Bab 10

Ali hanya terkekeh memandangi saudara kembar sahabatnya itu. Ada yang sedang resah sepertinya dan Ali bisa menyimpulkan apa yang akan gadis itu tanyakan sebentar lagi. Dean tidak akan datang kepadanya dengan suka rela. Sejak kecil, mereka berdua memang jarang sekali akur, lebih sering bertengkar atau memperdebatkan hal-hal yang sebenarnya tidak penting.

Jangan salah kalau Ali sekarang menganggap Dean hanya datang kepadanya ketika butuh. Karena memang seringnya seperti itu. Sama seperti Ali, ia akan datang kepada Dean hanya karena menanyakan keberadaan Dian.

"Lo tahu sesuatu nggak, sih?" Ditanya sesuatu yang tidak spesifik seperti itu tentu saja membuat Ali senang. Ia jadi punya bahan untuk membuat Dean kesal.

"Nggak, tuh."

"Ih, serius."

"Lo-nya aja nggak bilang sesuatu yang kayak gimana, mana bisa gue tahu."

Satu pukulan yang cukup keras mendarat di bahu Ali, membuat remaja berusia 15 tahun itu mengaduh sakit. "Kasar banget, sih."

"Ya, lagian lo ngeselin."

"Dih, harusnya tuh gue yang kesel. Lo dateng tiba-tiba nanya sesuatu yang bahkan gue nggak tau sesuatu itu apa."

Dean menggaruk rambutnya yang sebenarnya tak terasa gatal. Kalau bukan karena Dian, ia tidak akan pernah menghampiri Ali seperti itu. Remaja itu jauh lebih menyebalkan saat diajak bicara baik-baik. Dean 'kan jadi bernafsu ingin terus-menerus memukulnya.

"Lo tahu sesuatu tentang Dian, nggak? Atau dia pernah cerita sama lo tentang apa pun itu."

Ali mengangguk. "Kalau memang iya kenapa? Kalau nggak kenapa?"

Nah, kan.

Berbicara dengan Ali hanya akan membuang-buang waktunya saja. Tapi kalau bukan Ali, siapa lagi. Informan terdekat Dean adalah Ali. Secara dia sangat dekat dengan saudara kembarnya dan bisa dikatakan hampir mustahil jika Dian tidak menceritakan sesuatu kepada Ali. Pasti cowok itu tau tapi tidak ingin memberitahu Dean.

"Serius Ali, ih. Gue tanya baik-baik juga. Sehari aja nggak ngeselin emang nggak bisa, ya?"

"Ya emang kalau gue tau sesuatu tentang Dian kenapa, Malih? Ya, kali Dian nggak pernah cerita sama lo tentang apa pun itu. Secara kalian lebih deket."

Dean diam saja. Sebenarnya apa yang Ali katakan ada benarnya. Dian harusnya lebih dekat dengan Dean. Tapi mungkin karena kejadian dia mengusir Dian dari kamar, Dian jadi segan bercerita kepadanya. Karena sejak saat itu, Dian terlihat berusaha menghindarinya dan lebih sering menghabiskan waktu sendiri atau bersama Ali.

"Nggak, dia nggak pernah cerita apa pun soal dia yang pengen sekolah asrama."

Mendengar apa yang Dean katakan, Ali jadi tertarik. Memang benar, akhir-akhir ini Dian lebih sering bersamanya dibandingkan beberapa waktu lalu. Tapi Ali juga tidak mendapat informasi lebih selain keinginan sang sahabat yang katanya ingin bersekolah di sekolah asrama.

"Kayaknya dia cuma nyinggung masalah itu doang. Gue nggak tau dia mau sekolah di mana, karena apa. Toh, nggak ada urusannya sama gue. Hak dia mau lanjut di mana, bahkan ke pesantren sekali pun itu hak dia. Kenapa? Lo nggak setuju?" tanya Ali.

Dean mengangguk. "Ya, gimana, sih, lo bayangin aja punya saudara kembar kayak kita. Dari dalam rahim sampai detik ini nggak pernah pisah lama banget. Paling lama kita pisah pas dia sakit demam berdarah empat tahun lalu. Tapi tiba-tiba dia pengen sekolah di sekolah yang bahkan gue enggak tau dia mau sekolah di mana. Ya, gue marahlah."

