihatan dari matamu yang selalu menghindar kalau diajak ngomong. Kalau emang ada yang dipikirin, cerita aja. Jangan dipendem, nanti stres."

"Nggak ada, De. Nggak usah kayak gitu, kalau emang ada yang menganggu pasti aku bakal cerita kok."

"Awas aja kalau aku tanya Ali dan dia lebih tau dulu dibanding aku."

Dian tertawa. Saudara kembarnya ini memang tak pernah akur dengan Ali. Selalu saja ada hal yang Dean bandingkan dengan cowok itu. "Nggak ada, De. Ya ampun. Tanya Ali aja kalau nggak percaya."

"Iya, nanti aku tanya. Nanti sore jadi nggak keluarnya?"

Dian mengangguk. "Jadi, kok. Udah terlanjur janji juga sama Ali."

🍀🍀🍀

"Temenku udah di sana, kalian jangan main jauh-jauh. Nanti ketemu lagi di sini. Dah." Dean melambaikan tangan pada Dian dan Ali, setelah itu berjalan cepat menuju teman-temannya tak jauh dari tempat mereka berdiri.

"Adek kamu emang nggak mau jalan bertiga?" Ali bertanya saat tiba-tiba Dean mengatakan ia ada janji dengan teman-temannya.

"Bosen katanya bertiga atau berdua terus."

"Lah, tu anak bisa bosen juga." Dian tertawa kecil.

Tak menunggu waktu lama, Dian dan Ali segera pergi ke tempat yang mereka tuju. Gramedia.

Sama-sama menyukai buku dan memiliki hobi membaca, mereka berdua memang kerap menghabiskan waktu bersama. Pergi ke toko buku bersama, ke perpustakaan berdua. Dan kebetulan yang menyenangkan, Ali dan Dian sama-sama memiliki minat pada berbagai macam bacaan yang sama. Contoh kecilnya, mereka berdua menyukai buku fantasi, horor dan juga buku non fiksi tentang self love.

Kalau kata Dean, Dian dan Ali itu lebih cocok jadi pasangan dibandingkan teman. Apalagi menurut teman-teman sekelas mereka. Sayangnya, Ali dan Dian sangat jarang berada di kelas yang sama. Berhubung mereka teman sejak kecil dan rumah mereka berdekatan, Ali kerap kali menghabiskan waktu bersama si kembar.

"Gimana liburan?"

"Seperti biasa, menyenangkan. Pulang ke rumah Mbah jadi salah satu hal yang paling dirindukan."

Ali kemudian menengadahkan tangan di hadapan wajah Dian. "Oleh-oleh buat aku ada, dong?"

"Nanti ambil ke rumah," katanya lalu disambut dengan seruan Ali.

"Padahal nggak minta."

"Nggak minta, tapi ngarep. Sama aja."

Ali tertawa. Membenarkan diam-diam. Lagian, siapa juga yang tidak ingin dibawakan oleh-oleh? Sebenarnya Ali juga mengerti, minta atau tidak, Dian pasti akan dengan senang hati memberikannya oleh-oleh saat pulang kampung.

Gramedia yang mereka kunjungi hari itu, tak banyak didatangi. Mungkin ada sekitar 15 pengunjung. Lebih sepi dibanding biasanya. Seperti biasa, mereka berdua pergi memencar. Menyelusuri berbagai rak buku bacaan. Ali sudah hilang entah ke mana sejak tiba di rak komik, Dian lalu ikut menghilang di bagian buku fiksi.

Yang paling Dian sukai saat berada di sini adalah mencium aroma buku baru. Rasanya aneh memang, tapi entah mengapa di benak Dian, ini menyenangkan. Meskipun nanti hanya membeli satu atau dua buku, setidaknya Dian bisa membayangkan bagaimana nantinya jika mempunyai perpustakaan dengan buku sebanyak ini. Pembaca yang penuh dengan imajinasi adalah  tipikal Dian sekali. Berbeda dengan Ali yang langsung saja mencari buku yang memang benar-benar akan ia beli, lalu pergi mencari Dian dan mengekori gadis itu ke mana pun ia pergi sampai mendapatkan buku apa yang akan ia beli.

Mengesampingkan di mana Ali berada, Dian tetap berada di rak buku fiksi. Beberapa buku yang akan ia beli telah berada di tangan, sebelum nanti ia menyortirnya menjadi satu atau dua buku atas rekomendasi Ali. Karena menurut Dian, apa yang Ali anggap bagus, isinya akan benar-benar bagus. Ini hanya anggapan Dian, tapi sering kali hal itu memang benar terjadi.

"Kimi No Nawa?"

🍀🍀🍀

Madura, 150920

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top