"Lo udah denger alasan dia nggak? Kalau udah, coba deh pikirin. Dia ngambil keputusan kayak gini nggak mungkin sembarangan. Pasti udah dia pikirin baik-baik gimana ke depannya. Kalau pun dia emang pengen nggak sekolah bareng lo, ya relain aja dia ngejar keinginannya. Nggak selamanya apa yang lo pengen, lo dapetin juga."

Dean terdiam cukup lama. Kalimat terakhir yang Ali ucapkan sedikit membuatnya merasa sesak. Benar, apa yang dikatakan Ali memang benar. Tapi merelakan Dian dan membayangkan tanpa ada Dian di hidupnya ke depan, sangat susah untuk Dean.

"Kan, gue bilang dari dulu juga apa. Lo jangan terlalu bergantung ke Dian. Jangan apa-apa Dian. Apa-apa bareng Dian. Akhirnya bakal kayak gini. Lo nggak bakal rela Dian pergi bahkan buat ngejar cita-cita dia. Lo inget, nggak? Lo pernah marah banget sama gue gara-gara gue bilang kayak gini dan berakhir Dian nggak pernah mau ketemu gue selama hampir dua minggu. Dan ternyata apa, kejadian juga." Dean diam lagi. Ali dengan mulut pedasnya tak akan pernah bisa berhenti berbicara  bahkan jika Dean memotong pembicaraannya sekali pun.

"Lo sama Dian udah beda tujuan, De. Kalian nggak bisa selamanya bareng-bareng terus. Akan ada saatnya lo bakal ngejar cita-cita lo dan Dian juga. Nggak usah ribet mikirin gimana lo ke depannya. Tinggal jalani aja. Hidup lo bahkan jauh lebih tenang. Dan ... sekarang lo pulang. Minta maaf sama dia dan biarin dia pilih apa pun semaunya. Itu juga hak dia." Ali bangkit berdiri.

Demi apa pun dia tidak menyangka jika bisa berbicara panjang lebar dengan Dean tanpa percekcokan. Dean saat ini juga tak banyak bicara. Ia hanya mengangguk, lalu ikut berdiri. Kemudian melangkah pergi setelah mengucapkan terima kasih dengan lirih. Ali hanya menganggukkan kepala saat itu, berharap semoga teman kecilnya itu paham. Tapi sebenarnya Ali pikir tidak.

Dean selama ini terlalu bergantung pada Dian. Semua yang ia lakukan terkadang sesuai dengan apa yang Dian perintahkan atau anjurkan. Dan saat Dian akan pergi tiba, ia akan marah sebesar-besarnya dan menganggap Dian tak pernah mengerti dirinya.

Lalu yang salah siapa?

Keadaan yang memaksa Dian pergi atau Dean yang terlalu bergantung padanya. Ali sendiri tidak tahu apa jawabannya.

🍀🍀🍀

Hari wisuda mereka tiba terasa lebih cepat. Setelah berkonsultasi dengan Ali beberapa waktu yang lalu, Dean berusaha untuk tetap berpikiran positif. Ia masih tidak rela jika Dian akan pergi meninggalkannya. Masih ada harapan karena selama ini, Dean selalu membicarakan sekolah tujuannya bersama Dian dan gadis itu menanggapi dengan baik.

Dean yakin, ada kemungkinan untuk Dian membatalkan keinginannya untuk sekolah asrama. Meskipun kemungkinan Dian untuk tetap teguh pada pilihannya juga cukup besar.

Seperti yang telah mereka berdua rencanakan jauh-jauh hari, hari ini baju kebaya yang mereka pakai berbahan, warna bahkan model yang sama. Berwarna biru navy dengan bawahan bercorak pink emas, membuat keduanya terlihat sangat mirip satu sama lain. Kali ini mama merelakan waktu sibuknya untuk menghadiri acara kelulusan dua buah hatinya.

Sejak pagi buta, mama sibuk sekali mendandani dua putri cantiknya. Mama tidak setuju saat Dean mengusulkan akan pergi ke salon untuk make up wisudanya. Mama pikir, salon sekitar pasti ramai, daripada menunggu waktu lebih lama, ia lebih memilih meninggalkan pekerjaannya sehari untuk dua putrinya. Hanya kali ini mama mau meluangkan waktu sibuknya untuk mereka. Tentu saja Dian dan Dean bahagia.

Meskipun timbul rasa curiga di benak Dian, ia masih bisa mengesampingkan hal itu dan menikmati waktunya bersama mama. Walaupun sebenarnya Dian cukup khawatir lantaran teringat percakapannya dengan mama beberapa waktu lalu.

🍀🍀🍀

141220

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top